Anda di halaman 1dari 34

2.1. GAGAL JANTUNG 2.1.1.

Definisi Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik dan sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidak sesuaian preload dan afterload. keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.1 Gagal jantung dapat menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, dan gagal jantung kronis. 2 Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset) dari gejala-gejala dan tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Gagal jantung kronik adalah suatu kondisi patologis dimana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan.3

2.1.2. Klasifikasi Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan killip yang digunakan pada infark miokard akut, berdasarkan Stevenson dan NYHA.1 Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan pembagian sebagai berikut.1 - Derajat I : tanpa gagal jantung; - Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 gallop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis; - Derajat III : gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru; dan tampilan klinis yaitu klasifikasi

- Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) dan vasokontriksi perifer (oligouria, dana sianosis). Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda konesti dan kecukupan perfusi. kongesti didasarkan adanya ortopnoe,distensi vena jugular, ronki basah, refluks hepatojugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri.1 New York Heart Association (NYHA) pertama kali membuat klasifikasi gagal jantung yang berdasarkan pada drajat keterbatasan fungsional. Pembagian fungsi NYHA sering digunakan untuk menentukan progresif gagal jantung. Sistem ini membagi pasien atas 4 kelas fungsional yang bergantung pada gejala yang muncul, yaitu asimptomatis (kelas I), gejala muncul pada aktifitas berat (II), gejala muncul pada aktivitas ringan (III), dan gejala muncul pada saat istirahat (kelas IV).4

2.1.3 Epidemiologi Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebab tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam waktu 4 tahun sejak diagnose ditegakan dan padakeadaan gagal jantung berat lebih daro 50% akan meninggal dalam tahun pertama. 3

2.1.4. Etiologi Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya adalah disfungsi miokard, endokard, pericardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. pencetus untuk gagal jantung adalah edema paru dan syok.3 Penyebab tersering gagal jantung adalah penyekit arteri koroner dan hipertensi. penyakit jantung arteri koroner pada Framingham study dikatakan penyebab gagal jantung pada 46% lakilaki dan 27% perempuan.5

Faktor resiko koroner seperti merokok dan diabetes militus juga dapat mempengaruhi perkembangan dari gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan resiko gagal jantung pada beberapa penelitian. Hal ini dapat terjadi diantaranya karena hipertrofi ventrikel kiri dikaitkan dengan sistolik dan diastolic yang meningkat sehingga mengakibatkan infark miokard sehingga memudah kan untuk terjadi aritmia.5 Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering aritmia fibrilasi). Konsumsi alcohol yang berlebihan dapat mengakibatkan kardiomiopati dilatasi (penyakit jotot jantung alkoholik). obatobatan juga dapat mengakibatkan gagaljantu, obat kemotrapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofusdin akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung. 2

2.1.5. Patofisiologi Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. 6,7 Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. 6 Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan

retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. 6,7 Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.1,6 Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.1 Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.1,6 Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal

jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.1

2.1.6. Diagnosa Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut.4 Kriteria Mayor : Paroksismal nocturnal dispnu o Distensi vena leher Ronki paru Kardiomegali Edema paru akut Gallop S3 Peninggian tekanan vena jugularis o Refluks hepatojugular

Kriteria minor : Edema ekstremitas Batuk malam hari Dyspnoe deffort Hepatomegali Efusi pleura Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal Takikardia (>120 x/menit) Gejala gagal jantung terutama disebabkan oleh kongesti paru yang berat sebagai akibat peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, dapat disertai penurunan curah jantung ataupun tidak. Manifestasi klinis gagal jantung meliputi: 8 Gagal jantung dekompensasi (de novo atau sebagai gagal jantung kronik yang mengalami dekompensasi).

Gagal jantung akut hipertensi yaitu terdapat gagal jantung yang disertai tekanan darah tinggi dan gangguan fungsi jantung relatif dan pada foto toraks terdapat tanda-tanda edema paru akut.

Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks, respiratory distress, ronki yang luas, dan ortopnea. Saturasi oksigen biasanya kurang dari 90% pada udara ruangan.

Syok kardiogenik ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg dan atau penurunan pengeluaran urin kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam, frekuensi nadi lebih dari 60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ.

High output failure, ditandai dengan curah jantung yang tinggi, biasanya dengan frekuensi denyut jantung yang tinggi, misalnya pada mitral regurgitasi, dan anemia. Keadaan ini ditandai dengan jaringan perifer yang hangat dan kongesti paru, kadang disertai tekanan darah yang rendah seperti pada syok septik.

Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low output, peninggian tekanan vena jugularis, serta pembesaran hati dan limpa. Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak

nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan tekanan vena jugular, hepatomegali, edema tungkai. 9,10 Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.9 Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.9

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.9 Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.9 Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi.9 Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium serta obat potassium sparring.9 Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml.1,9,11-13 sparring. Hiperkalemia

timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor

Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.9 Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.9,14

2.1.7. Diagnosa Banding15 Diagmosa banding gagal jantung adalah sebagai berikut. - sindrom gangguan pernafasan akut - altitude sickness - asma - syok kardiogenik - cronic obstructive pulmonary disease - overdosis obat - infark miokard - pneumonia - fibrosis pulmonal - respiratory failure - sepsis

2.1.8. Penatalaksanaan16 Tujuan utama terapi gagal jantung adalah koreksi hipoksia, meningkatkan curah jantung, perfusi ginjal, pengeluaran natrium dan urin. Sasaran pengobatan secepatnya adalah memperbaiki simtom dan menstabilkan kondisi hemodinamik.

Terapi oksigen dan ventilasi ditujukan untuk memberikan oksigen yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan oksigen tingkat sel sehingga dapat mencegah disfungsi end organ dan awitan kegagalan multi organ. Pemeliharaan saturasi O2 dalam batas normal (95%-98%) penting untuk memaksimalkan oksigenasi jaringan. Morfin diindikasikan pada tahap awal pengobatangagal jantung beratt, khususnya pada pasien gelisah dan dispnea. Morfin menginduksi venodilatasi, dilatasi ringan pada arteri dan dapat mengurangi denyut jantung. Antikoagulan terbukti dapat digunakan untuk sindrom koroner akut dengan atau tanpa gagal jantung. Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien gagal jantung sebagai terapi lini pertama pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah adekuat dan tanda kongesti dengan diuresis sedikit. Dopamine merupakan agonis reseptor -1 yang memiliki efek inotropik dan kronotropik positif. Pemberian dopamine terbukti dapat meningkatkan curah jantung dan menurunkan resistensi vaskular sistemik. Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi reseptor - 1, -2, dan pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun mempunyai efek inotropik positif, efek peningkatan denyut jantung lebih rendah dibanding dengan agonis -adrenergik. Obat ini juga menurunkan Systemic Vascular Resistance (SVR) dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter. Amiodarone atau ibutilide dapat ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah. Nitropusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO) secara nonenzimatik. Nitroprusid juga memiliki efek yang baik terhadap perbaikan preload dan after load. Venodilatasi akan mengurangi pengisian ventrikel sehingga preload menurun. Obat ini juga mengurangi curah jantung dan regurgitasi mitral yang diikuti dengan penurunan resistensi ginjal. Hal ini akan memperbaiki aliran darah ginjal sehingga sistem RAA tidak teraktivasi secara berlebihan. Nitroprusid tidak mempengaruhi sistem neurohormonal.

