Anda di halaman 1dari 3

Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel trilogi karya Ahmad Tohari yang menceritakan tentang kehidupan sosial seorang

penari ronggeng di sebuah tempat yang bernama Dukuh Paruk. Namun tidak serta merta menceritakan tentang seorang penari ronggeng, penulis juga mampu menggambarkan kehidupan sosial warga Dukuh Paruk. Dari kebudayaan, kebiasaan, kepercayaan hingga cara mereka berbicara ketika berinteraksi dalam komunitas mereka. Penulis dengan mahir menunjukkan bagaimana cara warga Dukuh Paruk berinteraksi, cara mereka berbahasa dan berbicara, dari yang benar benar halus, sopan, lemah lembut, sampai yang benar benar kasar, tidak beretika, jauh dari tata krama atau boleh dikatakan sangat tidak pantas untuk diucapkan, tertuang semua dalam novel tersebut. Tapi sangat disayangkan jika tata bahasa dan berbicara yang mendominasi dikalangan warga Dukuh Paruk adalah yang kurang bahkan jauh dari tata krama berbahasa yang baik. Kata setiap kata yang terlontar dari mulut mulut warga Dukuh Paruk begitu kasar, tidak sopan bahkan terkesan erotis bercampur baur menjadi satu, menjadi kalimat yang sangat mengerikan jika harus didengarkan. Namun semua itu bukan sebuah hal yang harus dipermasalahkan dalam kehidupan mereka, hal itu sudah biasa bagi mereka. Tidak hanya biasa bagi kalangan tua, dewasa, bahkan remaja dan anak anak pun tidak asing juga dengan selorohan semacam itu. Apa yang menyebabkan semua itu terjadi? Apakah karena Dukuh Waruk adalah tempat yang terpencil sehingga jauh dari pendidikan?hal itu pula yang menyebabkan mereka juga tidak mendapatkan pendidikan dalam berbicara mereka? Atau karena mereka adalah keturunan Ki Secamenggala alias kakek moyang mereka yang pada dasarnya adalah seorang Bromocorah? Sehingga tidak usah ditanya jika cara mereka berbahasa dan berbicara bak seorang berandalan yang tak tahu diri? Atau karena factor lain? Apakah semua ini sekedar fiksi semata? Dan apakah semua itu saling berhubungan dengan dunia jaman sekarang? Bagaimana jika dihubungkan? Apakah cara manusia sekarang berinterkasi semakin baik? Sama dengan warga Dukuh Waruk, atau lebih buruk dari warga Dukuh Paruk? Santayib. Engkau anjing! Asu buntung. Lihat, bokor ini biru karena beracun. Asu buntung. Engkau telah membunuh semua orang. Engkau... engkau aaasssu...
Warga Dukuh Paruk

Kalian, orang Dukuh Paruk. Buka matamu, ini Santayib! Aku telah menelan seraup tempe bongkrek yang kalian katakan beracun. Dasar kalian semua, asu buntung! Aku tetap segar - bugar meski perutku penuh tempe bongkrek. Kalian mau mampus, mampuslah. Jangan katakan tempeku mengandung racun. Kalian terkena kutuk Ki Secamenggala, bukan termakan racun. Kalian memang asu buntung yang sepantasnya mampus!
Santayib, Ayah kandung Srintil

Jangkrik! Jangan keras-keras. Ya, aku tak melupakan ulahmu yang tolol dan konyol itu.
Srintil

"Asu buntung!" kata yang lebih kecil.


Anak Sakum yang paling kecil -

Bagaimana rasanya saat membaca beberap potongan kalimat di atas? Tentu bukan main kasarnya. Tidak hanya orang dewasa saja yang berani berkata kata yang tidak bertata krama. Bahkan anak kecil, remaja, laki laki maupun perempuan, tidak lepas dari kata kata yang tajam itu. Dari kalimat tersebut, kita juga pasti sanggup menebak, bahwa suasana yang sedang terjadi adalah suasana yang tegang, sehingga kalimat yang keluar adalah selorohan selorohan yang benar benar di luar tata cara berbicara yang baik. Namun, apakah benar potongan tersebut semuanya dalam keadaan memanas? Tidak. Dalam suasana biasa pun, potongan kalimat tidak bertata karma juga tetap meluncur juga. Apakah karena di dalam novel trilogi karya Ahmad Tohari tersebut suasana sedang memanas? Menegangkan ? sehingga berbicara dalam kalimat sekasar apapun tetap di izinkan? Sebenarnya jika mau cerdas dalam berfikir, apapun factor yang mempengaruhi, tentu sebuah tata cara dalam berbahasa dan berbicara harus tetap ada. Tidak memandang siapa diri kita, berpangkat apa, seberapa besar kita, dirundung dalam suasana apa, semua itu tidak boleh menjadi sebuah alasan sehingga kita bebas berbicara semau kita, dengan kata kata yang kasar pula. Mengapa? Karena manusia berbicara sejatinya menunjukkan siapa dirinya, lantas apa hubungannya? Mari kita koreksi, sebelumnya kita telah membaca beberapa potongan kalimat kasar yang dilontarkan oleh warga Dukuh Paruk, kita juga pasti mengetahui suasana apa yang sedang terjadi. Apa yang bisa kita nilai dari pribadi setiap warga Dukuh Paruk jika mereka melontarkan selorohan semacam itu? Hal yang pertama kali muncul saat kita mendengar orang mengatakan kata kata yang kurang sopan, kita akan berpikir bahwa mereka adalah orang yang tidak punya tata krama berbicara, orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan, sehingga mereka tidak pernah diajari pendidikan karakter yang baik, orang yang tumbuh dari lingkungan yang tidak bagus, dari lingkungan yang tidak mendukung, orang yang tidak pernah dididik oleh ibunya semasa kecil, orang yang tidak paham agama sehingga berani berbicara buruk tanpa takut berdosa, dan pikiran pikiran lainnya. Mengapa kita bisa memikirkan hal semacam itu? Karena sesungguhnya factor di atas adalah salah satu dari banyak factor, mengapa seseorang berbicara dan berbahasa di luar etika yang baik. Hubungannya adalah jika kita berpikir cerdas, warga Dukuh Paruk tumbuh dari lingkungan yang kurang sekali tata krama berbicaranya. Sebenarnya hal ini tidak jauh dengan kehidupan dizaman sekarang, tidak hanya orang dewasa dan remaja, bahkan anak anak pun, semakin hari tata cara berbicara mereka bukannya semakin naik dan baik, malah sangat turun. Karena lingkungan mereka yang kurang berperan dalam mempengaruhi kehidupan berbicara mereka, contohnya jika seseorang hidup dalam lingkungan orang orang berandal yang sebagian besar tidak berpendidikan, maka orang tersebut akan mudah terpengaruh dengan gaya berbicara orang orang berandal tersebut yang kebanyakan berbicaranya buruk. Kita lihat saja anak anak jalanan, apakah mereka mempunyai etika dalam berbahasa? Dalam berbicara? Tentu saja tidak, mereka akan mengatakan apa saja yang ingin mereka

