Anda di halaman 1dari 6

SUARA JALANAN

Oleh Desy Jayanti

Permisi, Pak, Permisi, Bu.

Permisi . . .

Kami di sini numpang nyari rezeki

Mohon maaf bila mengusik hati.

Setiap hari kami berdendang

Turun naik angkot di jalanan

Tak ada pilihan

Karena kami butuh makan

Yang paling penting ridho Tuhan.

***

Bintang menggeliat riang di langit yang kehitaman. Beberapa di antaranya


berkedip – kedip sembari menyongsong malam yang semakin memekat.

Udara dingin merasuk dalam tulang-belulang anak cucu Adam. Tak lupa angin
mengibar – ngibarkan beberapa reklame yang memenuhi pinggir jalanan. Malam memang
semakin larut, tapi Jakarta sebagai kota metropolitan seolah tak pernah tidur. Hingga waktu
bergerak merengsek ke pukul 00.00 WIB pun, jalanan masih belum sepi. Bintang – bintang
seolah berganti tempat gantungan, kini mereka tak lagi bertaburan di langit, tapi sudah jatuh
ke sudut – sudut jalan, ke gedung – gedung bertingkat maupun menara – menara tinggi yang
hanya bisa dipandangi oleh Damar dari kejauhan.

Damar menyusun beberapa kardus di tepi tiang penyangga jalan layang. Di


sampingnya terlihat Didik mendengkur. Lalu di sebelahnya lagi Anom menampakkan hal
yang serupa dengan raut wajahnya yang damai. Sepertinya mereka berdua sedang bermimpi
indah malam ini. Mungkin saja mereka bermimpi menyantap goreng pisang bersama teh
hangat di pinggir kali.

Memimpikan makanan bagi Damar dan kawan – kawannya adalah mimpi yang
sangat indah. Terlebih, bila makanan itu belum pernah mereka rasakan sementara hasrat
untuk menyicipinya amat besar, seperti es krim. Pernah suatu kali dalam tidurnya Damar
bermimpi menyantap sepiring nasi kucing. Esoknya, ia tahan tak makan seharian karena
sudah kenyang menyantap nasi kucing dalam mimpinya.

Damar merebahkan diri sambil memeluk ukulele mereka. Deru kendaraan masih
jelas terdengar berlalu – lalang baik di atas jembatan layang maupun di jalanan yang berada
di samping mereka. Tapi mereka sudah terbiasa dengan hiruk – pikuk seperti itu. Tubuh
mereka yang terlalu penat membuat suara – suara bising itu memudar dan berganti dengan
mimpi indah mereka.

***

Keesokan harinya, cahaya matahari menimpa wajah Damar. Remaja belasan


tahun itu mengernyitkan matanya. Matahari benar – benar membuatnya silau. Di depannya
sudah tersaji puluhan kendaraan yang melintas, banyak mobil dan motor berjejalan,
mengantarkan pengendaranya menuju tempat tujuan mereka masing – masing. Sesekali
ratusan kendaraan itu tak bisa berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Mereka
tersendat, berhenti barang beberapa saat lalu kemudian melaju kembali.

Bagi orang – orang yang senasib dengan Damar, Didik dan Anom, mandetnya
kendaraan – kendaraan itu adalah berkah bagi mereka. Karena mereka akan segera menyisiri
rentetan kendaraan – kendaraan tersebut dengan harapan ada yang mau memberi recehan.

Didik dan Anom sudah beraksi, tak mau kehilangan lebih banyak rezeki lagi,
Damar juga mengikuti keduanya. Ia petik ukulelenya sambil mendekati kaca – kaca mobil
yang terjebak kemacetan.

“Permisi, Pak ... Permisi, Bu...” seru Damar diiringi nada – nada yang keluar dari
petikan senar ukulelenya. “Permisi ....”

Damar masih terus melantunkan lagunya sebanyak beberapa bait, namun sang
Pemilik Mobil tak juga kunjung menurunkan kaca mobilnya. Damar tak tahu apa sebabnya.
Apa karena wajahnya yang masih sangat kusut karena belum tersentuh air pagi ini atau
karena orang itu terlalu sibuk untuk mendengarkan nyanyian mereka. Tapi orang – orang
seperti Damar tak mempunyai hak untuk memprotes atau juga memaksa agar mau
menyisihkan sebagian dari apa yang mereka miliki itu untuk orang – orang sepertinya, orang
yang bertemu dengan nasi sekali dalam sehari saja sudah sangat bersyukur.

Damar, Didik dan Anom menepi ketika beberapa aparat polisi mulai mengatur
kembali lalu lintas yang sempat tersendat. Kendaraan – kendaraan yang mandek pun kini
sudah kembali memacu kecepatannya, bergegas menuju ke tempat tujuan masing – masing.

Di sudut yang lain, ketiganya menghitung uang receh yang mereka dapatkan
sepanjang pagi ini. Jumlahnya tak lebih dari seribu rupiah. Belum cukup untuk dibelikan
sebungkus nasi kucing sebagai sarapan pagi mereka.

Ah, sarapan. Bukankah mereka sudah terbiasa menyangga perut hingga matahari
naik meninggi dan malam dua atau tiga jam lagi menanti. Sarapan, untuk orang – orang
seperti mereka adalah ritual yang langka terjadi. Mereka sudah terbiasa menyantap makanan
sehari sekali. Bukan maksud ingin berhemat namun karena rezeki belum didapat.