ACE-inhibitor tidak diindikasikan untuk stabilisasi awal gagal jantung akut. Namun, bila stabil 48 jam boleh diberikan dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap dengan pengawasan tekanan darah yang ketat. Diuretik diindikasikan bagi pasien gagal jantung dekompensasi yang disertai gejala retensi cairan. Pemberian loop diuretic secara intravena dengan efek yang lebih kuat lebih diutamakan untuk pasien gagal jantung akut. Sementara itu, pemberian -blocker merupakan kontraindikasi pada gagl jantung kecuali bila gagal jantung sudah stabil. Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi perifer (hipotensi) dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter terhadap diuretika dan vasodilator pada dosis optimal. Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan calcium loading sehingga harus diberikan secara hati-hati.

2.1.8. Prognosis16 Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam satu randomized trial yang besar pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari adalah 9,6% dan apabila dikombinasi dengan mortalitas dan perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%. Sekitar 45% pasien gagal jantung akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam 12 bulan pertama. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat dengan mortalitas dalam 12 bulan adalah 30%. Terdapat beberapa faktor klinis yang penting pada pasien dengan gagal jantung akut yang dapat mempengaruhi respon terhadap terapi maupun prognosis, diantaranya adalah: - Tekanan darah sistolik yang tinggi saat masuk berhubungan dengan mortalitas pasca perawatan yang rendah namun perawatan ulang dalam 90 hari tidak berbeda antara pasien dengan hipertensi maupun normotensi. Tekanan darah sistolik yang rendah (< 120 mmHg) saat masuk rumah sakit menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gheorghiade et al didapatkan bahwa peningkatan tekanan darah sistolik berhubungan dengan mortalitas selama perawatan yang rendah yaitu 7.2% (<120 mm Hg), 3.6% (120-139 mm Hg), 2.5% (140-161 mm Hg). 1.7% (>161 mm Hg).

- Gangguan fungsi ginjal tampaknya juga mempengaruhi hasil akhir pada gagal jantung akut. Pada penelitian yang dilakukan Klein et al didapatkan bahwa rendahnya estimated glomerular filtration rate (eGFR) dan tingginya BUN saat masuk RS berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian dalam 60 hari pasca perawatan. - Pada pasien gagal jantung yang disertai PJK terdapat peningkatan mortalitas pasca perawatan dibandingkan pasien tanpa PJK. Secara umum, penyakit jantung koroner dapat meningkatkan mortalitas pasien gagal jantung. Angka mortalitas mencapai 20-40% pada gagal jantung yang berhubungan dengan infark miokard akut. Peningkatan kadar troponin yang diobservasi pada 30 70% pasien dengan PJK berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pasca perawatan sebanyak 2 kali, sedangkan angka perawatan ulang dirumah sakit meningkat 3 kali. - Peningkatan kadar natriuretik peptida juga berhubungan dengan meningkatnya mortalitas pasca perawatan dan perawatan ulang di rumah sakit. - Pasien dengan tekanan baji kapiler paru yang rendah memperlihatkan peningkatan survival pasca perawatan. Tekanan baji kapiler paru yang tinggi, sama atau lebih dari 16 mmHg merupakan prediktor mortalitas tinggi. - Durasi QRS yang memanjang juga menjadi faktor independen terhadap tingginya morbiditas dan pasca perawatan. - Hiponatremia juga berpengaruh terhadap mortalitas gagal jantung. Sekitar 25% hingga 30% pasien GJA akut memiliki hiponatremia ringan (Na+ < 130 mmol/L). Hiponatremia sedang sampai berat didefinisikan sebagai konsentrasi Na plasma < 130 mmol/L, namun jarang terjadi pada pasien gagal jantung akut. Suatu studi ESCAPE trial menyebutkan bahwa hiponatermia ringan yang persisten ditemukan pada 23,8% pasien dan berhubungan dengan tingginya risiko kematian, perawatan di rumah sakit dibandingkan pasien tanpa hiponatremia.

2.2. PENYAKIT KATUP JANTUNG 2.2.1 Defenisi


Penyakit katup jantung adalah kelainan pada jantung yang menyebabkan kelainankelainan pada aliran darah yang melintasi katup jantung. Katup yang terserang penyakit dapat mengalami dua jenis gangguan fungsional : 1) Regurgitasi daun katup tidak dapat menutup rapat sehingga darah dapat mengalir balik (sinonim dengan insufisiensi katup dan inkompetensi katup) 2) Stenosis katup lubang katup mengalami penyempitan sehingga aliran darah mengalami hambatan. Insufisiensi dan stenosis dapat terjadi bersamaan pada satu katup, dikenal sebagai lesi campuran atau terjadi sendiri yang disebut sebagai lesi murni . Disfungsi katup akan meningkatkan kerja jantung. Insufisiensi katup memaksa jantung memompa darah lebih banyak untuk menggantikan jumlah darah yang mengalami regurgitasi atau mengalir balik sehingga meningkatkan volume kerja jantung. Stenosis katup memaksa jantung meningkatkan tekanannya agar dapat mengatasi resistensi terhadap aliran yang meningkat, karena itu akan meningkatkan tekanan kerja miokardium. Respon miokardium yang khas terhadap peningkatan volume kerja dan tekanan kerja adalah dilatasi ruang dan hipertrofi otot. Dilatasi miokardium dan hipertrofi merupakan mekansime kompensasi yang bertujuan meningkatkan kemampuan pemompaan jantung. (ODonnell MM, 2002).

2.2.2. Epidemiologi
Penyakit katup jantung merupakan penyakit jantung yang masih cukup tinggi insidennya, terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti halnya di Indonesia. Namun demikian, akhir-akhir ini prevalensi penyakit katup jantung ada kecenderungan semakin menurun. Berdasarkan penelitian yang ditekankan diberbagai tempat di Indonesia penyakit katup jantung ini menduduki urutan ke-2 atau ke-3 sesudah penyakit koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung. (Gordis, 1985). Insiden tertinggi penyakit katup adalah katup mitralis, kemudian katup aorta. Kecenderungan menyerang katup-katup jantung kiri dikaitkan dengan tekanan hemodinamik yang relatif besar pada katup-katup ini. Insiden penyakit trikuspid relatif rendah. Penyakit katup

pulmonalis jarang terjadi. Penyakit katup trikuspidalis atau pulmonalis biasanya disertai dengan lesi pada katup lainnya, sedangkan penyakit katup aorta atau mitralis sering terjadi sebagai lesi tersendiri. (Gordis, 1985). Di Negara maju terlihat penurunan insiden setelah 1900. Pada tahun 1980 insiden demam reumatik di Amerika Serikat berkisar 0,5-2/100.000 penduduk. Karena pengobatan yang luas dan efektif dari penggunaan antibiotik dalam mengobati infeksi dari streptococcus, insiden pada reumatik endokarditis dengan penyakit katup pada jantung, termasuk mitral stenosis, telah menurun di Amerika Serikat. Sekarang ini, kebanyakan pasien adalah seseorang yang sudah tua yang sebelumnya mengalami perkembangan degenaratif. Reumatik mitral stenosis masih tetap ditemui, tetapi timbul pada orang yang lebih tua dan perkembangannya lambat dari sebelumnya. Mitral stenosis masih terdapat dalam negara-negara berkembang dimana demam reumatik merupakan hal yang umum. Kondisi ekonomi dan genetik keduanya mungkin memegang peranan. (Johanna JM, 2008).

