Anda di halaman 1dari 50

Program pengendalian

penyakit yang ditularkan


melalui udara dan tanah
dr. Juwita Sahputri, MKT
Bagian Mikrobiologi FK Unimal
Pendahuluan
Transmisi penyakit dapat Penyakit yang ditransmisikan
terjadi dengan berbagai melalui udara adalah kondisi
cara, salah satunya yang umum ditemukan di
adalah melalui udara dan mana saja dan dapat
tanah menyerang siapa pun.

Penularan lebih mudah Tempat dengan sistem


terjadi di tempat-tempat sanitasi serta kebersihan
yang dipenuhi kerumunan, yang kurang terjaga juga
seperti sekolah, rumah menjadi sarana mudah
Tuberkulosis
1. Indonesia merupakan salah satu dari 5 negara dengan jumlah kasus TB terbesar didunia
2. Menurut data WHO tahun 2019, jumlah kasus TB di dunia sebesar 56% berada di 5 negara (India,
China, Indonesia, Filiphina, dan Pakistan)
3. Hasil studi inventori TB tahun 2017 → insiden TB di INA adalah 319 per 100.000 penduduk atau
setara sekitar 842.000 kasus
4. Sejarah program pengendalian TB di Indonesia

Tahun 1995 • Indonesia mengadopsi DOTS sebagai strategi Nasional penanggulangan TB


Ekspansi DOTS bertahap ke seluruh Puskesmas di Indonesia
Tahun1995-1999 ●
Tahun 1999 DOTS dilaksanakan secara menyeluruh di Unit pelayanan Kesehatan

Tahun 2000-2005 • Intensifikasi strategi DOTS dengan peningkatan Kualitas

• Implementasi Inovasi strategi DOTS (berhasil mencapai target global deteksi dini dan kesembuhan)
Tahun 2006-2010 • Tantangan baru : peningkatan resistensi obat, koinfeksi TB-HIV dll
DOTS
WHO strategi DOTS (directly observed treatment short
course) dalam penanggulangan TB di negara kita

Strategi DOTS :
1. Komitmen Politik yang kuat
2. Diagnosa dengan pemeriksaan mikroskop terhadap dahak
penderita.
3. Jaminan ketersediaan OAT
4. Pengawasan menelan obat (oleh PMO) secara langsung.
5. Sistem pemantauan untuk supervisi dan evaluasi program
yang baik (melalui sistem pencatatan dan pelaporan)
Prioritas masalah tuberkulosis di Indonesia :

Orang yang terdiagnosis Tuberkulosis tetapi tidak memulai pengobatan


Kurangnya pengetahuan tentang Tuberkulosis

Merasa sakitnya tidak serius

Orang dengan gejala Tuberkulosis yang tidak mencari pengobatan


Kurangnya pengetahuan tentang Tuberkulosis

Merasa sakitnya tidak serius

Orang dengan Tuberkulosis yang datang ke fasilitas kesehatan tetapi tidak didiagnosis


Skrining hanya berdasarkan gejala dan BTA pada pemeriksaan sputum

Survey prevalensi TB 2013-2014 → Pemeriksaan Radiologis paru mendeteksi 181 kasus baru tanpa gejala
Lanjutan
Orang yang terdiagnosis Tuberkulosis dan diobati oleh pemberi layanan yang kesehatan
tetapi tidak dilaporkan pada program


Tidak tersedianya Dokumentasi data di layanan kesehatan

Belum semua layanan kesehatan menyediakan layanan DOTS

Tidak ada pemantauan kelengkapan dokumentasi pasien →Tidak ada sistem rutin yang memvalidasi jumlah fasilitas kesehatan yang melapor

Orang dengan pengobatan Tuberkulosis yang terlaporkan tetapi tidak sembuh atau tidak
menyelesaikan pengobatannya


Menghentikan pengobatan sebelum dinyatakan sembuh → merasa sudah sembuh/ tidak ada gejala lagi

Orang yang terinfeksi Tuberkulosis atau berisiko tinggi menjadi sakit Tuberkulosis / kambuh
Penanggulangan berdasarkan Perpres RI nomor 67 tahun 2021 (tentang
penanggulangan Tuberkulosis)

