Anda di halaman 1dari 20

LARYNGEAL MASK AIRWAY

1.

Pendahuluan Manajemen jalan napas merupakan salah satu keterampilan yang penting

untuk dikuasai oleh para anestesiologis. Terdapat banyak peralatan yang dapat digunakan untuk mengamankan jalan napas pasien selama proses anestesi berlangsung dan membantu menyediakan oksigenasi serta ventilasi yang adekuat selama pembedahan berlangsung. Laryngeal mask airway (LMA) merupakan salah satu alat untuk mengamankan jalan napas yang cukup populer di kalangan para anestesiologis selama dekade terakhir ini. (1) Laryngeal mask airway adalah alat utuk menjaga jalan napas supraglotis yang diciptakan oleh dr. Archi Brain, seorang anestesiologis berkebangsaan inggris. Awalnya alat ini didesain untuk digunakan dalam kamar operasi sebagai metode untuk ventilasi elektif, merupakan pilihan alternatif yang bagus dari bag valve mask ventilation, karena tidak harus difiksasi dengan menggunakan tangan terus menerus dan keuntungan lainnya adalah distensi gaster lebih sedikit. Laryngeal mask airway mempunyai bentuk yang mirip dengan endotracheal tube yang besar pada ujung proksimalnya yang berhubungan dengan sebuah mask berbentuk elips pada ujung distalnya. LMA didesain untuk berada pada hipofaring pasien dan melindungi struktur supraglotis, dengan demikian akan mengisolasi trakea. .(2) LMA terdiri dari sebuah tabung/selang dengan ujung proksimal yang terhubung dengan sirkuit pernapasan dengan komektor standar berukuran 15 mm, sedangkan ujung distalnya terpasang dengan cuff berbentuk lonjong yang dapat dipompa melalui sebuah pilot tube. Cuff yang belum dikembangkan

dilumasi/dilubrikasi kemudian dimasukkan ke dalam hipofaring sehingga sekali dikembangkan, cuff akan membentuk segel dengan tekanan rendah terhadap pintu masuk laring. .(3)

2.

Jenis LMA: a. LMA klasik, merupakan jenis LMA yang pertama kali dibuat

b.

Fastrach LMA, merupakan LMA intubasi (ILMA), didesign sebagai saluran untuk intubasi. Walaupun jenis LMA lainnya dapat memenuhi tujuan ini, namun LMA jenis fastrach memiliki sejumlah komponen khusus yang meningkatkan tingkat keberhasilan intubasi dan tidak membatasi ukuran ETT. Komponen tersebut adalah adanya pegangan untuk memasukkan, lengkungan yang sesuai bentuk anatomis, dan adanya epiglotic elevating bar yang didesain untuk mengangkat epiglotis ketika ETT lewat.

c.

LMA proseal, memiliki tambahan saluran untuk mengisap isi lambung. Selain itu, LMA jenis ini juga memiliki tambahan posterior cuff untuk menambah segel di sekitar laring dan mengurangi kebocoran ketika pasien di ventilasi.(2,4) 2

3.

Indikasi Penggunaan LMA: A. Ventilasi elektif LMA adalah salah satu alternatif pilihan anestesi dengan masker pada kamar operasi Sering digunakan pada operasi/tindakan dengan durasi yang tidak terlalu lama dimana intubasi endotrakea tidak terlalu dibutuhkan B. Kesulitan jalan napas Setelah gagal diintubasi, LMA dapat digunakan sebagai alat penolong Pada kasus dimana pasien tidak dapat diintubasi tapi dapat diventilasi, LMA adalah alternatif pilihan yang bagus untuk dilanjutkan dengan ventilasi bag valve mask karena LMA lebih gampang dimaintainance dari waktu ke waktu. C. Sebagai saluran Intubasi LMA dapat digunakan sebagai saluran untuk intubasi, terutama ketika laringoskopi secara langsung tidak berhasil D. Manajemen jalan napas sebelum di RS LMA bermanfaat untuk digunakan sebelum pasien dengan henti jantung dan kesulitan manajemen jalan napas sebelum pasien masuk RS E. Digunakan pada anak-anak LMA terdiri dari berbagai varian ukuran bagi anak-anak .(2)

4.