2.2.3. Etiologi
Penyakit katup jantung dahulu dianggap sebagai penyakit yang hampir selalu disebabkan oleh reumatik, tetapi sekarang telah banyak ditemukan penyakit katup jenis baru. Meskipun terjadi penurunan insiden penyakit demam reumatik, namun penyakit demam reumatik masih merupakan penyebab lazim deformitas katup yang membutuhkan koreksi bedah. (ODonnell MM, 2002) Demam reumatik akut merupakan sekuele faringitis akibat streptokokus B-hemolitikus group A. Demam reumatik timbul hanya jika terjadi respon antibodi atau imunologis yang bermakna terhadap infeksi streptokokus sebelumnya. Sekitar 3% infeksi steptokokus pada faring diikuti dengan serangan demam reumatik (dalam 2 hingga 4 minggu). Serangan awal demam reumatik biasanya dijumpai pada masa anak dan awal masa remaja. (ODonnell MM, 2002) Patogenesis pasti demam reumatik masih belum diketahui. Dua mekanisme dugaan yang telah diajukan adalah (1). respon hiperimun yang bersifat autoimun maupun alergi dan (2). efek langsung organisme streptokokus atau toksinnya. Reaksi autoimun terhadap infeksi streptokokus secara teori akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam reumatik, dengan cara : 1. Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi faring.

2. Antigen streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada penjamu yang hiperimun. 3. Anitibodi akan bereaksi dengan antigen streptokokus, dan dengan jaringan penjamu yang secara antigenik sama seperti streptokokus (dengan kata lain : antibodi tidak dapat membedakan antara antigen streptokokus dengan antigen jaringan jantung). 4. Autoantibodi tersebut bereaksi dengan jaringan penjamu sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Apapun patogenesisnya, manifestasi demam rematik akut berupa peradangan difus yang menyebabkan jaringan ikat berbagai organ, terutama jantung, sendi dan kulit. Gejala dan tandanya tidak khas, dapat berupa demam, artritis yang berpindah-pindah, artralgia, ruam kulit, korea dan takikardi. Terserangnya jantung merupakan keadaan yang sangat penting, karena dua alasan berikut (1). kematian pada fase akut, walaupun sangat rendah, tetapi hampir seluruhnya disebabkan oleh gagal jantung dan (2). kecacatan residual yang terutama disebabkan oleh deformitas katup Demam reumatik akut dapat menyebabkan peradangan pada semua lapisan jantung yang disebut pankarditis. Peradangan endokardium biasanya mengenai endotel katup, mengakibatkan pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun katup. Vegetasi seperti manik-manik akan timbul disepanjang pinggir daun katup. Perubahan akut ini dapat mengganggu penutupan katup yang efektif, mengakibatkan regurgitasi katup. (ODonnell MM, 2002). Serangan awal karditis reumatik biasanya akan mereda tanpa meninggalkan kerusakan berarti. Namun serangan berulang akan menyebabkan gangguan progresif pada bentuk katup. Perubahan patologis penyakit katup reumatik kronis timbul akibat proses penyembuhan yang disertai pembentukan jaringan parut, proses radang berulang, dan deformitas progresif yang disertai stres hemodinamik dan proses penuaan. (ODonnell MM, 2002). Deformitas akhir yang menyebabkan stenosis katup ditandai oleh penebalan dan penyatuan daun katup disepanjang komisura (tempat persambungan antara duan daun katup). Perubahan ini mengakibatkan penyempitan lubang katup dan mengurangi pergerakan daun katup sehingga menghambat majunya aliran darah. Korda tendinae katup atrioventrikularis dapat juga menebal dan menyatu sehingga membentuk terowongan fibrosa dibawah daun katup dan semakin menghambat aliran darah. (ODonnell MM, 2002).

Lesi yang berkaitan dengan insufisiensi katup terdiri atas daun katup yang menciut dan retraksi yang menghambat kontak dan pemendekan antar daun katup, menyatukan korda tendinae yang menghalangi gerak daun katup. Perubahan ini akan mengganggu penutupan katup sehingga menimbulkan aliran balik melalui katup tersebut. (ODonnell MM, 2002). Kalsifikasi dan sklerosis jaringan katup akibat usia lanjut juga berperan dalam perubahan bentuk katup akibat demam reumatik. Penyakit kronis yang disertai kegagalan ventrikel serta pembesaran ventrikel juga dapat mengganggu fungsi katup atrioventrikularis. Bentuk ventrikel mengalami perubahan sehingga kemampuan otot papilaris untuk mendekatkan daun-daun katup pada waktu katup menutup akan berkurang. Selain itu lubang katup juga melebar, sehingga semakin mempersulit penutupan katup dan timbul insufisiensi katup. (ODonnell MM, 2002). Selain penyakit reumatik, dikenal beberapa penyebab lain yang semakin sering menimbulkan perubahan bentuk dan malfungsi katup : (1). dekstruksi katup oleh endokarditis bakterialis (2). defek jaringan penyambung sejak lahir (3) disfungsi atau ruptura otot papilaris karena aterosklerosis koroner dan (4). malformasi kongenital. (ODonnell MM, 2002). Endokarditis infektif dapat disebabkan oleh banyak organisme, termasuk bakteri, jamur, dan ragi. Infeksi bakteri merupakan penyebab tersering. Akibatnya, keadaan ini sering disebut sebagai endokarditis bakterialis. Endokarditis menimbulkan vegetasi disepanjang pinggir daun katup, vegetasi-vegetasi ini dapat meluas dan menyerang seluruh katup, bahkan moikardium. Akibatnya, daun katup dapat mengalami fibrosis, erosi dan perforasi sehingga menimbulkan suatu disfungsi katup regurgitan yang khas. (ODonnell MM, 2002). Disfungsi atau ruptura otot papilaris dapat menimbulkan berbagai macam disfungsi katup. Gangguan otot papilaris dapat bersifat intermitan (yaitu akibat iskemia) dan hanya menimbulkan regurgitasi episodik yang ringan. Tetapi, apabila terjadi ruptura otot papilaris nekrotik setelah infrak miokardium, dapat terjadi insufisiensi mitralis akut. (ODonnell MM, 2002). Malformasi kongenital dapat terjadi pada setiap katup. Misalnya, sekitar 1% sampai 2% katup aorta adalah katup bikuspidalis dan bukan trikuspidalis. Lesilesi katup tertentu sangat menunjukan penyebab disfungsi. Misalnya, stenosis mitralis murni biasanya disebabkan oleh rematik, sedangakan stenosis aorta murni biasanya disebabkan oleh kalsifikasi prematur dan degenerasi katup bikuspidalis kengenital. Lesi katup

pulmonalis atau trikuspidalis murni hampir pasti disebabkan oleh cacat kongenital. Lesi katup gabungan biasanya disebabkan oleh rematik. (ODonnell MM, 2002).