Terget dan Strategi nasional eliminasi Pelaksanaan Strategi Nasional Eliminasi


TB TB

Tanggung jawab pemerintah Pusat dan Koordinasi Percepatan Penanggulangan


Target Eliminasi TB

Upaya penanggulangan tuberkulosis di Indonesia


Komitmen Indonesia → menurunkan
tahun 2020-2024 → mempercepat Indonesia
insidensi kasus tuberkulosis menjadi 65 per mencapai eliminasi tuberkulosis tahun 2030, serta
100.000 penduduk pada tahun 2030. mengakhiri epidemi tuberkulosis di tahun 2050

6 per 100.000 penduduk


Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020-2024

Strategi 1. Penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota
untuk mendukung percepatan eliminasi tuberkulosis 2030


Kebijakan dan regulasi penanggulangan Tuberkulosis secara komprehensif (Contoh : mengembangkan peraturan asuransi kesehatan untuk penderita TB, Kebijakan pembiayaan kesehatan dengan
BPJS serta pembiayaan skrining Ro thoraks untuk diagnosis dapat dilakukan di puskesmas)

Pemenuhan SDM kesehatan yang terlatih, penyelenggaraan penanggulangan TB berbasis kewilayahan

Strategi 2. Peningkatan akses layanan tuberkulosis bermutu dan berpihak pada pasien


Skrining dan deteksi dini pada kelompok beresiko (lapas, pengungsian, asrama, penduduk daerah kumuh dan miskin dll)

Pemenuhan dan penjaminan mutu obat serta dukungan kepatuhan minum obat dan manajemen efek samping obat

Pelaksanan sistem rujukan pasien TB mengikuti layanan TB yang ditentukan pemerintah

Penyediaan senatorium (fasilitas untuk program layanan kuratif, rehabilittatif dan sosial dalam jangka waktu tertentu)

Strategi 3. Optimalisasi upaya promosi dan pencegahan, pemberian pengobatan pencegahan


tuberkulosis serta pengendalian infeksi


Peningkatan kapasitas petugas dalam penyuluhan, pengendalian resiko, pemberian pengobatan pencegahan TB, memperluas cakupan layanan ILTB (infeksi laten TB) kepada penghuni lapas, pengungsian, asrama, dll)

Penemuan kasus TB secara aktif dan pasif

Pemberian obat pencegahan (penderita HIV/AIDS yang terbukti tidak menderita TB, kontak erat → INH 1x sehari selama 6 bulan)

Ikut serta tokoh masyarakat
Strategi 4. Pemanfaatan hasil riset dan teknologi skrining, diagnosis, dan tatalaksana Tuberkulosis


Koordinasi dengan berbagai institusi penelitian untuk mengimplementasikan hasil riset TB

Mereview riset tuberkulosis yang layak digunakan sebagai bahan advokasi perbaikan program eliminasi TB

Fasilitasi penelitian yang mendukung penanggulangan TB, pengembangan dan inovasi alat diagnostik, obat dan vaksin → percepatan eliminasi TB

Strategi 5. Peningkatan peran serta komunitas, mitra, dan multisektor lainnya dalam eliminasi
tuberkulosis


Meningkatkan upaya komunikasi, informasi dan edukasi TB, memberdayakan masyarakat untuk pencegahan dan pengendalian TB (koordinasi pemerintah pusat dan daerah)

Kemitraan dengan masyarakat → mendukung penderita dan mencegah stigma dan diskriminasi

Strategi 6. Penguatan manajemen program melalui penguatan sistem kesehatan

• Pelatihan P2TB untuk dokter praktek mandiri


• Penguatan Surveilans TB melalui pemenfaatan teknologi informasi dan komunikasi
• Memperkuat sistem pembiayaan TB
Penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi
(Berdasarkan Peraturan Kemenkes RI nomor 12 tahun 2017 tentang
Penyelenggaran Imunisasi)
• Pekan Imunisasi Dunia ( kegiatan rutin) setiap minggu ke 4 bulan April yang diikuti oleh lebih
dari 180 negara anggota WHO dengan fokus pada tindakan yang menjamin setiap orang
terlindung dari penyakit yang bisa dicegah melalui imunisasi
• Mempertahankan Indonesia bebas polio, tercapainya eradikasi polio global, mempertahankan
eliminasi tetanus neonatorum dan Eliminasi campak serta mewujudkan terkendalinya penyakit
rubella tahun 2020.
• Pencapaian Indonesia selama 4 dasawarsa

Eradikasi varicella (1974) Eradikasi Polio (2014)


