KEBIJAKAN LEGISLASI
DAN LANDASAN
MORAL PANCASILA
Agus Wahyudi, Ph.D.
Pusat Studi Pancasila UGM
Pancasila sebagai Ideologi Persatuan
membentuk
Thoyibatun Wa Robbun Ghofur/Well-Ordered Society?
• Visi dan Misi Pembukaan UUD 1945
• Hal yang mungkin kongkrit: Memastikan setiap warga negara aman dan terlindungi;
Negara tidak ada orang Indonesia yang kelaparan atau tidak bisa makan, udara bersih dan
tidak polutif, lalu lintas lancar dan tertib, infrastruktur kesehatan dan pendidikan
bagus dan tersedia merata bagi semua rakyat; martabat dan kehormatan setiap
Merdeka dan warga negara terjaga dan terlindungi, kaum rentan dan kelompok marjinal
(agama/kepercayaan minoritas, orientasi seksual minoritas, lansia, ibu melahirkan
dan anak anak, kelompok difabel dst) terpenuhi hak-haknya, lingkungan hidup yang
Menentang bersih, dan sustainable, hubungan internasional yang setara dan saling
menguntungkan, dan para tamu, orang asing yang datang ke negeri kita merasa
betah, aman dan terlindungi dst…
Kolonialisme
Pancasila Setelah Orde Baru Suharto
(setelah 1998):
• Pengakuan terhadap pemisahan antara
Negara dan Masyarakat Sipil (Civil Society)
Perbedaan dan hak Hak “Privacy” Warga Negara?
• Penerimaan gagasan tentang “limited
Konteks government”: mencegah atau mengurangi
Pengamalan kekuasaan yang sewenang-wenang
(gagasan trias politika dan keseimbangan
Pancasila dan pengawasan kekuasaan diakui),
melalui penataan kembali institusi politik,
dan penguatan karakter?
• Memastikan kelompok minoritas
dilindungi dan dihormati
Ranah Implementasi Pancasila: Empat (Empat) model Pengelompokkan (collective identification)
Manusia (Wilayah Privat, Masyarakat Sipil, Negara, Hubungan Antar Bangsa/Internasional
Organisasi Negara atau
Masyarakat Sipil
Terkecil Hubungan Antar Bangsa
Keluarga
atau
hubungan
dekat
Comparison of the Jakarta Charter with the Pancasila proposed by Sukarno shows
three differences which demonstrate that it was the product of compromise.
• First, the order of five principles was reversed, so that Belief in God, which was ranked
fifth in Sukarno's scheme, came first.
• Second, the equal treatment of the five principles in Sukarno's speech was not retained,
and Belief in God was given a higher place than the other four by making the latter
modify the former.
• Third and most importantly, a phrase was added concerning the "obligation of Muslims
to practise Islamic law".
Source: Hyung-Jun Kim, “The Changing Interpretation of Religious Freedom in
Indonesia.” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 29, No. 2 (Sep., 1998), pp.
357-373
Pancasila dan Piagam Jakarta
• Despite their literal clarity, it was not obvious what "the seven words" might mean
in managing the state where not all Muslim citizens carried out Islamic law to the
same degree. Did it mean that the government had authority to intervene in Islamic
matters in order to force Muslim citizens to fulfill their religious obligations, or was
it just a moral guide? This ambiguity seems to have been precisely what was
intended by the Islamic group, which did not have the dominant political hegemony
over other factions to achieve an Islamic state. As the meaning of "the seven
words" would be defined according to the strength of Islamic power in national
politics, the Islamic group could expect much in the future when it would be able to
dominate other religious and political groups. In this sense, "the seven words"
constituted a compromise which satisfied the Islamic group.
Source: Hyung-Jun Kim, “The Changing Interpretation of Religious Freedom in
Indonesia.” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 29, No. 2 (Sep., 1998), pp. 357-373
Pasal 29 UUD 1945
• Article 29 in the Constitution contained several germs of controversy, waiting
to be developed in the future.
• First, it did not define clearly the relation between state and religion. The omission of
"the seven words" made it possible to assume that compulsory measures to force
Indonesian Muslims to practise Islamic law were not permitted by the Constitution as
long as citizens expressed their Belief in One God. However, it did not clarify how far the
government could interfere in the religious life of citizens, which could be interpreted to
mean either that all citizens ha total freedom to decide their own religious affairs, or else
that the government, as an organization based on Belief in One God, could play the role
of regulator in religious matters.
• Second, this stipulation did not specify what kind of deity belonged to the category of
"One God". It did not provide any criteria for deciding whether a certain religion is
based on Belief in One God or which authority would make such decision.