2.2.4. Klasifikasi 2.2.4.1. Stenosis Mitral Patofisiologi Stenosis mitral terjadi karena adanya fibrosis dan fusi komisura katup mitral pada waktu fase penyembuhan demam rematik. Terbentuknya sekat jaringan ikat tanpa pengapuran yang mengakibatkan lubang katup mitral pada waktu diastol lebih kecil dari normal. (ODonnell MM, 2002). Berkurangnya luas efektif lubang katup mitral menyebabkan berkurangnya daya alir katup mitral. Hal ini akan meningkatkan tekanan di ruang atrium kiri, sehingga timbul perbedaan tekanan antara atrium kiri dengan ventrikel kiri waktu diastole. Otot atrium mengalami hipertfofi, untuk meningkatkan kekuatan pemompaan darah. Dilatasi atrium terjadi karena volume atrium meningkat akibat ketidakmampuan atrium untuk mengosongkan diri secara normal. Peningkatan tekanan dan volume atrium kiri dipantulkan ke belakang ke dalam pembuluh darah paru sehingga tekanan dalam vena pulmonalis dan kapiler meningkat. Akibatnya terjadi kongesti paru-paru. Pada akhirnya, tekanan arteri pulmonalis harus meningkat akibat peningkatan kronis resistensi vena pulmonalis. Hipertensi pulmonalis meningkatkan resistensi ejeksi ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis, kemudian terjadi hipertrofi ventrikel kanan. (ODonnell MM, 2002). Ventrikel kanan tidak dapat memenuhi tugas sebagai pompa bertekanan tinggi untuk jangka waktu yang lama. Kegagalan ventrikel kanan dipantulakan ke belakang ke dalam sirkulasi sistemik, menimbulkan kongesti pada vena sistemik dan edema perifer seperti pada hati, kaki dan lain-lain. Bendungan hati yang berlangsung lama akan menyebabkan gangguan pada fungsi hati. (ODonnell M, 2002).

Gambar 1. Patofisiologi stenosis mitralis: 1. Hipertrofi atrium kiri; 2. Dilatasi atrium kiri; 3. Kongesti vena pulmonalis; 4. Kongesti paru; 5. Hipertensi paru; 6. Hipertrofi ventrikel kanan; 7. Curah jantung terfiksasi. (ODonnell MM, 2002).

Diagnosis Keluhan dapat berupa takikardia, dispneu, takipneu atau ortopneu dan denyut jantung tidak teratur. Tak jarang terjadi gagal jantung, batuk darah atau tromboemboli serebral maupun perifer. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya T, 2009).

Pemeriksaan Fisik Sianosis perifer dan fasial terdapat pada pasien dengan stenosis mitral yang sangat parah. Pada kasus yang sudah lanjut terdapat malar flush (pipi yang kemerah-merahan) dan muka tampak kurus dan biru, pulsasi vena jugularis yang kuat, tekanan arteri sistemik biasanya normal atau rendah sedikit. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya T, 2009). Stenosis mitral yang murni dapat dikenal dengan terdengarnya bising mid-diastolik yang bersifat kasar, bising menggenderang (rumble), aksentuasi presistolik dan bunyi jantung satu yang mengeras. Jika terdengar bunyi tambahan opening snap berarti katup masih relatif lemas (pliable) sehingga waktu terbuka mendadak saat diastole menimbulkan bunyi yang menyentak (seperti tali putus). Jarak bunyi jantung kedua dengan opening snap memberikan gambaran beratnya stenosis. Makin pendek jarak ini berarti makin berat derajat penyempitannya. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya T, 2009). Komponen pulmonal bunyi jantung ke-2 dapat mengeras disertai bising sistolik karena adanya hipertensi pulmonal. Jika sudah terjadi insufisiensi pulmonal maka dapat terdengar bising diastolik dini dari katup pulmonal. Pada fase lanjut ketika sudah terjadi bendungan interstitial dan alveolar paru akan terdengar ronkhi basah atau wheezing pada fase ekspirasi. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya T, 2009). Jika hal ini berlanjut terus dan menyebabkan gagal jantung kanan maka keluhan dan tanda-tanda sembab paru akan berkurang atau menghilang dan sebaliknya tanda-tanda bendungan sistemik akan menonjol (peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites, sembab tungkai). Pada fase ini biasanya tanda-tanda gagal hati akan mencolok antara lain ikterus, menurunnya protein plasma, hiperpigmentasi kulit (fasies mitral) dan sebagainya. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya T, 2009). Elektrokardiogram Pembesaran atrium kiri, gelombang P melebar dan bertakik (paling jelas pada sadapan II) dikenal sebagai P mitral, bila irama sinus normal; hipertrofi ventrikel kanan, fibrilasi atrium lazim terjadi tetapi tidak spesifik untuk stenosis mitral. (Yusak M, 1996).

Foto Thorax Gambaran dapat berupa pembesaran atrium kiri dan ventrikel kanan, pelebaran arteri pulmonalis (karena peninggian tekanan), kongesti vena pulmonalis; edema paru interstitial, redistibusi pembuluh darah paru ke lobus bagian atas, aorta yang relatif kecil (pada penderita penderita yang dewasa atau fase lanjut penyakit), kadang terlihat perkapuran didaerah katup mitral atau perikard. (Yusak M, 1996). Laboratorium Tidak ada gambaran yang khas, pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk membantu penentuan adanya reaktivasi rheumathoid. (Yusak M, 1996). Diagnosa Banding Emfisema, bronkiektasis, tuberkulosis, hipertensi pulmonal primer, kor triatrianum, miksoma atrium kiri. (Braunwald E, 1994). Penatalaksanaan Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III (NYHA) keatas. (Braunwald E, 1994). Valvulotomi mitral diindikasikan pada pasien simtomatik dengan stenosis mitral murni yang orifisium efektifnya kurang dari kira-kira 1,3 cm2 (atau 0,8 cm2/m2 luas permukaan tubuh) dan pada pasien yang telah terjadi embolisasi sistemik yang rekuren/berulang. Valvulotomi tidak dianjurkan untuk pasien yang seluruhnya asimtomatik, tanpa peduli temuan hemodinamik. (Braunwald E, 1994). Operasi terbuka dengan menggunakan pintas kardioparu biasanya lebih disukai daripada komisurotomi tertutup untuk pasien dengan stenosis mitral murni yang belum diopersi sebelumnya. (Braunwald E, 1994). Valvuloplasti balon perkutan adalah alternatif terhadap valvuloplasti mitral operatif pada pasien dengan stenosis mitral reumatik yang mencolok. Indikasinya : pasien muda tanpa klasifikasi valvuler yang ekstensif atau penebalan atau deformitas subvalvuler. (Braunwald E, 1994).

