Anda di halaman 1dari 33

DASAR DASAR

KEBIJAKAN LEGISLASI
DAN LANDASAN
MORAL PANCASILA
Agus Wahyudi, Ph.D.
Pusat Studi Pancasila UGM
Pancasila sebagai Ideologi Persatuan

• Pengertian “pluralisme” sebagai “fakta permanen”

• Asumsi (Reformasi), a.l.:


• Menjaga persatuan dengan mengelola keragaman bukan
menyeragamkan keberagaman
• Mencegah kesewenang-wenangan kekuasaan
• Memisahkan negara dari masyarakat sipil
• Melindungi minoritas dalam demokrasi
• Akar filsafat Pancasila: Teori tentang
“Virtues” (Kebajikan untuk sebuah negara-
AKAR bangsa(Nanti kita akan Bandingkan
MORALITAS DAN dengan pesaingnya: Deontologi dan
TESIS UTAMA Teleologi/Konsekuensialisme
PANCASILA (Utilitarianisme)
• Tesis Pancasila: pengakuan atas “pluralisme
sebagai fakta permanen”: mempersatukan
bangsa, mengembangkan sistem kerjasama
termasuk dengan bangsa bangsa lain.
Notonagoro (1995), tentang ”hakikat”
Pancasila
“[n]ama Pancasila itu pernah dapat mengesankan, bahwa negara kita
mempunyai lima dasar. Tidak demikian itulah halnya, Negara kita
mempunyai satu dasar tapi susunannya tidak tunggal, akan tetapi
majemuk tunggal. Pancasila sebagai istilah tepatnya kita artikan sebagai
Eka-Pancasila……Inilah yang didalam ilmu pengetahuan disebut kenyataan
yang terdapat pada halnya atau barangnya sendiri, yang dengan istilah
teknis ilmiah disebut kenyataan dalam obyektifianya. Kenyataan yang
demikian itu terlepas dari pendapat orang dan pendapat orang itu dapat
berlainan mengenai sesuatu hal tertentu, sedangkan kenyataan yang
demikian itu hanya satu…Pendapat kita mengenai Pancasila ialah demikian
itu, mengenai kenyataan dalam obyektifanya (Notonegoro 1995: 2).
Tujuan • Seperti apa bentuk tatanan atau organisasi bersama atau sistem kerjasama dalam sebuah
masyarakat (Indonesia) yang paling baik dan tepat (Good and Right Society)/ Baldatun

membentuk
Thoyibatun Wa Robbun Ghofur/Well-Ordered Society?
• Visi dan Misi Pembukaan UUD 1945
• Hal yang mungkin kongkrit: Memastikan setiap warga negara aman dan terlindungi;

Negara tidak ada orang Indonesia yang kelaparan atau tidak bisa makan, udara bersih dan
tidak polutif, lalu lintas lancar dan tertib, infrastruktur kesehatan dan pendidikan
bagus dan tersedia merata bagi semua rakyat; martabat dan kehormatan setiap

Merdeka dan warga negara terjaga dan terlindungi, kaum rentan dan kelompok marjinal
(agama/kepercayaan minoritas, orientasi seksual minoritas, lansia, ibu melahirkan
dan anak anak, kelompok difabel dst) terpenuhi hak-haknya, lingkungan hidup yang

Menentang bersih, dan sustainable, hubungan internasional yang setara dan saling
menguntungkan, dan para tamu, orang asing yang datang ke negeri kita merasa
betah, aman dan terlindungi dst…

Kolonialisme
Pancasila Setelah Orde Baru Suharto
(setelah 1998):
• Pengakuan terhadap pemisahan antara
Negara dan Masyarakat Sipil (Civil Society)
Perbedaan dan hak Hak “Privacy” Warga Negara?
• Penerimaan gagasan tentang “limited
Konteks government”: mencegah atau mengurangi
Pengamalan kekuasaan yang sewenang-wenang
(gagasan trias politika dan keseimbangan
Pancasila dan pengawasan kekuasaan diakui),
melalui penataan kembali institusi politik,
dan penguatan karakter?
• Memastikan kelompok minoritas
dilindungi dan dihormati
Ranah Implementasi Pancasila: Empat (Empat) model Pengelompokkan (collective identification)
Manusia (Wilayah Privat, Masyarakat Sipil, Negara, Hubungan Antar Bangsa/Internasional
Organisasi Negara atau
Masyarakat Sipil
Terkecil Hubungan Antar Bangsa