 Imunisasi adalah upaya untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit sehingga jika suatu saat terpajan penyakit → tidak sakit
atau hanya gejala ringan
 Data Riskesdas → Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap 2013 (59,2 %), tahun 2018
menurun (57,9%)
 Daerah dengan penurunan cakupan terbesar adalah : Gorontalo (19%), Aceh
(18,8%)dan Riau (17,8 %)
 Faktor yang mempengaruhi rendahnya cakupan imunisasi:
 Kurangnya supply vaksin
 Penolakan imunisasi dengan berbagai alasan
Klasifikasi Vaksin
Program pengendalian penyakit dengan Imunisasi
Imunisasi Program → diberikan sesuai jenis vaksin, jadwal atau waktu pemberian yang
ditetapkan
1. Imunisasi Rutin → dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan
a. Imunisasi Dasar (imunisasi pada bayi < 1 tahun)
b. Imunisasi Lanjutan (ulangan/ booster kepada : Anak Baduta, anak SD, Wanita
Subur)
2. Imunisasi Tambahan
a. Backlog fighting → melengkapi imunisasi dasar pada anak < 3 tahun (pada desa
yang 2 tahun berturut-turut tidak mencapai UCI/ Universal Child Imunization)
Desa UCI → desa yang ≥ 80% jumlah bayi di desa tersebut sudah di imunisasi
dalam waktu 1 tahun
b. Crash Program → program intervensi cepat untuk mencegah KLB
 Angka kematian bayi akibat penyakit PD3I Tinggi
 Kekurangan sarana, tenaga dan dana
 Desa yang selama 3 tahun berturut-turut tidak mencapai UCI
c. Pekan Imunisasi Nasional (PIN) → kegiatan imunisasi massal yang
dilaksanakan secara serentak di suatu negara dalam waktu yang singkat
(Tanpa memandang status Imunisasi sebelumnya
 Untuk memutuskan mata rantai penyebaran suatu penyakit
 Mencapai Herd Immunity
d. Catch Up Campaign (Kampanye) → Imunisasi masal secara serentak pada
sasaran kelompok umur tertentu dan wilayah tertentu (ex: imunisasi campak
pada anak sekolah dasar)
e. Sub PIN → serupa dengan PIN tapi hanya dilakukan pada wilayah terbatas
f. Imunisasi dalam Penanggulangan KLB (Outbreak Response Imunization/
ORI)
3. Imunisasi Khusus→ imunisasi meningitis pada jemaah haji/ umrah, imunisasi
rabies, dll
1. Measles/ Morbili/ Campak
 Penyakit campak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan upaya
pencegahan efektif
 Global Vaccine Action Plan (GVAP) menargetkan campak untuk dapat dieliminasi pada
tahun 2020.
 KLB campak → Minimal 5 kasus suspek campak pada 1 wil. PKM dalam periode 4
minggu berturut-turut
 Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian Imunisasi aktif dan pasif
Measles/Morbili /Campak

Pencegahan aktif

• Live attenuated vaccine


• Subkutan
• Diberikan pada anak usia 9 bulan (MR), booster usia 12-18 bulan (MR/MMR) dan usia 5-7 tahun (MR/MMR)

Imunisasi pasif

• Imunisasi Pasif. Imunisasi pasif dengan imunoglobulin manusia


• Mencegah atau mengurangi keparahan campak pada individu yang rentan jika diberikan 6 hari setelah terpapar
• Pasien immunocompromised dosis globulin harus 0,5 mL/kg (maks. 15 mL).
• Anak-anak dan remaja yang terpajan atau terinfeksi HIV harus menerima imunoglobulin dosis 0,5 mL/kg, terlepas dari status imunisasi mereka.
Vaksin Campak

Efikasi :
85% saat usia 9 bulan (jadwal
Virus hidup yang dibekukan/ live
imunisasi rutin)
attenuated vaccine
95% usia 12-18 bulan (selama
kampanye)

KIPI : demam (5-15%), rash (5), syok


Lama Kekebalan Seumur hidup anafilaktik (1/1 juta dosis), kerusakan
otak (1/1 juta dosis)
Fase Pemberantasan Campak

Reduk Elimin Eradik


si asi asi
•Kasus jarang •Kasus
•Pencegahan KLB dan Kematian karena
campak
•Meningkatkan cakupan imunisasi dosis
pertama → imunisasi rutin
dan case
Campak
•Imunisasi dosis kedua → imunisasi rutin
dan kampanye
•Meningkatkan surveilans dan monitoring
cakupan imunisasi based
Musnah
•Meningkatkan management casus
(pemberian vit. A dan antibiotik untuk
kasus komplikasi) surveilans
Poliomyelitis
Polio pernah mewabah Vaksin polio pertama kali
dengan sangat luas pada ditemukan tahun 1955
paruh pertama tahun oleh seorang peneliti
1900. Puncaknya terjadi medis dari Amerika
pascaperang tahun 1952. Serikat →Jonas Salk.