Kontraindikasi: a. Absolut: Tidak bisa membuka mulut (2) Obstruksi jalan napas atas komplit (2) Pasien dengan resiko peningkatan isi lambung (contohnya: perut yang penuh, hernia hiatal, gastroesophageal reflux disease, obstruksi intestinal, pembedahan usus, pengosongan lambung yang tertunda) (1) b. Compliance paru yang buruk (penyakit paru obstruksi kronik) (1)

Relatif Suspect atau kelainan struktur anatomi supraglotik yang tidak diketahui Pasien yang membutuhkan tekanan jalan napas yang tinggi (merupakan kontraindikasi pada semua jenis LMA, kecuali LMA ProSeal, tekanan tidak boleh melebihi 20 mmH2O untuk ventilasi yang efektif) (2)

5.

Cara insersi LMA A. Laryngeal mask siap untuk diinsersikan. Cuff dipastikan dalam keadaan kempes (tidak berisi udara) dengan rim

harus dijauhkan dari mask aperture. Tidak boleh ada lipatan pada daerah ujung.

Insersi awal dari laryngeal mask. Ujung mask ditekan melawan

palatum durum. Jari tengah dapat digunakan untuk mendorong rahang bawah turun. Mask akan ditekan maju menuju faring. Jika mask telah

dimasukkan ke dalam mulut, maka rahang tidak boleh dibuka. Tangan yang tidak melakukan untuk intubasi

digunakan occipital

menstabilisasi

Dengan penarikan jari yang lain dan dengan biasanya pronasi dapat lengan medorong bawah, mask

masuk ke posisi yang seharusnya dengan satu kali gerakan cairan. Leher harus tetap dalam keadaan fleksi dan kepala extended

LMA

digenggam tangan

dengan yang satu

menggunakan

sedangkan jari telunjuk ditarik keluar. Tangan yang memegang tube

laringeal mask menekan/mendorong turun mask pelan pelan hingga terasa adanya tahanan. (3) .

Posisi LMA dapat diamankan dengan menggunakan perban yang panjang atau plester yang dipasang pada tube yang menonjol Bite block dapat dimasukkan untuk mengurangi resiko kerusakan LMA pada saat pasien pulih dari pengaruh anestesinya (4) Posisi cuff LMA yang ideal adalah pada bagian superior cuff berbatasan dengan dasar lidah, pada bagian lateral dibatsai oleh sinus-sinus pyriform dan pada bagian inferior cuff berbatsan dengan sfinkter esofagus bagian atas. Laryngeal Mask Airway harus tetap berada di posisinya hingga pasien mendapatkan kembali refleks jalan napasnya, biasanya ditandai dengan batuk atau membuka mulut sesuai perintah. (3)

(a) Dasar anterior cuff (dasar lidah);(b) tube bagian posterior (orofaring bagian distal);(c) ujung posterior cuff (hypofaring);(d). Sisi poterior dari bagian tengah cuff (faring lateral);(e) bagian tengah dari bagian dorsal cuff (faring posterior); dan (f) anterior dari bagian tengah cuff (fossa pyriform)
(5)

Keberhasilan insersi LMA tergantung dari sejumlah hal berikut: 1. Memilih ukuran yang sesuai dan mengecek kebocoran sebelum diinsersikan Ukuran mask 1 2 Bayi Anak-anak <6,5 6,5-20 Ukuran pasien BB (kg) Volume cuff (ml) 2-4 Hingga 10

2 3 4 5

Anak-anak Dewasa kecil Dewasa normal Dewasa besar

20-30 >30 <70 >70

Hingga 15 Hingga 20 Hingga 30 Hingga 30

2.

Ujung dari cuff yang belum dikembangkan harus bebas kerutan dan dijauhkan dari apertura

3. 4.