Prognosis Pada mitral stenosis yang simtomatis terdapat progressi yang jelek. Angka harapan hidup 5 tahun sebesar 62% pada mitral stenosis dengan NYHA kelas III, dan hanya 15% pada kelas IV. Pasien simtomatik yang menolak valvotomi hanya memiliki 44% angka harapan hidup selama 5 tahun. (Yusak M, 1996).

2.2.4.2. Regurgitasi Mitral Patofisiologi Regurgitasi mitralis memungkinkan aliran darah berbalik dari ventrikel kiri ke atrium kiri akibat penutupan katup yang tidak sempurna. Perubahan-perubahan katup mitral tersebut adalah kalsifikasi, penebalan dan distorsi daun katup. Hal ini mengakibatkan koaptasi yang tidak sempurna waktu sistole. Selain itu pemendekan korda tendinea mengakibatkan katup tertarik ke ventrikel terutama bagian posterior dan dapat juga terjadi dilatasi anulus atau ruptur korda tendinea. (ODonnell MM, 2002). Selama sistolik ventrikel secara bersamaan mendorong darah ke dalam aorta dan kembali ke dalam atrium kiri. Ventrikel kiri harus memompakan darah dalam jumlah cukup guna mempertahankan aliran darah normal ke dalam aorta dan darah yang kembali melalui katup mitralis. Beban volume tambahan yang ditimbulkan oleh katup yang mengalami insufisiensi akan segera mengakibatkan dilatasi ventrikel yang akan meningkatkan kontraksi miokardium. Akhirnya dinding ventrikel hipertrofi. (ODonnell MM, 2002). Regurgitasi menimbulkan beban volume tidak hanya bagi ventrikel kiri tetapi juga bagi atrium kiri. Atrium kiri berdilatasi untuk memungkinkan peningktan volume dan meningkatkan kekuatan kontraksi atrium. Selanjutnya atrium mengalami hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan kontraksi dan curah atrium lebih lanjut. Bila lesi makin parah, atrium kiri menjadi tidak mampu lagi untuk meregang dan melindungi paru-paru. Kegagalan ventrikel kiri biasanya merupakan tahap awal untuk mempercepat dekompensasi jantung, ventrikel kiri mendapat beban yang terlalu berat, dan aliran darah melalui aorta menjadi berkurang dan secara bersamaan terjadi kongesti ke belakang. Secara bertahap, urutan kejadian yang diperkirakan akan terjadi pada paruparu dan jantung kanan yang terkena adalah : kongesti vena pulmonalis, edema interstitial, hipertensi arteri pulmonalis dan hipertrofi ventrikel kanan. (ODonnell MM, 2002).

Gambar 2. Patofisiologi insufisiensi mitralis, 1. Dilatasi ventrikel kiri; 2. Hipertrofi ventrikel kiri; 3. Dilatasi atrium kiri 4. Hipertrofi atrium kiri; 5. Kongesti vena pulmonalis; 6. Kongesti paru; 7. Hipertensi arteri pulmonalis; 8. Hipertensi ventrikel kanan (ODonnell MM, 2002).

Diagnosis Anamnesis Sebagaimana pada stenosis mitral sebagian besar penderita insufisiensi mitral menyangkal adanya riwayat demam reumatik sebelumnya. Regurgitasi mitral dapat ditolerir dalam jangka waktu yang lama tanpa keluhan jantung, baik sewaktu istirahat maupun saat melakukan kerja sehari-hari. Sering keluhan sesak nafas dan lekas capek merupakan keluhan awal yang secara berangsur-angsur berkembang menjadi ortopneu, paroksismal dispneu nokturnal dan edema perifer. (Manurung D, 2009).

Pemeriksaan Fisik Tekanan arterial biasanya normal, thrill sistolik seringkali dapat dipalpasi pada apeks jantung, pada auskultasi akan terdengar bising pansistolik yang bersifat meniup (blowing) di apeks, menjalar ke aksila, dan mengeras pada ekspirasi. Bunyi jantung pertama melemah, katup tidak menutup sempurna pada akhir diastole dan pada saat tersebut tekanan atrium dan ventrikel kiri sama. Terdengar bunyi jantung ketiga akibat pengisian yang cepat ke ventrikel kiri pada awal diastole dan diikuti diastolik flow murmur karena volume atrium kiri besar mengalir ke ventrikel kiri. (Manurung D, 2009). Elektrokardiogram Pembesaran atrium kiri (P mitrale) bila iramanya sinus normal; fibrilasi atrium; hipertrofi ventrikel kiri. (ODonnell MM, 2002). Foto Thorax Pada insufisiensi mitral ringan tanpa gangguan hemodinamik yang nyata, besar jantung pada foto torak biasanya normal. Pada keadaan yang lebih berat akan terlihat pembesaran jantung akibat pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri, dan mungkin terlihat tanda-tanda bendungan paru. Kadang-kadang terlihat pula perkapuran pada anulus mitral. (ODonnell MM, 2002). Laboratorium Tidak memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan laboratorium berguna untuk menentukan ada tidaknya reuma aktif/reaktifasi. (Yusak M, 1996). Penatalaksanaan Pemberian antibiotika ditujukan untuk upaya pencegahan reaktifasi reuma maupun pencegahan terhadap timbulnya endokarditis infektif. (Yusak M, 1996). Adanya keluhan lekas capek, sesak nafas dan ortopneu menunjukan adanya gangguan fungsi ventrikel kiri yang memerlukan digitalis dan diuretik. Obat-obat penurun beban awal dan beban akhir (preload dan afterload) dapat digunakan pada penderita-penderita insufisiensi mitral yang telah ada keluhan. Obat-obat vasodilator misalnya hydralazine dan catopril dan lain-lain dapat memperbaiki hemodinamik serta mengurangi keluhan. (Yusak M, 1996). Pasien dengan regurgitasi mirtal yang asimtomatik atau yang terbatas hanya pada waktu mengeluarkan tenaga tidak dianggap sebagai calon untuk pengobatan operatif, karena keadaannya tetap stabil untuk bertahun-tahun. Sebaliknya kecuali terdapat kontraindikasi,

pengobatan operatif seharusnya ditawarkan kepada pasien dengan regurgitasi mitral parah yang keterbatasan tidak memungkinkannya untuk bekerja penuh atau untuk melakukan kegiatan rumah tangga normal meskipun pengelolaan medis sudah optimal. Bahkan pada pasien dengan gejala ringan, pengobatan operatif diindikasikan jika disfungsi ventrikel progresif. (Braunwald E, 1994). Terapi pembedahan regurgitasi mitral, terutama yang disebabkan oleh katup yang mengalami deformitas secara nyata, dengan daun katup yang berkerut dan mengalami kalsifikasi akibat demam reumatik, memerlukan penggantian katup dengan protesis, walupun meningkatkan fraksi pasien, khususnya pada pasien dengan dilatasi anulus yang parah, daun katup yang mengalami mobilisasi abnormal atau paradoksikal (fail), prolaps katup mitral, ruptur korda atau endokardistis infektif, rekonstruksi aparatus katup mitral (valvuloplasti mitral) dan/atau anuloplasti mitral mungkin berhasil. (Braunwald E, 1994).

