Anda di halaman 1dari 34

HERMENEUTIKA

ALQURAN
I. PENGERTIAN RUANG LINGKUP DAN SEJARAH HERMENEUTIKA
II. ALIRAN - ALIRAN HERMENEUTIKA BARAT
III. ALIRAN – ALIRAN HERMENEUTIKA ISLAM
IV. PRO KONTRA HERMENEUTIKA DALAM STUDI KEISLAMAN
V. Konsep pemahaman teks dalam tafsir (Alqur’an-Hadis)
- Menjelaskan posisi teks dalam proses penafsiran
- Menjelaskan kandungan makna teks, tekstual (manthuq) dan kontekstual (mafhum)
- Menjelaskan konsep qath’I dan zanni
VI. Fungsi dan Posisi konteks (sabab an-nuzul) dalam studi tafsir Alqur'an
- pandangan ulama Islam klasik/tradisional mengenai fungsi sababun nuzul ayat dalam proses tafsir
- pendapat tokoh muslim tentang urgensi sababun nuzul ayat dalam tafsir Alquran
VII. KONTEKSTUALISASI DALM TAFSIR ALQURAN
- hubungan antara teks dan konteks turunnya wahyu
- fungsi wahyu bagi masyarakat
- pentingnya kontekstualisasi penafsiran teks agama
- Mendeskripsikan kebutuhan masyarakat kontemporer sebagai dasar penafsiran teks keagamaan
VIII. Hermeneutika Muhammad Al Ghazali
- Metode penafsiran alquran al Ghazali,
a, teks-teks alquran
b, asbabun nuzul
c, aplikasi penafsiran dalam kehidupan
- Madzhab hermeneutika menurut al ghazali

IX. Hermeneutika al-Qur’an menurut Fazlurrahman


- doublemovement (gerak pertama dan gerak kedua) Fazlurrahman
- teori penafsiran kontemporer Fazlurrahman

X. Hermeneutika al-Qur’an menurutNasr Hamid Abu Zayd


- teori interpretasi teks menurut Nasr Hamid
- teori kesadaran konteks menurut Nasr Hamid
- contoh aplikasi penafsiran Nasr Hamid.

XII. Hermeneutika al-Qur’an menurut Hasan Hanafi


- landasan metodologis Hasan Hanafi tentang:
a. kesadaran sejarah
b. kesadaran eidetis
c. kesadaran praksis
- Teori penafsiran Hasan Hanafi
I. PENGERTIAN RUANG LINGKUP DAN SEJARAH HERMENEUTIKA
 Hermeneutika berasal dari kata Hermenium (Bahasa Yunani) yang berarti penjelasan, penafsiran,
penerjemahan.
 Pendapat lain mengatakan bahwa hermeneutika diambil dari kata Hermes, dalam mitologi Yunani
merupakan sosok yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa dan bertugas menjelaskan maksudnya
kepada manusia.
 cendekiawan Muslim, seperti Sulaiman ibn Hassan ibn Juljul dalam Thabaqat al-Athibba’, Muhammad
Thaher Ibn ‘Asyur ketika menafsirkan QS.Maryam [19]; 56, Seyyed Hossein Nasher, dalam Knowledge an
the Sacred, berpendapat bahwa Hermes adalah nabi Idris as.
 Quraish Shihab, menambahkan penjelasan tersebut, menurutnya penamaan Hermes dengan Idris bisa jadi,
karena menurutnya beliau adalah orang pertama yang mengenal tulisan atau orang yang banyak belajar dan
mengajar. Ini menunjukkan bahwa Hermes adalah orang terpilih untuk menjelaskan pesan-pesan yang
Mahakuasa kepada manusia.
SEJARAH DAN LATAR BELAKANG HERMENEUTIKA
 LATAR BELAKANGsudah
Metode hermeneutika LAHIRNYA HERMENUTIKA
dipakai dalam penelitian teks-teks kuno yang bersifat autoritatif, seperti teks
kitab suci, kemudian hal tersebut juga diterapkan dalam teologi dan merefleksikan secara filosofis, sampai
pada akhir ini juga menjadi metode dalam ilmu-ilmu sosial.

 Kemudian hermeneutika merupakan penafsiran teks dan dipakai dalam berbagai bidang lainnya, seperti
sejarah, hukum, sastra, dan lainnya.

 Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Dalam bidang
filsafat, pentingnya hermeneutika tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Sebab pada kenyataannya,
keseluruhan filsafat adalah “interpretasi”.

 Hermeneutika baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi protestan Eropa, yang
menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik focus” dari isu-isu teologis sekarang
 Gagasan perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi Al-Qur’an ini, begitu marak. Seruan itu serempak
disuarakan oleh para sarjana Muslim kontemporer, baik di negara-negara Timur Tengah maupun belahan dunia
Islam lainnya, termasuk juga di Indonesia.

 Mereka yang lantang menyuarakan metode ini antara lain; Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid
Abu Zayd, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Riffat Hasan, Amina Wadud dan para tokoh lain dengan konsep-
konsep barunya yang cenderung berbeda dengan konsep para ulama terdahulu.