Lubrikasi (pemberan jeli) hanya pada bagian belakang dari cuff Pastikan pasien memperoleh anestesi yang adekuat sebelum mencoba melakukan insersi. Propofol dengan opioid lebih baik bila

dibandingkan dengan thiopenthal. 5. 6. Kepala pasien dalam posisi sniffing Gunakan jari telunjuk untuk memandu cuff sepanjang palatum durum dan menuju ke hipofaring hingga terdapat tahanan yang meningkat.. Garis hitam longitudinal harus selalu menunjuk langsung ke arah cephalad 7. 8. Pompa udara sesuai jumlah volume yang seharusnya dipompakan Pastikan pasien memperoleh kedalaman anestesi yang adekuat selama posisi 9. Obstruksi yang terjadi setelah insersi biasanya terjadi akibat turunnya lipatan epiglotis atau karena adanya transient laringospasme 10. Hindari melakukan suction faringeal, pengempisan cuff, atau pemindahan laringeal mask hingga pasien sadar sepenuhnya (misalnya dapat membuka mulut sesuai perintah) (3)

6.

Keuntungan dan kerugian LMA dibandingkan dengan Face Mask Ventilation dan Intubasi Trakea (3) Dibandingkan Keuntungan: dengan mask face Hands-free Lebih tersegel Kerugian: Lebih invasif Lebih terjadinya berisiko trauma

dengan baik pada

pasien berjenggot Lebih dalam memaintainance jalan napas Melindungi terhadap sekresi dari jalan napas Trauma mata dan nervus fasialis lebih sedikit Polusi di ruang gampang

jalan napas Membutuhkan keterampilan baru Dibutuhkan anestesi

yang lebih dalam N2O berdifusi ke

dalam cuff Terdapat sejumlah

kontraindikasi

operasi lebih sedikit Dibandingkan Keuntungan: dengan Intubasi trakea Tidak terlaluinvasif Sangat bermanfaat Kerugian: Meningkatkan resiko terjadinya aspirasi

pada kondisi pasien yang sulit diintubasi Trauma gigi dan

gastrointestinal Kurang aman pada posisi pronasi atau

laring lebih sedikit Kejadian spasme

posisi jackknife Jalan napas lebih

laring dan spasme bronkus sedikit Tidak pelumpuh otot Tidak membutuhkan pergerakan leher Tidak akibat esofagus ada resiko intubasi dan butuh lebih

kurang terjaga Resiko terjadinya

polusi dan kebocoran gas lebih besar Bisa menyebabkan

distensi lambung

intubasi endobronkial

7.

Komplikasi Sejumlah komplikasi akibat pemasangan LMA dapat terjadi di ruang operasi, terutama pada kondisi emergensi dengan amgka kejadian sekitar 0,15%. Komplikasi yang dapat terjadi ialah: a. Aspirasi dari isi lambung b. Iritasi lokal c. Trauma saluran napas atas d. Respon simpatis yang ringan e. Komplikasi yang berhubungan dengan penempatan LMA yang tidak tepat: Obstruksi Laringospasme

f. Komplikasi yang berhubungan dengan tekanan ventilasi positif Edema pulmonal Bronkokonstriksi

LAPORAN KASUS

Identitas pasien: Nama No. RM Jenis kelamin Umur BB Alamat Ruang rawat Kamar Tanggal masuk RS Keluhan utama Diagnosis Tindakan : Sri Manto : 559668 : Laki-laki : 15 tahun : 41 kg : Desa pakkasalo Bone : Lontara 2 orthopedi : kamar 8/kelas 3 : 17/07/2012 : Bengkok pada ibu jari kaki kiri yang dialami sejak lahir : Kontraktur digiti I pedis sinistra : Release kontraktur dan skin graft