Keluarga
atau
hubungan
dekat

Masing masing dengan “ajaran Etika Keadilan/


Etika menyeluruh,”: masuk akal Pancasila sebagai
Kepedulian/Cinta tetapi tak dapat disatukan dasar Negara
Jangkauan • Ranah Privasi/Keluarga/Intimate Relations
Implementasi • Ranah Civil Society
Pancasila • Ranah Negara
• Ranah Hubungan Internasional
Privasi dan Integritas
• “privacy” menunjuk refers to “a condition where individuals enjoy a secluded sphere of their own. It can
be a physical space that is isolated and free from insight or intrusion by others, or it can refer to certain
information of a personal nature that is not accessible to others.
• “Respect for privacy” means then that one should not, without good reasons and only on certain
conditions (e.g. consent or protection of other vital interests), enter into an individual’s private sphere.”
• “integrity” refers to “a property of a social agent navigating the intersection of the private sphere and the
public spheres. A social agent has an interest in enjoying a secret sphere that is barred to others but also
to participate with others in a social life. The enjoyment of a private sphere enables the individual to
engage in a complex social life with different kinds of relationships to other individuals and groups.
• “Respect for integrity” means a social recognition of the individual agent trying to master his/her
relationship between the private and the social life.”
(Source: Privacy and Integrity (Cited From: Hansson, M.G. 2008. “The Private Sphere: An Emotional Territory
And Its Agent” Springer: Uppsala)
Negara
• Apa tugas dan wewenang negara dalam kaitannya dengan beragam
konsepsi kebaikan (conception of goods) yang hidup dalam
masyarakat, yang sebagian diantaranya merupakan doktrin yang
komprehensif, dengan ciri yang selalu masuk akal (reasonable) di
mata pemeluknya, tetapi tidak pernah dapat disatukan
(incompatible)?
• Popper’ s (1945 ) Paradox of Tolerance:
• Unlimited tolerance must lead to the disappearance of tolerance. If we extend unlimited
tolerance even to those who are intolerant, if we are not prepared to defend a tolerant
society against the onslaught of the intolerant, then the tolerant will be destroyed, and
tolerance with them. … We should therefore claim, in the name of tolerance, the right not to
tolerate the intolerant. We should claim that any movement preaching intolerance places
itself outside the law, and we should consider incitement to intolerance and persecution as
criminal, in the same way as we should consider incitement to murder, or to kidnapping, or to
the revival of the slave trade, as criminal. (p. 226)
• the question of which ideas in the marketplace merit defending by public relations becomes
the question of whether public relations should defend criminality or promote intolerance.
Unlike in the court of law, criminals are not entitled to defense in the court of public opinion.
Under this scenario, and given the win-lose definition of political public relations, the losers
would be those organizations, people, and viewpoints for which public relations practitioners
refuse to work. And the ultimate winner would be our collective civil society that tolerates a
greater diversity of viewpoints or that encourages, as Taylor (2013) explained, “an orientation
to others that enables collective action that creates a common good” (p. 122).
What kind of civil society is best for
Democracy?
• Balance
• External and internal Checks on Associations
• Individual Attachments
• Distributions of Associational Attachment

Source: Mark E. Warren, What kind of civil society is


best for Democracy?. Portuegese Journal of Social
Science, Vol. 3, No. 1.
Kekuatan Pancasila: Ideologi yang “permeable” dan
(sekaligus) “expandable”

