Anda di halaman 1dari 4

Mengarang adalah berjuang

Menulis buat saya adalah pekerjaan yang tidak mudah. Bertahun-tahun saya belajar dari tulisan orang lain yang saya kagumi. Saya kagum pada cerita Pramudya. Ia terasa kokoh. Bahasanya mengalir, lancar, kaya dengan ungkapan yang baru. Kemudian Toha Mohtar menuntun saya pada kesederhanaan dan kejujuran. Trisnoyuwono mengajarkan saya keberanian untuk menelanjangi diri sendiri. Sementara Rijonp Pratikto membuat saya menyadari betapa pentingnya imajinasi dan plot. Lalu Goenawan Mohamad mengajak saya untuk memperluas wawasan dan menajamkan gagasan. Pekerjaan sebagai wartawan memberi saya pemahaman dead line. Dari penulis penulis mancanegara seperti William Saroyan, Hemingway, John Steinbeck, Anton Chekow, O Henry, Guy De Maupassant, Edgar Allan Poe, Christian Anderson, Boris Pasternak, Samuel Backett, bahkan juga Agatha Christie dan Sir Canon Doyle, saya mempelajari teknik menyusun plot, takaran dan bobot, pertukangan dan dimensi menulis. Bahwa menulis bukan hanya sekadar cerita, tetapi juga mengemukakan pendapat dengan strategi yang diperhitungkan namun tampa kehilangan rasa dan spontanitas. Menulis menjadi pengembangan pikiran-pikiran. Kemudian berkelanjutan pada menulis sebagai pemaparan-pemaparan spiritual yang bertujuan untuk memberikan pengalaman spiritual pada pembaca. Pada awal menulis, menterjemahkan ide ke dalam tulisan merupakan saat yang melelahkan. Untunglah saya sudah membaca Teknik Mengarang karya Mohtar Lubis sejak saya di SMA, sehingga saya tahu bagaimana mengatasi rasa jemu dan lelah dan bagaimana memikat pembaca dalam menulis. Buku tersebut menyadarkan kepada saya bahwa seperempat bagian dalam menulis adalah masalah psikologis penulis, seperempat lagi masalah teknik penulisan, seperempat lagi adalah wawasan dan seperempat terakhir adalah gagasan. Yang tak kalah pentingnya adalah pertemuan saya penyair dan dramawan Kirjomulya ketika ia menyutradai saya untuk main drama Anton Chenov (Badak) di SMA. Kirjomulyo menyadarkan pada saya bahwa mengarang adalah berjuang. Mengarang adalah pekerjaan yang menuntut kerja, berbagai upaya, kesetiaan dan kegigihan. Karena setelah sebuah karangan selesai, masih banyak yang harus dilakukan, untuk memperjuangkan karangan tersebut hadir selayaknya. Saya baru sadar bahwa mengarang itu adalah perjalanan panjang yang memerlukan kesabaran karena penuh dengan ujian. Setelah bertahun-tahun menulis, saya menemukan berbagai kiat, yang memungkinkan sama atau bisa bertentangan dengan kiat-kiat penulis lain. Masing-masing penulis memang memiliki persoalan berbeda dan watak-watak lain serta sasaran yang tidak sama. Berikut ini beberapa kiat yang saya temukan dalam bekerja. Kiat-kiat yang sama sekali tidak berdalil. Sekadar pegangan sementara, untuk memudahkan kerja, sampai terbukti ada kebenaran-kebenaran lain. Saya percaya kebenaran itu datang perlahan-lahan, tidak henti-hentinya mengalir kepada kita kalau terus bekerja. Menciptakan dialog dengan tulisan Sebuah tulisan yang baik selalu tersusun dalam struktur. Ada awal, isi dan kesimpulan. Ada introduksi, analisa dan akhirnya opini. Secara umum bentuknya menjadi awal, isi dan akhir. Tetapi sudah lama ada berbagai terobosan yang mengacak urutan, sehingga kesimpulan bisa ditempatkan di awal, kemudian mundur perlaan-lahan memberikan introduksi dan kemudian. Itu membuat tulisan menjadi dinamis. Namun tak tercegah juga kadang bisa malahan ruwet. Struktur tulisan sudah beragam dan tidak bisa dibandingkan untuk mencari yang terbaik. Materi tulisan, format tulisan, karakter penulis, bahkan setting ke mana dan kepada siapa serta dalam situasi bagaimana tulisan itu dilahirkan, memberi andil besar terhadap struktur mana yang kemudian dipilih. Karena struktur pada akhirnya adalah bagian dari strategi, untuk membuat tulisan tersebut lebih berbicara kepada pembacanya.

