Anda di halaman 1dari 6

Journal Hemodialisa Abstrak Latar belakang.

Gagal ginjal pada pasien kritis sering terjadi dan memerlukan terapi pengganti ginjal (TPG). Terapi ginjal pengganti yang dipilih adalah CRRT dan Intermiten HD (IHD), salah satu terapi IHD yang paling populer saat ini adalah SLED, SLED menggabungkan teknik IHD yang mempunyai efisiensi dialisis yang tinggi, filtrasi yang akurat, harga lebih murah dengan teknik CRRT dimana proses dialisis lambat dan kontinous sehingga pasien menjadi lebih stabil.

Metode penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif, sampel diambil dari data rekam medis tindakan SLED di Santosa Bandung International Hospital, parameter efektivitas dialisis yang digunakan adalh Kt/V (rumus Daurgidas) dan URR ( Urea Reduction Rate ). Waktu penelitian dimulai dari bulan Januari Juli 2008 di Santosa Bandung International Hospital. Hasil .Data yang didapatkan dari rekam medis sebanyak 25 tindakan dengan 13 tindakan menggunakan dializer hemophan dan 12 orang menggunkan polisulfone. Pada golongan polisulfone didapatkan rata-rata Kt/V 1.2 0.216 dan URR 65.77 5.48 sedangkan pada hemophan didapatkan rata-rata Kt/V 0.75 0.142 dan URR 54.09 3.907 . Pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan tindakan dengan penggunaan dializer polisulfon tampak lebih baik , hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya dializer

polisulfone yang dipakai memiliki klirens yang lebih baik daripada dializer hemophan yang dipakai. Pemakaian dializer berbahan sintetik dan low flux memang merupakan standar pada tindakan SLED. Tetapi dializer low flux dapat dipakai pula pada tindakan SLED Kesimpulan: Efektivitas SLED dengan menggunakan dializer dengan bahan polisulfone tampak lebih baik dibandingkan dializer hemophan hal ini dapat di lihat dari perbandingan rata-rata Kt/V dan URR keduanya.

TEKNIK PENANGANAN DEFIBRILASI (DC SHOCK)

Defenisi: Suatu cara memberikan renjatan arus listrik langsung ke jantung lewat sepasang elektroda yang diletakkan pada dinding toraks untuk menghentikan takikardia ventricular dan supraventrikuler. Pemberian renjatan sinkron gelombang R(Kompleks QRS). Renjatan listrik mendepolarisasi sel pemacu jantung automatic dan sel miokardial serta menghilangkan atritmia. Nodus sinoatrial, nodus atrioventrikular dan system purkinje mengambil alih irama jantung. Indikasi: Kardioversi darurat, 1. Takikardi supraventrikular, fluter atrial, dan fibrilasi atrial dengan hipotensi, hipoperfusi sistemik, gagal jantung kongestif, atau iskemia miokard. 2. Takikardia ventrikel dengan nadi palpasi gagal berubah ke irama sinus dengan lidokain atau amiodaron. Kardioversi elektif. Kardioversi dilakukan elektif pada takikardia supraventrikuler, fluter atrial, dan fibrilasi atrial, yang gagal berubah ke irama sinus dengan digitalis, propranolol, adrofonium, fenilefrin, kuinidin, atau verapanil. Irama sinus lebih baik daripada aritmia karena curah jantung lebih banyak dan lebih rendah angka embolisme. Kontraindikasi:

1. Intoksikasi digitalis. Fibrilasi ventrikel dapat terjadi walaupun dilakukan kardioversi sinkron, Stimulasi cepat atrium dengan pemacu temporer(TPM) dapat merubah atritmia supraventrikular. 2. Penyakit sistem konduksi. Blok atrioventrikular dipasang profilaktik Temporer Pace Maker (TPM). 3. Pasien dengan tidak mampu bertahan pada irama sinus. 4. Fibrilasi atrial yang telah lama atu bertahun. 5. Kardioversi dengan fibrilasi atrial cepat berulang, dengan dosis kuinidin profilaktik. 6. Post operasi baru katup jantung, kardioversi ditunda 10-14 hari, TPM dapat menghentikan takiaritmia. Evaluasi Pasien: Evaluasi tentang hipertiroidisme, intake, digitalis, hipoksemia, stress psikologik, anemia, hipokalemia, hiperkalemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, atau gangguan metabolic autonom lain yang menyebabkan aritmia. Persiapan Pasien: 1. Jelaskan prosedur secara penuh kepada pasien, termasuk komplikasi potensialnya dan dapatkan izin tertulis. 2. Berikan antikoagulan profilaktik, dianjurkan pada pasien atrial fibrilasi dengan riwayat embolisme, stenosis mitral, gagal jantung kongestif, atau pembesaran atrium kiri. 3. Hentikan digitalis, 24 jam sebelum kardioversi dan 48-72 jam pada pasien tua. Digoxin bekerja selama 2-5 hari. 4. Berikan kuinidin(300 mg tiap 6 jam) selama 2 hari sebelum kardioversi, menurunkan 40% pemulihan ke irama sinus, tetapi kadang pencetus VT atau VF. 5. Puasakan pasien 6 jam sebelum tindakan kardioversi. 6. Rawat pasien dengan monitor EKG, untuk evaluasi irama dan evaluasi EKG 12 lead. 7. Letakkan lempeng resusitasi jantung di bawah dada pasien. Personalia: Dokter atau perawat terampil kardioversi, anestesi dibutuhkan untuk penatalaksanaan intubasiendotrakeal. Persiapan Alat: 1. Kardioverter arus searah (DC) dengan monitor osiloskop, modus sinkronisasi tombol seleksi tingkat energi, pedal elektroda dan jelly elektroda.

2. Obat sedasi: amnesia atau anastesi selama kardioversi dengan diazepam(valium), pentothal atau brevithal. 3. Resusitasi: Lempeng dipunggung, section, oksigen, intubasi set(ETT, lavingoskope, guidel, jelly, spatel) ambubag dan obat atropine serta antiaritmia. Penatalaksanaan Kardioversi. 1. Letakkan pasien terlentang di atas lempeng resusitasi jantung. 2. Pasang elektroda monitor EKG pada dada pasien. 3. Nyalakan tombol kardioversi dan sinkronisasi. 4. Singkirkan oksigen atau peralatan atau bahan yang mudah terbakar. 5. Berikan obat sedative perlahan, pantau frekuensi jantung, respirasi dan tekanan darah. 6. Berikan jelly pada pedal elektroda kardioversi, bantalan kasa larutan garam tidak dipakai karena menyebabkan lengkungan arus. 7. Tipe kardioverter anteroapikal, elektroda pertama diletakkan di bawah klavikula kanan tepat lateral sternum dan elektroda kedua diletakkan di bawah putting susu anterior aksilaris. 8. Pilih tingkatan energi 100 joule. 9. Pastikan tidak ada kontak operator, orang lain dan pasien terhadap bahan konduktor(logam, air, ventrikulator). 10. Berikan renjatan listrik bila sedasi pasien memadai dengan tekanan mantap 11,25 kg pada pedal elktroda. 11. Periksa nadi pasien, EKG, dan jalan napas segera setelah renjatan listrik kardioversi. Reaksi kardiovaskuler setelah renjatan listrik tampak vagal dengan bradikardia disusul takikardia 30 detik reaksi simpatis. Aritmia ventrikel atau kelainan gelombang ST dapat menunjukkan kerusakan miokard akibat renjatan atau interaksi obat denga renjatan listrik. 12. Bila renjatan gagal, tingkatkan dosis energi secara bertahap 100, 200, 300, 360 joules sampai aritmia dikonversi atau sampai 360mjoules gagal, Biarkan 2 menit di antara renjatan listrik untuk supraventrikular takikardia, karena lambat berkonversi. Asuhan Keperawatan Post Kardioversi. 1. Lakukan pemeriksaan singkat, kaji komplikasi segera seperti hipotensi, embolisasi sistemik, edema paru, dan aspirasi. 2. Periksa EKG 12 lead dan pantau irama EKG pasien selama beberapa jam. 3. Pasien bedrest total. 4. Lanjutkan obat antiaritmia maintenance amiodaron 450 mg/24 jam. Komplikasi kardioversi.