Setelah dilaksanakan PIN Polio Namun pada tanggal 13 Maret 2005


tiga tahun berturut-turut pada ditemukan kasus polio importasi pertama
di Kecamatan Cidahu Kabupaten
tahun 1995, 1996 dan 1997,
Sukabumi, Jawa Barat. Kasus polio
virus polio liar asli Indonesia tersebut berkembang menjadi KLB yang
(indigenous) sudah tidak
KLB ini tersebar di 47 kabupaten/kota Setelah dilakukan Outbreak Response
di 10 provinsi, ditemukan 46 Immunization (ORI), dua kali mop-up,
kasus Vaccine Derived Polio lima kali PIN, dan dua kali Sub-PIN, KLB
Virus (VDPV) yaitu kasus Polio yang dapat ditanggulangi sepenuhnya.
disebabkan oleh virus dari vaksin, Kasus Virus Polio Liar (VPL) terakhir
yang terjadi apabila banyak anak yang mengalami kelumpuhan ditemukan
yang tidak di imunisasi pada tanggal 20 Februari 2006 di Aceh.

Berdasarkan Permenkes No.12


WHO menyatakan tahun 2017, pemerintah
Indonesia bebas menerapkan pemberian 4 dosis
Oral Polio Vaccine (OPV) dan 1
polio sejak tahun dosis Inactivate dosis Inactivated
Polio Vaccine (IPV) ke dalam jadwal
2014 imunisasi rutin pada bayi.
OPV

Vaksin polio Mencegah


Sabin, murah dan infeksi oleh
mudah diberikan virus polio liar

Bentuk trivalen tOPV  live-attenuated


virus vaccine  diberikan
(tOPV) untuk
3 dosis secara serial,
mencegah 3 jenis memberikan kekebalan
Kontra indikasi OPV
Kontraindika
si OPV

Anak
Anak yang
yang
menggunakan terapi
menggunakan terapi
steroid
steroid jangka
jangka
panjang
panjang

Anak yang
Anak dengan
menggunakan
kemoterapi imunosupresi

23
IPV

Vaksin polio Salk Virus inaktif, 3 tipe virus polio liar

Vaksin yang disuntikkan  memunculkan Vaksin IPV  menghasilkan antibodi


imunitas yang dimediasi IgG  mencegah netralisasi yang tinggi  mencegah
viremia dan melindungi motor neuron kelumpuah
Program Eradikasi Polio (ERAPO) di Indonesia
Pemberian imunisasi polio secra rutin

Memberikan imunisasi kepada seluruh balita di Indonesia

Dilakukan 2 putaran, berselang minimal 1 bulan

Menghasilkan cakupan vaksinasi lebih dari 22 juta anak dibawah 5 tahun

PIN tahun 2005 (cakupan imunisasi 95-98,1%)

Pekan Imunisasi Nasional (PIN)



Surveilans Aktif Rumah Sakit (SARS) mingguan, bagi yang tidak melakukan SARS, dilakukan HRR (Hospital Record Review) minimal 3 bulan sekali

Pemantauan wilayah setempat (PWS) di masyarakat

Surveilans Accute Paralysis (AFP)



Upaya penanggulangan KLB penyakit polio oral paling lambat 72 jam setelah ditemukan kasus polio dengan luas daerah selektif atau analisis epidemiologi atau mempertimbangkan penyebaran virus polio liar tanpa memandang status
imunisasi

Outbreak Response Immunization (ORI)



upaya untuk menghentikan penyebaran virus polio liar dengan jangkauan daerah yang lebih luas

BIAS

Mopping up :
Kendala Pengendalian Polio

Mutasi dan OPV (vaksin umum


OPV ( virus Berpeluang yang digunakan
rekombinasi gen
yang menjadi virus dalam program
pada vaksin pemusnahan polio
dilemahkan) liar yang ganas
polio secara global)
DIFTERI
Difteri merupakan jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan
KLB/Wabah

Suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan minimal 1 Suspek


Difteri.