Strategi sendiri adalah bagian dari teknik penulisan. Tehnik penulisan menentukan wujud dan karakter dari isi pikiran yang hendak disampaikan. Ia bukan hanya struktur, ia juga mengandung pertimbangan psikologis yang memberi emosi pada tulisan, sehingga tulisan menjadi hidup. Sebuah tulisan yang hidup, adalah sebuah tulisan yang tidak hanya merupakan monolog penulis, tetapi juga menyiapkan ruang-ruang, yang memungkinkan terjadinya dialog dengan pembaca. Tidak benar bahwa sebuah tulisan adalah tulisan satu arah. Karena dengan tehnik yang tentunya didasari oleh niat penulisnya, dapat dirakit sedemikian rupa , sehingga sebuah tulisan yang pada dasarnya adalah monolog, menjadi sebuah kesempatan berdialog. Untuk itu ada beberapa upaya. Dialog dimungkinkan dalam sebuah tulisan dengan mengikutsertakan pikiran-pikiran orang lain, baik yang sepaham maupun yang berbeda atau bertentangan dengan penulis. Pikiran-pikiran itu tentu saja disertakan dengan berbagai pertimbangan . Antara lain pertimbangan bahwa kemungkinan besar mewakili atau menampung suara pembaca. Dan kalau materinya sedemikian rupa sehingga diprediksi suara pembaca juga bisa beragam, sehingga tulisan menjadi semarak dengan berbagai pikiran, tak ubahnya seperti sebuah seminar demokratis. Seringkali pikiran-pikiran lain tersebut dituntut dan diburu-buru kehadirannya, untuk memberikan lawan-cakap (sparring partne) bagi pikiran kita. Karena itu akan merupakan ujian pertama dan sebaiknya juga bisa menjadi ujian terakhir bagi pikiran itu sendiri. Karena kalau ia sampai gugur bahkan tampak lemahd, ia dengan sendirinya tak layak dikemukakan pada orang lain. Lawan-lawan rembug tersebut akan menjadi lebih bagus kalau begitu menentang, licik, lihai dan kuat. Bahkan kalau ia mampu nyaris menghancurkan suara-suara yang hendak kita sampaikan kepada pembaca, itu akan membuat tulisan itu menjadi semakin solid, masif dan monumental. Bahkan seandainya pun kita kalah dan kita berhasil menyerah dengann jujur, pikiran-pikiran kita tetap akan merupakan tontonan tersendiri. Karena kejujuran merupkan pesona yang luar biasa. Tetapi tidak gampang untuk menampilkan kejujuran. Karena kalau sedikit saja ada pretensi, pembaca akan menciumnya dan itu sudah cukup untuk membatalkan kejururan tersebut. Kejujuran berarti menelanjangi diri sendiri habis habisan. Kalau masih ada yang ditutp-tutupi kejujuran itu makin kehilangan tenaganya. Karenanya yang pertama harus diselesaikan untuk bisa tampil jujur adalah mengalahkan diri sendiri. Hanya dengan kepasrahan yang tulus seluruh kalimat menjadi suci dan apapun yang dikatakan akan menjadi bersinar. Segala kekurangan, ketidaksempurnaan bahkan kekalahan dan kesalahan pun menjadi punya kelebihan tersendiri. Seorang penulis yang terlatih, yang memiliki wawasan yang luas dan jujur, tidak akan terganggu oleh pikiran-pikiran oarng lain yang ditaburnya dalam tulisannya. Ia bahkan dapdat membuat itu menjadi orkestra simphoni yang indah untuk lebih menonjolkan pikiran-pikirannya. Seorang penulis yang berpengalaman dan memiliki wawasan, sudah akan dapat menangkap susara pembaca dari setiap baris yang ditulisnya. Bahkan ia sudah akan dapat mendengar pertanyaanpertanyaan, bantahan atau persetujuan dari pembaca. Dengan pengetahuan yang mendahului terhadap reaksi pembaca atas tulisan yang sedang digarapnya, ia kan melakukan dua hal sekaligus. Sambil menulis pikiran-pikirannya, ia juga tak akan melupakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pembaca. Akibatnya, ia akan menakar sedemikian rupa setiap uraiannya, khususnya pada bagian bagian kesimpulan dan opini, sehingga akhirnya dengan berbagai cara, punya kemungkinan besar untuk diterima baik pembaca yang berbeda pendapat. Menulis dengan demikian tidak sama dengan orang ngoceh. Menulis adalah membangun opini orang dengan memamerkan opini kita. Tetapi opini itu tak mungking diserakkan begitu saja, tanpa memberikan latar belakang. Sebuah tulisan yang baik juga berarti serangkaian informasi. Dengan menjelaskan setting masalah secara jelas, seorang penulis berarti menyediakan kesempatan pada pembaca untuk bertanya dan berdebat. Kendati pada akhirnya, tulisan akan diakhiri dengan kesimpulan dan opini dari penulis, karena tulisan melangkah sambil menjawab, kesimpulannya akan cenderung sulit dibantah. Ini yang

