Anda di halaman 1dari 22

STATUS PASIEN

Identitas Pasien Nama Usia : An. IF : 26 bulan (2,4 thn)

Jenis Kelamin : laki-laki Agama Alamat : Islam : Cicadas RT.18/03, Cibinong, Cianjur : 12 November 2011

Tangal msk RS Jam No.RM

: 12.20 WIB : 02-466880

Anamnesis (Alloanamnesis) KU : bengkak seluruh tubuh sejak 11 hari sebelum masuk RS. RPS : Sejak 11 hari sebelum masuk RS, Ibu OS mengeluh anaknya bengkak di seluruh tubuh, yang terlihat di kelopak mata, kedua tangan dan kakinya, namun tidak sampai ke kemaluan. Bengkak sangat jelas terutama pagi hari saat pasien bangun tidur, dan sedikit mengecil bila sudah siang atau sore hari. Ibu mengatakan pasien bengkak setelah memakan ikan teri asin sebanyak mangkuk kecil. Bengkak tidak disertai demam. Bengkak tersebut tidak disertai dengan rasa sesak saat pasien tidur, dan pasien masih dapat tidur dengan menggunakan 1 bantal atau bantal tipis. Penderita tidak pernah mengeluh terbangun dari tidurnya karena buang air kecil pada malam hari, penderita tidak pernah mengalami sakit kuning, tidak mengeluh mual atau nyeri perut, pasien juga tidak alergi terhadap makan atau obat-obatan. Selama bengkak tersebut, pasien mengeluh BAK menjadi jarang, bahkan sempat sehari semalam tidak BAK sama sekali, menurut ibu, sebelum mengeluh bengkak ini pasien sering BAK, >5x dalam sehari. Ibu mengatakan air kencing anaknya berwarna kuning jernih, kadang merah, tidak keruh. Penderita tidak muntah, tidak ada riwayat kejang.

Selama bengkak, pasien tidak mengeluh lemah, pucat, malas, dan tidak mengalami penurunan nafsu makan. Ibu pasien mengeluh anaknya mengalami batuk berdahak, ibu mengatakan pasien sedang dalam pengobatan TB paru bulan II, Dahak berwarna hijau, namun tidak ada darah. Ibu tidak mengetahui apakah anaknya berkeringat bila malam hari atau tidak, BB anak tidak mengalami penurunan. Ibu menyangkal bila pasien pernah kontak dengan penderita TB paru, RPD :pada bulan Mei 2011 (5 bln yg lalu), pasien pernah mengeluh keluhan yang sama, namun bengkak hilang sendiri, 1 bulan kemudian (Juni 2011) bengkak kembali timbul di seluruh badan, setelah 1 minggu bengkak tidak berkurang, kemudian anak dibawa ke RS dan dirawat selama 2 minggu, dan pulang paksa. Setelah pulang dari RS, pasien tidak diberikan obat, karena ibu merasa anaknya sudah sehat. 4 bulan kemudian (Oktober 2011) pasien kembali bengkak dan dirawat kembali di RS selama 16 hari, pasien dibolehkan pulang karena sudah menunjukan perbaikan. Bengkak kembali timbul saat pasien masuk RS sekarang ini. RPK : di keluarganya tidak ada yang mengeluh keluhan yang serupa dengan keluhannya sekarang. Ibu menyangkal ada anggota keluarga yang TB paru atau sedang pengobatan TB paru. R.Pengobatan : sejak pasien mengalami keluhan bengkak tersebut, pasien diberikan obat tablet yang berwarna hijau yang diminum setiap hari 4 x 1 tablet. Namun saat di rumah dan tidak bengkak lagi, pasien tidak minum obat lagi. Pasien sedang dalam pengoobatan TB bulan II. R.Kehamilan Ibu: pada saat hamil, ibu jarang memeriksakan diri ke puskesmas atau RS, tidak pernah sakit berat saat hamil R.Kelahiran : pasien anak pertama, lahir pada usia kehamilan cukup bulan, lahir secara spontan, ditolong oleh bidan, langsung menangis pada saat lahir. Dengan BBL 3500 gr, PB 50 cm, LK 34 cm R.Makanan R.Imunisasi : pasien minum ASI sampai usia 4 bulan, setelah itu diberikan makanan : Hepatitis 3x waktu lahir, 1 bulan, 6 bulan BCG 1x usia 1 bulan Campak usia 9 bulan 2 pendamping ASI, yaitu bubur bayi.

