Bab 5
Proyeksi Peta
5.1 Pengertian Proyeksi Peta
Persoalan ditemui dalam upaya menggambarkan garis yang nampak lurus pada muka lengkungan bumi ke bidang datar peta. Bila cakupan daerah pengukuran dan penggambaran tidak terlalu luas, seperti halnya dalam ilmu ukur tanah (plane surveying) yang muka lengkungan bumi bisa dianggap datar maka tidak ditemui perbedaan yang berarti antara unsur di muka bumi dan gambarannya di peta. Proyeksi peta adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau keseluruhan permukaan tiga dimensi yang secara kasaran berbentuk bola ke permukaan datar dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin. Dalam proyeksi peta diupayakan sistem yang memberikan hubungan antara posisi titik-titik di muka bumi dan di peta. Bentuk bumi bukanlah bola tetapi lebih menyerupai ellips 3 dimensi atau ellipsoid. Istilah ini sinonim dengan istilah spheroid yang digunakan untuk menyatakan bentuk bumi. Karena bumi tidak uniform, maka digunakan istilah geoid untuk menyatakan bentuk bumi yang menyerupai ellipsoid tetapi dengan bentuk muka yang sangat tidak beraturan. Untuk menghindari kompleksitas model matematik geoid, maka dipilih model ellipsoid terbaik pada daerah pemetaan, yaitu yang penyimpangannya terkecil terhadap geoid. WGS-84 (World Geodetic System) dan GRS-1980 (Geodetic Reference System) adalah ellipsoid terbaik untuk keseluruhan geoid. Penyimpangan terbesar antara geoid dengan ellipsoid WGS-84 adalah 60 m di atas dan 100 m di bawah-nya. Bila ukuran sumbu panjang ellipsoid WGS-84 adalah 6 378 137 m dengan kegepengan 1/298.257, maka rasio penyimpangan terbesar ini adalah 1 / 100 000. Indonesia, seperti halnya negara lainnya, menggunakan ukuran ellipsoid ini untuk pengukuran dan pemetaan di Indonesia. WGS-84 "diatur, diimpitkan" sedemikian rupa diperoleh penyimpangan terkecil di kawasan Nusantara RI. Titik impit WGS-84 dengan geoid di Indonesia dikenal sebagai datum Padang (datum geodesi relatif) yang digunakan sebagai titik reference dalam pemetaan nasional. Sebelumnya juga dikenal datum Genuk di daerah sekitar Semarang untuk pemetaan yang dibuat Belanda. Menggunakan ER yang sama WGS 84, sejak 1995 pemetaan nasional di Indonesia menggunakan datum geodesi absolut. DGN95. Dalam sistem datum absolut ini, pusat ER berimpit dengan pusat masa bumi. Untuk memudahkan rekonstruksi proyeksi peta dari titik di muka bumi maka digunakan model spheroid dengan volume yang sama dengan spheroid terbaik. Rekonstruksi proyeksi peta yang baik adalah yang bisa meminimkan distorsi dalam hal: luas, bentuk, arah dan jarak. Dalam praktek tak ada satupun sistem proyeksi peta yang bisa menghasilkan peta dengan keempat faktor luas, bentuk, arah dan jarak tidak mengalami distorsi. Upaya mempertahan salah satu unsur berakibat terjadinya distorsi pada unsur yang lain. Sistem proyeksi peta dibuat untuk mereduksi sekecil mungkin distorsi tersebut dengan: Membagi daerah yang dipetakan menjadi bagian-bagian yang tidak terlalu luas, dan
Menggunakan bidang peta berupa bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan tanpa mengalami distorsi seperti bidang kerucut dan bidang silinder. Kebanyakan orang enggan untuk berpindah atau ganti dari satu sistem proyeksi peta ke sistem proyeksi peta yang lain. Namun dengan berkembang majunya teknologi komputer dan komunikasi dengan terapannya dalam bidang pemetaan, seperti GPS dan GIS, maka perpindahan sistem proyeksi merupakan hal yang penting dan untuk dikerjakan.