Tanggal/jam HASIL PEMERIKSAAN, ANALISA DAN TINDAK LANJUT CATATAN PERKEMBANGAN S (subjective) O (objective) A (Assesment) 24/7/2012 Pre operasi visite anestesi KU : baik T : 120/70 mmHg N: 80x/menit P: 20x/menit S: 36,8 Pasien ASA PS II Rencana anestesi GA LMA 25/7/2012 Anestesi di OK: KU: baik T: 135/90 mmHg N:110x/menit Prosedur GA LMA: 1. Pasien posisi supine Puasa mulai jam 00.00 IVFD RL 15 tpm Antibiotik profilaksis 1 gr 1 jam pre operasi, skin test terlebih dahulu P (planning)

terpasang IV Line di tangan kanan

10

P:32x/menit S: 36 Pasien ASA PS II Anestesi GA LMA

2. Premedikasi: 80 mcg

fentanyl

3. Induksi:propofol mg 4. Insersi LMA no

100

3,

kembangkan fiksasi LMA 5. Maintainance: O2 5 lpm

cuff,

Isofluran 1,5 vol % Fentanyl 20 mcg/30 menit

6. Ekstubasi

dalam,

selanjutnya evaluasi di RR 25/7/2012 PACU KU: baik. Sadar penuh TD: 120/90 HR: 100x/menit RR:20x/menit S:afebris VAS:0/10 Aldrette skor:10 Maintainance NRM 10 lpm Tirah baring 1x 24 jam Boleh minum makan dan O2 via

sedikit-sedikit

jika sadar penuh Instruksi selanjutnya

TS bedah plastik Boleh pindah ruangan

Pemeriksaan Laboratorium (24/7/2012) Pemeriksaan CBC: WBC RBC HGB 8,9x103 mm3 4,44 x 106 mm3 13,0 g/dl 4,0-10,0 x 103 mm3 4,0-6,0 x 106 mm3 13,0-17,0 g/dl Hasil Nilai normal

11

HbsAg

HCT MCV MCH MCHC PLT

38,5 % 87 29,2 33,7 356 x 103 mm3 + -

40,0-54,0 % 80-100 27,0-32,0 32-38 150-500 x 103 mm3 Negatif Negatif

Anti HCV Waktu prothrombine (PT) -PT -INR APTT Bilirubin total Alkaline fosfatase Protein total Albumin Globulin Gamma GT CT BT GDS SGOT SGPT Ureum Kreatinin

11,9 kontrol 11,4 0,99 23,7 kontrol 25,7 0,51 209 5,7 4,2 1,5 20 U/L 800 200 96 22 27 26 0,6

10-14

22,0-30,0 <1,1 L<270, P<240 6,6-9,7 3,6-5,0 1,5-5 L (11-50) P(7-32) U/L 4-10 1-7 140 <41 <38 10-50 <1,3

1. Masalah Pasien: HbsAg (+) HbsAg merupakan penanda adanya hepatitis B virus. Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Orang yang terinfeksi virus hepatitis B dapat mengalami hepatitis virus akut dan dapat berkembang menjadi kronis, gagal hati akut

12

pada <1% infeksi akut serta dapat terjadi infeksi persisten (karier asimtomatik, hepatitis kronik, sirosis, dan karsinoma

hepatoselular). Virus hepatitis B bertransmisi melalui darah, sehingga sangat rentan untuk terjadi penularan selama tindakan pembedahan apabila tidak dilakukan proteksi dan sterilisasi terhadap alat alat yang telah digunakan selama pembedahan pasien dengan baik. 2. Masalah Anestesi Tidak ada prediksi kesulitan intubasi (Mallampati II) Tidak ada prediksi kesulitan ventilasi Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, fungsi hati dan fungsi ginjal dalam batas normal, sehingga tidak ada kontraindikasi ataupun pengurangan dosis dalam penggunaan obat-obat anestesi tertentu, seperti:NSAID, lidocain, bupivacaine (sebagai analgesik); Midazolam (sebagai premedikasi);Enfluran serta Halothane

(anestesi inhalasi);Pancuronium, vecuronium (sebagai pelumpuh otot); Fentanyl,morphine,pethidine (Opioid) (6) Pasien tidak memiliki riwayat alergi sehingga tidak ada kontraindikasi untuk pemeberian sejumlah obat-obat anestesi tertentu yang bersifat histamin-release seperti morphine, dtubocurarine, atracurium, mivacurium (6) 3. Masalah Pembedahan: Pasien mengalami kontraktur digiti I pedis sinistra dan akan dilakukan release kontraktur serta skin graft

