Abstrak: Empiema amuba adalah suatu keadaqn terkumpulnya nanah di rongga pleura yang disebabkan infeksi Entamoeba histo@ca dan sering dihubungkan dengan abses hati amuba. Berkembangnya penyakit itu diduga berhubungan dengan kondisi sosioekonomi dan sanitasi lingkungan masyarakat yang buruk, tingkat pendidikan rendah, kemiskinan, pemukiman padat serta sumber air terkontaminasi. Empiema amuba terjadi melslui beberapa mekanisme diantaranya: ruptur abses hati menembus diafragma menimbulkqn empiema, penyebararc petkontinuitatum abses ltati ke paru, penyebaran hematugen maupuft timfogen. Diagnosis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Kombinasi tes serologi dan deteksi parasit secara
mikroskopik padq sediaan klircis merupakan pendekatan terbaik. Kombinasi obat metronidazol dengan penyaliran perkutan memberikan hasil lebih baik. Katq kunci: empiema amuba, pemeriksaan mikroskopik, serologi, penyaliran perkutan
Abstract: Amoebic empyema is accumulation of pus in the pleural cavigt caused by Entamoebu histolytica infection and is often associated with amaebic liver abscess. Disease progression was associated with poor socio-economic conditians and environmental sanitation, low education levels, poverty, crowded housing and contaminated water sources. Amoebic empyema occurs through several mechanisms including: liver abscess ruphtre through the diaphragm causing empyemq percontinuitatum spread to the lung, haematogenous or lynphogenous spread. Diagnosis is based on history physical examination, laboratory investigation and radiological examination. Combination of serological tests and microscopic delection ofparasites in clinical preparations is the best approach. Metronidazole combination with percutaneous drainage give better
results.
Pendahuluan
dan pleura melalui penetrasi langsung menembus diafragma sehingga menimbulkan empiema, abses paru atau fistula
malanadanschistosomiasis.Amubiasisterjadipadasekitar 12% penduduk dunia atau 50% penduduk di daerah tropis dan subtropis. Diperkirakan angkakematian 40.000-100.000 terjadi pada 40-50 juta pasien amubiasis tiap tahun. Kejadian itu seperti fenomena gunung es karena hanya IA-2o%opasien amubiasis memberikan gejala klinis. hsidens amubiasis tinggi di negara berkeffibangantaralain Meksiko, Afrika Selatan dan Barat, Amerika Selatan dan Tengah, Bangladesh, Thailand, India serta \4etnam. L2 Empiema torasis adalah suatu keadaan terkumpulnya nanah di rongga pleura.3 Empiema amuba disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica (E. histolytica) dan sering
dihubungkan dengan abses hati annrbaatau amubiasis hati.a Meskipun angka kekerapannya sangat kecil, empiefira amuba
bronkopleura.l.T
Faktor yang diduga berperan dalam perkembangan penyakit ini antara lain kondisi sosio-ekonomi dan sanitasi lingkungan masyarakat yang buruk, tingkat pendidikal rendah, kemiskinan, pemukiman padat serta sumber air terkontaminasi. Pada tahun 1998 di Tbilisi, Georgiapernah
dilaporkan 17 7 kans amrfu4 orang dtantaranya mengalann abses hati amuba. Kejadian itu diperkirakan berhubungan dengan keterbatasan sumber air bersih.s Sekilar 5% populasi masyarakat Amerika Serikat merupakan pemb awa (carri er) dan sebagianbesar kazus tefiapatpadaimigran dari daerah endemik atau wisatawan (1,5olo wisatawan yang kembali dari negara di Asia Tenggara dan 3,6Yo dari negara di Amerika Tengah).l Faktor risiko tinggi mengalami amubiasis ditemukan pada perempuan hamil, bayi, pasien terinfeksi Human Immu-
saat
masalah kesehatan
di
negara
berkernbang. Malhotra et al5 melalarkan penelitian terhadap 117 pasien empiema torasis dan mendapatkan kekerapan empiema amub a sellrusar 4 ,4Vu sedangkan data penyakit itu di Indonesia belum banyak diketahui. Amubiasis pada jaringan paru dan pleura merupakan amubiasis ekstraintestinal keduatersering setelah abses hati amuba. Amubiasis paru dan pleura terjadi pada 2 -3o/o paien amutriasis invasif dengan angka mortalitas 5-l6Yo dan dapat meningkat menjadi 80% bila tidak diterapi.x6 Shamsu zzarnan dan Hashiguchi6 melaporkan komplikasi amubiasis di paru
nodeficiency Virus SIIV), diabetes melitus, malnutrisi, pengobatan kortikosteroid dan individu homoseksual.xlo EntamoebaHisfolgica
Entqrnoeba memiliki beberapa spesies antara lain E. histolytica, E. dispar, E. moshkovskii, E. polecki, E. coli, E.
