Anda di halaman 1dari 4

Lembaga Informasi Perburuhan Sedane

Jl. Dewi Sartika 52 F Pasar Anyar Bogor Barat 16121 Telp./Fax: 0251-8344473 Email: perburuhan.sedane@gmail.com

Dinamika Perburuhan Indonesia


DINAMIKA adalah analisis enam-bulanan kondisi perburuhan di Indonesia yang didasarkan pada kliping sembilan media massa nasional dan sebelas media massa lokal (Kompas, Sindo, Bisnis Indonesia, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Tempo, Suara Merdeka, Metrot TV News.Com; Equator, Fajar Online, Lampung Post, Medan Bisnis, Swara Kita, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, Jurnal Bogor, Radar Banten, Solo Pos, Joglo Semar), buletin, majalah, dan jurnal perburuhan yang diterbitkan oleh serikat buruh maupun organisasi nonpemerintah (ornop) dan temuan-temuan lapangan serta laporan dari serikat buruh. DINAMIKA merupakan potret, dokumentasi dan analisis peristiwa-peristiwa perburuhan di Indonesia. INDONESIA LABOUR UPDATE JANUARI-MARET, 2012 SEDANE LABOUR RESOURCE CENTER (LIPS) Serikat Buruh dan Aksi Massa Tiga bulan pertama tahun 2012, terjadi lonjakan skala dan intensitas aksi massa serikat buruh, baik dilihat dari kepesertaan massa aksi maupun jumlah serikat buruh yang terlibat dalam aksi. Rentetan aksi massa tersebut dipicu oleh dua skema kebijakan neoliberal Pemerintah Indonesia: kebijakan politik upah murah, dan penarikan subsidi BBM. Sebagai ekspresi penolakan terhadap kebijakan politik upah murah yang diwakili oleh aksi gugatan kelompok bisnis (Apindo) terhadap revisi ketetapan UMK di tiga Kabupaten (Bekasi, Tangerang dan Serang), sepanjang Januari-Februari, puluhan bahkan ratusan ribu buruh secara simultan turun ke jalanan. Tidak kurang dari 40 ribu massa aksi serikat buruh memblokade jalan tol Cikampek, Bekasi. Kemudian sekitar 30 ribu massa aksi serikat buruh di Serang melakukan blokade jalan tol Cibitung. Puluhan ribu massa aksi serikat buruh juga melakukan penutupan Kawasan Berikat Nasional, Cakung, Jakarta Utara, serta melumpuhkan 7 kawasan industri di Bekasi. Selain itu puluhan ribu massa aksi juga mendatangi kantor Bupati dan Gubernur di Serang. Dalam rentetan aksi tersebut beberapa jalur jalan tol dan kawasan industri yang menjadi bagian penting dari perekonomian Indonesia lumpuh dalam beberapa jam. Dunia industri terus merengek dan mengaku merugi besar. Pemerintah geger, Presiden SBY meminta kementerian terkait untuk segera melakukan tindakan-tindakan penyelesaian di meja perundingan, bukan di jalanan. Pemerintah sebagai pihak mediator (dalam logika Tripartit) menjadi pihak yang sama-sama disalahkan oleh Serikat Buruh dan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Serikat Buruh menyalahkan pemerintah atas kebijakan politik upah murah selama ini, serta dipenuhinya gugatan Apindo atas ketetapan upah minimum kota Bekasi, Tangerang dan Serang oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sementara Apindo menyalahkan pihak Pemerintah Daerah, dalam hal ini Gubernur Jawa Barat (Bekasi), dan Gubernur Banten (Tangerang dan Serang) yang melakukan revisi terhadap ketetapan upah minimum yang dibuat