Proyeksi "Polysuperficial": Banyak bidang proyeksi Posisi sumbu simetri bidang proyeksi terhadap sumbu bumi: Proyeksi Normal: Sumbu simetri bidang proyeksi berimpit dengan sumbu bola bumi. Proyeksi Miring: Sumbu simetri bidang proyeksi miring terhadap sumbu bola bumi. Proyeksi Traversal: Sumbu simetri bidang proyeksi ^ terhadap sumbu bola bumi.
KELAS 1. Bid. Proyeksi Pertimbangan EKSTRINSIK 2. Persinggungan 3. Posisi Pertimbangan INTRINSIK 4. Sifat 5. Generasi Bid. Datar Tangent Bid. Kerucut Secant Bid. Silinder Polysuperficial
Pertimbangan dalam pemilihan proyeksi peta untuk pembuatan peta skala besar adalah: Distorsi pada peta berada pada batas-batas kesalahan grafis Sebanyak mungkin lembar peta yang bisa digabungkan Perhitungan plotting setiap lembar sesederhana mungkin Plotting manual bisa dibuat dengan cara semudah-mudahnya Menggunakan titik-titik kontrol sehingga posisinya segera bisa diplot.
Gambar 5.1: Jenis bidang proyeksi dan kedudukannya terhadap bidang datum
Gambar 5.2: Bumi sebagai spheroid. Bidang Datum Dan Bidang Proyeksi: Bidang datum adalah bidang yang akan digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinatnya (j ,l ). Bidang proyeksi adalah bidang yang akan digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinatnya (X,Y). Ellipsoid: a. Sumbu panjang (a) dan sumbu pendek (b) b. Kegepengan ( flattening ) - f = (a - b)/b
Gambar 5.3: Geometri elipsoid. c. Garis geodesic adalah kurva terpendek yang menghubungkan dua titik pada permukaan elipsoid. d. Garis Orthodrome adalah proyeksi garis geodesic pada bidang proyeksi.
e. Garis Loxodrome ( Rhumbline) adalah garis (kurva) yang menghubungkan titik-titik dengan azimuth a yang tetap.
Gambar 5.4: Rhumbline atau loxodrome menghubungkan titik-titik dengan azimuth yang tetap.
Gambar 5.5: orthodrome dan loxodrome pada proyeksi gnomonis dan proyeksi mercator.
Gambar 5.7: Proyeksi polyeder: bidang datum dan bidang proyeksi. Digunakan untuk daerah 20' x 20' ( 37 km x 37 km ), sehingga bisa memperkecil distorsi. Bumi dibagi dalam jalur-jalur yang dibatasi oleh dua garis paralel dengan lintang sebesar 20' atau tiap jalur selebar 20' diproyeksikan pada kerucut tersendiri. Bidang kerucut menyinggung pada garis paralel tengah yang merupakan paralel baku - k = 1. Meridian tergambar sebagai garis lurus yang konvergen ke arah kutub, ke arah KU untuk daerah di sebelah utara ekuator dan ke arah KS untuk daerah di selatan ekuator. Paralelparalel tergambar sebagai lingkaran konsentris. Untuk jarak-jarak kurang dari 30 km, koreksi jurusan kecil sekali sehingga bisa diabaikan. Konvergensi meridian di tepi bagian derajat di wilayah Indonesia maksimum 1.75'.
Gambar 5.8: Lembar proyeksi peta polyeder di bagian lintang utara dan lintang selatan
Gambar 5.9: Konvergensi meridian pada proyeksi polyeder. Secara praktis, pada kawasan 20' x 20', jarak hasil ukuran di muka bumi dan jarak lurusnya di bidang proyeksi mendekati sama atau bisa dianggap sama. Proyeksi polyeder di Indonesia digunakan untuk pemetaan topografi dengan cakupan: 94 40 BT - 141 BT, yang dibagi sama tiap 20' atau menjadi 139 bagian, 11 LS - 6 LU, yang diabgi tiap 20' atau menjadi 51 bagian. Penomoran dari barat ke timur: 1, 2, 3, ... , 139, dan penomoran dari LU ke LS: I, II, III, ... , LI.
