Anda di halaman 1dari 3

Nama NIM Mata kuliah

: Maleona Sarah L.C. : 070912042 : Teori Hubungan Internasional / Kelas C Constructivism

Membicarakan mengenai teori-teori alternatif dalam Hubungan Internasional merupakan sesuatu yang menarik. Pada bab-bab sebelumnnya penulis telah mempelajari mengenail teori kritis, rationalisme dalam Mahzab Frankfurt dan Mahzab English. Berikutnya adalah konstruktivisme, yang sering disebut sebagai rasionalisme. Padahal, keberadaan konstruktivisme dengan rasionalisme dapat diandaikan seperti 2 buah pakaian yang sama namun memiliki ukuran yang berbeda. Menurut Fearon & Wendt, rasionalisme diartikan sebagai pendekatan metodologi yang dapat mengimplikasikan suatu posisi yang berfilosofis mengenai apa yang dimaksud dengan penjelasan sosial dan bagaimana hal tersebut seharusnya bekerja, sedangkan konstruktivisme diartikan sebagai serangkaian argumen tentang penjelasan sosial yang dapat mengimplikasikan pilihan-pilihan atas pertanyaan spesifik dan metode pertanyaan sosial, hal alamiah yang selalu diperdebatkan. Dapat disimpulkan bahwa rasionalisme fokus pada cara yang digunakan untuk menganalisa fenomena sosial yang terjadi sedangkan konstruktivisme lebih fokus pada pemikiran-pemikiran kritis individu atas sebuah fenomena sosial yang terjadi. Dalam konstruktivisme, ia menerima adanya pandangan-pandangan yang berbeda dalam menganalisis sebuah fenomena sedangkan dalam rasionalisme ia fokus pada metode yang akan digunakan dalam menyelesaikan fenomena tersebut. Lalu, apakah pengertian dari konstruktivisme dan rasionalisme itu sendiri? Menurut Keith L. Shimko (2005:63), konstruktivisme merupakan suatu perspektif yang menekankan pada pentingnya identitas dan berbagi pemahaman dalam membentuk sikap dari aktor sosial. Dikatakan oleh Folker bahwa konstruktivisme adalah suatu pendekatan baru dalam disiplin teoretis tetapi dengan cepat menjadi salah satu pendekatan terkemuka. Konstruktivisme memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior). Dengan demikian konstruktivis memberi perhatian pada sumber-sumber perubahan (sources of change). Menurut perspektif konstruktivis, isu-isu utama di era pasca perang dingin berkait dengan persoalan-persoalan

bagaimana kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda conceive (menyusun dan memahami) kepentingan dan identitas mereka. Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya. (Walt, 1998). Paham ini menyatakan mengenai sistem pemahaman bagaimana aktor-aktor menafsirkan lingkungan material mereka. Ia juga menekankan sistem ideasional sebab ide-ide manusia adalah dasar dari keberadaan identitas-identitas sosial para aktor (Wendt, 1995: 73). Sedangkan rasionalisme menurut Linklater adalah suatu pandangan yang menekankan pada proses sistem negera yang ditransformasikan ke dalam masyarakat antar negara. Sedangkan menurut Martin Wight (1991: 28-29), rasionalisme adalan pandangan yang menekankan pada elemen-elemen pergaulan internasional seperti diplomasi, hukum internasional, dan kesepakatan perdagangan internasional. Bagi rasionalis, logika yang berlaku adalah negara merupakan aktor rasional yang selalu mengejar power atau selalu memaksimalkan keuntungan dan kepentingannya. Di dalam rasionalisme sendiri, sebenarnya terdapat jarak antara neo-realis dengan neoliberalis. Di dalam tulisannya ini Smith menjelaskan bahwa dalam perkembangannya yang lebih lanjut, terutama sejak 1980-an, realisme dan liberalisme mencapai satu titik kesamaan. Essentially each looked at the same issue from different sides: that issue was the effect of international institutions on the behaviour of states in a situations of international anarchy. Menurut Wendt (1999), bagi neo-realis maupun neo-liberalis identitas dan kepentingan merupakan sesuatu yang given, sesuatu yang sudah ada begitu saja. Wendt tidak mempercayainya demikian, ia melihat bahwa identitas dan kepentingan merupakan hasil dari praktek inter-subjektif di antara aktor-aktor. Dengan kata lain identitas dan kepentingan merupakan hasil dari sebuah proses interaksi. Walaupun neo-realis dan neo-liberalis mengakui bahwa proses interaksi mempengaruhi perilaku aktor-aktor namun tidak bagi identitas dan kepentingan. Dari sini terlihat makin jelas bahwa berbeda dengan (neo) realisme dan (neo) liberalisme, konstruktivisme memberikan penjelasan yang berbeda dalam menganalisa fenomena sosial, khususnya fenomena internasional. Konstruktivis melihat fenomena sosial merupakan hasil bentukan dari interaksi antar aktor-aktor internasional, sebaliknya dengan realisme dan liberalisme. Yang melihat ada unsur-unsur yang ada begitu saja tanpa campur tangan aktor-aktor internasional (given).

