Anda di halaman 1dari 7

SEMIOTIKA DALAM

KAJIAN KEBUDAYAAN
Dosen Pengampu:
Ary Nugraha & Triyono Bramantyo
(Minggu 4)
Dapat dipahami, teori Pierce mengenai interpretant, the
Thirdness, adalah dimensi interpretif (pemahaman) dari
proses menandai (signifying) sebagai cara dimana
hubungan antara sebuah Tanda dan obyeknya
dimanifestasikan (diejawantahkan) di dalam pengertian
makna (meaning). Pierce sendiri menyatakan dengan
tegas bahwa, “A Sign is something which stands to
somebody for something in some respect or capacity”
[“Sebuah Tanda adalah sesuatu yang berhadapan
kepada seseorang demi sesuatu yang memiliki arti atau
kapasitas tertentu”].

S.C. Pierce, Op.Cit., p. 39.


Di atas tadi disinggung pendapat Kant tentang makna dan
pengalaman estetik yang dikatakannya sebagai proses yang tiada
habisnya atas penandaan (signification). Jika dibuat analisis
komparatif atas pendapat tersebut dalam hubungannya dengan
pendapat Pierce, maka penilaian estetik bukan merupakan penilaian
atas makna dalam pengertian yang konvensional (seperti membuat
interpretasi misalnya). Melainkan hal itu—penilaian estetik tersebut
—secara conditio sine qua non menghendaki proses interpretif dari
pencarian makna sebagai dasar atas pengalaman tersebut.
Obyek estetik (sebuah obyek dalam aspek estetiknya),
dengan begitu, harus terbuka untuk interpretasi secara
sustainable (dapat diperbaharui). Estetika, dengan
demikian, menandai sebuah keadiluhungan yang
bersifat inheren di dalam materialitas benda atau karya
seni sehingga membawa potensi ke arah yang bersifat
dapat dipahami (interpretability).
Karya musik klasik Barat adalah salah satu contoh
obyek estetika yang dapat dikaji secara ontologis.
Schopenhauer pernah membuat pernyataan bahwa,
“Music is a secret metaphysical exercise of the
philosophizing the soul” (“Musik adalah sebuah kunci
rahasia metafisik untuk membijaksanakan jiwa”).

Valerie Rosenberg, “Music and the Flask of Wine”, dalam Lantern, Journal
for Knowledge and Culture, Vol. XXIII, No. 4, June 1974, p. 66.
Jika kita mengadakan pengkajian ontologis secara ekstensif
terhadap seni pertunjukan tradisional kita seperti karya-
karya karawitan yang adiluhung itu misalnya, maka
pemahaman atas makna serta diseminasi apresiasi dan
revitalisasi genre ini akan terwujud (terejawantahkan) tidak
hanya sebagai diskursus yang verbal, melainkan sampai
kepada implementasi ke arah pengembangan teori dan
teknologi karawitan yang sudah mengalami stagnasi
semenjak akhir zaman Majapahit di abad ke-13.
Terima kasih …

Anda mungkin juga menyukai