Perlindungan
Perlindungan optimal
optimal terhadap
terhadap difteri
difteri pada
pada masyarakat
masyarakat dapat
dapat dicapai
dicapai dengan
dengan cakupan
cakupan imunisasi
imunisasi rutin,
rutin, baik
baik dasar
dasar
maupun
maupun lanjutan,
lanjutan, yang
yang tinggi
tinggi dan
dan merata.
merata. Cakupan
Cakupan harus
harus mencapai
mencapai minimal
minimal 95%,
95%, merata
merata di
di setiap
setiap
kabupaten/kota
STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KLB DIFTERI

Penguatan imunisasi rutin Difteri sesuai Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus
dengan program imunisasi nasional. Difteri.

Semua kasus Difteri harus dilakukan Semua kasus Difteri dirujuk ke Rumah Sakit
penyelidikan epidemiologi. dan dirawat di ruang isolasi.
Langkah Penanggulangan Difteri

Setiap suspek Difteri → penyelidikan epidemiologi (PE) Rrujukan segera kasus Difteri ke Rumah Sakit untuk
dan mencari kasus tambahan dan kontak mendapatkan pengobatan dan perawatan

Outbreak Response Immunization (ORI) sesegera


mungkin di lokasi yang terjadi KLB Difteri sebanyak tiga
Pemberian profilaksis pada kontak dan karier
putaran dengan interval waktu 0-1-6 bulan tanpa
memandang status imunisasi
Imunisasi
• Penyakit Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi Lengkap, dengan jadwal pemberian sesuai usia.
• Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit

Difteri ada 3 macam, yaitu:


1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan Meningitis serta
Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri). Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:
a. Imunisasi dasar: Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval 1 bulan.
b. Imunisasi Lanjutan:
• Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
• Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah
(BIAS).
• Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS).
• Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td
Vaksin Difteri

DTa Tdap
P
DTP DT dan Td
Tdap (Tetanus, difteri, dan aselular
•Mengandung sel bakteri

•Vaksin DTaP (toksoid difteri (D), •Vaksin DT (toksoid difteri pertusis) sedangkan (Tetanus dan difteri)
toksoid tetanus (T), dan antigen pertusis utuh dengan diberikan setelah anak mendapatkan

bakteri pertusis (aP). (D) dan tetanus (T) ) serangkaian vaksinasi DTaP atau DT awal
ribuan antigen →
•Vaksin DTaP mengandung •Khusus untuk anak yang secara lengkap (lalu diulangi lagi setiap 10

bagian dari bakteri pertusis yang


menimbulkan reaksi tahun sebagai penguat atau booster)
memiliki reaksi alergi vaksin Tdap dan Td juga diberikan untuk

tidak utuh, atau sedikit antigen demam, merah, bengkak, orang dewasa yang belum pernah
yang dibutuhkan saja → minim dan nyeri pada bekas terhadap vaksin pertusis. mendapatkan vaksin difteri ketika usia
efek samping suntikan. •Pengganti vaksin DTaP anak-anak, petugas medis di rumah sakit,
dan wanita hamil.

Anak berusia 2 bulan hingga 7 tahun, yang diberikan secara bertahap.


Tahap pertama dimulai ketika anak berusia 2 bulan, lalu 3 bulan, 4 bulan, selanjutnya pada usia 1 tahun
dan kemudian 5 tahun.
Tujuan Umum

Meningkatkan cakupan program pada anak usia Sekolah Dasar/MI dan


anak usia dini sehingga menurunkan angka kecacingan dan tidak
menjadi masalah kesehatan di Masyarakat.

Tujuan Khusus

a. Meningkatkan cakupan program pengendalian kecacingan minimal 75%


sasaran anak SD/MI dan pra sekolah di semua daerah endemis pada
tahun 2020
b. Meningkatkan kemitraan dalam pengendalian cacingan di masyarakat
dengan seluruh pemangku kebijakan, lintas sektor, pengusaha, organisasi
masyarakat.
Sasaran

Sasaran

Anak Usia Dini (1-6


Anak Usia Sekolah (7-
tahun)  di
12 tahun)  di SD/MI
Posyandu,PAUD
Panduan Program Pengendalian Kecacingan (WHO)
Masyarakat Berisiko
Angka Prevalensi Dasar

Angka Prevalensi < 20% Angka Prevalensi 20 – <50% Angka Prevalensi > 50%
Pengobatan Selektif Pengobatan Masal 1 x pertahun Pengobatan Masal 2 x per tahun

Pemberian Pengobatan Masal Pemberian Pengobatan Masal

Evaluasi angka prevalensi setelah dilakukan


pengobatan massal selama 5-6 tahun
Dasar Pengendalian

Pemberian obat cacing Pendidikan kesehatan untuk


mencegah infeksi ulang, dan
secara berkala untuk
peningkatan sanitasi untuk
menghilangkan cacing mengurangi kontaminasi
yang menginfeksi, tanah dengan telur infektif

