Anda di halaman 1dari 31

INFORMED CONSENT

Departemen Bioetika dan humaniora kedokteran


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Tadulako
Tujuan Pembelajaran
 Menyebutkan dan memahami persetujuan tindakan
medik
 Memahami dan menganalisis penerapan untuk
meminta persetujuan setelah penjelasan dalam
pelayanan kedokteran
 Mampu menerapkan hak menentukan nasib sendiri
pasien dalam proses persetujuan tindakan medik
 Memahami dan mampu menghadapi ketidaksetujuan
pasien dan keluarga dalam proses tindakan medik
Topik
 Sejarah
 Definisi Inform consent
 UU praktek kedokteran
• Diawali munculnya doktrin “a man is the master of his
own body”, oleh hakim Cardozo yg mengadili kasus
Nateson v. Kline.
• Lalu muncul common law (putusan pengadilan) di negara
dgn Common Law System karena tidak ada statute law
(UU produk Legislatif) yg bisa dijadikan acuan hakim dlm
memutus perkara, seperti:

1. Kasus Schloendorf v. the Society of NY Hospital;


2. Kasus Mohr; 3. Kasus Forientino v. Wegner;
4. Kasus Gerti; 5. Kasus-kasus lainnya.
• Disini, isu IC mulai dikenal sejak IDI mengeluarkan
“Pernyataan IDI ttg Informed Consent” yg kemudian
dilembagakan dalam statute law (yaitu UUPK).
KASUS SCHLOENDORFF
Dr disalahkan mengangkat rahim sedangkan IC yg
diberikan oleh pasien hanyalah tindakan diagnostik
dg ether utk memastikan kalau-kalau tumor ganas.
KASUS MOHR
Dr beralih mengoperasi telinga kanan krn ternyata
(setelah pasien dibius) ia melihat telinga kanan jauh
lebih parah dari telinga yang telah mendapatkan IC.
KASUS GERTI
Dr dipersalahkan di pengadilan tingkat pertama
sebab ia memotong kaki Gerti (10 th) yg tidak
disetujui orangtuanya, tetapi MA membebaskan Dr
atas dasar keselamatan anak jauh lebih penting d/p
keberatan orangtuanya (pertimbangan filosofis).
KASUS FORIENTINO
Dr dipersalahkan karena ia tidak memberikan
informasi bahwa tindakan ECT memiliki risiko, yaitu
dapat mengakibatkan rahang pasien patah atau
lidah terpotong, meski pasien telah memberikan izin
ECT.

Jadi informed consent diberikan tanpa didahului


informasi yang cukup (termasuk risikonya) sehingga
Informed consent yang telah diberikan dianggap
tidak sah demi hukum (domino effect).
LATAR BELAKANG
1. Tindakan medik penuh uncertainty.
2. Hasilnya tdk bisa diperhitungkan sec. matematik.
3. Hampir semua tindakan medik memiliki risiko.
4. Tindakan medik tertentu bahkan disertai akibat
ikutan yg tidak menyenangkan (kasus Schloendorff).
5. Semua potential risks (jika benar-benar terjadi)
atau semua akibat ikutan (yang pasti terjadi) akan
dirasakan sendiri oleh pasien, bukan orang lain.
6. Risiko dan akibat ikutan tersebut biasanya sulit
atau bahkan mustahil untuk dipulihkan kembali.
INFORMED CONSENT
 Fatwa IDI No.319/PB/A4/88 tentang Informed
Consent
 PP No.18 th.1981 tentang Otopsi Klinis, Otopsi
Anatomis, Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh
Manusia
 UU RI No.36 tahun 2009 Kesehatan
 Peraturan Pemerintah No.32 th.1996 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 22
 UU Praktik Kedokteran pasal 45
 Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujan Tindakan Kedokteran
Basic Moral Principles
 Respect for patient autonomy
 Beneficience

 Non-maleficience

 Justice

Beauchamp dan Childress


Respect for patient autonomy

 Autonomy  semua tenaga kesehatan dituntut


untuk selalu mengingat dan menghormati hak
pasien dalam menentukan nasibnya sendiri serta
menjaga kerahasiaan pasien.
 Dalam setiap pembuatan keputusan medis,
pasien harus dilibatkan dan keputusan tersebut
dibuat berdasarkan kebutuhan, keinginan,
kemampuan dan keselamatan pasien.
UU Kesehatan pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian
atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi
mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat
menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
UU Praktik Kedokteran pasal 45