Gambar 5.10: Kedudukan bidang proyeksi silinder terhadap bola bumi pada proyeksi UTM
Pada kedua gambar tersebut, ekuator tergambar sebagai garis lurus dan meridian-meridian tergambar sedikit melengkung. Karena proyeksi UTM bersifat konform, maka paralel-paralel juga tergambar agak melengkung sehingga perpotongannya dengan meridian membentuk sudut siku. Ekuator tergambar sebagai garis lurus dan dipotong tegak lurus oleh proyeksi meridian tengah yang juga terproyeksi sebagai garis lurus melalui titik V dan VI. Kedua garis ini digunakan sebagai sumbu sistem koordinat (X,Y) proyeksi pada setip zone. Sistem grid pada proyeksi UTM terdiri dari garis lurus yang sejajar meridian tengah. Lingkaran tempat perpotongan silinder dengan bola bumi tergambar sebagai garis lurus. Pada daerah I, V, II dan III, VI, IV gambar proyeksi mengalami pengecilan, sedangkan pada daerah IA, IIB, IIIC dan IVD
mengalami perbesaran. Garis tebal dan garis putus-putus pada gambar menunjukkan proyeksi lingkaran-lingkaran melalui
N, M A Ag As Kg Km
Kn tmt
As = Ag + tmt = A + Kg + tmt
s S D m a, b e2 e' 2 k0 k K
Jarak spheroid = jarak di atas spheroid sepanjang garis geodesi atau sepanjang irisan normal busur. Jarak grid adalah panjang busur sebagai proyeksi dari jarak geodesi (jarak di spheroid) Jarak di bidang datar, yaitu garis penghubung lurus antara dua titik di bidang datar. Panjang meridian pada spheroid dihitung dari katulistiwa. Setengah sumbu panjang dan sumbu pendek ellipsoid Eksentrisitas ellipsoid = (a2 - b2)/a2 Eksentrisitas kedua = (a2 - b2)/b2 Angka perbesaran (faktor skala) pada meridian tengah = 0.9996. Angka perbesaran titik di sembarang tempat. Angka perbesaran garis di sembarang tempat. Konvergensi Meridian:
5.6.1 Ukuran Lembar Peta dan Cara Menghitung Titik Sudut Lembar Peta UTM
Susunan Sistem Koordinat Ukuran satu lembar bagian derajat adalah 6 arah meridian 8 arah paralel (6 x 8 ) atau sekitar (665 km x 885 km). Pusat koordinat tiap bagian lembar derajat adalah perpotongan meridian tengah dengan "paralel" tengah. Absis dan ordinat semu di (0,0) adalah + 500 000 m, dan + 0 m untuk wilayah di sebelah utara ekuator atau + 10 000 000 m untuk wilayah di sebelah selatan ekuator. Gambar 5.14 dan 5.15 menunjukkan sistem koordinat dan faktor skala pada setiap lembar
peta. Perhatikan pada absis antara 320 000 m 500 000 m dan 680 000 m 500 000 m terjadi pengecilan faktor skala dari 1 ke 0.9996. Sedangkan pada selang diluar kedua daerah ini terjadi perbesaran faktor skala. Misalnya, pada tepi zone atau sekitar 300 km di sebelah barat dan timur meriadian tengah, untuk jarak 1 000 m pada meridian tengah akan tergambar 1.000 070 x 1 000 m = 1 000.70 m, atau terjadi distorsi sekitar 70 cm / 1 000 m.