2.2.4.3. Stenosis Aorta Patofisiologi Stenosis aorta menghalangi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta pada waktu sistolik ventrikel. Dengan meningkatnya resistensi terhadap ejeksi ventrikel maka beban tekanan ventrikel kiri meningkat. Sebagai akibatnya ventrikel kiri menjadi hipertrofi agar dapat menghasilkan tekanan yang lebih tinggi untuk mempertahankan perfusi perifer, hal ini akan menyebabkan timbulnya selisih tekanan yang mencolok antara ventrikel kiri dan aorta. (ODonnell M, 2002). Untuk mengkompensasi dan mempertahankan curah jantung, ventrikel kiri tidak hanya memperbesar tekanan tetapi juga memperpanjang waktu ejeksi. Lama lama kemampuan ventrikel kiri untuk menyesuaikan diri terlampaui. Timbul gejala-gejala progresif yang mendahului titik kritis dalam perjalanan stenosis aorta. Titik kritis pada stenosis aorta adalah bila lumen katup aorta mengecil dari ukuran 3-4 cm2 menjadi kurang dari 0,8 cm2. (ODonnell MM, 2002). Kegagalan ventrikel progresif mengganggu pengosongan ventrikel. Curah jantung menurun dan volume ventrikel bertambah. Akibatnya ventrikel mengalami dilatasi kalau berlanjut disertai kongesti paru-paru berat. Akhirnya mengakibatkan gagal jantung kiri. (ODonnell MM, 2002).

Gambar 4. Patofisiologi stenosis aorta (ODonnell MM, 2002).

Diagnosis Anamnesis Pasien merasakan gejala-gejala setelah penyakit berjalan lanjut, trias gejala khas yang berkaitan dengan stenosis aorta : (1). angina (2). sinkop (3). kegagalan ventrikel kiri. (Pangabean MM, 2009). Apabila diabaikan, gejala-gejala ini menandakan prognosis yang buruk dengan kemungkinan hidup rata-rata kurang dari lima tahun. Kegagaaln ventrikel kiri merupakan indikasi dekompensasi jantung. Angina ditimbulkan oleh ketidakseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen miokardium, kebutuhan oksigen meningkat karena hipertrofi dan peningkatan kerja miokardium, sedangakan penyediaan oksigen kemungkinan berkurang karena

penekanan sistolik yang kuat pada arteria koronaria oleh otot yang hipertrofi. (Pangabean MM, 2009). Pasien stenosis aorta yang mengalami gagal jantung, akan memberikan gejala dispneu yang menonjol dan daya tahan hidup hanya mungkin kira-kira 2 tahun. (Pangabean MM, 2009). Pemeriksaan Fisik Pada stenosis aorta yang berat tekanan nadi menyempit dan lonjakan denyut arteri lambat. Amplitudo yang mengurang dengan puncak nadi yang terlambat ini disebut sebagai pulsus parvus et tardus. Impuls apeks tidak berpindah ke lateral, lamanya impuls dapat memanjang. Getaran sistolik dapat dirasakan pada ruang interkostal ke 2 dekat sternum dan dekat leher. (Braunwald E, 1994). Pada Auskultasi didapatkan bising ejeksi sistolik, pemisahan bunyi jantung kedua yang paradoksal. (Purnomo H, 1996). Elektrokardiogram Terdapat tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri, peningkatan voltase QRS, serta vektor T terletak 180 dari vektor QRS. Juga terdapat gambaran kelainan atrium kiri. (Purnomo H, 1996). Foto Thorax Pada tahap awal penyakit, foto torak masi normal, walaupun pada keadaan lebih lanjut jantung bisa membesar. (Purnomo H, 1996). Pelebaran aorta pasca-stenosis, kalsifikasi katup aorta (paling jelas terlihat posisi lateral) dan pembesaran ringan atrium kiri bisa terlihat. (Purnomo H, 1996). Diagnosa Banding Kardiomegali (obstruktif hipertrofik), defek septum ventrikal, koarktasio aorta, aneurisma arkus aorta, stenosis pulmonal. (Braunwald E, 1994). Penatalaksanaan Pasien dengan stenosis aorta harus di terapi secara profilaksis untuk pencegahan endokarditis bakterialis. Gagal jantung diterapi dengan digitalis dan diuretik. Pengobatan untuk menurunkan beban awal dan beban akhir harus dilakukan secara hati-hati serta follow up untuk menentukan kapan bedah harus dilakukan. (Braunwald E, 1994). Percutaneous ballon aortic valvuloplasty, adalah alternatif dalam operasi pada anak dan orang dewasa muda dengan stenosis aorta kengenital. Operasi ini tidak umum dipergunakan pada pasien tua dengan stenosis aorta kalsifik yang parah karena angka stenosis kembali tinggi.

Meskipun demikian, prosedur ini mungkin berguna pada pasien yang terlampau sakit atau lemah untuk menjalani operasi, pada pasien dengan stenosis aota yang membahayakan nyawa dan penyakit ekstrakardiak yang lanjut, dan sebagai jembatan ke operasi pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang parah. (Braunwald E, 1994). Prognosis Survival rate 10 tahun pasien pasca operasi ganti katup aorta adalah sekitar 60% dan ratarata 30% katup artifisial bioprotesis mengalami gangguan setelah 10 tahun dan memerlukan operasi ulang. Katup metal artifisial harus dilindungi dengan antikoagulan untuk mencegah trombus dan embolisasi. Sebanyak 30% pasien ini akan mengalami komplikasi perdarahan ringan-berat akibat dari terapi tersebut. Valvuloplasti aorta perkutan dengan balon dapat dilakukan pada anak atau anak muda dengan stenosis aorta kengenital non-klasifikasi. Pada orang dewasa dengan kalsifikasi, tindakan ini menimbulakan restenosis yang tinggi. (Purnomo H, 1996).

2.2.4.4. Regurgitasi Aorta Patofisiologi Regurgitasi aorta menyebabkan refluks darah dari aorta ke dalam ventrikel kiri sewaktu relaksasi ventrikel. Penyakit ini jelas memberi beban volume yang cukup berat pada ventrikel kiri. Pada setiap kontraksi, ventrikel harus mampu mengeluarkan sejumlah darah yang sama dengan volume sekuncup normal ditambah volume regurgitasi. Ventrikel kiri mengalami dilatasi berat dan akhirnya menjadi hipertrofi, sehingga bentuknya berubah seperti bola. Kemudian sirkulasi perifer menjadi hiperdinamik. (ODonnell MM, 2002).

Gambar 4. Patofisiologi regurgitasi aorta : 1. Dilatasi ventrikel kiri; 2. Hipertensi ventrikel kiri; 3. Sirkulasi perifer hiperdinamik. (ODonnell M, 2002).

Diagnosis Anamnesis Kadang-kadang pasien datang dengan keluhan adanya pulsasi arteri karotis yang nyata serta denyut pada apeks saat penderita berbaring ke sisi kiri. Selain itu bisa timbul denyut jantung prematur, oleh karena curah sekuncup besar setelah diastolik yang panjang. (Leman S, 2009). Pada penderita insufisiensi aorta kronis bisa timbul gejala-gejala gagal jantung, termasuk dispneu waktu istirahat, ortopneu, dispneu paroksismal nokturna, edema paru dan kelelahan. (Leman S, 2009).

