Anda di halaman 1dari 2

UU Pengelolaan Sumberdaya Alam

Pengelolaan sumber daya alam, ternyata tidak punya term yang tepat, dan berakibat fatal setelah otonomi daerah yang digulirkan dengan adanya perubahan UU Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemberian porsi daerah yang begitu besar dengan adannya perubahan UU itu memberi kekuasaan untuk mengelolah sumber daya alam (SDA). Selama ini pengelolaan SDA terpola dengan sistem kekuasaan yang dikendalikan pusat. Kini, daerah punya kekuasaan untuk mengatur daerahnya sendiri . Semangat membangun daerahnya dengan SDA yang dimiliki, seakan-akan jadi jalan pintas menuju daerah yang mampu mensejahtarakan rakyatnya. Maka mulailah pemerintah daerah menjadi menjadikan SDA sebagai sumber PAD. Caranya dengan eksploitasi hutan secara besar-besaran, minyak bumi, gas bumi, batu bara dan lain-lain. Kebijakan daerah tersebut selalu diberi slogan untuk kemakmuran rakyat. Tapi kenyataannya kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, pelayanan kesehatan yang rendah dan pengangguran makin banyak. Apa yang salah dengan pembangunan pengelolaan SDA kita didaerah? Siapa yang menikmati SDA yang berlimpah, sementara rakyat tetap menderita? Kita seakan kembali ke zaman orde baru, kroni-kroni kekuasan bisa menikmati SDA. Nuansa nepotisme sangat kental dan menjadikan segelindir orang saja yang menguasai pengelolahan SDA. Di Kalimantan Timur, suku Dayak dipersilakan menonton saja bagaimana hutan alamnya dibabat. Padahal ketika orang Dayak menebang sendiri pohonnya untuk keperluan hidupnya, mereka diuber-uber seperti maling di kawasan adatnya. Sementara itu pemerintah mengobral izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) kepada para pengusaha. Dalam membangun kita tidak bisa menggunakan sumber alam saja. Sumber ini meliputi segala sesuatu di alam materi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia secara langsung dan tidak langsung untuk keperluan apapun. Sinar matahari, udara-pohon-pohon, batu bara, minyak dan gas bumi, air terjun adalah bagian dari contoh kekayaan (sumber) akam yang ada. Konsep ini dinamis karena apa-apa yang dianggap tidak berguna di satu ketika bisa menjadi sumber utama berkat adanya kemanjuan teknologi atau suatu perubahan dalam kebiasaan hidup. Ini jelas konsep ekonomi mengingat sebuah potensi alam dapat dijadikan suatu sumber daya hanya bila pengggunaanya menguntungkan. Konsep ini pasti bukan dewa apalagi Tuhan di mana kelangusungan hidupnya tergantung seluruhnya pada sumber-sumber yang tersedia dilingkunganya. Selama ini SDA dianggap sebagai warisan nenek moyang dan sesuai dengan anggapan itu, kita pun bertingkah sebagai pemilik dan penguasa pusaka alami tesebut. Maka, generasi sekarang mengklaim berhak menguras semuanya, termasuk sumber masa depan, guna memenuhi kebutuhannya. Tanpa disadari bahwa generasi mendatang telah jadi korban dari perilaku generasi sekrang. Pemerintah orde baru menempuh jalur pembangunan ekonomi dengan jalan eksploitasi SDA secara besar-besaran. Tujuannya untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, tapi dampaknya rakyat miskin tetap miskin dan terpinggirkan. Semantara itu konglomerat tumbuh dimana-mana. Dalam perjalanannya, orde baru menjadi pilar yang dominan untuk mengusai SDA yang seharusnya untuk kemakmuran rakyat seperti diamanatkan pasal 33 UUD 1945. Faktanya, pemerintah bertindak melebihi batas, masyarakat pun protes. Aparat keamanan dijadikan alat politik untuk merendam konflik dan membungkam orang-orang yang berseberangan pemerintah. Golkar sebagai kekuatan politik terbesar pada waktu telah mendominasi, kebijakan yang diambil tidak kecuali dalam pengelolahan sumber daya

alam sangat lengkat.. Birokrasi juga bebas melalukan pengingkaran, penindasan dan kesewenangannya dalam pengelolahan SDA. Kita punya SDA melimpah, tapi sebagai penduduknya tetap miskin, akibatnya terjadi krisis ekonomi. Ada yang salah dalam urusan pengelolaan SDA selama ini. Sehingga besarnya kandungan kekayaaan alam di Indonesia tidak mampu menyelesaikan persoalan masyarakat. Artinya, potensi SDA dan penguatan ekonomi masyarakat saling bertolak belakang. Ke depan harus pemanfaatan SDA menjadi semakin. Dalam pemanfaatan hutan yang menikmati adalah pemegang HPH. Sedangkan hutannya sendiri, dibiarkan merasa setelah dieksploitasi habis-habisan. Pemerintah dan pemegang HPH tidak pernah berpikir untuk memberikan bagian yang setimpal kepada alam. Padahal alam butuh biaya penyembuhan dari kerusakan yang dideritanya, demi kelastarian alam dan kebahagian anak cucu di kemudian hari. Pemerintah dan pemegang HPH lupa dengan pesan Bung Hatta. Proklamator ini pernah menyatakan bahwa hutan ini adalah sumber alam kita par excellence dan sangat menentukan eksistensi negara bangsa yang kemerdekaannya telah kita tegakkan melalui perjuangan. Seandainya sekarang ada pemimpin bangsa yang berjiwa seperti Bung Hatta, pasti makmur bangsaku. Selamatkanlah hutan Kalimantan.

Anda mungkin juga menyukai