katakan, tidak peduli baik buruknya perkataan itu, beretika atau tidak. Mengapa mereka tidak mempunyai etika atau tata karma dalam berbicara? Karena tidak ada yang mendidik mereka, tidak ada yang mengantar mereka untuk memahami pentingnya tata karma dalam berbicara. Oleh karena itu mereka tumbuh di atas ketidak tahuan mereka akan tata krama dalam berbicara. Terkadang mungkin terbersit dibenak kita, saat kita melontarkan selorohan yang kurang sopan pada suasana tertentu. Contohnya saat kita marah, tanpa disadari kita melontarkan kata-kata yang tidak sopan diluar kendali kita. Toh semua itu karena kita juga tidak sadar, karena kita sedang dalam taraf emosi yang tidak terkontrol, dan apakah itu wajar? Wajar atau tidak wajarnya, kita bisa lihat dari dasar diri kita. Namun, sebaiknya dalam suasana apapun yang terjadi, tidak seharusnya kita berkata-kata seperti yang tidak sopan. Kaitannya dengan kembali pada dasar diri kita adalah apabila seseorang dalam kesehariannya mempunyai tata berbicara yang baik, lembut, terkendali saat marah atau dalam keadaan memanas apapun, pasti dia mampu mengendalikan ucapannya. Lain lagi dengan orang yang tidak mempunyai tata cara dalam berbicara, jangankan dalam keadaan memanas, dalam keadaan yang biasa sajapun bisa saja orang itu tidak mampu mengendalikan tata berbicaranya. Jadi sebenarnya suasana apapun tidak mutlak menjadi factor kita untuk bebas berbicara semau kita dan diluar batas cara berbicara yang baik. Maka dari itu betapa pentingnya pengendalian tata berbicara dalam kehidupan sehari hari, seperti kata pepatah mulutmu, harimaumu , jika kita tidak mampu mengendalikan cara berbicara kita terhadap orang lain, sungguh hal ini sangat berbahaya, Karena lidah terpeleset tanpa sengajapun, dan yang terlontar adalah kalimat kurang baik, bisa saja menimbulkan dendam, sakit hati dan lain lainnya sampai berbuntut pada pertengkaran dan lain sebagainya. Sayangnya, pada zaman sekarang banyak sekali pengaruh pergaulan yang sampai sampai juga mempengaruhi tata berbicara dan berbahasa. Kita patut bersyukur jika yang muncul adalah bahasa yang baik, parahnya, bahasa yang ternyata muncul menghiasi bibir bibir manusia zaman sekarang adalah bahasa yang terkesan negative. Semua ini datang bukan hanya karena factor lingkungan atau dasar dari bahasa setiap daerah, tetapi karena pengaruh dari bahasa Negara lain yang seenaknya diadaptasi oleh orang orang menjadi bahasa sehari hari mereka. Tidak hanya itu, kalimat erotis pun juga tidak mau kalah, kalimat erotis juga tidak segan keluar dari mulut orang orang, contohnya seperti kata Perek, Balon yang berarti pelacur. Ternyata jika dicermati, bahasa dan berbicara manusia zaman sekarang tidak lebih baik dengan warga Dukuh Paruk. Yang mengenaskan, bibir- bibir yang mengucapkan kalimat atau kata-kata diluar tata krama itu didominasi oleh kalangan remaja. Remaja yang nantinya adalah generasi Negara Indonesia, bagaimana jika ternyata dari zaman kuno seperti zaman Dukuh Paruk sampai zaman kita zaman modern bahasa dan berbicara kita masih tetap di luar lingkaran tata krama yang baik? Padahal bahasa dan berbicara menentukan baik buruknya diri kita sebenarnya. Akankah semua ini berakhir, jika bukan dari diri kita sendiri yang memulaiya?

Anda mungkin juga menyukai