Polio 3x DPT 3x Imunisasi di bidan kesan imunisasi lengkap R.T.Kembang : tengkurap (3 bulan), merangkak 7 bulan, duduk 8 bulan, berdiri 8 bulan, mengoceh 7 bulan, dapat berbicara jelas 12 bulan kesan tumbuh kembang sesuai usia R.Alergi cuaca. R. Kebiasaan :pasien makan teratur, makanan lengkap (nasi+ikan/telur+sayur), senang jajanan makanan ringan. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum - Kesadaran - Kesan sakit Tanda Vital Nadi Pernapasan Suhu TD : 110 x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat : 24 x/menit : 37,20 C : 120/70 mmHg : compos mentis : tampak sakit sedang : ibu mengatakan, pasien tidak memiliki alergi terhadap obat, makanan, ataupun

STATUS ANTROPOMETRI: BB = 14,5 Kg (BB sebelum sakit 11 kg) Koreksi BB untuk udem Palpebra 5% x 14,5 = 0,73 Kg = 1,45 Kg 3,63 Kg BB seharusnya bila tidak udem 14,5 3,63 = 10,87 11 Kg TB = 89 cm 3 Tungkai atas 10% x 14,5

Tungkai bawah 10% x 14,5 = 1,45 Kg +

LK = 49 cm Normal (47-53 cm) Status gizi BB/U = 11/14 x 100 %= 79 % dengan udem : gizi kurang TB/U = 89/90 x 100 % = 99% baik / normal BB/TB = 11/12x100% = 92% normal Status generalis Kepala Bentuk : normochepal Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterus -/-, edema palpebra (+/+), air mata (+/+) Hidung : pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum (-), sekret (-/-), darah (-/-) Telinga : Normotia, sekret (-/-) Mulut : POC -, mukosa bibir lembab lidah kotor (-), perdarahan gusi (-), faring hiperemis (-), T1/T1 Leher Thorak pulmo Abdomen : retraksi suprasternal -, KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba : simetris, retraksi intercosta : VBS normal (-/-), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) : perut cembung, BU + normal, kulit lembut, supel, turgor cepat kembali, hepar membesar.

Jantung : BJ I dan II murni, reguler, murmur (-), gallop (-) tidak teraba membesar, lien tidak teraba membesar. Ekstremitas : atas bawah : akral hangat, udem +, CRT < 2dtk, sianosis -, pucat : akral hangat, udem +, CRT < 2dtk, sianosis -, pucat-

pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium 12 November 2011 Urinalisis pH = 6,5 Leu Nit Ket Bil 4

Prot = 500 mg/dL (4+) Glu = 50 mg/dL (1+) Ubg (N) Ery = 10 ery/ul (1+) SG = 1,015 Sedimen Eritrosit : 2-4/lpb Leukosit : 0-1/lbp Sel.epitel : 4-6/lpb Kristal :Silinder :Lain-lain :Resume Seorang anak , usia 28 bulan datang dengan keluhan udem di seluruh badan sejak 11 hari SMRS, bengkak seluruh tubuh setelah memakan ikan asin, BAK lebih jarang bahkan tidak BAK sehari semalam, tidak disertai demam, pasien mengeluh keluhan yang sama 6 bulan yang lalu, sudah pernah diobati prednison 4 x 1 tablet. Keluhan disertai batuk berdahak dan pasien dalam pengobatan TB bulan ke II. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan TD normal, udem di palpebra, tungkai atas dan bawah. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Prot = 500 mg/dL (4+), Glu = 50 mg/dL (1+), Ery = 10 ery/ul (1+), sedimen : Eritrosit : 2-4/lpb, Leukosit : 0-1/lbp, Sel.epitel : 4-6/lpb Diagnosis Sindroma nefrotik relaps dengan TB paru Rencana penatalaksanaan: usul pemeriksaan Protein total plasma, albumin plasma Kreatinin, ureum plasma 5

Profil lipid Diet rendah garam : 1-2 g/hr Tidak ada pembatasan aktifitas

Penatalaksanaan umum

Penatalaksanaan khusus Prednison (5mg) 2-2-1 (3 hari berturut-turut, bila proteinuri -, selanjutnya RHZ (150/100/250) Urinalisis pH 6,5 leu nit + pro 500mg/dL (+4) glu 50 mg/dL (+1) ketubg (n) bil ery 25 (+2) SG 1,020 Sedimen leu :1-2 Erit : 6-8 Epitel sel : 1-2 Lain-lain : silinder Globulin 1,85 (1,53,0) Bilirubin total 0,19 (<1) Direk 0,06 (<0,25) Indirek (<0,75) 0,13 18 November 2011 Feses : kuning lembek, leko 0-1, lain-lan granula kasar + 23 November 2011 pH leu nit prot glu bil ery SG :7 ::: 500 mg/dL : normal ::: 1,010 Erit : 0-1 menggunakan tahap II (3tab pagi hari, diminum selaang sehari)

