Anda di halaman 1dari 6

PELATIHAN SENYUM

Don’t give me a distance, please! …

Why?? Because I think you’re so far of me…

… although you stand beside me…

*****

Banyak orang mengatakan bahwa bangsa Indonesia

adalah bangsa yang ramah. Bahkan kabarnya, turis-turis asing pun

sering datang kemari karena masyarakat yang mendiami wilayah

ini adalah masyarakat yang terkenal dengan keramah-tamahannya.

Apakah anggapan tersebut sekarang telah pudar?

Aku mempertanyakannya di dalam hatiku. Aku

memimpikan bangsa ini bisa seperti kabar yang sudah tersohor itu.

Tapi nyatanya, aku sama sekali tak menemukannya. Mungkin,

kabar itu bisa jadi benar dengan sedikit perubahan sebelum orang

Indonesia itu ramah. Alhasil menjadi sebagian besar orang

Indonesia itu ramah.

Lagi-lagi aku mempertanyakannya, benarkah

sebagian besar orang Indonesia itu ramah. Sudah sekian tahun

yang lalu pertanyaan itu membenam dalam otakku. Tanpa tindak

lanjut yang begitu jelas, aku melakukan survei secara seadanya di

setiap situasi dan kondisi yang kutemui tiap harinya.

Survei itu membuatku menjerit. Aku tak tahan lagi

ingin memprotes kabar yang sudah menyebar ke mancanegara itu.

Ini kebohongan publik namanya. Aku jarang sekali menemukan

sikap keramah-tamahan yang kabarnya sudah menjadi citra bangsa


Indonesia itu. Apakah hal itu berarti Indonesia sudah

kehilangannya citranya?

Hari itu hujan lebat mendera. Aku berencana ingin

pergi ke salah satu instansi pemerintah khususnya yang menangani

masalah budaya dan pariwisata. Rencananya, aku ingin bertanya-

tanya beberapa hal mengenai pariwisata. Terutama sekali hal yang

penting tapi tidak terlalu genting, hari ulang tahun kotaku. Aku

ingin suatu hari kami bisa merayakan peringatan hari ulang tahun

kota ini.

Dengan kecepatan sedang aku memacu motorku di

tengah lebatnya hujan. Tanpa mengenakan mantel aku terus

menunduk sembari menghindari hujan membasahi bagian depan

tubuhku. Aku membiarkan rintisan air hujan itu membasahi ransel

kumal yang sedang kukenakan.

Setiba di instansi pemerintah tersebut, pakaianku

agak sembab meski tidak bisa dikatakan basah kuyup, tapi aku

merasa agak kegigilan. Namun karena rasa ingin tahuku yang

begitu besar akan kotaku ini, aku menghapus segala macam rasa

yang menghalangiku untuk tidak menanyakan hal tersebut.

Bismillah… aku pun masuk ke dalam kantor itu.

Menuju ke ruang tata usaha. Kuketuk pintu beberapa kali sembari

mengucapkan salam. Tapi sepertinya mereka bersikap acuh

kepadaku. Seolah aku ini adalah pengemis yang terlunta-lunta.

Aku menangis di dalam hatiku melihat kondisi itu.

Ruangan itu diidi oleh tiga orang laki-laki setengah baya. Ada yang

sedang merokok di salah satu sudut ruangan, seorang yang lain


duduk dekat pintu masuk sedang membaca koran. Dan yang

lainnya lagi terlihat tertawa dengan ponsel yang ada di tangannya.

Ada apa ini? Kukira pendapatku selama ini tidak seluruhnya benar.

Tapi fakta yang baru saja kudapati ini benar-benar meyakinkan aku

bahwa hal itu memang benar. Terlebih lagi, tempat yang kudatangi

ini adalah sebuah instansi pemerintah. Public service kantor ini

buruk sekali, gumamku dalam hati.

“Permisi, Pak,” sapaku kepada seorang laki-laki

yang sedang membaca Koran di dekat pintu masuk. Sekali aku

menyapa bapak itu masih sibuk dengan korannya. Kemudian aku

bersuara sekali lagi tapi ia tetap tidak bergeming. Dan ketiga

kalinya, barulah ada yang menanggapiku tapi itu bukan dia.

Seorang dengan memakai pakaian dinas yang sama

menyapaku. Meski tidak bisa dikatakan sebuah sapaan yang

ramah, tapi aku sangat senang sekali karena dia menyapaku.

“Ada apa?” tanyanya padaku.