 Adapun dalam konteks di Indonesia sendiri, metode hermeneutika ini telah ditetapkan sebagai mata kuliah wajib
di jurusan Tafsir Hadis di beberapa Perguruan Tinggi Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Perguruan Tinggi
lainya. Bahkan bisa dikatakan, hermeneutika ini telah menjadi madzhab kampus mereka, karena kuatnya
pengaruh petinggi kampus yang mempromosikan paham ini.
 Kemunculan hermeneutika memang tidak terlepas dari persoalan mendasar yaitu terkait dengan otentisitas
teks Bibel dan makna asal yang terkandung di dalamnya, perjanjian lama misalnya, hingga saat ini masih
menyimpan sejumlah persoalan penting khususnya mengenai kepengarangan (authorship). Sebagaimana
dikutip Adian Husaini dalam The New Encyclopedia Britannica menjelaskan bahwa hermeneutika adalah
studi prinsip-prinsip umum tentang penafsiran Bibel untuk mencari kebenaran dan nilai-nilai kebenaran
Bibel.
 Dengan demikian para ahli Kristen Protestan sekitar tahun 1654 M. mendesak untuk menggunakan
hermeneutika sebagai alat atau seni penafsiran untuk menguak kebenaran tentang problematika pengarang
teks Bibel
 Hermeneutika sebagai bagian dari metodologi Bibel ini muncul disebabkan Bibel memiliki persoalan yang
sangat mendasar seperti persoalan teks, banyaknya naskah asal, versi teks yang berbeda-beda, redaksi teks,
gaya bahasa (genre) teks dan bentuk awal teks (kondisi oral sebelum Bibel disalin). Persoalan-persoalan
tersebut melahirkan kajian Bibel yang historis-kritis
 Hal ini dibuktikan misalnya dengan banyaknya pengarang Bibel yang mana hal itu berimplikasi pada hasil atau gaya teks
yang beragam, bahkan informasi yang bertolak belakang. Persoalan pengarang ini kemudian berimplikasi pada otentisitas
Bibel itu sendiri.Bibel yang diyakini sebagai textus receptus menurut sebagian peneliti dinilai masih diragukan otentisitasnya.
Penulis penulis Bibel diklaim telah merubah struktur bahasa, gaya dan substansi ajarannya berdasarkan asumsi-asumsi
pribadi. Sehingga dengan demikian, sukar untuk membedakan mana yang benar-benar wahyu danmana yang bukan karena
banyaknya pengarang Bibel.

 Saint Jerome juga dikabarkan mengeluhkan tentang fakta banyaknya penulis Bibel yang diketahui bukan menyalin perkataan
yang mereka temukan, tetapi malah menuliskan apa yang mereka pikir sebagai maknanya

 Kenyataan semacam itu, kemudian cukup menyita pemikiran sebagian para teolog dan kalangan sarjana Barat untuk berfikir
serius guna menemukan solusi dalam menyikapi problem otentisitas teks Bibel yang dianggap bermasalah tersebut

 Ibn Hazm (994-1064 M), salah seorang pelopor pertama periode pertengahan yang melakukan analisis kritisnya terhadap teks
kitabkitab suci Perjanjian Lama dan Baru, terutama Kitab Torah dan Injil sebagai sumber utama kajiannya
. Sejarah Singkat Perkembangan Hermeneutika
hermeneutika dibagi menjadi tiga bagian yaitu : 1) sejarah hermeneutika teks mitos, 2) hermeneutika teks Kitab Suci
(Bibel), 3) sejarah hermeneutika umum.
1. Hermenutika Teks Mitos
  Hermeneutika sebagai cabang ilmu tidaklah langsung muncul begitu saja tetapi secara bertahap. Muncul pada
Filsafat Antik di Yunani Kuno. Objek penafsirannya pada masa itu misalnya teks-teks kronik (sudah dibukukan),
berupa kitab suci, hukum, puisi, maupun mitos.
2. Hermeneutika Teks Kitab Suci (Bibel) 
Salah satu tokohnya adalah Philo von Alexandrien (abad ke-1 M). Karena keseriusan Philo dalam pemaknaan teks
secara allegoris(makna majazi), sehingga dia dikenal sebagai bapak penafsiran allegoris. Proses pemahaman
allegoris bertujuan untuk memperoleh makna yang mendalam dari teks tertentu. Tokoh lain dalam perkembangan
hermeneutis Bible adalah Origenes (awal abad ke-3 M.). Dia membedakan makna teks dalam tiga macam yaitu
literal, moral dan ruhani/spiritual. Makna literal diperuntukan bagi orang awam, kemudian makna moral bisa diserap
oleh mereka yang lebih mendalam tentang keyakinan keagamaannya, dan makna spiritual bagi mereka yang
pemahaman agamanya lebih mendalam lagi.
3. Hermeneutika Umum

Yang menandai perbedaan antara hermeneutika klasik dan modern adalah bahwa pada masa lalu hermeneutika

difokuskan untuk menafsirkan teks-teks suci misalnya seperti perjanjian lama, atau yang diyakini suci, seperti mitos

dan epos, sementara pada masa modern hermeneutika tidak hanya terkait dengan teks-teks kanonik saja, melainkan

juga terkait dengan segala hal yang bisa ditafsirkan. Jadi, hal ini menyangkut seluruh bidang ilmu sosial.