DISKUSI Pasien masuk dengan keluhan utama bengkok pada ibu jari kaki kiri yang dialami sejak lahir dan didiagnosis dengan diagnosa kontraktur digiti I pedis sinistra. Kontraktur adalah keadaan resistensi tinggi yang menetap terhadap regangan pasif seberkas otot diakibatkan oleh fibrosis jaringan penunjang otot atau persendian, atau karena kelainan serabut otot.(7) Kelainan ini membatasi pergerakan normal dari sendi. Secara struktural, kontraktur merupakan 13

pemendekan jaringan lunak dari otot, dan atau pengetatan dari ligamen ligamen pada suatu sendi. Kondisi tersebut dapat terjadi akibat dari berbagai kondisi, seperti: (1) tidak pernah digunakan (2) luka pada jaringan lunak atau tulang, teruatam akibat terbakar dan fraktur (3) ketidakseimbangan otot akibat kelemahan saraf yang menginervasi otot tersebut (4) Poliomyelitis (5) Paralisis spastik akibat lesi upper motor neuron setelah trauma lahir, encephalitis, atau trauma kepala (8) Tindakan pembedahan yang direncanakan pada pasien ini adalah release kontraktur dan skin graft. Release kontraktur merupakan suatu tindakan rekonstruksi dengan melepaskan scar tissue yang dilakukan pada ekstremitas. Skin graft merupakan tindakan untuk merekonstruksi untuk menutup luka yang tidak bisa tertutup secara primer. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan release kontraktur dan skin graft ini bervariasi, untuk release kontraktur, durasi operasi yang diperlukan sekitar 60-90 menit, sedangkan skin graft biasa memakan waktu 30 menit-2 jam.(6) Berdasarkan klasifikasi American Society of Anesthesiologist

(ASA),pasien ini dikategorikan dalam kategori pasien dengan status fisik ASA 2, yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional. Status fisik ini dapat ditinjau dari diagnosis pasien yang mengalami kontraktur digiti pedis I sinistra dan berdasarkan hasil pemeriksaaan laboratorium ditemukan bahwa pasien HbsAg +, namun hasil pemeriksaan komponen lainnya semua dalam batas normal dan pasien tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa hambatan yang berarti akibat penyakit yang dialaminya, sehingga disimpulkan bahwa pasien menderita penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional. Rencana jenis anestesi yang dipilih pada pasien ini adalah general anesthesia laringeal mask airway (GA-LMA). Teknik anestesi ini dipilih karena operasi yang akan dijalani pasien durasinya diperkirakan tidak akan lama, selain itu area tubuh yang akan dilakukan tindakan pembedahan adalah di ibu jari kaki dan tidak terlalu luas serta tidak ditemukan kontraindikasi untuk menggunakan LMA pada pasien ini. Untuk persiapan operasi, pasien menjalani puasa sejak pukul 00.00 pada malam hari sebelum operasi. Puasa pada pasien yang akan menjalani pembedahan

14

bertujuan untuk mengurangi isi lambung sehingga akan mengurangi insiden aspirasi. Aspirasi dari partikel partikel makanan padat dapat menyebabkan asfiksi, dan aspirasi dari asam lambung dapat menyebabkan pneumonitis.(9) Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia (10) Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa, sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan pindah ke ruang ke tiga (ke rongga peritonium, ke luar tubuh).(10) Pengaturan kebutuhan cairan normal yang dibutuhkan untuk mengganti defisit cairan saat puasa diestimasi dengan ketentuan sebagai berikut: 1. 4 ml/kgBB/jam untuk 10 kg pertama dari berat badan 2. 2ml/kgBB/jam tambahkan untuk 10 kg kedua dari berat badan 3. 1 ml/kgBB/jam tambahkan untuk sisa berat badan (3,10) Idealnya, seluruh defisit cairan harus diganti sebelum operasi dimulai pada semua pasien.(3) Pada pasien ini, dengan berat badan 41 kg, pasien harus mendapat cairan parenteral untuk mengganti defisit cairan akibat puasa sebesar 81 cc/jam. Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritonium, ke luar tubuh. Untuk menggantinya, tergantung besar kecilnya pembedahan. (10) Derajat trauma jaringan Kebutuhan cairan tambahan Minimal Moderate Severe 0-2 ml/kg 2-4 ml/kg 4-8 ml/kg

Pada pasien ini, dengan berat badan 41 kg, maka pasien mendapatkan cairan parenteral selama pembedahan sebesar 82 cc/jam. Sebelum operasi dimulai, pasien terlebih dahulu diberi premedikasi.