“Begini, Pak. Saya ingin mencari lebih banyak

informasi tentang sejarah dan kebudayaan kota kita ini.”

“Kamu mana?”

“Dari SMA 4, Pak.”

“Oh, iya. Kalau begitu kamu ke bidang kebudayaan

aja. Ruangnnya ada di sebelah.”

“Terima kasih, Pak,” tuturku sambil tersenyum

padanya.

Dia hanya membalas dengan sebuah anggukan yang

dibarengi dengan senyuman.


Aku melihat sebuah ruangan dengan tulisan Bidang

Kebudayaan yang tertempel di depan pintunya. Aku mengetuk

pintu itu beberapa kali. Tapi tak ada jawaban dari dalam. Mungkin

karena hari ini hujan. Jadi suara ketukan itu tak terdengar, pikirku.

Kemudian aku mendorongnya dan menyembulkan

kepala ke dalam. Kudapati ruangan itu kosong dengan komputer

yang tetap menyala. Lagi-lagi aku mengelus dada sembari

menggerutu di dalam hati. Mengapa jam sembilan pagi ruangan ini

masih kosong?

Aku menunggu di depan ruangan itu. Beberapa

karyawan yang berpakaian dinas terlihat mondar-mandir di

depanku. Seolah aku kasat mata, tak satu pun dari meraka yang

bertanya perihal keberadaanku di depan ruangan itu. Oh … Ibu

Pertiwi? Akankah kau katakan negeri ini diselubungi keramah-

tamahan?

Sekitar tiga puluh menit aku berdiri di depan ruang

kebudayaan itu. Tak satupun yang mempedulikan keberadaanku di

depan ruangan itu. Hingga akhirnya bapak yang tadi menyapaku di

ruang tata usaha kembali melintas dan menyapaku.

“Ada apa lagi? Orangnya belum datang ya?”

Aku hanya menggeleng. Pikirku pun bapak ini pasti

tahu bahwa tak ada seorang pun yang menghuni ruangan ini.

“Kamu mau cari informasi apaan?”

“Lumayan banyak sih Pak. Tapi ada satu yang

paling penting.”

“Oh, ya. Apa? Mungkin saya bisa membantu.”


“Bapak tahu tanggal lahir kota kita?”

“Tanggal lahir…”gumam bapak itu sambil

memegang dagunya yang licin. Sesekali dia terlihat membalik-

balik rambut hitamnya yang sudah agak memutih itu dengan jari-

jari tangannya. “… aduh maaf ya. Saya kurang tahu.”

“Bapak tahu kira-kira siapa ya yang mengetahui?”

Terlihat bapak itu berpikir sejenak dan akhirnya dia

menjawab hal yang kuharap tak benar itu. “Maaf saya kurang tahu

dengan hal itu …” serunya sambil tersenyum kecil. Dia terlihat

sedikit membersihkan salah satu meja yang ada di ruangan itu

seraya melanjutkan perkataannya,” … kalau tidak ada hal lain lagi,

saya harus mengerjakan pekerjaan saya.”

Aku pun seolah mengerti dengan maksud bapak itu

langsung berpamitan dan keluar dari kantor tersebut. Dalam hati

aku membatin, pantaskah instansi ini diberi nama tempat untuk

mencari informasi sebagaimana papan nama yang ada di depan

kantor tersebut.

Aku memaklumi ketidaktahuan mereka. Karena

sama halnya seperti aku, mereka juga manusia. Sudah menjadi

suatu hal yang wajar apabila mereka tidak mengetahui hal-hal yang

ingin aku ketahui. Mungkin saja mereka belum belajar mengenai

itu. Dan tak apalah, batinku.

Tapi yang aku kecewakan di sini adalah public

service yang mereka berikan. Kepadaku. Aku tak mengharapkan

mereka melayaniku seolah-olah mereka mengetahui bahwa aku

adalah anak seorang presiden, tidak. Aku tak mengharapkan


pelayanan seperti itu. Aku tak meminta setiap orang membungkuk

saat menyapaku. Aku hanya ingin perlakuan yang lebih ramah dan

senyum-senyum tulus yang diberikan oleh mereka kepadaku.

Kepada seorang anak yang ingin mengelani kota ini. Maka anak ini

memohon jangan memberinya jarak yang jauh sehingga

membuatnya terasa asing. Tapi berilah keramahtamahan sebagai

ciri dari anak cucu Ibu Pertiwi.

Anda mungkin juga menyukai