Hermeneutika muncul bersamaan dengan ide dan aliran Humanisme pada masa itu dan digunakan untuk membantu

memahami teks-teks sulit dari Bibel. Ahli-ahli hermeneutika umum pada masa modern ini dibagi menjadi dua bagian

pada masa awal dan pada tahap kedua. Tokoh pada tahap pertama adalah Johann Conrad Dannhauer (1603-

1666). Sedangkan pada tahap kedua, hermeneutika umum dipelopori oleh Ernst Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey.

 
Pro Kontra Hermeneutika Dalam Studi Keislaman
Perdebatan tentang penerapan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an hingga saat ini “sulit” sekali untuk surut di kalangan
ulama dan para sarjana Islam. Pro dan kontra pun terjadi dan tidak dapat dihindari. Sebagian dari mereka menolak secara totalitas,
sebagian yang lain menerimanya secara keseluruhan dan sebagian yang lain lagi berusaha menengah-nengahi perbedaan pendapat
tersebut dengan mengatakan bahwa sebagian teori hermeneutika dipandang acceptable dalam kajian keislaman.

Kelompok yang menolak hermeneutika secara umum berpendapat bahwa hermeneutika tidak layak untuk diaplikasikan ke
dalam (tafsir) al-Qur’an. Mereka berpijak kepada sejarah di mana hermeneutika dilahirkan pertama untuk menafsirkan Bible.
Selain itu, sakralitas al-Qur’an tidak bias disamakan atau bahkan dibandingkan dengan Bible.
Quraish Shihab berpendapat bahwa Bibel (Perjanjian lama dan Baru) berbeda dengan al-Qur’an. Pemahaman ini menurutnya
diakui oleh cendekiawan Kristen sendiri perbedaannya bukan hanya dari segi sifat kitabnya, melainkan juga sejarah dan
otentisitasnya. Perbedaan yang sangat menonjol antara al-Qur’an dan Bibel dari segi bahasa. Al-Qur’an yang ditulis dan dibaca
sejak turunnya hingga sekarang merupakan bahasa aslinya, tidak demikian halnya dengan Bibel ada dugaan keras bahwa bahasa
asal Bibel adalah Ibrani untuk perjanjian Lama dan Yunani untuk perjanjian Baru. Sementara Yesus sendiri berbicara dengan
bahasa Aram. Dengan menyadari fakta atas Bible tersebut,
para cendekiawan Barat menilai Bibel sebagai produk budaya yang mengandung kesalahan-kesalahan dalam sebagian
informasinya serta pertentangan-pertentangan dengan hakekat ilmiah yang berkembang tetapi enggan ditafsir ulang oleh Gereja.
Sikap ilmuan ini mengantar mereka tidak segan menyatakan bahwa ada yang keliru dalam Bibel dan bahwa autentisitasnya
diragukan sehingga para tokoh hermeneutika berpesan agar bersikap hati-hati menghadapi atau mencurigai teks.

Berbeda dengan Bibel Cendekiawan Muslim meyakini al-Qur’an autentik dan bersumber dari Allah, semuanya benar, kata demi
kata, masing-masing pada tempatnya, sedang teksnya sedikit pun tidak berubah. Sikap ini bukan saja karena iman dan
kepercayaan tentang jaminan yang diberikan Allah, tetapi juga berdasar pada argumentasi-argumentasi ilmiah dan sejarah.

Adian Husaini mengemukakan, sebagaimana terdapat dalam bukunya Hegemoni Kristen-Barat dalam studi Islam di Perguruan
Tinggi, bahwa terdapat tiga persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan dalam tafsir al-Qur’an: 
- pertama, Hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga. Sebuah teks bagi seorang hermeneut
tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun budaya masyarakat pada saat teks
itu dilahirkan; 
kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya
transenden (ilahiyyah); 
ketiga, aliran hermneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi
sukar untuk diterapkan

Alasan lainnya untuk menolak heremeneutika dijadikan salah satu metode dalam penafsiran alquran adalah world view atau
cara pandang dunia Islam dan dunia barat yang sangat berbeda.
1. keyakinan bahwa alam jagad raya adalah satuan wujud yang satu, dan tidak ada suatu alam yang lain di luar alam jagad raya
ini;
2. nilai tidak dipandang memiliki obyektivitas dalam dirinya sendiri, sehingga nilai hanyalah bagian dari persepsi manusia;
3. dalam masalah politik, kebijakan atau ketetapannya ditujukan pada kepentingan pragmaatis belaka;
4. untuk menentukan nilai ataupun tujuan akhir, hanya ditentukan oleh prinsip rasionalitas semata.
Argumentasi al-Qur’an Sebagai Produk Budaya

