Anda di halaman 1dari 8

KONFLIK DIKAWASAN PESISIR DAN LAUT

DI SUSUN OLEH :

 Baharuddin
 Firli Wijayanti
 Fitria Syahrani
 Moh. Shesar
 Nurafnita Masyhura
 Nursalwasari
 Nurul Zhakila Madani (KETUA)
 Reisti Handayani
 Rezaldi Irwansyah
 Trisnawati Patta
1.1 LATAR BELAKANG
Kawasan pesisir adalah wilayah daratan dan wilayah laut yang bertemu di garis pantai di mana wilayah daratan mencakup daerah
yang tergenang atau tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh proses‐proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air
laut. Sedangkan wilayah laut mencakup perairan yang dipengaruhi oleh proses‐proses alami daratan seperti sedimentasi dan aliran
air tawar ke laut serta perairan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia di darat. Pengelolaan kawasan pesisir melibatkan
pengelolaan pemanfaatan perairan dan daratan pesisir secara menerus dan dan sumberdayanya dalam area yang ditetapkan.
Batasannya biasanya ditentukan secara politis oleh legislasi atau pemerintah.
Selama ini, perairan pulau‐pulau kecil yang memiliki potensi perikanan yang tinggi ini cenderung menjadi tempat praktek
penangkapan yang tidak ramah lingkungan, seperti pengeboman, pembiusan dan penggunaan racun, baik oleh nelayan asing
maupun oleh nelayan lokal. Akibatnya, pengelolaan pesisir pulau‐pulau kecil cenderung eksploitatif, tidak efisien dan tidak‐
sustainable. Banyak faktor‐faktor yang menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya pesisir pulau‐pulau kecil ini,
antara lain ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan.
Semua permasalahan lingkungan adalah masalah hak pemilikan, dan hampir semua konflik mengenai pengambilan sumberdaya
pesisir muncul sebagai akibat kesulitan dalam menjelaskan rezim pemilikan (property regimes). Terdapat empat tipe rezim
pemilikan 1) Open access property sebagai milik semua orang, 2) Common property sebagai milik sekelompok orang yang
memiliki peraturan atau persetujuan yang tidak tertulis seperti hukum adat, 3) State property sebagai milik negara, dan 4) Private
property sebagai milik perorangan atau swasta (company).
Perbedaan tipe hak pemilikan tersebut menentukan kerangka kerja pengelolaan pesisir dan aturan bagaimana pengelolaan tersebut
berlangsung. Perbedaan aturan yang sering berbeda satu sama lain inilah yang kerap memicu konflik dalam pengelolaan pesisir.
Konflik sosial muncul (exist) ketika dua orang atau kelompok atau lebih menunjukkan bahwa mereka memiliki kepercayaan yang
berbeda. Konflik adalah suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif
kepadanya atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lain. Konflik juga
diartikan sebagai benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan,
dan kelangkaan sumber daya.
Dalam pengertian tersebut, wujud konflik mencakup rentang yang amat luas: mulai dari ketidaksetujuan yang samar‐samar, sampai
dengan tindakan kekerasan. Pendek kata setiap perbedaan itu merupakan potensi konflik, yang jika tidak ditangani secara baik,
potensi konflik itu bisa berubah menjadi konflik terbuka.
1.2    Rumusan Masalah
·         Apa yang dimaksud dengan Pesisir?
·         Apa tujuan dari pengetahuan karakteristik pesisir ?
·         Apa saja manfaat dari wilayah pesisir?
·         Apa saja jenis konflik pada wilayah pesisir dan laut ?
1.3 Tujuan Penulisan
·         Mengetahui dan memahami tentang pesisir.
·         Mengetahui dan memahami tujuan dari pengetahuan tentang
wilayah pesisir.
·         Mengetahui dan menelaah manfaat dari wilayah pesisir.
·         Mengenal dan menelaah jenis konflik pada wilayah pesisir dan
laut.
BAB II
KAWASAN PESISIR DAN KARAKTERISTIKNYA
2.1. Definisi Pesisir
Definisi kawasan pesisir adalah wilayah daratan dan wilayah laut yang bertemu di garis pantai di mana wilayah daratan mencakup daerah yang tergenang atau
tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh proses‐proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut.