Pemeriksaan lab 16 november 2011 Darah rutin Leukosit 19,6 Ly # 9,5 Gr # 9,2 Eritrosit 3,52 Hb 9,2 Trombosit 593 Kimia darah Ureum 42,9 (10-50) Creatinin 0,9 (0,5-1,1) Kolesterol total 553 (<200) Protein total 4,37 (6,7-7,8 Albumin 2,52 (3,55,0)

Sedimen Leuko : 1-2 Sel ep : 1-2 26 November 2011 Urinalisa Warna : kuning keruh pH B.D ; 8,0 :1,015

Protein : +3 Reduksi Uronilin Bilirubin 6

Lain-lain : nitrit + Sedimen Eritrosit : 1-2

Leukosit : 2-3 Sel epitel : 2-3 Kristal : oksalat +

Silinder Lain-lain : kuman batang +3, jamur +

TINJAUAN PUSTAKA SINDROMA NEFROTIK


1. Pendahuluan Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh : Proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik 2. Epidemiologi Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki ; perempuan= 2:1 sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1.2 Penelitian di Selandia Baru menemukan insidens sindrom nefrotik hampir 20 per 1 juta kasus pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada populasi tertentu, seperti di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik kongenital dapat terjadi pada 1/10.000 atau 7

1/500 kelahiran. Berdasarkan ISKDC 84.5% dari semua anak dengan sindrom nefrotik primer mempunyai gambaran histologik sindrom nefrotik kelainan minimal, 9.5% glomerulosklerosis fokal, 2.5% mesangial, 3.5% nefropati membranosa atau penyebab lainnya. 3. Etiologi Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T. Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif. Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif. Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan lakilaki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan SN. 4. Patogenesis dan Patofisiologi

Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan pedoman pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien SN. 1) Proteinuri Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity. 2) Hipoalbuminemi Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun. 3) Hiperlipidemi Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. 4) Lipiduri

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel.

5) Edema Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi menyebabkan peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta peningkatan ANP. Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis. 6) Hiperkoagulabilitas Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI). 7) Kerentanan terhadap infeksi Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis. 5. Diagnosis

10

Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium berupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemia (<3 g/dl), edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal. 6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini. Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam. Jika tidak ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per 48 jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya. Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari selama 4 minggu.Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi : 11

a. Remisi lengkap proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam) albumin serum >3 g/dl kolesterol serum < 300 mg/dl diuresis lancar dan edema hilang b. Remisi parsial c. Resisten klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus. Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin 3x50mg. Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat dihentikan). Angiotensin receptor blocker (ARB)(ARB) ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. proteinuri <3,5 g/hari albumin serum >2,5 g/dl kolesterol serum <350 mg/dl diuresis kurang lancar dan masih edema

12

Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. Obat antiinflamasi nonsteroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit. Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg bb./hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia dan agranulositosis. Ponticelli dan kawan-kawan menemukan bahwa pada nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan klorambusil selama 6 bulan menginduksi remisi lebih awal dan dapat mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4 tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling. Alternatif lain terapi nefropati membranosa adalah siklofosfamid 2 mg/kg/hari ditambah 30 mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan (maksimal 6 bulan). Levamisol suatu obat cacing, dapat digunakan untuk terapi SN nefropati lesi minimal pada anak-anak dengan dosis 2,5mg/kg bb tiap 2 hari sekurang-kurangnya 112 hari. Efek samping yang jarang terjadi adalah netropeni, trombositopeni dan skin rash. Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan). 13

Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis. Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5 mg/kgBB/hari selama 12 bulan. Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat imunospresan, saat ini dapat diberikan suatu imunosupresan baru yaitu mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek menghambat proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi dari sel B dan ekspresi molekul adhesi, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah. Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan berbagai lesi histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan remisi parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram. Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri. Hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun. Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat diberikan infus salt-poor human albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema paru pada pasien hipervolemi. Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat 14

menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserida. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN. Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus. Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol, sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT) yang biasa dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3 kali normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak dan herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal. Dantal dkk menemukan pada pasien glomerulosklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal, 15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein urin pada pasien SN karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.