- Nasr Hamid Abu Zayd tokoh intelektual sekaligus seorang Islamolog kontemporer asal Mesir seorang professor bahasa Arab
dan Studi al-Qur’an di Universitas Kairo Mesir, dan dosen tamu di universitas Laiden Belanda gagasannya yang cukup
kontroversial, salah satunya ialah al-Qur’an sebagai cultural product, atau produk budaya. Pandangan Nasr Hamid ini dinilai
murtad oleh pengadilan resmi Mesir. Ada banyak bukti yang menunjukkan tentang hal itu.Misalnya; ajakannya untuk
membebaskan diri dari kungkungan teks dan semua kungkungan yang menghalangi kemajuan manusia dalam karyanya,
Mafhum an-Nash; teks (al-Qur’an) pada hakekat dan subtansinya adalah produk budaya dan itu adalah satu aksioma yang tidak
memerlukan pembuktian.
- Qurays Shihab menyanggah dan tidak menerima pendapat Nasr Hamid, menurutnya peryataan Nasr bertentangan dengan ayat
al quran ‫ى‬   ٓ Pٰ‫و َح‬PP‫ُع ِإ اَّل َما ُي‬P ِ‫ ْف ِس ٓ ۖى ِإ ْنَأتَّب‬P َ‫َٓاِئن‬P‫ ْلق‬PPP‫ۥ مِن ِت‬Pُ‫ ٓىَأ ْنُأبَ ِّدلَه‬P ِ‫ونل‬
ۖ ‫ى ِإ َ َّل‬ ُ ‫ ُك‬PP‫ ْل َما َي‬PP‫ ۚ ُق‬Pُ‫ ِّد ْله‬PPP‫ ٰ َه َذٓا َأ ْو َب‬ ‫ن َغي ِْر‬Pٍ ‫قُرْ َءا‬PPP‫ْئ ِت ِب‬P‫ا ٱ‬P َ‫قَٓا َءن‬P ِ‫ُونل‬ ۙ ٍ َ‫يِّ ٰن‬PPP‫ا َب‬Pَ‫يَاتُن‬P‫ َءا‬P‫ ْتلَ ٰى َعلَ ْي ِه ْم‬PPP‫َوِإ َذا ُت‬
َّ ‫ل‬PP‫ َا‬PP‫ت َق‬
َ ‫رْ ج‬PP‫ل ِذ َيناَل َي‬PP‫ٱ‬
P‫ َع ِظي ٍم‬P‫ ْو ٍم‬PP‫ب َي‬Pَ ‫ َذا‬P‫ي ُْت َربِّى َع‬P‫ص‬َ ‫اف ْن َع‬ ‫( ِإنِّ ٓىَأ َخ ُ ِإ‬QS. Yunus: 15), dan (QS Haqqah: 44-47) jika al-Qur’an sebagai produk budaya, maka bukankah
ayat ayat yang turun meluruskan budaya masyarakat. Jika al-Qur’an adalah produk budaya, maka ada saja dari sekelompok
orang yang menyusun semacam al-Qur’an, tetapi hingga saat ini tak ada seorangpun yang berani menyetujui bahkan menerima
tantangan tersebut dengan membuat sebanding dengan al-Qur’an.
Qurays Shihab menegaskan bahwa definisi tentang al-Qur’an sebagai produk budaya inilah cara cara yang lazim ditempuh
oleh sebagian penganut hermeneutika khususnya dalam menghadapi teks-teks Bibel.

ALIRAN HERMENEUTIKA ISLAM


Qurays Shihab dan Hermeneutika Klasik
Hermeneutika klasik adalah ilmu yang menjelaskan metode pemahaman yang benar terhadap teks serta cara-cara
menyingkap kekaburannya. Jika hermeneutika sebatas diartikan sebagai ilmu yang digunakan untuk menjelaskan maksud
firman Tuhan, maka tidaklah keliru jika hermeneutika telah dikenal lama oleh ulama-ulama Islam jauh sebelum munculnya
hermeneutika di Eropa.
ulama dahulu sudah banyak mengenal bahasan-bahasan hermeneutika. contoh Hermeneutika klasik yang menekankan pada
metode penafsiran teks. Aliran hermeneutika klasik berpendapat bahwa seorang penafsir dapat mengetahui tujuan
pengarang teks dan subtansinya selama menempuh metode yang sahih.
jika hermeneutika secara umum dipahami sebagai ilmu yang menjelaskan metode pemahaman yang benar terhadap teks
serta cara-cara menyingkap kekaburan, maka tujuan ini sejalan dengan makna dan ilmu tafsir yang dikenal sejak dahulu
oleh pakar-pakar tafsir al-Qur’an, walaupun tentunya terdapat perbedaan yang berkaitan dengan syarat-syarat penafsir al-
Qur’an dan kaidah-kaidahnya.
Salah satu bukti bahwa hermeneutika telah dikenal oleh ulama terdahulu ialah terlihat dari bahasan-bahasan mereka yang masuk
pada upaya melacak kedalaman bahasa tentang makna-makna kitab suci al-Qur’an; berawal dari bahasan tentang kosakata dalam
berbagai aspeknya, hakiki atau metafora, ambigu atau sinonim, makna-makna lafazh dan pengecualian-pengecualian yang
berkaitan dengannya. Kemudian berlanjut pada pembahasan mengenai pengertian semantik satu kata dan perkembangannya,
yang melahirkan makna-makna tersurat dan tersirat. Beliau setuju dalam beberapa hal mengenai bahasan dan penerapan
hermeneutika, meski juga sebagian lain ia menolaknya dengan syarat-syarat tertentu.