2.2. Karakteristik Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir memiliki karakteristik yang unik baik dilihat dari aspek bio‐geofisik maupun aspek sosial, ekonomi dan budaya. Dahuri (2000) menyatakan
setidaknya ada enam karakteristik pesisir: 1) Terdapat keterkaitan ekologis baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan
lahan atas dan laut lepas; 2) Dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa‐jasa lingkungan yang dapat
dikembangkan untuk kepentingan pembangunan; 3) Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki
keterampilan atau keahlian dan kesenangan bekerja yang berbeda. Hal ini mengakibatkan pemanfaatan berbagai sumberdaya yang ada; 4) Baik secara ekologis
maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus
kepada kegagalan usaha; 5) Kawasan pesisir merupakan kawasan milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open
access). Setiap pengguna sumberdaya berkeinginan untuk memaksimalkan keuntungan sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran, over‐eksploitasi sumberdaya
alam dan konflik pemanfaatan ruang; dan 6) Selain karakteristik di atas, kawasan pesisir merupakan kawasan yang secara hayati sangat produktif dan subur. Pada
kawasan pesisir juga dilakukan berbagai aktivitas manusia sehingga terjadinya interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir dan laut.
2.3. Batas Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir memiliki karakteristik yang unik baik dilihat dari aspek bio‐geofisik maupun aspek sosial, ekonomi dan budaya. Dahuri (2000) menyatakan setidaknya ada
enam karakteristik pesisir: 1) Terdapat keterkaitan ekologis baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut
lepas; 2) Dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa‐jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan
pembangunan; 3) Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan atau keahlian dan kesenangan
bekerja yang berbeda. Hal ini mengakibatkan pemanfaatan berbagai sumberdaya yang ada; 4) Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir
secara monokultur adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus kepada kegagalan usaha; 5) Kawasan pesisir merupakan kawasan
milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Setiap pengguna sumberdaya berkeinginan untuk
memaksimalkan keuntungan sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran, over‐eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang; dan 6) Selain
karakteristik di atas, kawasan pesisir merupakan kawasan yang secara hayati sangat produktif dan subur. Pada kawasan pesisir juga dilakukan berbagai aktivitas manusia
sehingga terjadinya interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir dan laut.
2.4. Sumberdaya Pesisir
Dahuri et.al. (2001) menyatakan bahwa sumberdaya alam di kawasan pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources),
(2) sumberdaya tak dapat pulih (non‐renewable resources), dan (3) jasa‐jasa lingkungan (environmental sevices).
2.5. Model Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Interaksinya
Model pemanfaatan sumberdaya pesisir bisa sangat beragam. Mulai dari permukiman, penangkapan ikan, pariwisata bahkan sampai kepada kepentingan keamanan dan
pertahanan seperti instalasi militer, pangkalan militer dan media komunikasi.
2.6. Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir
Menurut Redfield (dalam Koentjaraningrat, 1990) ada empat tipe komunitas/masyarakat, yaitu city (kota), town (kota kecil), peasant village (desa petani), dan tribal
village (desa terisolasi). Setiap komunitas tersebut memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Proses transformasi dari desa terisolasi ke kota,
menurut Koentjaraningrat (dalam Satria, 2002) ditandai dengan: (1) kendurnya ikatan adat istiadat, (2) sekularisasi, dan (3) individualisasi.
2.7. Pengertian dan Penggolongan Nelayan
Ditjen Perikanan (dalam Satria, 2002) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
Adapun orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau ke alat‐alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. Sementara
itu, ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkap disebut nelayan meskipun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan. Sama dengan
penangkapan ikan pada kegiatan pembudidayaan, orang yang disebut petani ikan adalah orang yang melakukan pekerjaan pemeliharaan ikan sebagai anggota rumah
tangga maupun buruh/tenaga kerja.