Angina cenderung timbul waktu istirahat saat timbulnya bradikardi dan lebih lama menghilang daripada angina akibat penyakit koroner saja. Penyebabnya pasti dari angina tak bisa ditentukan hanya dari analisis gejala saja. (Leman S, 2009). Pemeriksaan Fisik Tekanan nadi yang besar dan tekanan artifisial yang rendah, gallop dan bising artifisial timbul akibat besarnya curah sekuncup dan regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri. Bising artifisial lebih keras terdengar di garis sternal kiri bawah atau apeks pada kelainan katup artifisial, sedangkan pada dilatasi pangkal aorta, bising terutama terdengar di garis sternal kanan. Bila ada ruptur daun katup, bising ini sangat keras dan musikal. (Braunwald E, 1994). Kadang-kadang ditemukan juga bising sistolik dan thrill akibat curah sekuncup meningkat (tidak selalu merupakan akibat stenosis aorta). Tabrakan antara regurgitasi aorta yang besar dan aliran darah dari katup mitral menyebabkan bising mid/late diastolik (bising Austin Flint). (Braunwald E, 1994). Elektrokardiogram Pada pasien dengan regurgitasi aorta ringan, mungkin tidak terdapat kelainan EKG, tetapi dengan regurgitasi aorta kronik yang parah, tanda EKG hipertrofi ventrikel kiri menjadi manifes. Lagi pula pada pasien ini sering menunjukan depresi segmen ST dan gelombang T terbalik pada lead I, aVL, V5, dan V4. Deviasi sumbu kiri dan/atau perpanjangan QRS menunjukan penyakit miokardial yang difus yang menandakan prognosis yang buruk. (ODonnell MM, 2002). Foto Thorax Terlihat ventrikel kiri membesar, atrium kiri membesar, dilatasi aorta. Bentuk dan ukuran jantung tidak berubah pada insufisiensi akut, tapi terlihat edema paru. (ODonnell MM, 2002). Diagnosis Banding Ruptur sinus valsava, regurgitasi pulmonal. (Braunwald E, 1994). Penatalaksanaan Harus diberikan terapi profilaksis untuk endokarditis bakterialis. Gagal jantung diobati dengan digitalis, diuretik serta vasodilator seperti hydralasin, penghambat ACE atau dan nitrat untuk menurunkan beban akhir. (Purnomo H, 1996). Penggantian katup aorta dengan protesis mekanis atau jaringan yang cocok umumnya diperlukan pada pasien dengan RA reumatik dan pada banyak pasien dengan bentuk regurgitasi lain. (Purnomo H, 1996).

Prognosis 70% penderita dengan insufisiensi aorta kronis mampu bertahan 5 tahun, sedangkan 50% mampu bertahan 10 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Penderita yang jelas mampu hidup secara normal, tetapi mudah terkena endokarditis enfektif. Jika timbul gagal jantung, bisa bertahan 2 tahun dan setelah timbul angina biasanya bertahan 5 tahun. (Purnomo H, 1996). Penderita dengan insufisiensi aorta akut dan edema paru, prognosisnya buruk biasanya harus dilakukan operasi. (Purnomo H, 1996).

2.2.4.5. Stenosis Trikuspidalis Patofisiologi Stenosis katup trikuspidalis akan menghambat aliran darah dari atrium kanan ke ventrikel kanan selama diastolik. Lesi ini biasanya berkaitan dengan penyakit katup mitralis dan aorta yang terjadi akibat penyakit jantung rematik yang berat. Stenosis trikuspidalis meningkatkan beban kerja atrium kanan, memaksa pembentukan tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan aliran melalui katup yang tersumbat. Kemampuan kompensasi atrium kanan terbatas sehingga atrium akan mengalami dilatasi dengan cepat. Peningkatan volume dan tekanan atrium kanan mengakibatkan penimbunan darah pada vena sistemik dan peningkatan tekanan. (ODonnell MM, 2002).

Gambar 5. Patofisiologi stenosis trikuspidalis : 1. Dilatasi atrium kanan; 2. Kongesti vena; 3. Hepatomegali; 4. Kongesti sistemik. (ODonnell MM, 2002).

Diagnosis Anamnesis Rendahnya curah jantung akan menimbulkan keluhan mudah lelah, dan adanya kongesti sistemik dan hepatomegali menimbulkan keluhan tidak enak pada perut, perut membesar dan bengkak umum. Beberapa pasien mengeluh denyut pada leher akibat besarnya gelombang a pada vena jugularis. (Ghanie A, 2009). Pemeriksaan Fisik Oleh karena sering menyertai kelainan katup lain, maka stenosis trikuspidalis ini tidak terdiagnosis, kecuali memang sengaja dicari. Suatu stenosis berat akan menimbulkan bendungan hati yang berat sehingga terjadi sirosis,ikterus, malnutrisi yang berat, edema dan asites yang berat bahkan splenomegali. Vena jugularis akan melebar dengan gelombang a yang besar.

Dapat ditemukan pulsasi presistolik yang jelas pada permukaan hati yang membesar. (Ghanie A, 2009). Pada auskultasi dapat terdengar opening snap pada daerah garis sternal kiri sampai pada daerah xifoideus, terutama presistolik. Bising ini akan menjadi lebih keras pada inspirasi dan melemah pada ekspirasi. (Ghanie A, 2009). Elektrokardiogram Adanya gambaran pembesaran atrium kanan berupa gelombang P yang tinggi dan tajam pada sadapan II, demikian juga pada VI (dikenal sebagai P pulmonal). (Ghanie A, 2009). Foto Thorax Pembesaran atrium kanan dan vena kava superior tanpa pembesaran arteri pulmonalis. (Ghanie A, 2009). Penatalaksanaan Pengobatan konservatif ditujukan untuk mengurangi kongesti sistemik yang merupakan kondisi yang dominan, dalam hal ini dibutuhkan diuretik atau restriksi konsumsi garam. Keadaan ini dibutuhakan untuk memperbaiki fungsi hati yang sangat dibutuhkan pada saat operasi. Selain itu pemakaian antibiotik juga penting pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya endokarditis infektif. (Braunwald E, 1994). Terapi operatif katup trikuspid biasanya tidak diindikasikan pada waktu operasi katup mitral pada pasien dengan ST ringan. Sebaliknya, penyembuhan operatif definitif ST seharusnya dilaksankan, paling baik pada waktu valvulotomi mitral, pada pasien dengan ST sedang atau parah yang mengalami dradien tekanan diastolik rata-rata yang melampaui 4 atau 5 mmHg dan orifisium trikuspid kurang dari 1,5 sampai 2,0 cm2. ST hampir selalu disertai dengan regurgitasi trikuspid yang bermakna. Operasi jantung terbuka yang memanfaatkan pintas (bypass) kardioparu dapat memungkinkan banyak perbaikan fungsi katup trikuspid. Jika hal ini tidak dapat diselesaikan, katup trikuspid mungkin harus diganti dengan protesis, paling baik katup jaringan. (Braunwald E, 1994).