Ada banyak hal positif yang bisa diambil dari bahasan tentang hermeneutika, khususnya dari beberapa aliran hermeneutika.
Sebut saja, misalnya, aliran hermeneutika Romansis yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Diltheiy, yang
merupakan peletak dasar rambu-rambu untuk memperoleh makna yang benar dan final terhadap objek yang dibahas, serta
keharusan memahami bahasa teks dan perangkat-perangkatnya. Beliau menilai bahwa hal itu merupakan hal-hal positif yang
sangat diperlukan oleh siapa saja yang ingin menemukan dan memahami kebenaran. Sebab itu juga yang selalu ditekankan oleh
ulama-ulama alquran.
Hal positif lainnya ialah keharusan untuk berhati-hati dalam proses memahami sebuah objek agar tidak terjebak pada
kesalahpahaman. Hal yang sama juga dilakukan oleh ulama-ulama al-Qur’an ketika menegaskan bahwa penafsiran tidak
boleh berdasar “kira-kira” atau “dugaan tak berdasar”. Atas dasar ini, jika seorang penafsir belum tahu betul makna teks,
maka hendaklah dia menangguhkan penafsirannya dengan berucap “Allah A’lam” .

Namun meskipun Menerima hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran bagi Shihab adalah sah-sah saja, karena
hermeneutika dan tafsir keduanya sama-sama sebagai kaidah penafsiran. Akan tetapi sesekali orang mudah terjebak dalam
menyamakan keduanya untuk diterapkan pada dua objek berbeda tetapi dianggap sama. Maksudnya adalah keliru jika
hermeneutika sebagai pisau analisis yang biasa digunakan dalam memahami teks-teks karya manusia, lalu digunakan untuk
memahami teks-teks Pencipta manusia (Allah). Shihab menyarankan agar kita harus memiliki mata yang jeli, bahkan harus
menggunakan lensa yang jernih, agar apa yang potretnya tidak kabur atau bahkan buruk tak memenuhi syarat pemotretan.
Tidak jarang ada orang yang menggunakan kamera yang buram, ia pun belum memiliki syarat minimal untuk tampil
mengambil gambar. Dan menghasilkan gambar yang kabur, bahkan bisa jadi gambarnya amat buruk.
apa yang disampaikan Shihab tersebut ialah upaya hati-hati dalam mengaplikasikan hermeneutikan dalam al-Qur’an; jangan
sampai kita rancu dalam mendefinisikan objek (kitab suci) sebagai sebuah karya yang profan sebagaimana layaknya teks-teks
lain sebagai karya manusia. Inilah yang dikhawatirkan Shihab bahwa seseorang akan terjebak pada kesalahan dan kerancuan
akibat tidak jeli, dan tidak memiliki pengetahuan penuh tentang hal itu.
Aliran Hermeneutika Barat

1.      Aliran Objektiv
Aliran objektiv adalah aliran yang mengeliminasi kesubjektivan penafsir Tokoh-tokoh yang berada dibawah aliran
dalam memahami teks. Aliran objektiv memahami bahwa untuk meng- objektiv di antaranya:
interpretasi sebuah teks, seseorang harus masuk dalam dunia pengarang a.       Emilio Beti
dimana teks itu lahir. Maksud pengarang harus benar-benar ditemukan
karena dalam diri teks terdapat ruh yang ditiupkan langsung oleh
pengarang. Dan satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah dengan
memposisikan diri dan merasakan apa yang dirasakan pengarang
langsung ketika melahirkan teks tersebut.
b.      Friedrich Ernst Daniel Scheleiermacher
Keobjektivan dalam hermeneutika memiliki syarat-syarat khusus yang
harus dipenuhi diantaranya psikologi pengarang, historisitas dan
gramatikal. Psikologi pengarang dianggap bagian yang penting untuk
diketahui guna menemukan maksud an sich pengarang. Historisitas pun
demikian memiliki peranan penting dalam proses interpretasi objektiv
untuk kembali mengulang dan merasakan sebagaimana yang dirasakan c.       Wilhelm Dilthey
pengarang. Gramatikal menjadi penting dalam proses interpretasi teks
melihat Bahasa yang digunakan setiap orang tentunya berbeda antara satu
dengan lainnya. Kendatipun Bahasa yang digunakan sama namun ada
maksud berbeda yang yang dituangkan dalam sebuah teks.
 
2.      Aliran Subjektiv

Aliran subjektiv lebih mementingkan aspek teks itu sendiri dan penafsir Tokoh-tokoh yang bernaung dibawah aliran ini
teks, tidak ada kaitannya langsung dengan pengarang mengingat adalah sebagai berikut:
pengarang adalah seorang yang hidup di dunia sejarah yang tidak
a.       Martin Heidegger
memungkinkan seseorang kembali pada dunia tersebut.