oleh dewan pengupahan atas tuntutan serikat buruh. Karena dinilai mengorbankan rasionalitas pasar demi mengejar populisme dengan menyerah kepada tuntutan buruh. Dalam hal ini, negara samasekali tidak memiliki kredibilitas sebagai mediator. Tidak lama, setelah rentetan aksi menolak gugatan Apindo atas ketetapan upah minimum kota/kabupatan sepanjang Januari-Februari memperoleh hasilnya dengan dicabutnya gugatan Apindo di PTUN, pada bulan Maret terjadi aksi menolak rencana kenaikan harga BBM yang terjadi secara bergantian di kota-kota besar di Indonesia. Serikat buruh, bersama mahasiswa, petani, miskin kota, ibu-ibu dan anak-anak, tumpah ruah ke jalanan menolak rencana kenaikan harga BBM. Dalam aksi tersebut, sulit untuk diingkari jika serikat buruh menjadi pelaku aksi yang paling dominan dengan kemampuannya memobilisasi massa dan melihat kembali jalanan sebagai ruang politik. Khusus di Jakarta sebagai pusat kekuasaan, setidaknya ada tiga tanggal dimana serikat buruh melakukan mobilisasi massa besar untuk menolak kenaikan harga BBM, tanggal 21, 29, dan puncaknya pada 30 Maret. Pada periode tiga bulan pertama tahun 2012 itulah, menurut penulis, aksi massa serikat buruh mampu menjelma menjadi mobilisasi politis dengan dampak mempengaruhi kebijakan yang cenderung lebih kuat dari aksi-aksi serikat buruh pasca Orde Baru sebelumnya. Rentetan aksi massa menolak rencana kenaikan BBM berhasil memecah suara kelompok Parpol koalisi pendukung pemerintah, dan memaksa mereka untuk mendukung isu-isu populis. Beberapa politisi bahkan mendukung aksi-aksi blokade jalan tol. Partai PKS serta PDI-P juga ikut bergabung bersama beberapa serikat buruh untuk menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Namun, penulis tidak sertamerta melihat partai tersebut, khususnya PDI-P, kemudian menjadi mengubah haluan dan keberpihakannya kepada buruh, mengingat ketika partai tersebut menjadi rezim dimana ketua umumnya Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden, pernah menaikkan harga BBM dan mengeluarkan UU No. 13 Tahun 2003 yang kemudian melegalkan praktik-praktik hubungan kerja tidak tetap. Dalam situasi ini penulis lebih cenderung melihat bahwa rentetan aksi massa-lah yang telah berhasil memecah belah Partai Politik. Kemudian untuk menghindari tekanan, dan sebagai bagian strategi menjaga citra untuk mendapatkan dukungan beberapa Partai Politik kemudian beralih pada populisme dan mendukung tuntutan serikat buruh. Selain itu, kali ini rentetan aksi massa serikat buruh mendapatkan respon dari pihak militer, khususnya Pangdam Jaya, Mayjen TNI Waris, yang dalam pernyataannya saat menghadiri apel gelar pasukan pengamanan unjuk rasa pada tanggal 1 Februari 2012, merasa militer harus turun tangan dalam mengatasi rentetan aksi buruh yang dinilai telah menggangu kepentingan publik, dengan cara menindak tegas para pengunjuk rasa yang dianggap mengganggu objek vital. Pangdam menyatakan akan mempertaruhkan jabatan, bahkan nyawanya serta mempersilakan personel TNI memukul dan mengusir demonstrasi buruh Tangerang Raya yang akan menuntut penolakan gugatan Apindo terhadap Revisi Upah Provinsi Banten, jika dianggap mengganggu obyek vital. Keterlibatan TNI dalam menangani aksi buruh, pada dasarnya menunjukkan dukungan militer terhadap modal. Selain itu sudah menjadi rahasia umum jika banyak perwira senior militer yang menjadi komisaris atau menjadi beking kelompok bisnis. Berkaca pada sejarah rezim militeristik Soeharto, --dimana militer melakukan penghancuran secara berdarah terhadap organisasi-organisasi buruh militan-- serikat buruh harus mewaspadai tindak-tanduk militer untuk kembali melakukan intervensi terhadap urusan perburuhan. *** Aksi massa di tiga kota, Bekasi, Tangerang, dan Serang, secara aktual berawal dari tindakan Dewan Pengurus Apindo Kabupaten Bekasi yang melakukan gugatan atas keputusan Gubernur