Selain itu, dalam upaya konstruktivisme mendalami perspektif Hubungan Internasional, ia mengalami evolusi dengan ikut dipengaruhi oleh elemen realisme dan idealisme. Perspektif realisme yang berada dalam konstruktivisme adalah saat ia mengakui bahwa kondisi anarki memaksa negara untuk memenuhi national security-nya sehingga memaksa negara untuk menahan keegoisitasannya demi mempertahankan pemerintahan dunia yang anarki. Namun selama proses tersebut, negara-negara masih dapat melakukan pencarian atas kekuasaan (power) dalam konteks dunia yang anarki. Sedangkan perspektif realis mengalami berbagai kekurangan, misalnya saja dalam mempertahankan sistem ke-anarki-an realis akan menggunakan konflik sedangkan dalam konstruktivisme menggunakan diplomasi. Selain itu, konstruktivisme memakai konsep shared ideas sebagai implementasi dari pandangan idealis, sebab idelisme memfokuskan diri pada pemakaian ide-ide atau gagasan manusia dalam mempengaruhi berjalannya politik dunia. Dari segi pandangan idealis, konstruktivisme menekankan pada prinsip-prinsip dalam masyarakat internasional dan keberadaan moral dan politik yang akan memaksa terbukanya masyarakat dalam suatu negara. Kesimpulannya, konstruktivisme adalah sebuah paham yang mampu menyatukan beberapa pandangan yang berlawanan, muncul sebagai the way out, antara neo-liberalisme dengan neo-realisme dan realis dengan idealis. Dengan sikap yang berusaha melakukan shared ideas, konstruktivisme melakukan gabungan dengan cara menjadi jalan tengah antara beberapa teori. Ia melihat bahwa hasil pemikiran manusia lah yang menentukan hasil dari proses. Misalnya saja seorang anak mendapatkan peringkat 1, yang membuat ia menjadi seperti itu bukanlah alatnya (guru, buku) namun pemikiran konstruktivist dari anak tersebut yang mampu membuat ia meraih peringkat 1. Referensi : Fearon, J & A.Wendt. 1992. Rationalism vs Constructivism: A Sceptical View. London: Sage Publication Ltd. Linklater, A. 1996. Rationalism of International Relations. London: Macmillan Press Ltd Shimko, K.L. 2005. International Relations Perspectives and Controversies. USA: Houghton Mifflin Company. Walt, S. Spring 1998.International Relations: One World, Many Theories, Foreign Policy,. No. 110 Wendt, A. Spring 1992. Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics, International Organization. MIT Press, Vol. 46, No. 2. Wighr. 1991. International Theory: the Tree Traditions. London: Royal Institue of International Affairs.

Anda mungkin juga menyukai