BAB III
KONFLIK DAN ANATOMI KONFLIK
3.1. Definisi Konflik
Kriesberg (1998) menyatakan bahwa konflik sosial muncul (exist) ketika dua orang atau kelompok atau lebih menunjukkan bahwa
mereka memiliki kepercayaan yang berbeda. Menurut Soerjono dalam Darwin (2005), konflik adalah suatu proses terjadinya
pertentangan, kekuasaan, kedudukan, dan seterusnya, di mana salah satu pihak berusaha menghancurkan pihak lain. Robbin dalam
Darwin (2005), memberikan definisi konflik secara lebih luas, yaitu konflik dikatakan sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu
pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu
memberikan pengaruh negatif kepada pihak lain. Dalam pengertian tersebut, wujud konflik mencakup rentang yang amat luas: mulai
dari ketidaksetujuan yang samar‐samar, sampai dengan tindakan kekerasan. Pendek kata setiap perbedaan itu merupakan potensi
konflik, yang jika tidak ditangani secara baik, potensi konflik itu bisa berubah menjadi konflik terbuka.
3.2. Teori‐ Teori Konflik
3.2.1. Teori Karl Marx
3.2.2. Teori Max Weber
3.2.3. Teori Emille Durkhem
3.2.4. Teori Ralf Dahrendorf
3.2.5. Teori Lewis Coser
3.3. Sumber‐sumber Konflik
Menurut Mochran (2003), konflik cenderung muncul dalam situasi dimana:
a. Sumberdaya langka
b. Kebutuhan (identitas) manusia terancam
c. Adanya ketidakseimbangan struktural
d. Informasi yang tidak akurat
e. Tujuan yang bersaing
f. Hubungan antar sesama yang buruk
3.4. Wujud dan Jenis Konflik
Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanan ‐tekanan
yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke permukaan.
3.5. Tahapan Konflik
Tahap 1: Konflik Laten
Tahap 2: Konflik Mulai Muncul
Tahap 3: Konflik tanpa Kekerasan
Tahap 4: Konflik dengan Kekerasan
3.6. Anatomi Konflik Nelayan
Secara anatomis, konflik dalam masyarakat pesisir, khususnya nelayan, dapat dikatagorikan ke dalam berbagai macam bentuk
berdasarkan faktor‐faktor penyebabnya.
BAB IV
RESOLUSI KONFLIK
1.Teori Hubungan Masyarakat
Dalam masyarakat yang heterogen, seringkali kegagalan dalam interaksi sosial karena arogansi masing ‐masing kelompok. Arogansi kelompok
tersebut melahirkan polarisasi berkepanjangan. Bahkan, tidak jarang pula diikuti dengan ketidakpercayaan dan permusuhan antar kelompok yang
berbeda dalam masyarakat. Contoh konflik ini adalah perkelahian antara warga dari dua wilayah yang berbeda.
2. Teori Negosiasi Prinsip
Perbedaan kepentingan dan ketidakselarasan di antara dua pihak seringkali menimbulkan konflik. Konflik jenis ini semakin rumit dengan adanya
perbedaan pandangan di antara kedua belah pihak berkenaan konflik itu sendiri. Hal ini terjadi karena salah satu atau kedua belah pihak tidak
dapat memisahkan perasaan pribadi dari berbagai masalah dan isu. Akhirnya, seringkali permasalahan menjadi semakin berkembang karena ikut
sertanya permasalahan atau perasaan pribadi dalam konflik tersebut.
3. Teori Kebutuhan Manusia
Manusia dalam hidupnya memiliki tingkat kebutuhan hidup mulai dari kebutuhan dasar (primer), kebutuhan sekunder hingga kebutuhan tersier
(luxury). Secara garis besar, kebutuhan dasar manusia dapat dikelompokkan menjadi kebutuhan fisik (makan, minum, pakaia dan tempat tinggal),
kebutuhan mental (beragama atau memiliki kepercayaan), dan kebutuhan sosial (kebutuhan berkumpul, menyatakan pendapat dan menyandang
identitas tertentu). Kebutuhan dasar manusia itu harus terpenuhi karena menyangkut hajat hidup manusia.
4. Teori Identitas
Dalam sejarah kehidupan manusia, seringkali terjadi upaya penghancuran suatu kelompok masyarakat karena kekuasaan ataupun karena dendam
sejarah karena penderitaan masa lalu. Tindakan suatu kelompok dalam hal ini menjadi ancaman dan ketakutan bagi kelompok lain. Dalam kondisi
seimbang, kelompok‐kelompok yang bertikai akan selalu melancarkan serangan‐serangan untuk mengalahkan lawannya.
5. Teori Kesalahpahaman Budaya
Keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, selain sebagai pemersatu bangsa, berpotensi juga menimbulkan konflik. Konflik dapat
muncul jika terjadi kesalahpahaman antar budaya disebabkan kurangnya pengetahuan tentang budaya lain. Selain itu, konflik semacam ini muncul
juga karena purwa rupa (stereotype) negatif yang dibentuk satu pihak terhadap pihak lain yang mengurangi rasa saling menghormati di antara
mereka.
6. Teori Transformasi Konflik
Asumsi yang digunakan dalam teori transformasi konflik adalah konflik muncul akibat ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
masalah‐masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan ini seringkali terbangun dalam struktur sosial suatu masyarakat
sehingga subordinasi ini dirasakan sebagai tekanan yang terus menerus. Hambatan struktural ini sangat sulit ditembus. Sasaran yang ingin dicapai
untuk menyelesaikan konflik ini menurut teori transformasi konflik adalah mengubah struktur yang tidak setara dan tidak adil dalam sistem sosial,
budaya maupun ekonomi itu.
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang kini mulai bergeser dari SDA darat kearah
pemanfaatan SDA pesisir dan laut. Hal ini didasarkan pada alasan masih besarnya potensi
yang belum dieksploitasi dan telah terjadi degradasi lahan, hutan, dan air serta
kerusakan lingkungan yang mengancam kelestariannya akibat eksploitasi selama ini.
Kerusakan lingkungan hidup, khususnya wilayah pesisir dan laut ditengarai akibat
adanya kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan. Beberapa
kerusakan lingkungan di wilayah ini seperti pencemaran, rusaknya terumbu karang,
hilangnya sumber makanan ikan karena pencemaran, abrasi pantai, pendangkalan, alih
fungsi lahan, dan lain-lain.
Permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir pantai pada umumnya meliputi
terjadinya perubahan fungsi lahan, intrusi air laut, abrasi dan akresi pantai, kerusakan
dan berkurangnya luasan mangrove dan terumbu karang.
SARAN
Konflik dikawasan pesisir dan laut tidak akan terjadi apa bila proses pengelolaan lingkungan pesisir dan laut dilakukan
dengan lebih
memandang situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya dapat
disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Karena setiap masyarakat
memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang dianut dan merupakan kearifan masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
 
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Pusat Kajian Sumberdaya Peisisr dan
Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bromley, D.W. 1997. Environmental Problems in Southeast Asia: Property Regimes as Cause and Solution. International
Development Research Center, Ottawa, Canada.
Cicin‐sain, B dan Knecht, R.W. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concept and Practice. Island Press,
Washington, D.C.
Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Kerjasama LIPI dengan Ditjen P3K
DKP, Jakarta.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P. dan Sitepu, M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Darwin, M. 2005. Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Pulau-pulau Kecil di Kecamatan Siantan dan Palmatak
Kabupaten Natuna. Tesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (tidak diterbitkan).
Departemen Kimpraswil. 2003. Tinjauan Aspek Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir. Seminar
Umum Dies Natalis ITS ke‐43 di Surabaya, 8 Oktober 2003.
Kay, R. dan Alder, J. 1999. Coastal Planning and Management. Routledge, New York.
Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan dan Mentalitas. Gramedia, Jakarta.
Kriesberg, L. 1998. Constuctive Conflict: from Escalation to Resolution. Rowman & Littlefield publisher Inc. Maryland.
Masakanah, S. dan F. H. Fuad. 2000 . Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin Bogor.
Mitchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D.W. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Mochran, D.B. 2003. Analisis Konflik dan Resolusi Konflik. Dalam Modul Pelatihan ICZPM.
Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta.
Putra, S. dan I. Idris. 2001. Conflicts of Coastal Managementin North Sulawesi. Makalah pada The 7th PRSCO Summer
Institute/The 4th IRSA International Conference. Bali, 2002.

Anda mungkin juga menyukai