h
artmann i, J a damo
eb
a b uts c h I i i, Di e nt amo
eb
fr agi li s d an
Endolimax nana. Semtz spesies tersebut dapat ditemukan dalam rongga usus besar tetapi hanya E. histolyticayang
Diagnosis dqn Penatalaksanaan Empiema Amuba dilaporkan terJadt pada 10oZ kasus. t t.En t amo e b a histolyti ca pertama kali ditemukan oleh Fedor Aleksandrovich Loschl' tahun 1875 dari tirja pasien disentri di Leningrad, Rusia. Losch menemukan E. histolytica bentuk trofozoit dalam ulkus uzus besar pada saat otopsi tetapi iabelum mengetahui hubungan antara parasit dengan kelainan ulkus tersebut. Qiunche dan Roosrl menemukan E. histolytica bentuk kista pada tahun 1893 kemudian Schaundinn'r memberi nama spesies E. histolytica pada tahun 1903 dan membedakan
spesies amuba imdenganE. coli.
morfologi rtd* d.pat dibedakan dengan E. dispar dan E. moshkovskii yangmerupakan parasit komensal dalam usus, telapi dengan pemeriksaan antibodi monoklonal spesifik ataupun polymerase chain reaction (PCR) dapat dibedakan
spesies beberapa amuba.lr-r3
Patogenesis
Berdasarkan gejala klinis terdapat amubiasis intestinal dan ekstraintestinal. Infeksi amuba ini terjadi melalui jalur fekaloral dan mempunyai masa inkubasi 2 hari sampai 4 bulan.
Entamoeba histolytica berasal dari kata histo yang berartijaringa4 lyslsberarti hancur, jadr E. histolyticabersifat menghancurkan jaringan. Daur hidup E histolyticamempunyai 2 stadium yaitu trofozoit (histolitita) dan kista. Trofozoitberukuran 10-60 mikron, mempunyai intt entamoeba dr dalamendoplasma. Ektoplasma terdapat di bagian tepi sel, pseudopodium dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebar seperti daun serta mempt:rryat- pergerakan cepat dan searah. Tanda patognomonik infeksi E. histolytica adalah bila ditemukan sel darah merah dalam endoplasma. Trofozoit bersifat patogen dan dapat hidup di jaringan usus besar,
hati" paru, otah kulit, danvagina.lfl3
Kista terdapat di dalam rongga usus besar, besarnya 10-20 mikron, berbenhrk bulat atau lonjong, mempunyai dinding dan inti entamoeba. Kista matang (metakista), intinya membelah 4, bersifat apatogen tetapi merupakan bentuk infektif. Entamoeba histolytica dapathidup pada suhu 2043"C, biasanya dalam bentuk trofozoit di rongga usus besar, berkembang biak kemudian berubah menjadi kista yang dikehrarkan bersama tinja. Kista dnpat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar badan manusia karena memiliki dindingkista.lt-r3
Pasien biasanya mendapat penyakit ini karena menelan
makanan atau minum air yang tercemar. Kista tetap utuh saat sampai di lambungkarena dindingkista tahan terhadap asam lambung. Amuba dengan bantuan gerakan peristaltik yang cepat akan masuk kembali ke lumen usus dan kehnr bersama tinja dalam bentuk trofozoit, tetapi bila gerakan peristaltik normal trofozoit tlapat berdiferensiasi menjadi bentuk kisa. Bentuk kista tiap hari dikeluarkan melatui tinja hingga 15 juta kista oleh individu c arrier . tt ta Entamo e b a hi sto lyti ca bentuk trofozoit yang berada dalam usus besar dapat menginvasi mukosa, memakan sel
darah merah dan membentuk ulkus. Sel darah merahterdapat
terlntamimsi
1
t#.3 \:_-'
staOlumi#rtir
(kisttl
J
I J
Pernbgrhtkan kista
la
I I i
+*3
dalamftofozoit tetapi jarang terlihat pada infeksi kronik. Nukleus trofozoit tidak terlihat tanpa perwarnaan tetapi dengan hematoksilin atau trikrom akan tampak strukfur nukleus. Pewarnaan hematoksilin akan memperlihatkan sitoplasma keabuan, nukleus kehitaman sedangkan pada pewarnaan trikrom, sitoplasma kehijauan, nukleus merah kehitaman dan sel darah merah tampak merah atau hijau. Kista dapat dilihat denganpewamaan hematoksili4 trikrom atau yodium; berbentuk sferis atau oval, berdinding hialin, dan bersifat sangat refraktil. Entamoeb a histolyti ca secara