• Pendekatan Virtues, Deontology dan Teleology


dapat diserap dalam Pancasila dan memancar
dari Pancasila
• Kebutuhan mengukur “Moral Progress” dan
Mengembangkan “Moral Maturity”
Toleran pada yang intoleran?
• Herbert Marcuse: Repressive Intolerance
• Tolerance is an end in itself. The elimination of violence, and the reduction of suppression to
the extent required for protecting man and animals from cruelty and aggression are
preconditions for the creation of a humane society. Such a society does not yet exist; progress
toward it is perhaps more than before arrested by violence and suppression on a global scale. 
• As deterrents against nuclear war, as police action against subversion, as technical aid in the
fight against imperialism and communism, as methods of pacification in neo-colonial
massacres, violence and suppression are promulgated, practiced, and defended by democratic
and authoritarian governments alike, and the people subjected to these governments are
educated to sustain such practices as necessary for the preservation of the status quo.
Tolerance is extended to policies, conditions, and modes of behavior which should not be
tolerated because they are impeding, if not destroying, the chances of creating an existence
without fear and misery.
•  The danger of 'destructive tolerance' (Baudelaire), of 'benevolent neutrality' toward art has
been recognized: the market, which absorbs equally well (although with often quite sudden
fluctuations) art, anti-art, and non-art, all possible conflicting styles, schools, forms, provides a
'complacent receptacle, a friendly abyss'[1] in which the radical impact of art, the protest of art
against the established reality is swallowed up. However, censorship of art and literature is
regressive under all circumstances. 
Kutipan Pendapat MK
• Awal 2016, sekelompok akademisi dan agamawan yang tergabung dalam “Aliansi Cinta Keluarga Indonesia”
(ALIA) mengajukan petisi Ke MA untuk membatalkan tiga pasal dalam KUHP terkait dengan seks di luar nikah
(Jakarta Post, August 30, 2016).
• Argumen ALIA: Hukum warisan Belanda yang terkait dengan seks di luar nikah dalam KUHP tidak memiliki
tempat dalam negara beragama yang berdasarkan Pancasila.
• Pandangan Anggota MK:
• Patrialis Akbar mengatakan: “Our freedom is limited by moralistic values as well as religious values. This what the
declaration of human rights doesn’t have. It is totally different [from our concept of human rights] because we are not
secular country; this country acknowledge religion” (cited in Suryakusuma, Jakarta Post September 7, 2016).
• Arief Hidayat (Ketua MK): “International universal values…had no standing in his court because they were derived from an
understanding of the state as separate from religion”
• Petisi ALIA ditolak MK pada desember 2017. Lima (5) Hakim menolak petisi berdasarkan alasan bahwa “MK
hanya dapat memeriksa Hukum, tidak membuat hukum.” Empat hakim yang lain, termasuk Ketua MK,
mengajukan dissenting, beralasan bahwa: karena Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, dan karena sila yang pertama dan tertinggi (sic!) adalah Ketuhanan yang Maha Esa, maka hukum
tidak boleh bertentangan nilai-nilai, norma-norma dan hukum Tuhan (Mahkamah Konstitusi 2017: 454)
Pendapat Hakim MK:
• Empat hakim yang mengajukan dissenting juga mendasarkan
pendapatnya dengan sebuah interpretasi baru atas Pasal 28J UUD
1945 dengan mengatakan bahwa jati diri Konstitusi Indonesia adalah
Konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution),sehingga
“manakalah terdapat norma UU yang mereduksi, mempersempit,
melampaui batas, dan/atau justru bertentangan dengan nilai agama,
maka norma UU itulah yang harus disesuaikan agar tidak
bertentangan dengan nilai agama dan ajaran ketuhanan” (Mahkamah
Konstitusi keputusan normer 46/PUU-XIV/2016)
UUD 1945 Pasal 28 J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Pancasila Sukarno dan Piagam Jakarta

