Anda di halaman 1dari 18

5

II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kriteria Rumah Tanaman Tropika Basah Konsep rumah tanaman dengan umbrella effect diusulkan Rault (1988) untuk daerah tropika basah seperti Indonesia. Oleh karena itu, rumah tanaman pada daerah tropis basah lebih ditujukan untuk melindungi tanaman dari hujan, angin dan hama, mengurangi intensitas radiasi matahari yang berlebihan, mengurangi penguapan air dari daun dan media, serta memudahkan perawatan tanaman (Suhardiyanto 2009). Menurut von Zabeltitz (1999) rumah tanaman di daerah tropika basah dapat memiliki luas bukaan ventilasi dinding sebesar mungkin, tetapi bukaan pada bubungan rumah tanaman perlu dibatasi. Rault (1988) menyatakan rumah tanaman di daerah tropika perlu memperhatikan kriteria berikut: (1) Bukaan rumah tanaman harus merupakan kombinasi yang baik antara bukaan untuk ventilasi dan proteksi terhadap air hujan; (2) Kerangka konstruksi harus cukup kuat sebagai antisipasi terhadap kemungkinan angin kencang; (3) Biaya pembangunan harus cukup murah dan tata letaknya mempertimbangkan kemungkinan perluasan area rumah tanaman. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perancangan rumah tanaman adalah kemiringan atap (Suhardiyanto 2009) dan tinggi dinding (Bot 1983). Hal ini merupakan faktor penting yang menentukan kondisi termal di dalam rumah tanaman. Rekomendasi lain dinyatakan oleh Kumar et al.(2009), bahwa luasan ventilasi alami yang optimum pada rumah tanaman di daerah tropis yang berkasa 20-40 mesh adalah sebesar 15-30% dari luasan dinding kasanya. 2.2 Modifikasi Rumah Tanaman Tipe Standard Peak Rumah tanaman bentuk modified standard peak merupakan modifikasi dari span roof, dimana bentuk gable tidak lagi segitiga, melainkan dimodifikasi menjadi atap bersusun dua bagian dengan bukaan ventilasi diantara dua bubungan atap tersebut dan tertutupi screen (Suhardiyanto 2009). Bentuk atap dengan bukaan ventilasi seperti ini memungkinkan terjadinya ventilasi alamiah walaupun tidak ada angin yang bertiup. Aliran udara yang keluar melalui bukaan ventilasi dibagian bubungan terjadi akibat adanya perbedaan kerapatan udara. Agar

perbedaan kerapatan udara tersebut lebih besar maka rumah tanaman dibuat lebih tinggi dari rata-rata tinggi rumah tanaman tipe standard peak. Hal ini berarti bahwa tipe standard peak sangat cocok dengan tanaman yang tinggi seperti tomat, paprika, dan melon. Bentuk rumah tanaman tipe standard peak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Rumah tanaman tipe standard peak tampak depan. 2.3 Faktor Lingkungan Fisik Tanaman Faktor lingkungan fisik tanaman antara lain adalah cahaya, suhu udara, kelembaban relatif (RH) udara, kadar CO2 dalam udara, kecepatan angin, polutan dan lingkungan akar. Cahaya yang paling penting bagi tanaman merupakan cahaya tampak yang mempunyai panjang gelombang 390 700 nm. Aspek penting dari cahaya adalah intensitas, durasi, dan distribusi spektral cahaya. Suhu udara di sekitar tanaman dipengaruhi oleh radiasi matahari, pindah panas konveksi, laju evaporasi, intensitas cahaya, kecepatan dan arah angin serta suhu lingkungan secara umum. Perubahan suhu udara akan berpengaruh pada proses fisiologi dalam tanaman. Secara praktik, bagi tanaman dalam greenhouse disarankan perbedaan suhu antara siang dan malam berkisar antara 5 10 C. Aspek penting dalam pergerakan udara dalam budidaya tanaman adalah kecepatannya, bukan arahnya. Angin berpengaruh pada laju transpirasi, laju evaporasi, serta ketersediaan CO2 dalam udara. Menurut ASAE (American Society of Agricultural Engineering) kecepatan udara melewati tanaman sebaiknya tidak

lebih dari 1,0 ms-1 (Yuwono et al. 2008). Kecepatan udara dan pengaruhnya terhadap tanaman disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kecepatan udara dan pengaruhnya terhadap tanaman
Kecepatan Udara [ms-1 ] 0.1 0.25 0.5 1.0 Lebih dari 4.5 Pengaruh Memudahkan pengambilan CO2 Pengambilan CO2 oleh tanaman menurun Menghalangi pengambilan CO2 atau pertumbuhan tanaman Kerusakan fisik tanaman