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran


gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
UU Praktik Kedokteran pasal 45
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
dan
e. prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan.
UU Praktik Kedokteran pasal 45
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang mengandung risiko tinggi harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan.
UU Praktik Kedokteran pasal 45

(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan


kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujan Tindakan Kedokteran

 Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan


yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat
setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan terhadap pasien.
Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujan Tindakan Kedokteran

 Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau


ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara
kandung atau pengampunya.
Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujan Tindakan Kedokteran

 Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang


selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah
suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik,
terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujan Tindakan Kedokteran

 Tindakan invasif: tindakan medis yang langsung


dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh
pasien
 Tindakan berisiko tinggi: tindakan yang
berdasarkan probabilitas tertentu dapat
menyebabkan kematian atau kecacatan
Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujan Tindakan Kedokteran

 Pasien yang kompeten:


 dewasa menurut UU (21 tahun menurut KUHPerdata,
18 tahun menurut UU Perlindungan Hak Anak 
manual KKI) atau telah/pernah menikah
 tidak terganggu kesadaran fisik
 mampu berkomunikasi secara wajar
 tidak retardasi mental
 tidak mengalami penyakit mental
 mampu membuat keputusan secara bebas
Informed Consent

 Terdiri dari 2 bagian  informed and consent


 Persetujuan diberikan setelah pihak pasien
mendapat penjelasan  autonomy
 Dapat dilakukan secara langsung dengan pasien
atau diwakilkan (proxy consent)  dokter
menentukan kompeten tidaknya pasien
Consent
 Implied or expressed:
 Implied  datang kepada dokter untuk periksa,
kesediaan menuruti perintah dokter
 Expressed  diungkapkan dengan pernyataan
khusus
 Expressed  oral or written:
 Oral  persetujuan secara lisan atau
menganggukkan kepala
 Written  persetujuan tertulis  tindakan berisiko
tinggi
Informed
 Diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga
terdekat, diminta ataupun tidak
 Penjelasan minimal mencakup:
 Diagnosis dan tata cara tindakan
 Tujuan tindakan yang dilakukan
 Alternatif tindakan dan risikonya
 Risiko dan komplikasi yang mungkin timbul
 Prognosis
 Perkiraan biaya
 Kemungkinan perluasan tindakan
Informed

 Diagnosis:
 Temuan klinis & hasil pemeriksaan yang ada
 Diagnosis, minimal diagnosis kerja atau DD
 Indikasi
 Prognosis ad vitam, ad functionam, ad sanationam
Informed

 Tindakan:
 Tujuan  preventif, diagnostik, terapeutik,
rehabilitatif
 Risiko dan komplikasi selama dan sesudah
tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan
yang mungkin terjadi  kecuali risiko &
komplikasi yang:
 Menjadi pengetahuan umum
 Sangat jarang terjadi atau sangat ringan
 Tidak dapat dibayangkan (unforeseeable)
Informed

 Diberikan secara lengkap


 Bahasa mudah dipahami
 Didokumentasikan dalam rekam medis,
ditandatangani dokter dan pasien
 Informasi dianggap merugikan kesehatan pasien
atau pasien menolak  diberikan kepada
keluarga dengan saksi tenaga kesehatan lain
Penjelasan Paraf
Diagnosis dan tata cara
tindakan
Tujuan tindakan yang
dilakukan
Alternatif tindakan dan
risikonya
Risiko dan komplikasi
yang mungkin timbul
Prognosis

Tanda tangan dokter

Tanda tangan pasien/wali


Informed Consent
 Emergency  life saving atau mencegah kecacatan
 tidak perlu Informed Consent

 Keputusan oleh dokter  beneficence  dicatat


dalam rekam medis

 Penjelasan segera setelah pasien sadar atau kepada


keluarga terdekat
Pembatalan Consent
 Dapat dibatalkan sebelum dimulai tindakan
 Pembatalan harus tertulis  akibat yang timbul dari
pembatalan menjadi tanggung jawab yang
membatalkan
Penolakan Tindakan Kedokteran

 Penolakan dapat dilakukan oleh pihak pasien


setelah menerima penjelasan
 Penolakan harus tertulis  akibat yang timbul
menjadi tanggung jawab pasien
 Penolakan tidak memutuskan hubungan dokter dan
pasien
Thank u

Anda mungkin juga menyukai