Comparison of the Jakarta Charter with the Pancasila proposed by Sukarno shows
three differences which demonstrate that it was the product of compromise.
• First, the order of five principles was reversed, so that Belief in God, which was ranked
fifth in Sukarno's scheme, came first.
• Second, the equal treatment of the five principles in Sukarno's speech was not retained,
and Belief in God was given a higher place than the other four by making the latter
modify the former.
• Third and most importantly, a phrase was added concerning the "obligation of Muslims
to practise Islamic law".
Source: Hyung-Jun Kim, “The Changing Interpretation of Religious Freedom in
Indonesia.” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 29, No. 2 (Sep., 1998), pp.
357-373
Pancasila dan Piagam Jakarta
• Despite their literal clarity, it was not obvious what "the seven words" might mean
in managing the state where not all Muslim citizens carried out Islamic law to the
same degree. Did it mean that the government had authority to intervene in Islamic
matters in order to force Muslim citizens to fulfill their religious obligations, or was
it just a moral guide? This ambiguity seems to have been precisely what was
intended by the Islamic group, which did not have the dominant political hegemony
over other factions to achieve an Islamic state. As the meaning of "the seven
words" would be defined according to the strength of Islamic power in national
politics, the Islamic group could expect much in the future when it would be able to
dominate other religious and political groups. In this sense, "the seven words"
constituted a compromise which satisfied the Islamic group.
Source: Hyung-Jun Kim, “The Changing Interpretation of Religious Freedom in
Indonesia.” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 29, No. 2 (Sep., 1998), pp. 357-373
Pasal 29 UUD 1945
• Article 29 in the Constitution contained several germs of controversy, waiting
to be developed in the future.
• First, it did not define clearly the relation between state and religion. The omission of
"the seven words" made it possible to assume that compulsory measures to force
Indonesian Muslims to practise Islamic law were not permitted by the Constitution as
long as citizens expressed their Belief in One God. However, it did not clarify how far the
government could interfere in the religious life of citizens, which could be interpreted to
mean either that all citizens ha total freedom to decide their own religious affairs, or else
that the government, as an organization based on Belief in One God, could play the role
of regulator in religious matters.
• Second, this stipulation did not specify what kind of deity belonged to the category of
"One God". It did not provide any criteria for deciding whether a certain religion is
based on Belief in One God or which authority would make such decision.
• Third, it did not state anything about freedom to spread one's own religious conviction
to others. With these ambiguities, Article 29 in the 1945 Constitution became something
requiring clarification rather than something that provided clarification of religious
issues. Therefore, it opened the door to political compromise or confrontation between
different groups with their own ideas of religious freedom.
Source: Hyung-Jun Kim, “The Changing Interpretation of Religious Freedom in Indonesia.”
Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 29, No. 2 (Sep., 1998), pp. 357-373
Kutipan Pendapat MK
• Awal 2016, sekelompok akademisi dan agamawan yang tergabung dalam “Aliansi Cinta Keluarga Indonesia”
(ALIA) mengajukan petisi Ke MA untuk membatalkan tiga pasal dalam KUHP terkait dengan seks di luar nikah
(Jakarta Post, August 30, 2016).
• Argumen ALIA: Hukum warisan Belanda yang terkait dengan seks di luar nikah dalam KUHP tidak memiliki
tempat dalam negara beragama yang berdasarkan Pancasila.
• Pandangan Anggota MK:
• Patrialis Akbar mengatakan: “Our freedom is limited by moralistic values as well as religious values. This what the
declaration of human rights doesn’t have. It is totally different [from our concept of human rights] because we are not
secular country; this country acknowledge religion” (cited in Suryakusuma, Jakarta Post September 7, 2016).
• Arief Hidayat (Ketua MK): “International universal values…had no standing in his court because they were derived from an
understanding of the state as separate from religion”
• Petisi ALIA ditolak MK pada desember 2017. Lima (5) Hakim menolak petisi berdasarkan alasan bahwa “MK
hanya dapat memeriksa Hukum, tidak membuat hukum.” Empat hakim yang lain, termasuk Ketua MK,
mengajukan dissenting, beralasan bahwa: karena Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, dan karena sila yang pertama dan tertinggi (sic!) adalah Ketuhanan yang Maha Esa, maka hukum
tidak boleh bertentangan nilai-nilai, norma-norma dan hukum Tuhan (Mahkamah Konstitusi 2017: 454)
Pendapat Hakim MK:
• Empat hakim yang mengajukan dissenting juga mendasarkan
pendapatnya dengan sebuah interpretasi baru atas Pasal 28J UUD
1945 dengan mengatakan bahwa jati diri Konstitusi Indonesia adalah
Konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution),sehingga
“manakalah terdapat norma UU yang mereduksi, mempersempit,
melampaui batas, dan/atau justru bertentangan dengan nilai agama,
maka norma UU itulah yang harus disesuaikan agar tidak
bertentangan dengan nilai agama dan ajaran ketuhanan” (Mahkamah
Konstitusi keputusan normer 46/PUU-XIV/2016)
UUD 1945 Pasal 28 J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Mengapa Statemen “dissenting” hakim MK
itu problematik?
• Jika Konstitusi Indonesia bertentangan dengan norma HAM Universal, dan
merupakan “Divine Law,” apakah dengan demikian berarti bahwa semua
hukum terbuka untuk ditentang dengan alasan bahwa hukum atau aturan-
aturan itu tidak mencerminkan sensibilitas keagamaan?
• Sebagaimana semua proposisi yang menyederhanakan dan generalis
mengenai hubungan agama dan Pancasila, pendapat “dissenting” para hakim
MK berada dalam level yang sama dengan pendapat yang baru baru ini
misalnya dilontarkan oleh Ketua BPIP, Yudian Wahyudi, tentang Agama dan
Pancasila. Penting juga dicatat bahwa inti pokok dari pandangan Ketua BPIP
tidak sedang mempertentangkan Agama dan Pancasila. Tetapi kita dapat
melihat problematik serius dari cara bagaimana penggunaan idea besar dan
sarat makna ini…
Apakah Negara Harus Mencampuri Kepercayaan Metafisika Warga Negara?