Gambar 5.15: Grafik faktor skala proyeksi peta UTM. Lembar Peta UTM Global Penomoran setiap lembar bujur 6 dari 180 BB 180 BT menggunakan angka Arab 1 60. Penomoran setiap lembar arah paralel 80 LS 84 LU menggunakan huruf latin besar dimulai dengan huruf C dan berakhir huruf X dengan tidak menggunakan huruf I dan O. Selang seragam setiap 8 mulai 80 LS 72 LU atau C W. Menggunakan cara penomoran seperti itu, secara global pada proyeksi UTM, wilayah Indonesia di mulai pada zone 46 dengan meridian sentral 93 BT dan berakhir pada zone 54 dengan meridian sentral 141 BT, serta 4 satuan arah lintang, yaitu L, M, N dan P dimulai dari 15 LS 10 LU. Lembar Peta UTM Skala 1 : 250 000 di Indonesia
c. Angka Romawi I XVII untuk penomoran bagian lembar setiap 1 pada arah
a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 100 000 adalah 30 x 30. b. Satu lembar peta skala 1 : 250 000 dibagi menjadi 6 bagian lembar peta skala 1 : 100
000.
a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 50 000 adalah 15 x 15. b. Satu lembar peta skala 1 : 100 000 dibagi menjadi 4 bagian lembar peta skala 1 : 50
000.
c. Penomoran menggunakan angka Romawi I, II, III dan IV dimulai dari pojok kanan
atas searah jarum jam. Lembar Peta UTM Skala 1 : 25 000 di Indonesia
a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 25 000 adalah 7 x 7 . b. Satu lembar peta skala 1 : 50 000 dibagi menjadi 4 bagian lembar peta skala 1 : 25 c.
000. Penomoran menggunakan huruf latin kecil a, b, c dan d dimulai dari pojok kanan atas searah jarum jam.
5.6.2 Kebaikan Proyeksi UTM a. Proyeksi simetris selebar 6 untuk setiap zone, b. Transformasi koordinat dari zone ke zone dapat dikerjakan dengan rumus yang sama untuk c.
setiap zone di seluruh dunia, Distorsi berkisar antara - 40 cm / 1 000 m dan 70 cm / 1 000 m.
Nomor Zone
47.1 47.2 48.1 48.2 49.1 49.2 50.1 50.2 51.1 51.2 52.1 52.2 53.1 53.2 54.1
97 30 100 .0 103 30 106 30 109 30 112 30 115 30 118 30 121 30 124 30 127 30 130 30 133 30 136 30 139 30
96 99 102 105 108 111 114 117 120 123 126 129 132 135 138
99 102 105 108 111 114 117 120 123 126 129 132 135 138 141
Ketentuan sistem proyeksi peta TM-3 : a. Proyeksi : TM dengan lebar zone 3 b. Sumbu pertama (Y) : Meridian sentral dari setiap zone c. Sumbu kedua (X) : Ekuator d. Satuan : Meter e. Absis semu (T) : 200 000 meter + X f. Ordinat semu (U) : 1 500 000 meter + Y g. Faktor skala pada meridian sentral : 0.9999
Rangkuman
Sistem proyeksi peta dipilih untuk menggambarkan rupa bumi tiga dimensi ke muka bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin. Tak ada satu sistem proyeksi peta-pun yang mampu memproyeksikan ke bidang datar bentuk, luas dan jarak
rupa bumi sama persis tanpa distorsi. Sistem proyeksi peta yang sekarang umum digunakan adalah UTM. Di Indonesia, UTM dimodifikasi dengan membagi lembar peta UTM menjadi (3 x 3). Sistem proyeksi peta UTM digunakan oleh BAKOSURTANAL untuk JKGN Orde 0 dan 1, sedangkan TM3 digunakan oleh eks Badan Pertanahan Nasional untuk JKGN Orde 2 dan 3. Peta topografi Indonesia buatan Belanda menggunakan sistem proyeksi Polyeder.
Daftar Pustaka
1. Aryono Prihandito, (1988), Proyeksi Peta, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 2. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 6. 3. KBK Pemetaan Sistematik dan Rekayasa, (1997), Buku Petunjuk Penggunaan Proyeksi TM3 Dalam Pengukuran dan Pemetaan Kadastral, Jurusan Teknik Geodesi FTSP ITB, Bandung.