Anda di halaman 1dari 11

Nadiya Rahma A

XII Mipa 1
FIQIH
BAB II
SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUTTAFĂQ
(DISEPAKATI) DAN MUKHTĂLĂF (TIDAK
DISEPAKATI)
PE TA K O N S E P:
A. SUMBER HUKUM YANG MUTTAFAQ
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah lafal berbahasa arab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, melalui perantara malaikat
Jibril yang sampai kepada kita secara Mutawatir dan yang membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an merupakan
wahyu yang tampak (Iwahyu azzahir), yaitu pesan Allah kepada Nabi SAW, yang disampaikan oleh Malaikat Jibril
dengan kata-kata yang sepenuhnya dari Allah.

Al-Qur’an tidak diturunkan secara langsung dalam wujud tiga puluh juz seperti sekarang biasa kita lihat dalam bentuk
sebuah kitab (buku). Ia diturunkan secara berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah SAW. Kenapa
demikian ?, Pertama, tasbit al-fuad, memantapkan hati berupa ketenangan dan kepuasan dalam menerima dan
menjalankan isi Al-Qur’an baik bagi Nabi maupun umatnya. Kedua, tartil, yaitu membaca dengan baik secara
keseluruhan sehingga keasliannya dapat terjamin. Oleh hal itu diturunkan Al-Qur’an secara sedikit demi sedikit dan
bertahap. Seandainya Al-Qur’an diturunkan sekaligus, niscaya umat Islam sulit untuk menghafalnya.

Dengan melihat Al-Qur’an kita bisa mengetahui apa yang semestinya kita lakukan. Kita tau mana yang baik dan buruk,
mana yang halal dan haram, mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang. Itulah fungsi Al-Qur’an sebagai
pembeda (furqan).
Dilihat dari kejelasan maknanya, ayat Al-Qur’an terbagi manjadi dua, yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat.
a. Ayat Muhkamat, artinya ayat yang jelas maknanya. Kita tidak ragu lagi ketika memahaminya. Dan juga terhindar
dari kemunculan beberapa pendapat dalam memaknainya. Contohnya perintah shalat dan puasa.
b. Ayat Mutasyabbihat, artinya ayat yang tidak pasti arti dan maknanya sehingga dapat dipahami dengan beberapa
kemungkinan. Ayat Mutasyabihat sifatnya zanniyah ad=dalalah (dalil yang hukumnya bersifat dugaan/tidak pasti.
Misalnya kata quru’ yang dapat berarti suci dapat berarti pula haid

Al-Qur’an sebagai pedoman dalam menetapkan hukum,


Dalam menetapkan hukum, aturan-aturan yang tercantum dalam Al-Qur’an selalu sesuaidengan perkembangan jasmani
maupun rohani.
Dalam penetapan hukum Al-Qur’an berpedoman pada tiga hal, yaitu :
1. Tidak memberatkan atau menyulitkan, sebagaimana firman Allah Swt.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan)
yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya… (Q.S. Al-Baqarah/2:286)

2. Mengurangi beban ‫تكليف‬


( ‫لةاــ‬
‫) ق ـ ل‬.
3. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum ‫)) لاــتدرـج‬
2. Al - hadist
Al-Qur’an adalah wahyu yang tampak, sedangkan Sunah adalah wahyu internal wahyu batin). Wahyu internal
disampaikan Allah kepada Nabi SAW.
Dengan demikian segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pengakuan
Nabi terhadap suatu peristiwa dapat dikatakan sunah.
A. Macam – macam As-Sunnah
a. Sunah Qauliyyah
Qaul artinya perkataan, sedangkan qauliyah yang berkaitan dengan perkataan. Sunah Qauliyah merupakan seluruh
perkataan Nabi SAW, perkataan Nabi tersebut didengar oleh sahabat dan diteruskan kepada Tabi’in.
b. Sunnah Fi’liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi SAW, yang dilihat dan diperhatikan oleh sahabat disebut dengan sunah Fi’liyah.
c.Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah adalah sikap Nabi SAW terhadap suatu kejadian (perbuatan atau perkataan sahabat) yang dilihatnya.
B. Fungsi dan Kedudukan Hadist
Kaum muslimin sepakat bahwa kedudukan sunah dalam penetapan suatu hukum adalah sebagai dasar yang kedua setelah
Al-Qur’an. Yang demikian itu telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW, baik ketika beliau masih hidup
maupun setelah wafat. Mereka bersepakat bahwa sunnah wajib diikuti. Mereka tidak membedakan antara katentuan yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan ketentuan yang disampaikan dalam sunnah.
3. Ijmak
Secara etimologis kata Ijmak merupakan masdar (kata benda verbal) dari kat ajma’a yang artinya ‘memutuskan dan
menyepakati sesuatu’. Ia juga berarti kesepakatan bulat ( konsesus ). Ijmak yang dilakukan yang dilakukan para ulama
setidaknya memiliki dua alasan. Pertama, setelah Rasulullah Saw wafat, persoalan hukum islam yang baru muncul tidak
bisa ditemukan jawabannya secara langsung didalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, persoalan terus berkembang dan
menuntut adanya ketentuan hukum, sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan hukum terkadang masih
bersifat global.

a. Macam dan tingkatan Ijmak

a) Ijmak Sarih, yaitu ijmak yang menampilkan pendapat setiap ulama secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan
maupun perbuatan. Ijmak Sarih ini menempati menempati peringkat paling tinggi. Hukum yang ditetapkannya bersifat
qat’i sehingga umat wajib mengikutinya. Oleh karena itu para ulama sepakat untuk menjadikan ijmak sarih ini sebagai
Hujjah Syar’iyyah dalam penetapan hukum syarak.