“Sekiranya ada seorang Indonesia berkata: “Saya tidak percaya bahwa


benda ada, saya kira hanya jiwa yang ada”. Dapatkah dia merupakan
seorang Indonesia yang baik sebagaimana juga seorang lain yang
mempunyai kepercayaan, bahwa bendalah yang merupakan realitas
akhir? Apakah pengaruh daripada konsepsi metafisika realitas akhir itu
atas tingkah laku politik?” (Hook, 1976: 78).
Source: Sidney Hook, 1976. “Ideologi Nasional” dalam Percakapan
dengan Sidney Hook. Jakarta: Djambatan
Masyarakat Sipil dan Problem Faksi
• Problem Faksi: James Madison (Federalist Paper #10): problem faksi, removing the cause vs controlling the effects; how to remove the causes?
Destroying liberty and creating a society homogenous in opinion and interests
• Teori-teori Multikulturalisme (Liberalisme)
• Pendekatan “politik universal,” melalui dua cara:
• pemberlakuan “persamaan politik formal” (formal poltical equality)- universal suffrage
• pemberlakua “persamaan kesempatan” (equality of opportunity)—
• Pendekatan “politik perbedaan” (the politics of difference)-->setiap orang dihargai sama tetapi juga memiliki identitas yang berbedasetiap
keunikan perlu mendapatkan pengakuan (recognition) yang sama—Rekognisi berarti penerimaan atas identitas diri individu yang sadar terhadap
identitas diri individu yang sadar lainnya, dan tuntutan akan martabat mendorong pentingnya “politik tentang pengakuan yang setara”
• Apa yang menonjol dari pendekatan multikulturalisme (Liberalisme)?
• Menekankan Netralitas negara
• identitas (jati diri, kepribadian) sosial disamakan dengan identitas kebudayaan, dan identitas dipahami sebagai statis dan tidak berubah.
Kritik terhadap Pendekatan
Liberal/Multikulturalisme
• Identitas ditentukan oleh interaksi dengan orang orang lain, dan tidak terbentuk
atau terjadi dalam isolasi. Keberadaan tidak dipahami sebagai kehadiran (being as
presence) dan objektifitas bukan digambarkan sebagai sesuatu yang ada dalam
dirinya sendiri (being inherent in themselves), tetapi sebagai konstruksi sosial,
dan objektifitas sosial selalu dibentuk melalui tindakan kekuasaan (acts of power)
• Teori rekognisi mengandung kelemahan serius karena tidak memiliki analisis
kekuasaan (analysis of power), sementara identitas selalu dikonstruksi melalui
hubungan hubungan kekuasaan (relations of power). Problem identitas bukan
hanya problem rekognisi tetapi juga problem tentang kekuasaan: sekelompok
orang, melalui sistem dan struktur kekuasaan, mempertahankan hak-hak
istimewanya (privilege) atas kelompok/bangsa lain.
• Pendekatan liberal/multikultural gagal menjawab persoalan identitas yang terkait
dengan HIRARKI SOSIAL YANG TIDAK ADIL!
Komitmen Etis dan Pemihakan dalam Implementasi Pancasila