Sejarah adalah sesuatu yang unik dan tidak bisa diulang secara persis.
Dari sinilah kemudia aliran ini lahir dan meyakini bahwa teks bisa
dipahami secara luas tidak membatasinya dengan maksud yang b.      Hans Goerg Gadamer

diinginkan pengarang karena memahami dunia pengarang adalah sesuatu


yang mustahil dilakukan.Menurut aliran ini teks yang ada dan
dipublikasikan sudah tidak lagi berkaitan dengan pengarang. Ia bersifat
mandiri dan bebas untuk dipahami berdasarkan historisitas dan psikologi c.       Jacques Derida
penafsir. Teks bersifat terbuka dan pengarangnya sudah mati sehingga
siapapun boleh menafsirkannya. Fokus penafsiranpun hanya pada teks
dan penafsir saja.
Konsep Pemahaman Teks Dalam Alquran

Menurut Amien abdullah “Metode penafsiran Al-Quran selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan penafsir dan teks
Al-Quran, tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan audiens terhadap teks. Hal ini mungkin dapat dimaklumi sebab para
mufasir klasik lebih menganggap tafsir Al-Quran sebagai kerja-kerja kesalehan yang dengan demikian harus bersih dari
kepentingan mufasirnya. Atau barangkali juga karena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran teologis yang pernah
melahirkan pertarungan politik yang maha dahsyat pada masa-masa awal Islam. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir
klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.

Hermeneutika tidaklah layak disinonimkan dengan tafsir Al-Quran, yang memiliki konsep yang jelas, berurat serta berakar di
dalam Islam. Hermeneutika dibangun atas paham relativisme. Hermeneutika menggiring kepada gagasan bahwa segala
penafsiran Al-Quran itu relatif, padahal fakta empiris menunjukkan para mufasir yang terkemuka sepanjang masa tetap memiliki
kesepakatan-kesepakatan. Jika hermeneutika tetap digunakan sebagai sebuah sinonim terhadap tafsir, akan mengimplikasikan
bahwa berbagai problematika yang ada di dalam hermeneutika, juga terjadi di dalam Al-Quran.  sehingga kebenaran tafsir itu
menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan
Posisi Teks Dalam Penafsiran dan Hermeneutika
Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari
kekecewaan mereka terhadap Bibel. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan
manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang
sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. Bila diterapkan pada Al-Quran, hermeneutika otomatis akan
menolak status Al-Quran sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan menggugat kemutawatiran mushaf Usmani.

Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah’, sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bibel,
mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk Al-Quran, yang kebenarannya melintasi batas-batas
ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan lin naas).

Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari mana pun datangnya, dan terus
terperangkap dalam apa yang disebut sebagai ‘lingkaran hermeneutis’, di mana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini
hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat
banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk Al-Quran yang jelas
kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.
Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak
benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung
pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran

“Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa Al-Quran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum muslim
juga meyakini bahwa Al-Quran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih
dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan
teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan
sejarah penulisan Al-Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari
perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa. (Luthfie asy Syaukani).
Fungsi dan Posisi konteks (sabab an-nuzul) dalam studi tafsir Alqur'an

Pandangan ulama Islam klasik/tradisional mengenai fungsi sababun nuzul ayat dalam proses tafsir
 Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang mempunyai nilai suci, sehingga tidak ada seorang pun dapat memahami dengan
kebenaran mutlak tanpa adanya petunjuk dan hidayah. Pada saat yang sama, bahasa yang digunakan Al-Qur’an secara eksplisit
adalah bahasa Arab yang merupakan bahasa ibu dari wilayah Timur Tengah.
Penggunaan bahasa Arab adalah suatu keniscayaan, melihat konteks turunnya wahyu Al-Qur’an yang berada di wilayah Arab.
Sehingga secara historis Al-Qur’an terkait erat dengan peradaban Arab, tetapi hal ini tidak menjadi bagian penting secara
menyeluruh dalam memahami Al-Qur’an, meskipun secara redaksional dan historis mempunyai hubungan. Karena, turunnya
Al-Qur’an tidak selalu berhubungan dengan suatu peristiwa maupun pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan Arab.
Meski demikian, dalam memahami Al-Qur’an seorang harus mengetahui asbabun nuzul (konteks turunnya ayat). Latar
belakang turunnya tidak hanya merespons masalah yang mengitari kehidupan Nabi dan masyarakat sekitar, tetapi juga
mengandung pelajaran bahwa wahyu Al-Qur’an turun melalui proses dan melatih kesabaran.
.‫ الوقوف علي املعين أو إزالة اإلشكال‬:‫ ومن فوائده‬.‫ جلريانه جمري التاريج‬.‫ الفائدة له‬:‫ و أخطاء من قال‬،‫ملعرفة اسباب النزول فوائد‬
.)‫ (الميكن معرفة تفسري األية دون الوقوف علي قصتها وبيان سباب نزوهلا‬:‫قال الواحدي‬
)‫ (بيان سبب النزول طريق قوي يف فهم معاين القرآنية‬:‫وقال ابن دقيق العيد‬
‫ وقد أشكل علي مجاعة من السلف معاين‬،‫ فإن العلم بالسبب يورث العلم باملسبب‬. ‫ معرفة سبب النزول يعني علي فهم األية‬: ‫وقال ابن تيمية‬
.‫آيات حيت وقفوا علي أسباب نزوهلا فزال عنهم اإلشكال‬
- Pandangan al-Wahidi memberikan pengertian bahwa asbabun nuzul yang melatarbelakangi turunnya ayat adalah salah
satu komponen penting yang harus diperhatikan bagi orang yang ingin memahami maksud Al-Qur’an, dan peringatan
bahwa belajar Al-Qur’an tidak cukup hanya membaca terjemahan atau belajar sendiri dari teks-teks terjemahan. Karena
tidak semua terjamahan atau kitab tafsir memuat asbabun nuzul secara keseluruhan, sehingga potensi untuk salah paham
akan besar.
- Al Imam al Syathibi dalam kitabnya yang berjudul al-Muwâfaqât fi Ushul asy-Syarî’ah memberikan peringatan keras
kepada orang yang hanya belajar dan memahami al Qur’an hanya dari teksnya. Lebih lanjut, beliau berkatan bahwa seorang
tidak boleh memahami al Qur’an hanya terpaku pada teksnya saja, tanpa melihat atau memperhatikan konteks turunnya ayat,
karena asbab al nuzul adalah komponen dasar dalam memahami al Qur’an (Abi Ishaq al Syathibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl
asy-Syari’ah, vol. III Beirut: Bar al-Kutub al-Ilmiah, 2005, hal. 258).