Jawa Barat atas ketetapan UMK Bekasi tahun 2012 sebesar Rp 1.491.866, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena menilai angka tersebut terlalu besar. Gugatan Apindo Bekasi ini kemudian diikuti oleh Apindo Kota Tangerang, yang menggugat hasil revisi ketetapan upah minimum kota Tangerang dari Rp 1.379.000 menjadi Rp 1.527.000. Revisi ketetapan upah minimum kota Tangerang ini kemudian menjadi acuan bagi Dewan Pengupahan Kabupaten Serang, yang merupakan Kabupaten yang bersebelahan dengan Kota Tangerang untuk turut melakukan revisi dari angka UMK Serang sebelumnnya sebesar Rp. 1.320.000, menjadi Rp. 1.469.500. Apindo menyalahkan pejabat pemerintah daerah, karena melakukan politisasi terhadap ketetapan upah minimum dengan mengorbankan rasionalitas pasar demi meraih dukungan suara untuk kembali memenangkan Pilkada. Tapi apakah persoalan kisruh upah minimum yang rutin terjadi tiap tahun hanya sebatas persoalan politisasi upah oleh pejabat Pemerintah Daerah yang ingin kembali terpilih? Konflik atas ketetapan upah minimum secara mendasar merupakan konflik alamiah antara kelas buruh dan kelas pemodal. Karenanya momen ketetapan upah minimum merupakan ruang pertarungan, dan upah minimum sendiri merupakan bentuk eksplisit dari model eksploitasi buruh upahan. Selain itu, merujuk pada kenyataan bahwa upah buruh Indonesia merupakan yang termurah di Asia Tenggara, dan urutan ketiga terendah di Asia.1 Kenyataan ini justru secara resmi melalui BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) digunakan oleh Pemerintah sebagai keunggulan komparatif untuk mengundang masuknya investor asing (www.bkpm.go.id). Di dalam pamflet promosinya, BKPM secara terang-terangan menyatakan bahwa upah buruh di Indonesia sebesar US$0.6 per jam (=Rp.5,400), lebih murah dibandingkan dengan upah Filipina (US$ 1.04), Thailand (US$ 1.63) dan Malaysia (US$ 2.88). Selain itu, kenyataan lain yang membantah pernyataan Apindo bahwa ketetapan upah minimum di tiga kota tersebut terlalu besar adalah, masalah yang melekat karena menjadi acuan dalam proses menetapkan upah minimum, yang terdapat dalam Peraturan Menteri Nomor 17 Tahun 2005. Dimana dalam peraturan tersebut, komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi acuan penentuan nilai uang besaran upah minimum didefinisikan hanya dari harga lima komponen kebutuhan hidup yang setara dengan 46 jenis barang dan jasa. Padahal badan pemerintah lainnya, Badan Pusat Statistik, mengkategorikan setidaknya 227 jenis barang dan jasa yang biasa dikonsumsi masyarakat sehari-hari. Selain itu, survey yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial (AKATIGA) menghasilkan temuan upah minimum yang ditetapkan pemerintah hanya mampu menutup 62,4 persen biaya aktual rata-rata pekerja. Upah minimum yang sesuai dengan KHL saja jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak seharihari. Sementara itu pada tahun 2011, dari 33 Propinsi, hanya 8 Propinsi yang ketetapan upah minimumnya mencapai angka KHL. Karena itu, di tengah-tengah situasi negara yang tidak berpihak dan terus mengukuhkan dirinya sebagai rezim upah murah, di tengah-tengah tidak bekerjanya lembaga-lembaga politik formal, upaya-upaya untuk terus memperkuat kapasitas serikat buruh dalam melakukan mobilisasi politis di jalanan secara fundamental merupakan pilihan strategi yang paling realistis dalam rangka melawan politik upah murah. Merebut kembali jalanan sebagai ruang alternatif bagi partisipasi politik melalui aksi harus terus menerus dibangun. Seperti dikatakan oleh Benny Hari Juliawan, Persis ketika Indonesia sedang mencoba membangun demokrasi, dimana mayoritas orang lebih terfokus pada pembentukan institusi dan prosedur-prosedurnya, kelompok buruh justru membangun sebuah tradisi perlawanan populer, melalui jalur konfrontasi, konflik, dan perselisihan. Bagi penulis, tidak akan ada demokrasi yang kuat tanpa tradisi perlawanan rakyat di dalamnya, sama halnya dengan tidak akan ada demokrasi yang kuat tanpa sebuah masyarakat yang terorganisir dan mampu mengkontrol kekuasaan. Serikat
1

Pamflet BKPM dapat diunduh dari laman http://embassyofindonesia.it/wp-content/uploads/2010/07/Invest-inRemarkable-Indonesia.pdf

buruh mengemban keduanya, membangun tradisi perlawanan, dan mewujudkan masyarakat yang terorganisir.

Anda mungkin juga menyukai