Anda di halaman 1dari 8

Pemuda yang Mengumandangkan Adzan Itu

Andaikan kita mengetahui bagaimana jalan


kehidupan, takdir kita, jodoh kita, dan jadi apa kita, mungkin hidup
tidak akan seperti ini. Tak akan seindah seperti ini, seberat seperti
ini, atau juga seaneh seperti ini. Esensinya kita ini sedang
menjalani sebuah pembelajaran yang tak kenal henti. Pelajaran
yang kita terima melalui pengalaman setiap harinya bisa
menjadikan suatu pertambahan nilai dari hari ke hari kita di bumi
ini.
Lantas, jika kita selama ini bersepakat bahwa
memang sebaiknya kita tak pernah tahu takdir kita ke depan,
terkadang justru mencoba-coba mengira akan jadi apa kita ini
nantinya. Kita mulai berspekulasi dan membayangkan bahkan
merencanakan hidup kita di massa mendatang.
Tentunya hal tersebut sah-sah saja. Tak ada salahnya
kita merencanakan kehidupan kita sendiri. Banyak yang
berpendapat, semakin kita merencanakan hidup, maka semakin
besar pula impian dan cita-cita kita akan terwujud. Tapi seperti apa
yang sering sekali kita dengar, manusia memang hanya bisa
merencanakan dan Tuhan lah yang menetukan. Jodoh, harta, dan
massa depan Dia lah yang menentukannya.
***
Ini bukan kali pertamanya anak yang baru
menginjakkan kaki satu tahun di bangku SMA menaruh simpati
kepada lawan jenisnya. Beberapa kali dia sudah pernah menaruh
simpati kepada lawan jenisnya. Dan itu merupakan suatu hal yang
normal sekali dirasakan oleh setiap remaja seperti dirinya.
Tapi kali ini persoalannya berbeda. Dia menaruh
simpati dengan adik kelas yang usianya terlampau jauh, mungkin
sekitar empat tahunan. Dia juga tidak mengerti mengapa ada rasa
bahagia saat bertemu dengan orang yang sepantasnya dijadikan
adik itu. Semuanya terasa begitu cepat sehingga dia tidak bisa
melakukan berbagai macam analisa terhadap kasus yang sedang
menimpa hatinya ini.
Erlin, gadis yang dikenal cukup aktif dalam
kegiatan kerohanian di sekolahnya ini memang sedang mengalami
sedikit konflik dengan jiwanya sendiri. Erlin sudah cukup banyak
membaca buku-buku mengenai remaja terutama buku-buku yang
berhubungan dengan masalah percintaan dalam remaja. Bagaimana
Islam memandangnya dan aspek-aspek lain yang melingkupi cinta
saat remaja dalam jendela Islam.
Sebagian buku yang pernah ia baca menyatakan
secara tegas bahwa Islam tidak lah melarang cinta saat remaja tapi
Islam menyuruh untuk menjinakannya. Hal ini dirasa penting
sekali, karena masa remaja merupakan massa yang labil. Remaja
masih sering terpengaruh hal-hal yang bisa menjerumuskannya
kepada perilaku-perilaku negatif. Meskipun sebenarnya sebagian
dari mereka juga sudah mengetahui akan batas-batas pergaulan
antara lawan jenis, tapi tetap saja banyak sekali remaja putri yang
kehilangan massa depannya lantaran keperawanan mereka sudah
terenggut.
Suatu sore yang panas, Erlin melenggang menuju
tempat latihan teaternya. Selain aktif dalam kegiatan kerohanian di
sekolah, Erlin juga terkenal aktif dalam salah satu kelompok teater
yang ada di kotanya. Beberapa kali Erlin dan kelompok teaternya
sudah melakukan pementasan. Dan antusiasme dari masyarakat
juga sangat menggembirakan saat mereka melakukan pementasan
sekitar dua bulan yang lalu.
Erlin masih menunggu di luar balai latihan. Terlihat
beberapa temannya yang datang dan menyapanya dengan ramah.
Meskipun di dalam balai latihan sudah terlihat beberapa temannya
yang berdatangan, tapi dia masih menunggu di luar. Dia
menunggu, Arin, teman sekelasnya yang juga ikut dalam kelompok
teater ini.
Sebenarnya tak hanya itu saja yang membuat Erlin
masih betah menunggu di luar. Tapi ada alasan lainnya. Dan alasan
itu terlihat beberapa meter dari balai latihan ini. Tepatnya di
sebuah surau kecil yang baru dibangun dengan jendela yang masih
terbuka sehingga membuatnya leluasa memandang sosok yang
sedang berkegiatan di dalamnya. Berkali-kali Erlin mengucap
tasbih beriringan dengan istighfar di dalam hatinya.
Mungkin dia bisa berkilah dengan tidak mengagumi
kerupawanan sosok pemuda yang sepantasnya dijadikan adik itu.
Tapi entah mengapa, Erlin sudah mulai tertarik sejak pertama
melihat sosok itu. Ketertarikannya itu semakin membuncah seiring
mulai mengetahui tentang kearifan dan kealiman sosok itu.
Dia tak banyak tahu tentang pemuda itu bahkan
namanya pun ia tak mengetahui. Yang dia tahu hanya pemuda itu
lebih muda beberapa tahun dari dirinya bahkan mungkin usianya
masih setara dengan usia adiknya dan dia termasuk pemuda yang
arif dan alim. Terkadang Erlin juga sering mendengarnya
mengumandangkan adzan di surau dekat tempat latihan teaternya.
Erlin menundukkan pandangannya. Dia mencoba