b) Ijmak Sukuti, yaitu sebagian mujtahid mengatakan pendapatnya mengenai hukum suatu peristiwa melalui perkataan
atau perbuatan, sedangkan mujtahid lainnya tidak memberikan tanggapan apakah ia menerima atau menolak. Ijmak
Sukuti ini bersifat zan dan tidak mengikat.
4. Qiyas
Dari segi bahasa qiyas artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Secara istillah, qiyas
menurut Abu Zahra adalah :
“menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam nas dengan perkataan lain yang ada nas hukumnya
karena ada persamaan ‘illah”

A. Rukun Qiyas

Untuk melakukan qiyas ada 4 rukun yang harus dipenuhi ;


a) Al-Aslu, sesuatu yang sudah ada hukumnya dalam nas.
b) Al-Far’u, sesuatu yang baru dan tidak ada hukumnya dalam nas.
c) Hukum Asal, hukum syarak yang ada nasnya sebagai pangkal hukum bagi cabang.
d) ‘illah, sifat yang ada pada hukum asal. Contohnya sifat memabukkan yang ada pada khamr. ‘illah merupakan unsur
terpenting dalam qiyas. Dalam ‘illah, qiyas qiyas pun tidak ada.

B. Macam-Macam Qiyas

a) Qiyas Aula, qiyas yang ‘illah-nya mewajibkan aannya hukum.


b) Qiyas Musawi, qiyas yang ‘illah-nya mewajibkan adanya hukum yang sama, baik pada hukum yang ada pada al-aslu
maupun maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang).
c) Qiyas Adna, qiyas dimana hukum al-far’u lebih lemah keterkaitan-nya dengan hukum al-aslu.
B . SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUKHTALAF

1. Istihsân
1. Pengertian
Secara bahasa Ihtisan berasal dari kata “hasan” yang berarti adalah baik dan lawan dari “qobaha” yang berarti buruk.
Kemudian di tambah tiga huruf yaitualif- sin dan ta’, bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu-
istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nilai)
lawan dari Istiqbah, yakni menganggap sesuatu itu buruk. Jadi, dari segi bahasa istihsân bermakna memandang baik
sesuatu atau mencari yang lebih baik untuk diikuti.
a. Menurut Abu Zahroh
Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena) ketidaksanggupannya untuk memunculkannya
disebabkan tidak adanya kata/ ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya.
b. Menurut Al Fairuz Abadi
Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh.
c. Menurut Al Jayzani
Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen adanya kesamaan-kesamaan kepada
hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.
d. Menurut Al Hilwani dan Al Hanafi
Istihsan ialah menukar perkara yang berasal dari Qias kepada Qias yang lebih kuat. Hal ini disebut Qias khafi yang
tersembunyi illat nya.
e. Menurut Imam Abu Hasan Al Karkhi
Merupakan penetapan hukum oleh mujtahid terhadap sesuatu masalah yang menyimpang daripada ketetapan hukum
yang diterapkan pada masalah-masalah yng sama disebabkan alasan yang lebih kukuh.
f. Menurut Jumhur ulama' Usul
Istihsan adalah menukarkan sesuatu hukum kulli kepada huklum juziyy (pengecualian)
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu
dalil syara” yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

2. Maslahah Mursalah
1. Pengertian
Maslahah mursalah menurut bahasa terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Katamaslahah berasal dari kata
‫صــ ََح – َ ْص‬
bahasa arab ‫يــــل ُح‬ ‫َ ل‬ menjadi ‫صــ ًْحا‬
‫ ُ ل‬atau ‫ َم ْصل ََح ًة‬yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan
kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: ‫سل‬ ٌ َ ‫ ُمـ ْر‬-‫يـــ ُسـل– اِ ْر َسـا ًـال‬
ِ ‫ا َ ْر َ َسـل– ُ ْر‬
menjadi ‫ ُمـ ْر َسل‬yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah
mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat
berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah
yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat
dan dibatalkan syariat.
3. Istishâb
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Istishab adalah
menetapkan hukum yang ada pada waktu yang lalu dan menetapkan pula berlakunya sampai ada dalil yang
mengubahnya. Dengan kata lain, istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap
berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang mengubah ketentuan hukum itu.

4.‘Uruf
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap
baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. ‘Uruf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka
mempraktekannya, baik perkataan atau perbuatan atau meninggalkan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah
sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.

5.Saddudz Dzarî’ah
Saddudz dzarî’ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî’ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau
sumbatan, sedang dzarî’ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang
menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî’ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya
kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat.
6. Syar’u Man Qablana.
Definisi syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang telah disyari’atkan Tuhan kepada umat-umat sebelum kita
yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
Syar’u man Qablana merupakan syari’at para nabi terdahulu sebelum adanya syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad. Telah diketahui bahwasyar’u man qablana adalah salah satu dari sekian banyak metode
istinbat(penggalian) hukum Islam, walaupun tampak adanya warna-warna yang mengindikasikan syar’u man qablana
hanya sebagai penguat teks-teks keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali hukum, namun
seringkali ia tetap dijadikan sebagai metode.

7. Mazdhab Shahaby
Mazhab Sahabi ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang sahabat tentang sesuatu hukum Syara',
sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, semua masalah atau peristiwa yang pemecahan
hukumnya tidak terdapat dalam nas Al Qur'an, selalu diserahkan secara langsung kepada beliau. Namun, sesudah beliau
wafat, tugas tersebut dilakukan oleh sejumlah sahabat yang mempunyai keahlian di bidang hukum Islam, lama
menyertai Rasulullah saw. dan memahami isi kandungan Al Qur'an dengan baik. Artinya, tugas tersebut dilaksanakan
oleh para sahabat yang mempunyai keahlian berijtihad.

Anda mungkin juga menyukai