membuat tulisan yang bagaimana pun tajamnya tiak akan terasa menyerang. Bahkan pembaca akan menghormatinya sebagai alternatif berfikir. Posisi Gaya, Akhir yang Mengambang Sudah sering dibicarakan tengnat posisi dari penulis. Apakah penulis dalan menuliskan gagasanya aka memposisikan dirinya sebagai seorang guru kepada murid, atau seorang murid kepada gurunya, atau juga seorang teman kepada teman yang lain. Yang belum dibicarakan adalah bahwa ketiga posisi itu sebenarnya bernilai sama, apabila ditempatkan sebagai gaya. Sebuah gaya dalam menulis adalah aksi tambahan yang membuat tulisan menjadi memiliki pesona. Salah satu gaya ditempatkan hanya sebagai pemoles. Sebab untuk menentukan gaya, itu sangat tergantung dari materi yang hendak disampaikan serta watak dari penulis serta juga kondisi umum dari para pembaca. Gaya adalah refleksi gabungan dari hasil studi terhadap materi yang disampaikan, keterbatasan diri penulis dan kondisi konkret pembaca. Gaya tidak menyeruduk begitu saja. Tidak merupakan jiplakan dari ulah orang lain yang dikagumi. Gaya adalah bagian dari upaya dan strategi dan sama sekali bukan tujuan, meskipun sangat mempengaruhi efisiensi dalam mencapai tujuan. Dengan gaya, tulisan menyusun siasat untuk merebut konsentrasi pembaca agar tetap terkonsentrasi pada tulisan, baik pada bagian bagian yang penting, dan khususnya pada bagian-bagian yang kurang menarik. Gaya akan membuat tulisan menjadi semacam tontonan. Gaya adalah irama, adalah musik, adalah dinamika, yang dapat membuat orang lupa waktu. Gaya menyulap yang sulit menjadi ringan. Serta yang buram menjadi bening. Gaya yang tepat dan otentik akan membuka hati pembaca dan penulis sendiri di dalam memproses tulisan. Gaya memberikan tenaga. Tetapi sebaliknya, gaya yang sekedar aksi, akan terasa kosong. Ia menjadi kanker di dalam tubuh. Musuh di dalam selimut yang menghancurkan makna tulisan. Bila tiga posisi tersebut di atas berhasil tampil ke hadirat pembaca bukan hanya sekedar gaya, maka kesan menggurui, kesan membodohi dan kesan tak sopan, akan menjadi hiburan yang tidak mengurangi penghargaan kepada materi yang hendak disampaikan. Dengan kata lain, ulah menggurui, aksi membodohkan pembaca dan tindakan anarkhis dalam sebuah tulisan tidak selamanya negatif. Dengan menjadikan gaya atau mendisiplinkannya sebagai gaya, maka ketiga tindakan tersebut dengan sendirinya akan mengandung tanda-kutip dan kemudian langsung berubah artinya menjadi kekuatan positif. Ia bahkan terasa akrab dan terus terang. Namun sedikit saja salah, sedikit saja tidak awas, sebentar saja tidak ketat, sedikit saja gaya itu melenceng menjadi tujuan, serta-merta ia akan menghancurkan seluruh kegunaanya dan kembali kepada arti yang asli sebagai : pencekokan, penindasan dan tindakan sewenang-wenang kepada pembaca. Cara untuk membuat ketiga posisi tersebut hanya sekedar kadar gaya, antara lain, sekali lagi antara lain, adalah dengan menata akhir tulisan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang mengambang. Pembaca diangkat lagi terbang dalam ruang yang hampa udara di mana tidak ada hukum gravitasi. Seluruh gerakan adalah murni tergantung dari pembaca sendiri. Setelah diberikan begitu banyak informasi, ia diberikan kesempatan untuk memilih yang terbaik baginya. Ia dibebaskan dari prasangka bahwa ia sudah diprogram, karena dialah yang berhak dan wajib memprogram dirinya. Dengan membuat pertanyaan yang mengambang , pembaca akan merasa dirinya dilibatkan dan diperhitungkan. Kesimpulan yang hendak diucapkan oleh penulis akan diucapkan sendiri oleh pembaca. Minimal pembaca akan menemukan sendiri tanpa dikonkretkan, walaupun belum tentu yang bersangkutan setuju. Namun dengan membuat pembaca berada pada posisi psikologis: sudah berhasil menemukan sesuatu yang tersembunyi-walaupun penemuan itu belum tentu mereka setujuipembaca akan merasa puas, terhormat, pintar dan berharga. Sebagai akibatnya mereka akan merasa sama sekali tidak rugi sudah menghabiskan waktu untuk membaca. Apalagi kesimpulan itu memang sesuatu yang disetujuinya. Tidak disetujuinya pun ia akan merasa terpuaskan.

Sebuah tulisan yang kuat akan memiliki daya pukau. Di situ kebenaran dan logika menyerah sesaat. Di situ penulis memiliki kesempatan yang bebas sekali untuk menembak apa saja. Tetapi dalam waktu yang relatif terbatas. Karena itu, penulis harus benar-benar mengformulasikan secara tepat apa yang hendak dikatakanya dan jangan sampai menjadi rancu dan sesat, apalagi terkecoh untuk menikmati saat yang penuh dengan kemenangan itu. Saat yang membuat seorang penulis menjadi seakan-akan seorang pencipta dengan p kecil.

Anda mungkin juga menyukai