528
Diagnosis dan Penqtalaksanaan Empiema Amuba Amubiasis di paru dan pleura te{adi melalui beberapa mekanisme afiIara lain: Ruptur abses hati langsung menembus diafragma menimbulkan empiema; penyebaran Abses hati dapat menembus langsung ke parenkim paru
menyebabkan abses paru. Invasi ke bronkus utama dapat
langsung abses hati ke paru melalui diaftagma secara perkontinuitatum menimbulkan empiem4 abses paru dan fistula bronkopleura; secara hematogen langsung dari usus
besar melalui vena hemoroidalis, vena mesenterika superior danvena kava inferior; secara limfogen.t'a Cairan pleura digambarkan sebagai saus bewarna coklat
atart ancltovy aste,bercfatekzudat, steril, tak mengandung materi purulen tetapi terdiri atas darah dan jaringan hati yang lisis. Abses hatijuga dapat terjadi pada lobus kiri dan bila ruptur akan masuk ke perikardium, menimbulkan tamponade atau ga gal janing.tA Sebanyak 2000 kasus amubiasis hati di Afrika Selatan ditemukan 1,t6 pasien dengan komptkasi di paru yaitu fistula bronkopleura 47o/o, efusi pleura dan empiana2gYo, abses paru I4o/o dan ganbaran konsolidasi di paru 10%. Penyebaran secara hematogen amuba dari usus tanpa melibatkan hati ke paru kunngl&th l4oh.l
p
menimbulkan fistula hepatobronkial dengan hemoptisis menyerupai anchovy paste yang berasal dari abses hati
amtfua.t'a Pemeriksaan fisik pada sebagianbesar pasien ditemukan
hepatomegali dengan konsistensi kenyal, permukaan licin, padaperkusiparu redup di bagian kanan bawah disertai nrara
napas melemah. Gambaranfoto toraks memperlihatkan efusi pleura minimal sampai sedang, seringjuga terlihatpeninggian hemidiafragma dan ateletaksis padabagianbasal (Gambar 1).
Diagnosis
Diagnosis empiema amuba ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaal fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Pada anamnesis perlu diketahui gejala klinis yang timbul, faktor risiko atau penyakit dasar lainnya. Gejala klinis infeksi E. histolytica sangat bewariasi, kurang lebih l0% orang y ang terinfeksi E. h i sto lyf i c a menjadi sakit, sisanya sembuh spontan dalam 1 tahun setelah terinfeksi. Gejala intestinal mulai diare akut ringan sampai kronik, berdarah sampai kolitis fulminan. Demam jarang terjadi tetapi lebih sering pada amubiasis ekstraintestinal. Amubiasis ekstra-
Enam puluh tiga persen pasien amubiasis hati mengalami peninggian hemidiafragma kanan dan efusi pleura. Kelainan gambaran foto toraks terjadi pada 57%o dari'75 pasien amubiasis hati, l6Yo ter dapatbatulq dan l9o/o nyei dada.r Ultrasonografi (USG) alaar computed tomograplry scan (CT-scan) dapat menunjukkan penyakit hati yang sudah meluas serta ada atau tidaknya abses subfrenik tetapi tidak dapat membedakan amubiasis dari penyebab infeksi lain. Abses hati amuba memperlihatkan gambaran hipoekoik pada USG sedangkan CT-scan toraks dapat mendeteksi kelainan paru dan cairan pleura lebih rinci . Diagnosis ke arah penyakit
diagnostikyang digunakan serta keterampilan pemeriksa. Pada pemeriksaan mikroskopik langsung spesimen segar, dapat ditemukan trofozoit yang bergerak dan mungkin berisi sel darah merahtetapi metode inikurang seruitif. Pemeriksaan itujuga dapat dilakukan dengan pewarnaan khusus seperti tritrom atau hematoksilin pada sediaan histopatologi. tt'16 Metode kultur unhrk mengisolasi E. histolytica ndak rutin dilakukan karena teknik sulit, sering menunjukkan
negatif palsu dan hanya memberikan angka kepositivan 507Ao/o.