1. Luka baker kulit. Kontak elektroda tidak memadai atau renjatan berulang dapat timbul luka baker derajat I-II. 2. Aritmia. Irama qtrioventrikuler, VES, VT dan VF dapat timbul setelah renjatan. 3. Kerusakan otot jantung. Perubahan gelombang T dan ST terjadi sekitar 1% dan peningkatan CKMB sekitar 9% pasien. 4. Pembesaran jantung. 5. Edema paru. Diduga paralisis atrial kiri. 6. Embolisasi sistemik, sekitar 0,8% lebih tinggi pada atrium kiri besar, stenosis mitral, CHF, atau emboli sebelumnya. 7. Hipotensi. Singkat dan berakhir beberapa jam. 8. Pneumonia aspirasi. JURNAL TERBARU CARDIAC HARES/HENTI JANTUNG Pendahuluan: Ada sebuah badan berkembang literatur advokasi untuk daerah sistem pasca serangan jantung perawatan. Kami berusaha untuk menggambarkan variasi dalam penyediaan perawatan pasca penangkapan jantung dalam keadaan tunggal yang besar. Metode: Kami menggunakan Rawat Inap Michigan basis data (MIBD) untuk mengevaluasi pelayanan yang diberikan kepada pasien serangan jantung posting dari Juli 2008-Juni 2011. MIDB merupakan sumber yang komprehensif kegiatan rawat inap di rumah sakit Michigan. Kami melibatkan semua pasien dirawat dengan ICD-9 CM diagnosis serangan jantung (ICD 427,5) atau fibrilasi ventrikel (427,41). Data disusun berdasarkan demografi pasien, diagnosis akhir, dan prosedur yang dilakukan: hipotermia terapeutik (TH), PCI, implan jantung defibrillator (ICD) penempatan, dan bypass arteri koroner grafting (CABG). Kami mengevaluasi variasi dalam perawatan menurut wilayah, menggunakan delapan wilayah negara perawatan darurat yang ditunjuk (MECR), yang dirancang untuk memfasilitasi bencana, trauma, dan perawatan jantung. Statistik deskriptif, koefisien korelasi dan chi-square hasilnya dilaporkan. Hasil: Selama periode penelitian, ada 21.856 serangan jantung mengakui dengan 9.014 (41,2%) dibuang hidup-hidup. Tingkat TH meningkat tahun (0,7%, 1,7%, 2,2% p <0,001). Variasi regional yang signifikan dalam perawatan pasca penangkapan diamati untuk TH, PCI, CABG, dan ICD (Tabel 1). Pasien dengan diagnosis VF lebih mungkin untuk diterima TH (2,3% vs 1,2%, (OR 1,9, 95% CI 1,5, 2,3)), dan penyediaan TH bervariasi lebih dari delapan kali lipat wilayah

(0,6% menjadi 5,1%, p <0,001) dengan daerah. Tidak ada korelasi antara TH dan prosedur jantung lainnya. Kesimpulan: Penggunaan TH meningkat di Michigan, dan s ignificant ada variasi regional untuk perawatan pasca penangkapan jantung. Sementara tingkat penangkapan TH posting tidak berkorelasi dengan lainnya prosedur jantung intervensi. Penetapan daerah pusat serangan jantung diidentifikasi oleh pemberian mereka prosedur jantung invasif mungkin tidak mengakibatkan pemanfaatan memadai TH.

Anda mungkin juga menyukai