Anda di halaman 1dari 25

PERAN AHLI KESEHATAN LINGKUNGAN

DALAM PENCAPAIAN MDG’ѕ DAN


MENGHADAPI GLOBALISASI

OLEH:

M.SYAHNAN PURBA,SKM,M.Sc
(Dosen Sanitasi/Poltekkes Kemenkes
Tanjungpinang)
PERAN AHLI KESEHATAN LINGKUNGAN DALAM
PENCAPAIAN MDG’ѕ DAN MENGHADAPI GLOBALISASI
1. Pendahuluan
Masalah kesehatan lingkungan di Indonesia, amat beragam. Hal ini
disebabkan karena adanya keragaman kondisi pertumbuhan sosial
ekonomi antar wilayah, maupun perbedaan-perbedaan topografi dan
geografi, seperti kepulauan dan pegunungan maupun keragaman
budaya. Dengan demikian upaya untuk menetapkan prioritas program
kesling secara nasional merupakan hal yang sulit. Penentuan prioritas
hanya dapat dilakukan pada tingkatan propinsi ataupun kabupaten.

Harus disadari bahwa masalah kesling selain dapat berubah dari


waktu kewaktu, dapat pula bersifat lintas batas wilayah administratif.
Untuk itu, dalam kebijakan otonomi, dianjurkan adanya mekanisme
kerja sama antar wilayah otonomi apabila memiliki persamaan
permasalahan yang terletak diperbatasan yang hendak diselesaikan
yang didukung oleh surveilans faktor risiko kesling (Achmadi, 2012)
Indonesia sebagai warga dunia, dewasa ini memiliki banyak
komitmen internasional. Komitmen-komitmen tersebut memiliki
relevansi erat dan implikasi terhadap profesi ahli kesling yang
harus diselesaikan. Sebagai contoh adalah kewajiban Indonesia
sebagai bangsa dan negara untuk menyelesaikan pencapaian
komitmen Development Goals, dan sekaligus mempersiapkan
sistem dan infrastruktur untuk menghadapi faktor risiko
lingkungan berkenaan dengan globalisasi.
Walaupun target pencapaian MDG harus tercapai pada tahun
2015 ini, akan tetapi akan ada MDG jilid 2 yang dikenal dengan
istilah post MDG atau beyond MDG. Kesehatan lingkungan
masih mewarnai post MDG’ѕ. Profesi kesehatan lingkungan
akan terus memiliki peluang untuk mengembangkan karir
berbasis ilmu pengetahuan dan keterampilan (profesionalisme)
MDG adalah kesepakatan para pemimpin untuk
melaksanakan pembangunan, dengan target-target yang
telah ditetapkan seperti pengurangan angka kemiskinan,
angka kematian ibu, angka kematian bayi,
pemberantasan penyakit menular, pendidikan dan tentu
saja accessibility terhadap “basic sanitation”.
Kesemuanya saling berkait, diperlukan kerja sama antar
sektor.
Keterkaitan antara kemiskinan, angka kematian bayi,
pendidikan, penyakit menular (infeksi), accesibilitas
terhadap sanitasi dasar, amat erat satu sama lain. Inti
dari berbagai persoalan tersebut diatas adalah
kemiskinan dan kesehatan lingkungan, utamanya
sanitasi dasar.
Kejadian penyakit senantiasa berbasis
lingkungan, baik penyakit menular maupun
penyakit tidak menular. Penyakit menular itu
sendiri dapat dikategorikan sebagai penyakit
menular klasik yang kadang muncul kembali
seperti malaria dan tubercolusis, maupun
penyakit menular yang baru atau new emerging
diseases. Kesemuanya selain berbasis lingkungan
di asosiasikan dengan lingkungan kemiskinan.
Studi yang mengkaitkan antara aksesibilitas
saniatsi dasar dengan kejadian penyakit menular
telah banyak dilakukan.
Hasil studi WHO tahun 2007, menunjukkan
kejadian diare menurun 32% dengan
meningkatkan akses masyarakat terhadap
sanitasi dasar, 45% perilaku mencuci tangan
pakai sabun, dan 39% perilaku pengelolaan air
minum yang aman di rumah tangga.
Dengan mengintegrasikan ketiga perilaku
intervensi tersebut, kejadian diare menurun
sebesar 94 %. Selain berakar pada lingkungan,
juga kemiskinan dan penyakit menular serta
keterjangkauan terhadap akses pelayanan
kesehatan.
Riskesdas (2007), menunjukkan bahwa tiga
masalah utama penyebab kematian anak
dibawah lima tahun (balita) adalah diare,
pneumonia dan infeksi pencernaan lainnya.
Semua berakar pada lingkungan, terutama pada
akses air bersih dan rumah sehat (indoor air
pollution).Buruknya kondisi sanitasi merupakan
salah satu penyebab kematian anak dibawah
3 tahun yaitu 19% atau sekitar 100.000 anak
meninggal karena diare setiap tahunnya dan
kerugian ekonomi diperkirakan sebesar 2,3% dari
Produk Domestik Bruto (studi World Bank,2007)
Berdasarkan studi Basic Human Service (BHS)
di Indonesia tahun 2006, perilaku masyarakat
dalam mencuci tangan adalah (i) setelah buang
air besar 12%, (ii) setelah membersihkan tinja
bayi dan balita 9% , (iii) sebelum makan 14%, (iv)
sebelum memberi makan bayi 7%, dan (v)
sebelum menyiapkan makanan 6%.
Studi BHS yang lain terhadap perilaku
pengelolaan air minum rumah tangga
menunjukkan 99,20% merebus air untuk
mendapatkan air minum, tetapi 47,50% dari air
tersebut masih mengandung E.Coli.
Kondisi tersebut berkontribusi terhadap tingginya
angka kejadian diare di Indonesia. Hal ini terlihat
dari angka kejadian diare nasional pada tahun
2006, 423 per seribu penduduk pada semua umur,
dan 16 Propinsi mengalami KLB diare dengan Case
Fatality Rate (CFR) sebesar 2,52.
Setiap permasalahan kesehatan dengan
determinan utama kualitas kesehatan lingkungan
baik sanitasi dasar maupun pencemaran, selalu
memiliki atau melibatkan aspek perilaku. Menurut
Achmadi (2012), bahwa kejadian penyakit
merupakan hubungan interaktif antara lingkungan
dan kependudukan, didalamnya termasuk perilaku.
Meski ada kaitan dengan perilaku, namun hendaknya
jangan sampai isu perilaku dijadikan isu utama, karena
dapat mengaburkan masalah dan ketidak tepatan dalam
solusi permasalahan. Pokok permasalahan MDG adalah
akses sanitasi dasar dan air bersih, bukan perilaku.
Perubahan perilaku diperlukan manakala “community
participation“ diperlukan, atau kesiapan untuk menerima
berbagai sarana atau infratruktur seperti sarana jamban,
sarana air bersih, ketersediaan sabun untuk CPTS, dll.
Pencapaian MDG jangan HANYA bertumpu pada
perubahan lifestyle. Keliru. Lingkungan yang harus
diperbaiki bukan hanya lifestyle. Pandangan yang baik
tentu keduanya tidak dapat dipisahkan bagaikan sisi koin
yang berbeda namun tidak bisa berdiri sendiri.
Riskesdas (2010), menunjukkan bahwa pada daerah-
daerah tertentu, masih mengalami masalah sanitasi
dasar. Tantangan pembangunan sanitasi di Indonesia
adalah masalah kebiasaan dan perilaku penduduk yang
buang air besar (BAB) disembarang tempat, khususnya
ke badan air (sungai), yang airnya juga digunakan untuk
mencuci, mandi, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Sanitasi total adalah kondisi ketika suatu komunitas
tidak buang air besar (BAB) sembarangan, mencuci
tangan pakai sabun, mengelola air minum dan makanan
yang aman, mengelola sampah dengan benar dan
mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman (5
pilar STBM).
Menurut RPJMN tahun 2004-2009, Pemerintah telah
memberikan perhatian di bidang Higiene dan Sanitasi dengan
menetapkan Open Defication Free (ODF). Sejalan dengan hal di atas
target MDGѕ (Millenium Development Goals) tahun 2015, yaitu
meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar secara
berkesinambungan kepada separuh dari proporsi penduduk yang
belum mendapatkan akses.

STBM menjadi salah satu prioritas sejak tahun 2008, dan diuji
sejak tahun 2004/2005 pilot projec untuk 6 Kab di Propinsi
Sumatera Barat, Banten, dan Jabar. Replikasi STBM selanjutnya
CLTS (Community Led Total Sanitation) di berbagai lokasi dilakukan
oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Namun seperti dikemukakan oleh utusan khusus MDG Indonesia,
hingga tahun 2013 pencapaian akses sanitasi dasar masih diberi
tanda warna merah, artinya belum atau sulit mencapai target .
(Moeloek, 2013).
Penyakit menular tidak selalu dikaitkan dengan air bersih
ataupun sanitasi dasar. Meski demikian, kadang kala vector borne
diseases berkaitan dengan sanitasi atau pun air bersih. Sebagai
contoh, BAB ditempat terbuka rawan transmisi malaria dan
filariasis. Kasus-kasus outbreak malaria diberbagai wilayah
seperti Maluku, Banjar negara (Jawa tengah) muncul dimusim
kemarau ketika debet air bersih berkurang dan penduduk antre
untuk mendapatkan air bersih.

Implikasinya, seorang sanitarian harus memahami transmisi


malaria, tempat-tempat dimana penduduk kontak dengan
nyamuk. Ahli kesehatan lingkungan harus memahami konsep
Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, yakni konsep yang
mengintegrasikan tatalaksana kasus dengan faktor risiko
lingkungan, dan menggalang kerja sama lintas sektor dalam suatu
wilayah.
Integrasi tersebut harus dimulai di Puskesmas
(Klinik Sanitasi). Klinik Sanitasi setara dengan
Poliklinik, kerja sama antara klinik sanitasi
dengan Poliklinik harus terjalin. Sistim harus
dikembangkan. Selain itu ahli kesehatan
lingkungan khususnya sanitarian harus
memahami penyakit lain yang merupakan
penyakit endemik khususnya di permukiman
penduduk miskin, seperti tuberkulosis,
pnemonia, dan penyakit menular lain yang tidak
berbasis sanitasi dasar.
2. Peran Ahli Kesehatan Lingkungan
a. Berperan dalam pemerintahan maupun
sektor swasta (LSM).
b. Kemampuan menggalang kerja sama lintas sektor
dan partisipasi masyarakat dalam masalah sanitasi
dasar.
c. Ahli kesehatan lingkungan dapat mempelajari dan
mengembangkan keilmuan teknologi sanitasi
appropriate berbasis budaya.
d. Ahli kesehatan lingkungan harus menguasai ilmu
pemicuan (partisipasi) berbasis budaya lokal.
e. Melakukan kerja sama dan koordinasi lintas program
dalam penanganan/pengobatan kasus atau penyakit
menular berbasis lingkungan.
3. Globalisasi Pencemaran Lingkungan dan
Laboratorium
Teknologi adalah faktor risiko kesehatan. Perubahan
teknologi perubahan risiko kesehatan, dan pada akhirnya
perubahan pola penyakit. Tenaga kesehatan harus
mampu mengantisipasi untuk tujuan preventif (ADKL dan
AMDAL), dan mampu melakukan upaya rehabilitatif bagi
yang sudah terkena dampaknya.
Akibat jumlah manusia yang semakin bertambah,
serta kegiatan manusia yang semakin kompleks dan
semakin dinamik, maka limbah semakin besar
volumenya. Limbah, baik berupa limbah padat, limbah
cair, maupun limbah udara, merupakan bencana atau
malapetaka dunia yang tersembunyi.
Ilmu, pendidikan keahlian dan praktek kesehatan
lingkungan harus didukung oleh Laboratorium yang
handal, baik yang konvensional seperti pengukuran pH,
suhu, BOD, COD, namun juga alat-alat yang mampu
mengukur partikel nano. Tanpa dukungan laboratorium,
bagaikan mobil berjalan di gurun pasir tanpa parameter
monitor.
Ketika jumlah penduduk semakin banyak, terjadi
kesenjangan relatif, antara produksi limbah dengan
kemampuan alam, maka perlu dibantu dengan kegiatan
yang dikenal dengan pengolahan limbah, seperti
pembakaran, penghancuran, pembusukan, dan lain
sebagainya. Sayangnya, kegiatan pengolahan limbah
dengan metode pembakaran menghasilkan limbah lagi.
Kini sudah ada teknologi pembakaran sampah
dengan suhu yang sangat tinggi dan tidak
mengeluarkan banyak limbah turunan kedua.
Limbah kegiatan manusia merubah kondisi atau
kualitas lingkungan tidak sesuai dengan peruntukkan
hidup manusia dengan berbagai kegiatannya.
Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh
limbah dapat menyebabkan penurunan kualitas
lingkungan yang bisa memberikan dampak terhadap
berbagai komponen lingkungan hidup lainnya.
Diantara komponen lingkungan hidup yang paling
sering berinteraksi dengan manusia dan kehidupan
lainnya adalah :
a. Udara, baik dirumah, dijalan maupun
ditempat kerja serta rekreasi.
b. Air baik untuk keperluan minum, mandi,
maupun rekreasi
c. Pangan baik produk pertanian maupun
makanan olahan.
Dalam pertemuan dunia di Johannesburg
ditargetkan pada tahun 2020, merupakan target
untuk dunia bebas penggunaan bahan kimia dan
logam berat yang membahayakan kesehatan
manusia maupun lingkungan (Schirnding, 2005)
4. Dampak Globalisasi bagi tenaga kesling
a. Globalisasi ketenagaan. Tenaga akan mengalir searah
dengan modal dan kemakmuran. Globalisasi akan
menyebabkan negara-negara semakin menyatukan
sistem, dalam hal ini kemungkinan terjadi sistim
kapitalisme dengan segala accessories dan
metaformosisnya. Akan terjadi desakan untuk memiliki
standard kompetensi internasional.
Negara berkembang akan di jajah oleh tenaga asing
yang “konon” lebih profesional. Tenaga-tenaga dari
Singapore, Jepang, Eropa mendukung teknologi mereka.
Profesi lain mengikutinya. Dokter harus memiliki
standard internasional, demikian pula dengan ahli
kesehatan lingkungan.
b. Diperlukan tenaga sarjana dan spesialis
kesehatan lingkungan, yang memahami
pengetahuan dasar seperti genetik, ilmu-ilmu
yang tergabung kedalam ilmu hayati atau
biologi (psikologi, sosiologi) manusia yang harus
dilindungi, identifikasi potensi bahaya baik pada
sisi manusia (kelemahan secara genetik,
biologis pada manusia, psikologi,sosiologis),
maupun memahami dan mengukur potensi
bahaya lingkungan (air, udara, pangan,serangga
dan binatang, manusia itu sendiri sebgai
pemindah/penular penyakit), dll.
c. Ahli Kesehatan Lingkungan memerlukan infrastruktur
laboratorium untuk pengukuran dan diagnostik. Diperlukan
networking dan sistim rujukan. Harus ada ahli kesehatan
lingkungan yang menguasai laboratorium dengan landasan
kuat metode epidemiologi kesehatan lingkungan. Diperlukan
jenis ketenagaan dan jenis pendidikan profesi kesehatan
lingkungan.
Profesi asal kata dari profesio, artinya dikenal recognized
oleh orang lain, berkaitan dengan talenta seseorang (unsur
profesi, memiliki body of knowledge, mahir, ada unsur
keterampilan, skill, arts, leverage) bukan mengaku aku ahli,
sebutan, gelar atau pemalsuan fraud, plagiarisme, apalagi
fabrication.Tenaga kesehatan lingkungan harus memiliki
kompetensi yang jelas sesuai dengan kebutuhan
perkembangan permasalahan di atas.
5. Keberlanjutan Program
Sejalan dengan perkembangan pembangunan,
pertumbuhan penduduk, dan perubahan lingkungan lainnya,
permasalahan kesehatan lingkungan masih terus berlanjut,
dan masalah tersebut akan selalu ada selama masih
terdapat kegiatan manusia dan perubahan alam yang
terbentang. Masih diperlukan tenaga kesehatan lingkungan
untuk masa yad, mulai dari D3, sarjana, profesi, spesialis
dan pasca sarjana, yaitu tenaga yang berpengalaman dan
berketerampilan baik di bidang sanitasi dasar (sanitarian)
maupun keahlian kesehatan lingkungan bidang pencegahan
dan penanggulangan pencemaran akibat kegiatan manusia
dan perubahan alam tersebut.
Bidang ilmu Kesehatan Lingkungan, bidang ilmu
yang akan tetap dibutuhkan dan diminati
masyarakat luas, baik hal-hal yang berkaitan dengan
sanitasi dasar maupun globalisasi. Yang diperlukan
adalah spesialisasi, serta adanya sistem baik
pendidikan maupun ketenagaan.
Pengalaman negara maju, program kesehatan
lingkungan ini telah eksis lebih dari 100 tahun, dan
terus berkembang hingga saat ini. Untuk itu, perlu
kesiapan untuk menghadapi “perubahan” dan
penyesuaian seiring dengan waktu. Ahli kesehatan
lingkungan harus mengikuti pertemuan ilmiah
secara berkala dan berkesinambungan.
TERIMA KASIH,
DAN
ASSALLAMU ALAIKUM W. WB......!

Anda mungkin juga menyukai