Pendapat al Wahidi diperkuat oleh imam Ibn Daqiq al-Aid yang berpendapat bahwa salah satu yang penting dalam
memahami ayat Al-Qur’an adalah mengetahui asbabun nuzul dari ayat itu sendiri, karena hal tersebut adalah cara untuk
memperkuat dalam mengetahui makna Al-Qur’an. Beliau mengatakan:

‫بيان سبب النزول طريق قوي في فهم معاني القرأن‬

“Keterangan konteks turunnya ayat merupakan cara untuk memperkuat dalam memahami makna Al-Qur’an.” (Jalalud Din
as-Syuyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Darl al Fikr, 2012, hal. 41)
Pendapat tokoh muslim tentang urgensi sababun nuzul ayat dalam tafsir Alquran

Menurut Dr. Subhi al-Shaleh:


“Asbab al-Nuzul ialah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang memang
mengandung peristiwa itu atau sebagai jawaban pertanyaan darinya atau sebagai penjelasan terhadap hukum-hukum yang
terjadi pada saat terjadinya peristiwa tersebut”.
Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan:
“Asbab al-Nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya pada waktu terjadinya, baik
berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Saw”.
M. Quraish Shihab memperjelas pengertian “asbab nuzul al-Qur’an” dengan cara memilah peristiwanya. M. Quraish Shihab
menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan “asbab nuzul al-Qur’an” adalah: (1) Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan
turunnya ayat, di mana ayat tersebut menjelaskan pandangan al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya; (2)
peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah turunnya suatu ayat, di mana peristiwa tersebut dicakup pengertiannya atau
dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi.
pandangan ulama mengenai apakah seluruh ayat al-Qur’an memiliki sebab yang melatar belakangi
turunnya atau tidak, yaitu:
Pertama, mayoritas ulama menilai bahwa tidak semua ayat al-Qur’an itu memiliki “asbab al-Nuzul”, sehingga ada
ayat-ayat yang diturunkan dengan dilatarbelakangi oleh suatu sebab (ghair ibtida’), dan ada ayat-ayat yang
diturunkan tanpa dilatarbelakangi oleh suatu sebab (ibtida’).

Kedua, sebagian mereka memandang bahwa seluruh ayat al-Qur’an itu pasti memiliki “asbab al–Nuzul” yang
melatarbelakanginya, baik dalam skala mikro maupun makro. Riwayat-riwayat yang mengemukakan tentang
“asbab al–Nuzul” suatu ayat merupakan sebab-sebab yang bersifat mikro; sementara kesejarahan bangsa Arab pra-
Qur’an pada masa turunnya al-Qur’an merupakan latar belakang yang bersifat makro.
Urgensi Mengetahui Asbab al–Nuzul

Dalam menilai urgensi dan kegunaan mengetahui “asbab al–Nuzul”, terjadi perbedaan sikap dan pandangan diantara para
ulama, yaitu:

a). Diantara mereka ada yang memandang bahwa mengetahui “asbab al–Nuzul” merupakan hal yang tidak penting dalam
memahami al-Qur’an. Hal itu dikarenakan “asbab al–Nuzul” hanyalah bentuk sejarah penafsiran awal yang hanya berlaku
pada saat turunnya al-Qur’an, dan tidak berlaku untuk saat-saat seterusnya. Pandangan ini tidak melihat “asbab al–Nuzul”
sebagai salah satu instrumen penting dalam membantu upaya menafsirkan dan memahami kandungan al-Qur’an. Mereka
beranggapan bahwa mencoba memahami al-Qur’an dengan meletakkan ke dalam bingkai konteks sejarah (historis) saat al-
Qur’an diturunkan, berarti sama saja dengan membatasi pesan-pesan al-Qur’an itu sendiri dalam ruang dan waktu tertentu
yang sangat terbatas dan sudah selesai. Hal itu dapat berdampak pada penyempitan makna pesan dan maksud kandungan ayat
yang begitu luas dan kompleks, dan dapat mencabut keuniversalitasannya. Kelompok ini meyakini bahwa memahami al-
Qur’an tidak perlu, bahkan tidak boleh dengan melihat konteks kesejarahan tertentu, termasuk konteks kesejarahan yang
melingkupi saat-saat turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
Diantara tokoh yang dinilai tegas dalam memandang tidak pentingnya pengetahuan tentang “asbab al–Nuzul” dalam memahami
al-Qur’an adalah Muhammad Husein al-Thabathaba’i. Dalam kitab “al-Qur’an fi al-Islam”, al-Thabathaba’i mengajukan tiga
alasan untuk menunjukkan bukti kuat atas penilaiaannya ini, yaitu:

Pertama, Hadits-hadits yang berkaitan dengan “asbabal–Nuzul” tidak shahih, karena tidak ada yang mempunyai sanad;

Kedua, Periwayatan hadits-hadits tersebut tidak dilakukan secara berhadapan muka antara pemberi dan penerima riwayat, dan
tidak juga dengan cara tahamuldan hapalan. Para perawi hanya mengaitkan suatu ayat dengan kisah-kisah tertentu. Jadi, pada
hakikatnya “asbab al–Nuzul” hanyalah sebuah hasil ijtihad semata. Karenanya, banyak riwayat yang saling bertentangan; dan

Ketiga, Sampai akhir abad I Hijriyah, penulisan hadits masih tetap dilarang oleh Nabi Saw. Ketika itu orang-orang yang
mengemukakan catatan hadits, segera dibakar catatannya. Akhirnya, periwayatan hadits tentang “asbab al–Nuzul” termasuk
hanya dalam bentuk makna saja. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan hadits itu sendiri.
b) Sedangkan Kelompok kedua Mayoritas ulama memandang bahwa pengetahuan tentang konteks kesejarahan yang melingkupi
al-Qur’an pada masa-masa turunnya yang terkumpul dalam riwayat-riwayat “asbab al–Nuzul” merupakan salah satu hal yang
signifikan dalam membantu upaya memahami maksud dan kandungan pesan-pesan al-Qur’an. Pandangan ini didukung oleh
umumnya ulama-ulama klasik dan diikuti oleh kebanyakan ulama-ulama muta’akhkhirin sampai kontemporer
Fazlurrahman dan Nashr Hamid Abu Zaid. ‘Abdullah Diraz menyatakan dalam buku “Hashshad Qalam” bahwa tidak mungkin
bagi siapapun untuk membatasi maksud ucapan seorang pembicara atau mengarahkannya kepada satu bentuk makna tertentu,
tanpa melihat kepada tanda-tanda dan indikator-indikator yang menunjukkan kepada maksud dan makna tersebut. Dan
diantara tanda-tanda dan indikator itu, ada yang bersifat tekstual (maqali), ada yang bersifat situasional dan kondisional (hali),
ada yang melekat dengan ungkapannya (internal), dan ada yang terpisah di luar ungkapan tersebut (eksternal). Dan
pengetahuan tentang “asbab al–Nuzul” dari suatu ayat mencakup pemahaman tentang tanda-tanda dan indikator yang tidak
terdapat dalam teks tersebut secara verbal. Mengabaikan aspek pengetahuan tentang tanda-tanda dan indikator ini dapat
menghalangi seseorang dalam memahami al-Qur’an dengan baik dan benar. Karena pemahaman tentang tanda-tanda dan
indikator dapat memberikan rincian dari penjelasan yang bersifat global sekaligus menghilangkan kepelikan yang melingkupi
teks itu sendiri sebagaimana tampak dalam kasus ayat-ayat yang dinilai kontras, ambigu, dan musykil..
Fawaid dan Manfaat Asbab Nuzul:

1. Untuk mengetahui peristiwa atau kejadian yang menyebabkan disyariatkannya suatu hukum, dimana hukum itu juga bisa
berlaku pada peristiwa yang sama jika terjadi dikemudian hari.
Contoh pada ayat

‫قمن كان منكم مريضا أو به أذي من رأسه ففدية من صيام أو صدقة أو نسك‬
Asbab nuzul ayat ini berkaitan dengan apa yang dialami oleh sidna Ka’ab ketika ihram, yaitu terdapat banyak kutu dikepalanya
sehingga ia merasa susah dengan keadaan itu, maka ayat ini turun membbolehkan sidna Ka’ab mencukur rambutnya dengan
syarat bahwa ia harus membayar dam atau megantinya dengan salah satu dari tiga perinta diatas.
2. Untuk mengetahui hukum-hukum khusus yang berkaitan dengan asbab nuzul, walaupun lafalnya umum seperti pada ayat
diatas
3. Membantu mufassir memahami suatu ayat yang tidak mungkin dipahami tanpa bantuan asbab nuzul, sebab terkadang sebuah
ayat bercerita tentang peristiwa yang dialami seseorang , seperti dalam firman Allah:
‫قد سمع هللا قول التي تجادلك في زوجها وتشتكي إلي هللا وهللا يسمع تحاوركما إن هللا سميع بصير‬
Yang dimaksud‫جادلك‬PPP‫لتيت‬PP‫ولا‬PP‫ ق‬adalah syidah Khulah BINTI Tsa’labah yang telah di zihar oleh suaminya, jadi dengan bantuan
Asbab nuzul seorang muffasir dapat menejelaskan makna ungkapan tersebut.

4. Asbabun nuzul menjelaskan kepada siapa ayat itu diturunkan, sehingga ia tidak ditanggungkan atas yang lain. Seperti pada
ayat diatas.

Anda mungkin juga menyukai