15

7. Komplikasi Adapun komplikasi yang dapat terjadi adalah Hiperkoagulasi (Komplikasi Tromboembolik) Hiperkoagulasi pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C dan S, peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan agregasi platelet. Keadaankeadaan ini meningkatkan resiko terjadinya thrombosis dan emboli spontan pada pasien. Emboli paru dan thrombosis vena dalam sering terjadi pada pasien SN. Thrombosis vena renalis sering terjadi pada 30% pasien SN terutama pada Glomerulonefritis membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien dengan thrombosis vena renalis ini memberikan gejala nyeri pinggang atau abdomen, gross hematuria, dan gangguan fungsi ginjal akut, tetapi kebanyakan pasien asimptomatik. Stroke dan infark miokard juga merupakan komplikasi yang potensial terjadi akibat hiperkoagulasi. Infeksi Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian pada SN terutama oleh organism berkapsul (encapsulated organism). Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal. Gangguan Fungsi Ginjal Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadi edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubular ginjal. Sindrom nefrotik dapat progresi dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Malnutrisi

16

Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai proteinuria massif, asupan oral yang kurang akibat perfusi usus yang menurun, dan proses katabolisme yang tinggi.

TUBERKULOSIS

Tuberkulosis: adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Tuberkulosis : Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. Patogenesis a. Tuberkulosis Primer Batuk partikel infeksi terhisap, menepel pada jalan napas (dihadapi netrofil dan makrofag) jaringan paru sarang primer menyebar Kompleks primer : sarang primer + limfangitis lokal + limfadenitis regional Selanjutnya dapat - sembuh sama sekali - sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas - Komplikasi dan menyebar

17

b. Tuberkulosis Post Primer (Tuberkulosis Sekunder) Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer-TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90% Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun : malnutrisi alkohol penyakit maligna DM AIDS Gejala Klinis Gejala Umum : Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih. Gejala Lain Yang Sering Dijumpai : Dahak bercampur darah. Batuk darah. Sesak napas dan rasa nyeri dada. Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Lokasi lesi : apeks paru (segmen apikal lobus atas dan lobus bawah) Awal: bercak seperti awan dengan batas-batas tidak Bila sudah diliputi jaringan ikat : tuberkuloma Kavitas 18 tegas

Kalsifikasi TB milier Penebalan pleura/ empiema Efusi pleura/ pneumotoraks

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Darah (tidak sensitif dan tidak spesifik) - Hitung jenis bergeser ke kiri - LED meningkat Sputum - Mikroskopik: pengecatan: Tan Thiam Hok, Kinyoun - Kultur : Media: Loenstein Jensen, Kudoh, Ogawa Tes tuberkulin -Tes Mantoux Serologi : PAP-TB Gabbet, auramin- rhodamin

Diagnosis Dalam diagnosis dicantumkan status klinis, status bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapi Pasien dengan sputum BTA positif: - ditemukan BTA sekurang-kurangnya pada 2 x pemeriksaan mikroskopik, atau - Satu sediaan sputum positif disertai kelainan radiologis yang sesuai atau 19 dengan TB aktif,

- Satu sediaan sputum positif disertai biakan positif Pasien dengan sputum BTA negatif: - tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2 x pemeriksaan mikroskopik tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif, atau - Pada pemeriksaan tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakan positif TB ekstra paru - Pasien dengan kelainan histologis atau/ dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau - Pasien dengan satu sediaan dari organ ekstra paru menunjkkan hasil bakteri M. tuberculosae Berdasarkan riwayat penyakit a. Kasus baru Pasien belum pernah mendapat obat anti TB (OAT) Pasien mendapat OAT < 1 bulan b. Kasus kambuh Pasien pernah dinyatakan sembuh, tetapi kemudian timbul lagi TB aktif c. Pindahan (Transfer in) Penderita yang pindah berobat dari satu tempat ke tempat lain d. Default/ drop-out Pasien sudah berobat minimal 1 bulan, kemudian berhenti 2 bulan / lebih, kemudian datang kembali berobat e. Kasus gagal Pasien yang sputum BTA nya tetap positif atau kembali positif pada akhir bulan ke 5 (1 bulan sebelum akhir pengobatan) f. Kasus kronik Pasien yang sputum BTA nya tetap positif setelah mendapat pengobatan ulang lengkap yang disupervisi baik 20

Terapi WHO berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori, yaitu: Kategori I, ditujukan terhadap: - kasus baru dengan sputum positif - kasus baru dengan kerusakan parenkim yang luas - Kasus baru dengan bentuk TB ekstra paru berat - 2 RHZE/ 4 RH (4R3H3) (6HE) Kategori II: - kasus kambuh - kasus gagal dengan BTA positif - 2 RHZSE/ 1 RHZE/ 5 R3H3E3 Kategori III: kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I 2 RHZ / 4 RH (4R3H3) (6HE) TB kronik

Kategori IV:

21

DAFTAR PUSTAKA

Garna, Harry prof, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ilmu Kesehatan Anak. 2005. FK Universitas Padjajaran. Bandung Rudolf, et al. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 2. 2006. Jakarta: EGC Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1. 2004. Jakarta: Badan Penerbit IDAI Standar Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak. 2007. Jakarta:RSCM

22

Anda mungkin juga menyukai