amubiasis invasif terutama pasien amubiasis ekstraintestinal. Nilai sensitivitas tes antibodi E. hi stolytica 95% pada pasien
pleura dapat menjadi empiema amuba dengan onsetpedahan ataupun akut dengan gejala demam, nyeri dada dan perut bagiankananatas serta batuk kering.
1
amubiasis ekstraintestinal,'70%o pada pasien amubiasis intestinal aldif dan 107o pada pasien tanpa gejala serta memiliki nilai qpesivisitas lebih dari 95o .tt.t6 I{asil pemeriksaan tes serologi positif disertai gejalaklinis
sangat membantu diagnosis. Tes serologi sebagai alat diagnostik sangat terbatas pada daerah endemik karena
seropositif masih berlangsung beberapa tahun setelah pasien terinfeksi. Beberapa tes untuk mendeteksi antibodi antara lain i n di r e c t h e ma gg lut i n at i o n (lIlA), I at ex agg lut i n ati on, immunoe J e ctr ophore si s, c ounteri mmuno ele ctrophore si s (CE), the amebic gel dffision test,immunodffision, comple' me n t fi xati on, i n di re ct i mmun oflu a re sc e n c e a s s ay (IFA) dan 1' 16 Pemeenzyme -l inke d immuno sorb en t as s ay (ELISA).
2010
tidak digunakan lagi di sebagian besar laboratorium. Pemeriksaan IHA mudah dikerjakan dan memberikan nilai
spesifisitas tinggi yarfiI gg,Io/otetapinilai sensitivitasnya lebih rendah dibandingfuan -E 1S4. 1 Deteksi antibodi menggunalran
IFAdapat diandalkan, cepat dan dapat membedakan infeksi lama dan baru.t,16 Kadar IgM tes IFA dapat men$adi negatif dalam waktu singkat setelah infeksi atau dalam waktu 6bulan dan 100% menjadi negatif dalam wakhr 46 minggu setelah terapi. Pemeriksaan
obat diberikan selama 10 hari sambil mengwaluasi keadaan klinis pasien Metronidazol merupakanturunan nitro-imidazol yang dapat membunuh trofozoit,biladiberikan secara oral dapat segera diserap dan langsung meresap ke jaringan melalui proses difirsi. Mekanisme kerja obat masuk ke dalam membran sel melalui difusi pasifyang diaktivasi oleh reduksi kelompok nitro. Reduksi metronidazol menyebabkanpeningkatan gradien konsentrasi sehi tga obat direraplebih banyak dan merangsang pembentukan radikal metronidazol. Radikal
93%o
dan
spesifisitas 96,70 . Tes ELISA merupakan pemeriksaan diagnostik yang sering digunakan di laboratorium seluruh
dunia dengan nilai sensitivit as 97,9Yo danspesifisitas 94,8olo. Kadar IgG dalam serum masih tetap ada dalam beberapa tahun setelah infeksi E. histolytica sedangkan IgM hanya ada dalam
parasit.uT
Konsentrasi di dalam plasma tercapai dalam waktu 1-3
wakhr singkat. Titer antibodi ELISAyang tinggi membantu diagnosis amubiasis. Deteksi antigen amuba yaitu GaVGalNas, suatu lektin spesifik yang dapat dideteksi dalam tinja, serum, cairan abses atau liur pasien dengan tes ELISA. Deteksi antigen pada tinja merupakan teknik yang praktis, cepat, sensitifdan spesifik tetapi pada tinja tidak segar atau' diberi pengawet akan terjadi denaturasi antigen sehingga
memberikan hasil negatif palsu. Deteksi antigen memerlukan kurang lebih 1000 trofozoit. Teknik PCR saat ini sering digunakan dalam mendeteksi amuba dan dilaporkan 100 kali lebih sensitifuntuk membedakan E. histolytica danE. dispar