• Mendorong Tranformasi Sosial menuju Keadilan Sosial?


• Mengatasi Struktur Ketidakadilan:
• Relasi Subordinasi
• Relasi Opresi (Penindasan)
Agama
Pancasila
sebagai
Orientasi Filsafat Sosial/Ideologi
Perkembangan
Ilmu
Politik
Pengetahuan?
Teknologi
Hubungan
Nilai-Nilai, Prinsip-Prinsip, Kebijakan,
Aturan/Hukum
Principles, Policies, and Rules
• Prinsip (principles) adalah Standard yang harus dipatuhi, bukan karena
standard ini akan menyebabkan perbaikan situasi sosial, politik atau ekonomi
yang diinginkan tetapi karena merupakan kebutuhan rasa keadilan atau
kepatutat (fairness) atau karena dimensi moral yang lain
• Kebijakan (policies) adalah sejenis standard yang menentukan suatu tujuan
yang yang akan dicapai, umumnya sebagai peningkatan keadaan sosial,
ekonomi dan politik sebuah masyarakat (meskipun sejumlah tujuan berorientasi
negatif misalnya kebijakan untuk melindungi diri dari perubahan yang tidak
diinginkan
• standard bahwa kecelakaan lalu lintas harus diturunkan merupakan sebuah kebijakan,
tetapi standard bahwa tidak seorangpun boleh mengambil keuntungan dengan cara yang
salah atau melalui tindakan yang salah adalah prinsip (no man may profit by his own wrong)
• Dalam situasi bencana, misalnya, “save the greatest numbers numbers” (SGN) atau Save All
who can be save (SALL) merupakan dua pilihan prinsip,
• antara efisiensi dan equality: A maxim “treat those who will benefit most from treatment
and live longest as a result” (dalam situasi bencana keterbatasan ventilator misalnya) atau
Egalitarian Model: “those who are dangerously wounded must be tended first, entirely
without regard to rank or distinction” (D.J. Larrey, Napoleon’s Surgeon General)

Source:
-R. Dworkin, R. 1977. Taking Rights Seriously. Harvard University Press: Cambridge.
-N. Zack, 2009. Ethics for Disaster. Rowman & Littlefield Publishers, Inc: Maryland.
Rules/Aturan/Hukum
• Rules berlaku dengan cara ya atau tidak sama sekali (“all-or-nothing
fashion”): i.e. imagine a game of basketball rule. A rule of law, like the rule
that a will is invalid unless signed by three witnesses, fit the model well.
• Contoh prinsip berbeda: Principle, no man may profit from his own
wrong, it does not mean that ”the law never permits a man to profit from
wrongs he commits”. Example (notorious): “If I trespass on your land long
enough, some day I will gain a right to cross your land whenever I
please…”
• Rules maybe binding: a). because it is accepted b). because it is valid-
rules of recognition
Source: Dworkin, R. 1977. Taking Rights Seriously. Harvard University Press:
Cambridge.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai