Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KELOMPOK 5

TENTANG
LAFADZ MUQAYYAD
DI SUSUN OLEH:

RAODATUL JANNAH (410722009)


NURUL HUDA (410722007)
MATA KULIAH: USUL FIQHI 2
DOSEN PENDAMPING: Ririn musdalifah, S.Pd., M.A
PENGERTIAN LAFADZ MUQAYYAD
A. Pengertian Lafadz Muqayyad
 Muqayyad secara bahasa berarti dibatasi oleh batasan. Sedangkan menurut
istilah, muqayyad adalah suatu lafaz tertentu yang dibatasi oleh batasan, lafaz lain yang
mengurangi keumumannya.
 
lafaz muqayyad adalah kebaikan dari lafaz mutlaq. Manna’ al-Qaththan dalam Mabahis fi
‘Ulum al-Quran, mendefenisikannya sebagai suatu lafaz yang menunjukkan atas suatu
hakikat dengan adanya Batasan. Sebagai contoh firman allah dalam QS Al-Nisa ayat 92:
“dan tidak lagi bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), karena kecuali
tersalah (tidak sengaja), dan barang siapapun membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seseorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang di serahakan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah…”
BENTUK LAFADZ MUQAYYAD

Bentuk muqayyad dalam suatu nash itu ada dua yakni:


1.  Taqyid Muttashil
Taqyid Muttashil adalah apabila lafadz mutlaq dan muqayyad berada pada satu susunan
kalimat atau nas yang sama, bentuk dari taqyid bisa berupa:
a) Sifat, yang dimaksud sifat disini ialah semua sifat yang bisa menghilangkan bagian dari cakupan
lafadz muthlaq. Yang artinya segala sifat yang bisa merinci dan membatasi keumuman lafadz
yang muthlaq. Yang artinya segala sifat yang merinci dan membatasi keumuman lafal Mutlaq.  
“Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman.” (QS. Al-Nisa: 92).
 

b) Syarat
c) Ghayah (batas waktu)
“Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadar:5)
Kata Sampai terbit fajar merupakan batas waktu yang membatasi dari keluasan
makna kesejahteraan, sehingga implikasinya kesejahteraan itu akan hilang
ketika fajar terbit. 
d) Alam (nama)
“dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad”(Muhammad)” (QS. Al-Shaff: 6) 

e) Isyarah
(Dikatakan kepada mereka): "Ini adalah suatu rombongan (pengikut-pengikutmu)
yang masuk berdesak-desak bersama kamu (ke neraka)". (Berkata pemimpin-
pemimpin mereka yang durhaka): "Tiadalah Ucapan selamat datang kepada mereka
karena Sesungguhnya mereka akan masuk neraka". (QS. Al-Shad: 59) 
Lafad hadza merupakan sebuah isyarah yang membatasi kemuthlakan lafadz Suatu
rombongan.
 
2. Taqyid Munfasil
Taqyid munfasil merupakan kebalikan dari yang muttasil yag berarti antara lafadz
atau nash yang muthlaq dengan yang muqayyad berlainan tempat atau tidak
beradapada satu susunan kalimat.
a.  Taqyid al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyembelih seekor sapi betina. (QS. Al-Baqarah: 67).
Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan
di antara itu. (QS. Al-Baqarah: 68).
“Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya,
lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (QS. Al-Baqarah: 69).
... bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah di pakai untuk
membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, dan tidak
ada belangnya. (QS. Al-Baqarah: 71).
 
 
b.  Taqyid al-Qur’an dengan Sunnah
“... jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkorban”. (QS. Al-Baqarah:
196)
Lafadz Shiyam, Shodaqoh dan Nusuk merupakan lafadz yang muthlak karena tidak ada
batasan berapa kali puasa atau bebas menentukan jumlah sedekah yang akan diberikan dsb.
Oleh karena itu ayat tersebut di taqyid dengan Sunnah Nabi:
“Cukurlah rambut kepalamu, berilah makan (shadaqah) sebanyak 6 orang miskin; 3 sha’ untuk
mereka, berpuasalah 3 hari, atau sembelihlah seekor hewan sembelihan”
Dari keterangan Sunnah diatas dapat dimengerti bahwa puasa yang dikehendaki adalah
puasa selama 3 hari, bersedekah kepada 6 orang miskin sebanyak 3 sha’, ataupun
menyembelih seekor hewan sembelihan.
 
Macam-macam lafal muqayyad
a) Terdapat Pada QS Al-Maidah Ayat 3:
 
ِ ‫الد ُم َول َْح ُم ال ِْخن ْ ِز‬
 ‫ير‬ َ ّ ‫عل َيْك ُُم ال َْميْتَ ُة َو‬
َ ‫ت‬
ْ ‫ُح ِ ّر َم‬
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi” (QS Al-maidah:3) 
Lafazh “darah” pada ayat diatas adalah muthlaq tanpa ada batasan.
b) Pada Al-Qur'an Surat Al-An’amayat145,

ْ ‫ـحا َأ ْو َلـــ‬
‫ح َمـ ِخنْ ِز ٍير‬ ً ‫ـع ٍم َيـــ ْط َع ُم ُهـ ِإ لَّا َأْن َيـــك َُون َميْ َت ًة َأ ْو َدـ ًما َم ْس ُفـو‬ ‫ق ْـل َلــا َأجِ ُد ِفـــي َمـا ُأوـ ِحـ َ ِإ‬ 
ِ ‫يلـ ّ ََي ُم َح ّ َرـ ًما َعل َٰى َطـا‬ ُ
“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan)
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang
mengalir atau daging babi.” (QS. Al An’am : 145)
Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”  Karena ada
persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al Maidah ayat 3 yang muthlaq
wajib dibawa (diartikan) ke muqayyad, yaitu “darah yang mengalir.”
 
Kaidah lafal muqayyad
 surah Al-an’am ayat 145 dalamk masalah yang sama yaitu
“dam” darah yang di haramakan.  
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir.
Lafadz dam (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad , karena diikuti oleh qarinah atau qayid
yaitu lafadz masfuhan (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah
dam-an masfuhan (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-AnAm ayat 145 ini dengan surat al-Maidah
ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan. Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab
dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat
pada ayat yang muqayyad , maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik
kepada muqayyad.
 
Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan
harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-AnAm ayat 145.
 
 Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”
 
Lafal yad (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafal yang
mengikatnya yaitu ila al-marafiq (sampai dengan siku). Maka berdasarkan
ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
 
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu
keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda.
Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah,
sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka
ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang
muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa
dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’
 
yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku.
Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan
hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
 
Contoh lafal muqayyad
 terdapat dalam Quran surah al-an’am ayat 45 yaitu:
“tidaklah aku memperoleh didalam wahyu yang di turunkan kepadaku, akan
sesuatu makanan yang haram atas orang yang hendak memakanya, kecuali
bangkai darah yang mengalir atau daging babi.” (Qs. Al-An’am:145)
 terdapat dalam Quran surah al-maidah ayat 3yaitu:
“diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi. (QS. Al-Maidah:3)
 
Kedua ayat tersebut berisi sebab ysng sama, yaitu hendak makan, dan berisi
hukum yang sama, yaitu: haramnya darah.
 
 
 
THANKS!!!!

Anda mungkin juga menyukai