netropeni. Pankreatitis dan toksisitas sistem saraf pusat (ataksia, ensefalopati) merupakan efek yangjarang timbul sedangkan efek neuropati dapat terjadi bila obat diberikan
secara intravena.r8
dibandingkan
F LI SA.t'tt.ta
bersamaan dengan antikoagulan akan meningkatkan efek antikoagulan. Fenitoin dan fenobarbital akan mempercepat eliminasi mefronidazol sedangfcan simetidin akan menurunkan bersihan plasma. Golongan nitroimidazol selain metronidazol yang merupakan nitroimidazol kerja lama adalah tinidazol, secnidazol dan ornidazol dengan dosis masing-masing} gtant, diberikan I kali sehari peroral. Bila terdapat gejala amubiasis irtestinal, metronidazol sebailnya diberikanbersama dengan obat-obatan amubisid luminal ,prti iodo quinol, di loxanide
1eb
th
da1.'7 5oh
meningkat pada 50%o pasien. Pada pemeriksaan sediaan histologis, diagnosis amubiasis dapat dite gakkan apabila ditemukan bentnk trofozoit dalam jaringan. Palarianperiodic acid schiff QAS) dan hematoxilin eosin (1fr)mempelihatkan gambaran morfologi khas sehingga identifikasi dapat lebih
dipastikan. 1,15 Diagnosis banding empiema amub a antanlarn empiema karena tuberkulosis, bakteri ataupun keganasan. Angka mortalitas sekitar 5- 160/o dengan penyebab kematian antaralain sepsis, gangguan reqpirasi, syo\ tamponade dan edemaparu.2
furoate dan paromomisin sulfat. Golongan obat amubisid luminal ini hanya efel(if terhadap trofozoit di lumen usus tetapi tidak efektif terhadap trofo zoit dr jaringan. Di loxan ide furoate 500 mgtgakali sehari selama l0 hari. Paromomisin lebihbaik daripada diloxanide furoate padapasien pembawa E. histolytica atau infeksi asimtomatik. Emetin dan dehidroemetin jtrga efektif terhadap trofozoit E. histolytica dr jaringan tetapi sangat toksik Obat ini diakurmrlasi di jaringan dan dieliminasi sangat lambat melalui ginjal. Dehidroemetin lebih banpk dipilih dibandingkan emetin karena kurang
toksik. Pemberian dehidroemetinwakbr singfuat (3-5 hari) dapat
Penatalaksanaan
Terapi pilihan adalah metronidazol dengan dosis 500750 mg tiga kali sehari secara oral atau intravena pada orang dewasa, sedangkan pada anak diberikan dosis 3 5-50 mgk9
berat badan perhari dibagi dalam tiga kali pemberian. Biasanya
mengurangi gejalayangberat. Efek samping emetin dan dehiroemetin antaft lain mual, muntah, kelemahan otot, aritrnia, gagal jantung dan hipotensi. Efek samping akan
bertambah berat pada penggunaanjangka lama oleh karena itu tidak boleh diberikan lebih dari 10 hari. Obat ini memiliki kontraindikasi bagi pasien analq penyakitjantung, ginjal dan kehamilan.rs
s30
Klorokuin merupakan amubisi d jaingan dengan efek samping dan toksisitas ringan antara lain mual, muntall diare dan sakit kepala. Dosis untuk orang dewasa adalah 1 gram per hari selama 2 hari, selanjutnya 500 mg per hari selama 23 minggu. Pemasangan water sealed drainage (WSD) atau
Light RW Pleural effirsion due to parasitic infection. 7n: Light RW Pleural disease. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.p.232-5.