• Third, it did not state anything about freedom to spread one's own religious conviction
to others. With these ambiguities, Article 29 in the 1945 Constitution became something
requiring clarification rather than something that provided clarification of religious
issues. Therefore, it opened the door to political compromise or confrontation between
different groups with their own ideas of religious freedom.
Source: Hyung-Jun Kim, “The Changing Interpretation of Religious Freedom in Indonesia.”
Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 29, No. 2 (Sep., 1998), pp. 357-373
Kutipan Pendapat MK
• Awal 2016, sekelompok akademisi dan agamawan yang tergabung dalam “Aliansi Cinta Keluarga Indonesia”
(ALIA) mengajukan petisi Ke MA untuk membatalkan tiga pasal dalam KUHP terkait dengan seks di luar nikah
(Jakarta Post, August 30, 2016).
• Argumen ALIA: Hukum warisan Belanda yang terkait dengan seks di luar nikah dalam KUHP tidak memiliki
tempat dalam negara beragama yang berdasarkan Pancasila.
• Pandangan Anggota MK:
• Patrialis Akbar mengatakan: “Our freedom is limited by moralistic values as well as religious values. This what the
declaration of human rights doesn’t have. It is totally different [from our concept of human rights] because we are not
secular country; this country acknowledge religion” (cited in Suryakusuma, Jakarta Post September 7, 2016).
• Arief Hidayat (Ketua MK): “International universal values…had no standing in his court because they were derived from an
understanding of the state as separate from religion”
• Petisi ALIA ditolak MK pada desember 2017. Lima (5) Hakim menolak petisi berdasarkan alasan bahwa “MK
hanya dapat memeriksa Hukum, tidak membuat hukum.” Empat hakim yang lain, termasuk Ketua MK,
mengajukan dissenting, beralasan bahwa: karena Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, dan karena sila yang pertama dan tertinggi (sic!) adalah Ketuhanan yang Maha Esa, maka hukum
tidak boleh bertentangan nilai-nilai, norma-norma dan hukum Tuhan (Mahkamah Konstitusi 2017: 454)
Pendapat Hakim MK:
• Empat hakim yang mengajukan dissenting juga mendasarkan
pendapatnya dengan sebuah interpretasi baru atas Pasal 28J UUD
1945 dengan mengatakan bahwa jati diri Konstitusi Indonesia adalah
Konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution),sehingga
“manakalah terdapat norma UU yang mereduksi, mempersempit,
melampaui batas, dan/atau justru bertentangan dengan nilai agama,
maka norma UU itulah yang harus disesuaikan agar tidak
bertentangan dengan nilai agama dan ajaran ketuhanan” (Mahkamah
Konstitusi keputusan normer 46/PUU-XIV/2016)
UUD 1945 Pasal 28 J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Mengapa Statemen “dissenting” hakim MK
itu problematik?
• Jika Konstitusi Indonesia bertentangan dengan norma HAM Universal, dan
merupakan “Divine Law,” apakah dengan demikian berarti bahwa semua
hukum terbuka untuk ditentang dengan alasan bahwa hukum atau aturan-
aturan itu tidak mencerminkan sensibilitas keagamaan?
• Sebagaimana semua proposisi yang menyederhanakan dan generalis
mengenai hubungan agama dan Pancasila, pendapat “dissenting” para hakim
MK berada dalam level yang sama dengan pendapat yang baru baru ini
misalnya dilontarkan oleh Ketua BPIP, Yudian Wahyudi, tentang Agama dan
Pancasila. Penting juga dicatat bahwa inti pokok dari pandangan Ketua BPIP
tidak sedang mempertentangkan Agama dan Pancasila. Tetapi kita dapat
melihat problematik serius dari cara bagaimana penggunaan idea besar dan
sarat makna ini…
Apakah Negara Harus Mencampuri Kepercayaan Metafisika Warga Negara?
Source:
-R. Dworkin, R. 1977. Taking Rights Seriously. Harvard University Press: Cambridge.
-N. Zack, 2009. Ethics for Disaster. Rowman & Littlefield Publishers, Inc: Maryland.
Rules/Aturan/Hukum
• Rules berlaku dengan cara ya atau tidak sama sekali (“all-or-nothing
fashion”): i.e. imagine a game of basketball rule. A rule of law, like the rule
that a will is invalid unless signed by three witnesses, fit the model well.
• Contoh prinsip berbeda: Principle, no man may profit from his own
wrong, it does not mean that ”the law never permits a man to profit from
wrongs he commits”. Example (notorious): “If I trespass on your land long
enough, some day I will gain a right to cross your land whenever I
please…”
• Rules maybe binding: a). because it is accepted b). because it is valid-
rules of recognition
Source: Dworkin, R. 1977. Taking Rights Seriously. Harvard University Press:
Cambridge.
Terimakasih