Obat-obatan yang
aman dan efektif
tersedia untuk
Kegiatan

Promosi kesehatan


Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang tanda dan gejala Cacingan serta
cara penularan dan pencegahannya;

Surveilans Cacingan


Penemuan kasus Cacingan (aktif : melalui pendekatan dengan masyarakat/ keluarga serta penjaringan disekolah; pasif: laporan dari
masyarakat)

Survei faktor risiko (kuesioner untuk anak sekolah)

Survei prevalensi Cacingan (pemeriksaan tinja anak sekolah)
Pengendalian faktor risiko


Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

Penanganan Penderita


Pengobatan di fasilitas kesehatan

POPM (Pemberian Obat Pencegahan Masal Cacingan


dilaksanakan dua kali dalam 1 (satu) tahun untuk daerah kabupaten/kota dengan prevalensi tinggi dan satu kali dalam 1 (satu) tahun untuk daerah kabupaten/kota dengan prevalensi sedang

diikuti dengan penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat

Obat harus diminum di depan petugas dan tidak boleh dibawa pulang.
Upaya Integrasi Pemberian Obat Cacing

Integrasi pemberian obat cacing pada anak usia dini


dengan pemberian Vitamin A

Integrasi pemberian obat cacing pada anak usia


sekolah dengan kegiatan penjaringan anak sekolah di
SD/MI
Integrasi kegiatan POMP filariasis yang juga mencakup
pemberian obat cacing pada anak sekolah dan pra
sekolah

Integrasi dengan distribusi kelambu di daerah


endemis malaria
STRATEGI PEMBERIAN OBAT CACING
Daerah Endemis Filariasis Daerah non endemis filariasis
TARGET
Prev: 20%-<50% Prev: ≥50% Prev: 20%-<50% Prev: ≥50%

1x setahun 2x setahun 1x setahun 2x setahun


Anak usia dini
(POMP filariasis) (POMP filariasis + 1x stlh 6 bln) (vit A) (vit A)

1x setahun 2x setahun 1x setahun 2x setahun


Anak usia sekolah
(POMP filariasis) (POMP filariasis + 1x stlh 6 bln) (di sekolah) (di sekolah)
Jenis Obat, Frekuensi, Dosis Pemberian Massal Obat Cacing

 Obat yang digunakan : Albendazole dosis tunggal


 Frekuensi pemberian obat :
• Prevalensi ≥ 20% - 50% : 1 kali/tahun
• Prevalensi ≥ 50% : 2 kali/tahun
 Dosis albendazole:
• Anak usia 1 - 2 tahun : ½ tab (200 mg)
• Anak usia ≥ 2 tahun : 1 tablet (400 mg)
BAGAIMAN
MENGHILANGKAN
CACINGAN
Pencegahan Cacingan

1. Kebersihan Perorangan
Cuci tangan pakai sabun pada 5 waktu penting (setelah
BAB, membersihkan anak yang BAB, sebelum menyiapkan
makanan, sebelum makan, setelah memegang/menyentuh
hewan), menggunakan air bersih, mandi, memotong dan
membersihkan kuku, memakai alas kaki, mentup makanan

2.Kebersihan Lingkungan
Buang air besar di jamban, membuang sampah pada
tempatnya, drainase air limbah, menjaga kebersihan rumah,
sekolah.
Keuntungan Minum Obat
Cacing
Keuntungan Program Pengobatan Cacingan

 Menurunkan angka tidak masuk sekolah sampai 25%¹


 Menurunkan kurang gizi dalam bentuk wasting sampai 60%²
 Menurunkan Anemia sedang sampai 59%²
 Meningkatkan pertumbuhan (20% berat badan and 7% tinggi badan)³
 Keuntungan dari masa anak bebas cacing tambang adalah meningkatkan
45% penghasilan di masa dewasa4
 Meningkatkan pendapatan per kapita sampai 45%4

(1) US Annual Report 2003, (2) Stoltzfus 2004, (3) Stoltzfus 1997, (4) Bleakley 2003
Manfaat Program Pengendalian Kecacingan

● Sumber Daya Manusia yang berkualitas – produktif ; jangka pendek dan jangka
panjang
● Menurunkan prevalensi kecacingan, melalui pengobatan, untuk mencegah dampak
kecacingan (Persistent Malnourish  Stunting)

Anda mungkin juga menyukai