Malhotra
P,
Clinical characteristics and outcomes of empyema thoracis in Ll1 patients: A comparative analysis of tuberculous vs. non6. tuberculous aetiologies. Respiratory Medicine 2007 ;l0l :423-30. Shamsuzzaman SM, Hashiguchi Y. Thoracic amebiasis. Clin Chest
penyaliran perkutan sebaiknya segera dilakukan pada empiema amuba untuk mengeluarkan cairan pleura dan membantu pengembangan paru, jika terdapat infeksi sekunder maka diberikan antibiotik yang sesuai karena
sepertiga pasien ruptur abses hati amuba akan mengalami
Med. 2002;23:479-92. N, Huchon G Parasitic disease. ln: Gibson G! Geddes DM, Costabel U, Sterk PJ, Conin B, editors. Respiratory medicine. 3th
Roche
hari dianiurkan tindakan dekortikasi. Kombinasi obat metronidazol disertai dengan penyaliran perkutan memberikan kesembuhan pada hampir semua pasien.
Penegakkan diagnosis secepatrrya terhadap ruptur abses hati amuba dengan komplikasi empiema akan menghasilkan prognosis sangat baik.l.a
ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2003.p.1020 -3. Barwick RS, Uzicanin A, Lareat S, Malakmadze N, Imnadze P, Iosava M, et al. Outbreak of amebiasis in Thibilisi, Republic of Georgia,1998. Am J Trop Med Hyg. 2002;67:623-31. 9. Stark DJ, Fotedar R, Marriot D, Ellis JT, Harkness Jl Sebastian J. Amoebiasis: current status in Australia. MJA20071'8:412-6. 10. Stark D Sebastian J, Matthews Q Harkness J, Marriot D. Invasive amebiasis in men who have sex with men, Australia. Emerging Infect Dis. 20A8;14:1141-3. 11. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Rhizopoda. In: Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PI! Sungkar S, editors. Parasitologi Kedokteran. 4s ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.h.1078. 18.
Ringfiasan
Empiema amuba merupakankomplikasi abses hati amuba yang disebabkan infeksi E histolytica. Diagnosis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik sertia beberapa pemeriksaan
t2. Stanley SL. Amoebiasis. Lancet 2A03; 361 :L025 -34. t3. Haque R, Huston CD, Hughes M, Houpt E, Petri WA Amebiasis.
agnosis amubiasis. Kombinasi obat metronidazol dengan penyaliran perkutan memberikan hasil akhir lebihbaik.
DaftarPustaka
N Engl J Med. 2003;16:1565-73. 14. John DT, Petri WA. Lumen-dwelling protozoa. In: John DT, Petri WA" editors. Medical parasitology. 9ft ed. Philadelphia. WB Saunders Company; 2A06.p.22-36. 15. Kubitschek K& Salles JM, Moraes LA" Sal1es MC. Hepatic amebiasis. Brazilian J Infec Dis 2003;7:96-110. 16. Tanyuksel M, Petri WA. Laboratory Diagnosis of amebiasis. Clin Microbiol P.ev 2003;'16:7 13-29. 17. Salvatore M, Meyers B. Mekonidazole. In: Mandell GL, Bennet JE, Dolin R, editors. Principles and practice of infectious diseases. 66 ed. Philadelphia: W-8. Saunders Company; 2005.p.3889. 18. Wang CC, Wang AL. Basic principle of antiparasitic chemotherapy. In: Katzung BQ editor. Basic and clinical pharmacology. 9e ed. New York: McGraw-Hill Companies;2004,p.877-9.
L.
2. 3.
Talaat KR, Nutman TB. Parasitic disease. In: Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA, editors. Textbook of respiratory medicine. 4e ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 20O4.p.1A84-6. Salles JM, Salles MJ, Moraes Ld Silva MC. Invasive amebiasis: an update on diagnosis and management Expert Rev Anti Lrfect. 2007;5:893-9A1 Jutley R S, Waller D A. Empyema thoracis. Chest Surg 2005;
lO:.397
@ nnnr
-400:
2010
531