2.2.4.6. Regurgitasi Trikuspidalis

Biasanya disebabkan gagal jantung kiri yang sudah lanjut atau hipertensi pulmonalis berat, sehingga terjadi kemunduran fungsi ventrikel kanan. Sewaktu ventrikel kanan gagal dan

membesar, terjadilah regurgitasi fungsional katup trikuspidalis. Regurgitasi trikuspidalis berkaitan dengan gagal jantung kanan dan temuan berikut ini : (ODonnell MM, 2002). 1. Auskultasi: bising sepanjang sistol 2. Elektrokardiogram: pembesaran atrium kanan (gelombang P tinggi dan sempit dikenal sebagai P pulmonal) bila irama sinus normal; fibrilasi atrium; hipertrofi ventrikel kanan 3. Foto thorax: pembesaran ventrikel dan atrium kanan Penatalaksanaan Konservatif ditujukan terutama bila terdapat tanda-tanda kegagalan fungsi jantung berupa istirahat, pemakaian diuretik dan digitalis.tanpa suatu tanda hipertensi pulmonal biasanya tidak diperlukan suatu tindakan pembedahan.tetapi pada keadaan tertentu dapat dilakukan tindakan anuloplasti dan pada yang lebih berat dilakukan penggantian katup dengan prostesis. (ODonnell MM, 2002).

2.2.4.7. Stenosis Pulmonal Pemeriksaan Fisik Pasien dengan stenosis pulmonal ringan sampai sedang biasanya tidak mempunyai keluhan, pasien ditemukan karena ada bising sistolik pada pemeriksaan fisik biasa, bahkan pasien dengan stenosis pulmonal beratpun kadang tanpa keluhan. Kalau ada keluhan biasanya berupa dispneoe deffort, rasa lelah yang berlebihan kedua keluhan ini sehubungan dengan kenaikan isi sekuncup yang tidak adekuat pada saat olah raga.tak ada keluhan ortopnea karena tekanan vena pulmonal normal pada stenosis pulmonal. (Braunwald E, 1994). Gagal jantung kanan bisa terjadi pada stenosis yang berat.sinkop bisa terjadi akan tetapi kematian mendadak tidak terjadi seperti pada stenosis aorta. Nyeri dada menyerupai angina pectoris dapat terjadi pada stenosis pulmonal yang berat. (Braunwald E, 1994). Tanda fisik pada stenosis pulmonal diantaranya terdapat habitus syndrome noonan berupa badan yang pendek dengan dada seperti perisai dan leher berselaput.terdapat sianosis pada pasien,pulsasi karotis bisa normal/atau volumenya sedikit menurun dengan pulsasi vena jugularis. (Irawan BM, 2009).

Teraba getaran (thrill) sistolik pada spasium intercosta ke 3 atau 4 linea parasternalis kiri.bising sistolik bersifat ejeksi. Suara jantung ke 2 yang pecah dengan lemahnya komponen pulmonal. (Irawan BM, 2009). Elektrokardiogram Stenosis pulmonal yang ringan biasanya normal,sedangkan pada yang berat terdapat gambaran hipertrofi atrium dan ventrikel kanan ada defiasi aksis jantung ke kanan. (Irawan BM, 2009). Foto Thorax Gambaran vaskularisasi paru perifer normal, arteri pulmonalis tampak membesar akibat dilatasi pasca stenosis. Gambaran pembesaran ventrikel kanan tampak pada stenosis pulmonal sedang sampai berat. Jarang pada stenosis pulmonal bisa tampak klasifikasi katup pulmonal. (Irawan BM, 2009). Penatalaksanaan Stenosis pulmonal yang ringan sampai sedang dapat dikelola tanpa tindakan operasi. Pada pasien yang membutuhkan tindakan operasi ataupun pencabutan gigi dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis. Untuk stenosis pulmonal tanpa keluhan oleh sebagian ahli dianjurkan pengobatan konservatif saja, tanpa tindakan valvulotomi, sedangkan sebagian ahli yang lain menganjurkan valvulotomi. (Irawan BM, 2009). Pada stenosis berat dengan gagal jantung kanan, semua mengajurkan tindakan valvulotomi. Kalau pasien menolak valvulotomi dianjurkan pemberian digitalis. Pemberian diuretika secara hati-hati dapat pula dicoba, akan tetapi dapat menurunkan isi sekuncup menit sehingga menimbulkan kelelahan yang berat. (Irawan BM, 2009).

2.2.4.8. Regurgitasi Pulmonal Patofisiologi Regurgitasi pulmonal sering sekali terjadi akibat disfungsi valvular yang sekunder pada pasien dengan hipertensi pulmonal kronik akibat stenosis mitral rematik, penyakit jantung pulmonal dan sebab lain hipertensi pulmonal. Regurgitasi pulmonal fungsional ini dipikirkan terjadi akibat dilatasi cincin katup pulmonal. Walaupun jarang, regurgitasi pulmonal dapat terjadi pada kelainan kongenital tersendiri, endokarditis infeksiosa yang mengenai katup pulmonal dan penyakit jantung rematik. Pada regurgitasi katup pulmonal sangat berat, tekanan arteri pulmonal

dan ventrikel kanan pada akhir fase diastolik sama atau mendekati sama. Regurgitasi pulmonal akibat kongenital (primer) biasanya tanpa disertai hipertensi pulmonal menimbulkan bising diastolik dengan nada rendah dan sifatnya crescendo-decrescendo, sebaliknya pada pasien regurgitasi pulmonal sekunder (dengan hipertensi pulmonal) sifat bising diastolik yang terjadi mempunyai nada tinggi, meniup dan decrescendo. (Irawan BM, 2009). Gejala Klinis Regurgitasi pulmonal biasanya dapat ditoleransi pasien dan jarang terlihat dengan gagal jantung kanan atas dasar regurgitasi pulmonal saja. Keluhan lelah dan tanda gagal jantung kanan ringan kadang terdapat pada pasien ini. Bising diastolik yang meniup atau kasar terdengar disternum bagian kiri atas. Bising pada regurgitasi pulmonal ini terdengar lebih keras saat inspirasi. Dan kalau bising ini terjadi akibat hipertensi pulmonal, disebut bising Graham Stell. Bising ini terdengar dengan nada tinggi mirip dengan bising regurgitasi aorta, sedangkan bising regurgitasi pulmonal organik terdengar dengan nada rendah dan kasar. Bising diastolik ini disertai dengan bising sistolik. Denyutan ventrikel kanan terasa sepanjang dada sebelah kiri. Ada bunyi sistolik click dengan suara dua yang pecah secara fisiologis. (Irawan BM, 2009). Penatalaksanaan Pengelolaan regurgitasi pulmonal biasanya terbatas pada pemberian profilaksis antibiotik pada tindakan dental atau operasi. Gagal jantung sangat jarang terjadi pada regurgitasi pulmonal sehingga tidak banyak pengalaman tindakan pengobatan ataupun operasi pada kasus tersebut. (Irawan BM, 2009).

Anda mungkin juga menyukai