Anda di halaman 1dari 1

Semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan. Tetapi dunianya ternyata tuli. Setuli batu.Tidak berhati.

Otonominya, kompetensinya, profesinya hanya sepuhan pembungkus rasa getir. Sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan oleh sejarah. Terbaca torehan darah kering: Di sini berbaring seorang guru semampu membaca buku usang sambil belajar menahan lapar. Hidup sebulan dengna gaji sehari. Itulah nisan tua sejuta guru tua yang terlupakan oleh sejarah,

Guru : Pahlawan Bangsa Yang Ter-/dilupakan (Sebuah Renungan Hardiknas)


oleh : Haikal A.Z

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya, diperingati oleh pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional. Peringatan Hardiknas ini juga dilaksanakan di seluruh daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota. Guna menghilangkan image negative dari masyarakat khususnya kalangan orang tua murid yang tidak mampu, pun untuk menutupi borok dari wajah pendidikan negeri ini. Acara peringatan tersebut tak lebih dari sebuah akal-akalan dan menghabiskan anggaran, yang biasanya peringatan ini dikemas dengan label syukuran. Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal, informal maupun nonformal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, guru tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi mereka. Peran guru sebagai tenaga pendidik tidak hanya berhenti sebagai pemegang tonggak peradaban saja, melainkan juga sebagai rahim peradaban bagi kemajuan zaman. Karena dialah sosok yang berperan aktif dalam pentransferan ilmu dan pengetahuan bagi anak didiknya untuk dijadikan bekal yang sangat vital bagi dirinya kelak. Bahkan yang lebih penting disamping itu, mereka mampu mengembangkan dan memberdayakan manusia, untuk dicetak menjadi seorang yang berkarakter dan bermental baja, agar mereka tidak lembek dalam meghadapi permasalahan bangsanya. Tetapi untuk mencari dan menjadi guru yang seperti itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, melainkan membutuhkan etos dan spirit perjuangan yang luar biasa. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Friedric Wilhelm Nietzsche, seorang filsuf terkemuka abad postmodern. Dia menuturkan bahwa seorang guru sejati adalah mereka yang tidak memikirkan segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, kecuali muridnya. Memang argumen Nietzshe di atas seakan merdu terdengar, namun realitas berkata lain. Guru yang oleh Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin (Juz I;h.14) diistilahkan sebagai Murobbi, Muallim dan Muaddib yang bertugas memperbaiki, membersihkan, serta mengarahkan jiwa manusia, seakan telah tervonis gagal. Berbagai perilaku menyimpang yang ada ditengah masyarakat tertumpah pada peran dan fungsi guru. Hujatan dan cercaan media yang kerap menyoroti penyimpangan yang dilakukan oleh segelintir manusia yang kebetulan berstatus guru, menambah catatan merah dari tudingan atas kegagalan para guru. Namun bagaimana sosok guru mampu secara total mendedikasikan hidup untuk mewujudkan tugas mulianya? Sedang segudang permasalahan membentang dihadapannya. Jaminan kesejahteraan adalah satu dari sederet permasalahan yang dihadapi oleh para pendidik. Fakta gemuknya anggaran dalam APBN tak pernah dialirkan secara proporsional bagi terwuudnya kesejahteraan guru. Belum lagi berderet tuntutan yang berbanding terbalik dengan pemenuhan haknya. Semisal tuntutan profesionalisme dan penguasaan pada berbagai kompetensi yang terlegitimasikan dalam berbagai pasal berderet pula. Lebih ironis lagi sederet jasa dan sumbangsihnya pada kemajuan bangsanya tak lebih dari kisah yang mungkin hanya akan diingat pada waktu-waktu dan ceremoni tertentu, semisal hardiknas atau harihari nasional lainnya. Maka sebuah niscaya bahwa guru layak menyandang predikat pahlawan tanpa tanda jasa. Sebagaimana jasa-jasanya telah (ter-) atau bahkan dilupakan. Maka dengan coretan singkat ini semoga kita dapatkan potret sebenarnya dari kondisi pendidikan di negeri ini, khususnya nasib kaum Oemar Bakrie. Peringatan Hardiknas yang dilaksanakan oleh berbagai daerah terutama Dinas pendidikan tahun ini dan dikemas dengan label syukuran mungkin menjadi peringatan Hardiknas yang Kehilangan makna dan hanya sekedar seremoni belaka, bilamana kita tak dapat memaknai secara kaffah. Dan masih yakinkah kita bahwa alokasi anggaran sebesar 20% dari APBN dapat menyelesaikan persoalan di bidang pendidikan ? Bagaimana menurut anda ? Salam...

Anda mungkin juga menyukai