Premedikasi merujuk kepada berbagai jenis obat obatan yang diberikan sebelum

15

fase induksi anestesi dilakukan. Ada berbagai jenis obat yang diberikan dengan berbagai macam tujuan pula, secara ringkas, terdapat 6A dalam premedikasi 1. Anxylosis, untuk menguraangi kecemasan Obat yang biasa digunakan untuk tujuan ini adalah obat dari golongan benzodiazepin, contoh: Diazepam 5-20 mg peroral, Flurazepam 15-30 mg peroral, Lorazepam 2-4 mg/oral atau IM, dan midazolam 2-5 mg IM ataupun IV (4,11) 2. Amnesia Pada beberapa keadaan, terutama pada pasien anak-anak, perlu dibuat suatu keadaan amnesia selama periode perioperasi oleh karena pengalaman yang tidak menyenangkan selama tindakan pembedahan. Anterogade amnesia (hilangnya ingatan dari segala tindakan setelah pemberian obat) dapat dihasilkan oleh golongan benzodiazepin, seperti lorazepam. (4,11) 3. Anti emetik Mual dan muntah sering terjadi setelah dilakukan tindakan anestesi, hal ini sering diakibatkan karena pemberian obat-obatan opioid selama dan setelah tindakan bedah.(11) Obat anti emetic yang dapat diberikan adalah metoclopramide (antagonis dopamin)10 mg peroral atau IV, Ondansetron (5-hydroxytryptamine antagonis) 4-8 mg peroral atau IV (4) 4. Antasida Pada pasien yang berisisko terjadinya muntah dan regurgitasi (misalnya pasien yang menjalani operasi darurat dengan lambung penuh atau pasien elektif dengan hernia hiatus) perlu dipertimbangakn untuk dilakukan pengosongan lambung dan meningkatkan pH dari sisa isi lambung. Obat yang dapat diberikan untuk tujuan ini adalah Ranitidine (H2 antagonis), Metoclopramide 10 mg peroral, Omeprazole (proton pump inhibitor):40 mg, diberikan 3-4 jam sebelum operasi (4,11) 5. Anti-otonom Efek antikolinergik

16

Untuk mengurangi salivasi dan mengurangi refleks vagal. Obat yang dapat digunakan untuk tujuan ini adalah Atropin dengan dosis 0,2-0,6 mg IM/IV, glikopirolat 0,2-0,6 mg IM/IV Efek antisimpatomimetik Induksi anestesi dan tindakan laringoskopi intubasi dapat mengakibatkan rangsangan aktivitas simpatoadrenal, yang ditandai dengan takikardi dan hipertensi. Untuk mencegahnya dapat diberikan premedikasi dengan B-blocker atau klonidin dengan dosis 0,2-0,4 mg per oral. (4,11) 6. Analgesik Premedikasi yang sering digunakan sebagai analgesik adalah morfin, pethidine, dan fentanyl. (4) Pada pasien ini premedikasi yang diberikan adalah fentanyl, merupakan opioid agonis. Potensi analgesiknya antara 75-125 kali lebih kuat dibanding morfin. Fentanil bekerja pada talamus, hipotalamus sistim retikuler dan neuron neuronnya.dengan demikian rangsang sakit tidak mencapai daerah kortikal. Blokade terhadap rangsang sakit, somatik dan viseral berhubungan dengan blokade fentanyl pada mesenchepalon. Fentanyl diberikan dengan loading dose 28 mcg/kgBB.(11) Pada pasien ini, fentanyl diberikan sebanyak 80mcg dan dilanjutkan maintainance 20 mcg/30 menit. Setelah memperoleh premedikasi, pasien kemudian diinduksi dengn menggunakan propofol, yaitu obat anestesi non volatile (yang tidak mudah menguap) dengan rumus kimia 2,6 diisoprophyl phenol. Obat ini merupakan cairan emulsi isotonik yang berwarna putih.. Obat ini beronset cepat dan durasi kerjanya singkat. Mekanisme propofol hingga dapat menginduksi anestesi general diduga karena propofol memfasilitasi neurotransmitter penghambat yang di mediasi oleh GABA. Untuk induksi, dosis yang dibutuhkan adalah 1-2,5 mg/kgBB dan untuk dosis maintainanace adalah 4-12mg/kgBB. ini dosis propofol yang diberikan untuk induksi adalah 100mg. Setelah dilakukan premedikasi dan induksi, insersi LMA pun dilakukan. LMA yang digunakan pada pasien ini adalah LMA klasik ukuran 3 yang disesuaikan dengan berat badan pasien, yaitu 41 kg.
(3,11)