mengalihkan pikirannya dari pemuda yang tak banyak dikenalnya
itu. Tak banyak yang diharapkan dari rasa simpati yang ada dalam
dirinya terhadap pemuda itu. Bahkan dia juga tak bisa memastikan
bahwa rasa yang sedang bersemayam dalam hatinya ini benar-
benar murni rasa simpati dan bukan hawa nafsu serta bisikan setan
yang keji.
“Lin, masuk yuk!” panggil salah satu temannya
yang membuat perenungan Erlin sore itu terhenti. Erlin pun masuk
ke dalam balai yang berdindingkan bambu dengan lantai kayu itu.
Tak ada satu orang pun yang mempercayai bahwa
kelompok teater ini sudah eksis lebih dari tiga puluh tahun di kota
ini. Setahu Erlin, Pak Somad, pendiri teater ini merintis kelompok
teater ini dari nol dengan balai yang belum berdindingkan semen
dan berlantaikan papan seperti saat ini. Tapi hanya beratapkan
hamparan langit dan beralaskan tanah. Terkadang, ketika cuaca
buruk mereka harus berlatih bersempit-sempitan di rumah mungil
Pak Somad. Tapi menurut cerita Pak Somad, angkatan dulu
memang terkenal sebagai orang-orang yang penuh semangat dan
anti keputusasaan. Mereka masih bisa bertahan meskipun orderan
teater dan uang dari hasil pementasan hanya sedikit. Bagi mereka,
teater sudah menjadi bagian dari hidup mereka.
Latihan wajib sebelum memulai latihan teater
adalah berlatih vokal. Maka dengan semangatnya mereka pun
memulai latihan teater sore itu dengan ber-A-I-O-U-E ria.
*****
Kesibukan dan rutinitas yang Erlin jalani baik di
sekolah maupun di kelompok teaternya membuatnya melupakan
pemuda itu sejenak. Terlebih lagi kegiatan kerohanian yang
dijalaninya di sekolah membuatnya berkomitmen untuk tidak
mengurusi masalah bercinta-cinta. Dia masih mengingat baik-baik
akan buku yang pernah dibacanya bahwa sebaiknya kita
menjinakkan rasa cinta yang ada dalam diri kita. Jangan biarkan
kita terbakar oleh perasaan yang bersumber dalam diri kita sendiri
itu.
Tapi suatu hari, ketika Erlin dan teman-temannya
sedang sibuk membaca naskah teater, pemuda itu datang ke balai
latihan mereka menemui Pak Somad. Erlin yang saat itu ada di
balai latihan jelas tak bisa mengelak untuk tidak memperhatikan
sosok jangkung yang masuk ke dalam balai latihan mereka itu.
Rasa yang akhir-akhir ini sudah mulai hilang seiring
waktu yang terus berjalan kembali menyergapnya lagi. Dia
menunduk dan mengucapkan istighfar. Ada apa lagi ini, tanyanya
pada diri sendiri. Di tengah tundukannya itu, dia berdoa semoga
perasaan yang sedang ia rasakan ini tidak akan membakarnya.
“Lin, apa tanggapan kamu tentang dia?” tanya Dita
pelan sambil mengisyaratkan orang yang dimaksudnya adalah
pemuda itu.
“Nggak tahu ah,” balas Erin. “Kayaknya baik deh.”
“Manis ya.”
“Lumayan.”
“Tapi sayang, masih kecil sih.”
***
Jika engkau menyimpan perasaaan pada seseorang
sebaiknya kamu jinakkan perasaan itu. Jangan biarkan perasaan itu
mengecewakanmu apalagi membakarmu sehingga bisa
mematahkan hatimu.
Mengapa penting sekali kamu jinakkan? Karena
orang yang engkau cintai itu adalah makhluk yang bernama
manusia. Dia mempunyai khilaf dan salah juga. Seperti halnya apa
yang sedang Erlin rasakan hari ini.
Erlin sengaja tak datang ke tempat latihan teater
setelah ashar karena ia yakin ia tak kan bisa mendengar merdunya
suara pemuda itu saat mengumandangkan adzan. Ada geliat yang
terasa di hatinya untuk bersegera mendirikan shalat ketika pemuda
itu mengumandangkan adzan.
Setelah mengambil wudhu, Erlin lalu duduk dengan
tenangnya dengan mukena yang sudah menyelimuti tubuhnya. Ia
berdzikir sambil menunggu apa yang ingin didengarnya.
Sedetik …
Semenit …
Sepuluh menit kemudian …
Apa yang ingin didengar Erlin tak kunjung
tertangkap di telinganya. Suara mengumandangkan hal yang sama
tapi tak seperti suara yang biasa didengarnya. Bukan pemuda itu
yang mengumandangkan adzan, batinnya.
Ada segumpal kecewa yang menyergap di dalam
hatinya. Entah setan mana yang membawa perasaan itu kepada
dirinya. Tapi setelah itu, Erlin baru tersadar akan ketulusan niatnya
mendirikan shalat di surau ini. Dia mempertanyakannya.
Sebenarnya untuk siapa dia beribadah. Untuk Allah dan karena
Allah. Erlin langsung beristighfar memohon ampun kepada-Nya.
… Allah cinta pada orang bertaubat … ( Opick)
Dia gadis tinggi besar. Dengan rambut lurus
selehernya dan tawa girang yang khas sehingga mungkin kau
bertanya kepadanya “Mengapa suara tawamu seperti itu?” Sekilas
kau tak akan menemukan perbedaannya dengan gadis – gadis yang
lain. Namun semakin lama kau mengenalnya, maka semakin kau
sadari pula bahwa ia memang berbeda.
Gadis ini mempunyai wajah yang lumayan m

Anda mungkin juga menyukai