Menggantung harapan sebagai pengamen jalanan memang butuh kesabaran yang


besar. Kadangkala, meski mereka sudah memekik dari satu angkot ke angkot yang lainnya,
dari suatu rumah ke rumah yang lain, mereka tak menerima apa pun selain kerongkongan
yang mengering. Kerap kali, suara mereka parau karena belum dibasahi dengan air. Bahkan
tubuh mereka melemah dan wajahnya juga pucat pasi. Sayangnya, itu semua tak menjadikan
banyak orang mengiba kepada mereka.

Mungkin karena jumlah orang – orang yang bernasib seperti mereka kian hari
kian banyak. Sehingga atas nama keadilan, banyak yang tidak mau peduli terhadap orang –
orang seperti itu. Atas nama keadilan, bila mereka memberi pada ketiga anak itu, maka
mereka juga harus memberi puluhan anak lain yang mengerjakan hal yang sama seperti
mereka.

Kami memang tak seberuntung Tuan dan Nyonya sekalian

Kami bukan karyawan, bukan direktur perusahaan

Bukan mahasiswa atau wartawan

Kami hanya suara jalanan


***

Ketiga bocah itu masuk ke dalam sebuah Kopaja. Damar langsung memetik
ukulelenya sembari mengomandoi kedua temannya agar melantunkan lagu mereka.

Permisi, Pak, Permisi, Bu.

Permisi . . .

Kami di sini numpang nyari rezeki

Mohon maaf bila mengusik hati....

Segera setelah merampungkan senandung itu, Didik dan Anom segera berkeliling
mengedarkan kresek bila ada dermawan memasukkan uang ke dalamnya. Begitu kresek
tersebut telah beredar kepada masing – masing penumpang angkot, mereka pun turun dengan
membawa kreseknya.

“Eh, ini duit berapaan ya?” tanya Anom saat mereka menunggu angkot
berikutnya yang akan mereka jadikan sebagai tempat mengais rezeki.

“Sini coba aku lihat dulu,” jawab Didik langsung meraih uang kertas tersebut.
Warnanya merah dengan sulaman benang emas di tengahnya. Gambar yang terpajang di atas
uang tersebut tak seperti gambar yang sering mereka jumpai di uang logam atau pun
seribuan. Gambarnya asing. Karena selama ini mereka baru mengenal nominal uang hingga
seribuan saja. “Aduh, ini berapa ya?” Didik bingung. Ia membolak – balik uang kertas
tersebut, berharap dapat menemukan nilai yang tepat.

“Seandainya kita bisa membaca ya,” sambung Damar getir dan membuat hati
ketiganya menjadi pilu.

Anak jalanan seperti mereka memang belum tersentuh oleh pendidikan, baik itu
pendidikan formal maupun nonformal. Mereka sama sekali tak mengenal huruf dan angka.
Bila seseorang menyebutkan bahwa bacaan ini adalah ini, maka mereka percaya saja sebab
mereka tak punya ilmu untuk mendebatnya.

Mereka bukan tak mau bersekolah seperti kebanyakan anak seusianya. Hanya
saja mereka tak punya kesempatan untuk bersekolah. Tak ada yang mau menyekolahkan
mereka, apalagi membuatkan sekolah untuk mereka. Selama ini tak ada yang peduli terhadap
nasib mereka. Para dermawan yang memberikan beberapa recehan kepada mereka pun hanya
sebatas sampai di situ saja. Tak pernah ada yang bertanya apakah mereka sekolah atau
apakah mereka bisa membaca. Jika ada dermawan lain yang membantu anak jalanan, maka
dipastikan anak jalanan itu bukan mereka.

Dan sekarang mereka bertiga benar – benar ingin mengetahui berapa nilai
nominal uang yang dipegang oleh Didik itu. Ketiganya sama – sama termenung beberapa saat
sebelum akhirnya Damar bersuara.

“Bagaimana kalau kita meminta bantuan polisi itu saja,” serunya sambil
memonyongkan bibir keringnya ke arah seorang polisi yang terlihat memantau arus lalu lintas
jalan.

“Apakah kamu yakin dia bisa membantu kita?”

“Kulihat dia sering membantu orang menyeberang jalan. Jadi menurutku, ia pasti
bisa membantu kita.”

Mereka pun akhirnya berlari menuju ke arah polisi lalu lintas berseragam lengkap
dengan peluit warna putih.

“Pak, apakah Anda tahu berapa nilai uang ini?” tanya Didik sambil merentangkan
uang tersebut.

Polisi itu pun meraih uang kertas berwarna merah dari tangan Didik. Ia meraba
setiap sisinya. Merasakan permukaan uang tersebut dengan penuh ketelitian. Lalu saat ia
memandangi benang – benang emas di tengah permukaan uang kertas itu, matanya
membelalak. Pandangannya berubah menjadi garang.

“Kalian dapat dari mana uang ini?”

“Diberi orang sewaktu mengamen tadi, Pak.”

“Ini nilainya seratus ribu.”

“Seratus ribu, Pak?”

“Iya. Seratus ribu itu seratus kali seribu.”

“Bearti bisa buat beli nasi kucing ya, Pak?” tanya Didik polos.
“Bisa beli nasi kucing selama sebulan.”

“Wah, kita tidak perlu mengamen lagi kalau begitu,” sambung Anom sembari
membayangkan bagaimana enaknya ia sebulan ke depan. Dalam bayangannya, mereka akan
tidur selama seharian lalu makan es krim di pinggir kali sembari memandangi gedung –
gedung yang menjulang di hadapannya.

***

Anda mungkin juga menyukai