Pada pasien

17

Selama operasi berlangsung, dilakukan maintainance O2 sebesar 5 liter permenit dan isofluran 1,5 vol %. Isofluran merupakan obat anestesi inhalasi yang merupakan isomer dari enfluran. Isofluran ialah eter berhalogen yang tidak mudah terbakar.Untuk pemeliharaan anestesi dosis isofluran yang diperlukan adalah 1,53%. (11) Selama menjalani operasi selama 1 jam 35 menit, kondisi hemodinamik pasien cukup stabil dengan tekanan darah berkisar antara 90/55 mmHg hingga 135/90 mmHg dan heart rate berkisar antara 60 kali per menit hingga 110 kali permenit serta saturasi oksigen selalu berkisar diantara 99-100 %.Setelah operasi selesai, pada pasien kemudian dilakukan ekstubasi dalam, lantas pasien dipindahkan ke recovery room (RR) atau post anesthesia care unit (PACU) untuk di observasi hingga akhirnya pasien dapat dipindahkan dari RR/PACU apabila pasien telah mencapai Aldrette score dengan poin minimal 8.

18

Lampiran status anestesi operasi pasien

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Chmielewski C, Clickett SS. The use of the laryngeal mask airway with mechanical positive pressure ventilation. AANA journal. 2004:72; 347351. 2. Bosson, N. Laringeal mask airway. (Online).2012.(cited 2012 August 25):(1-7). Available from:

http://www.emedicine.medscape.com/article/225013-overview. 3. Morgan E, Mikhail MS, Murray MJ, Clinical anesthesiology, 4th edition.USA: McGraw-Hill Companies.2006. 4. Gwinnut,C.Lecture notes clinical anaesthesia 2nd edition.UK:Blackwell publishing.2004. 5. Keller C, Brimacombe J. Mucosal pressure and oropharyngeal leak pressure with the ProSeal versus Laryngeal mask airway in anaesthetized paralysed patients. British journal of Anaesthesia. 2000:85; 262-6. 6. Allman K, Wilson I. Oxford Handbook of Anaesthesia.UK:Oxford.2001. 7. Anderson et al.Kamus kedokteran dorland edisi 29.Jakarta:EGC.2002. 8. Awori N et al. Primary surgery.Jena:GTZ.1999. 9. Cavill G, Kerr K. Preoperative management. In: Smith T, Pinnock C, Lin T,editors.Fundamentals of anaesthesia 3rd edition..New york:Cambridge university press;2009.p.1-25. 10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.Petunjuk praktis anestesiologi edisi kedua.Jakarta:Bagian anestesiologi dan terapi intensif fakultas kedokteran universitas indonesia jakarta.2010. 11. Arifin J, Harahap MS, Sasongko H.Persiapan HD, dokter spesialis anestesi dan

preanestesi.Dalam:Soenarjo,Jatmiko editor.Anestesiologi.Semarang:Ikatan

reanimasi cabang jawa tengah:2010.halaman 85-99.

20

Anda mungkin juga menyukai