Sumber: (Yuwono et al., 2008) 2.4 Konsep Pindah Panas pada Rumah Tanaman Pemahaman mengenai interaksi stuktur rumah tanaman dengan kondisi cuaca di lingkungan luar rumah tanaman akan menginisiasi untuk melakukan pengendalian terhadap parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Suhardiyanto et al. (2007) telah melakukan analisis perpindahan panas yang terjadi pada keempat elemen dalam sistem pindah panas untuk rumah tanaman tipe standard peak dengan persamaan kesetimbangan panas pada setiap elemen per satuan luas (Gambar 2).

Gambar 2

Konsep perpindahan panas pada rumah tanaman tipe standard peak (Suhardiyanto et al., 2007).

Sumber panas pada rumah tanaman di daerah tropis didominasi oleh konsumsi radiasi. Sifat radiatif material penutup rumah tanaman menyebabkan pengurangan radiasi gelombang pendek yang masuk. Interaksi material struktur rumah tanaman dengan sifat radiatifnya merubah radiasi gelombang pendek

tersebut

menjadi

gelombang

panjang,

sehingga

berpengaruh

terhadap

kesetimbangan energi di dalam rumah tanaman meningkatnya suhu udara.

yang berakibat pada

Selain itu, fluida di sekitar penutup rumah tanaman yang bersifat radiatif akan menyerap panas akibat dari pantulan radiasi termal. Kemudian bergerak ke tempat lain dan bercampur dengan bagian fluida yang lebih dingin serta memberikan panasnya. Hal ini disebut sebagai fenomena konveksi (Cengel dan Boles, 2003). Kemudian Cengel (2003) mengemukakan bahwa perpindahan panas konveksi berdasarkan cara menggerakkan alirannya diklasifikasikan menjadi dua cara yaitu, konveksi bebas (alami) dan konveksi paksa. Konveksi bebas terjadi karena adanya perbedaan massa jenis yang disebabkan oleh perbedaan suhu, sedangkan konveksi paksa terjadi karena adanya gerak dari luar misalnya dari pompa atau kipas. Laju ventilasi alamiah dipengaruhi oleh karakteristik kasa (screenhouse) yang digunakan. Penggunaan screenhouse lebih ditujukan untuk menekan serangan hama serangga pada tanaman, sehingga sering disebut sebagai insectscreen. Namun hal ini berisiko pada penurunan laju ventilasi sehingga pertukaran udara menjadi berkurang dan dinamika udara yang ada di dalam rumah tanaman menjadi stagnan. Oleh karena itu, suhu udara di dalam akan meningkat. Proses konduksi terjadi akibat adanya gradien suhu pada suatu medium sehingga menimbulkan perpindahan energi atau panas dari suhu tinggi ke suhu rendah (Holman, 1997). Menurut Kreith (1994) konduksi merupakan proses perpindahan panas dari daerah dengan suhu tinggi ke suhu rendah di dalam suatu medium atau antara medium-medium yang berlainan yang bersinggungan secara langsung dan memiliki gradien suhu. 2.5 Sistem Ventilasi pada Rumah Tanaman Sistem ventilasi dapat dikelompokkan berdasarkan tenaga penggerak udara yang bekerja, yaitu dibedakan menjadi ventilasi alami dan sistem ventilasi mekanis (Norton et al., 2007). Sistem ventilasi berfungsi sebagai sarana pengendali atau kontrol parameter fisik tanaman yang ada di dalam rumah tanaman, sehingga tanaman yang dibudidayakan dapat dikondisikan dan direkayasa pada lingkungan yang optimum. Ventilasi mekanis bekerja dengan

tenaga elektrik berupa kipas (fan) atau blower untuk menggerakkan aliran udara melewati bangunan rumah tanaman. Sedangkan ventilasi alamiah hanya bekerja berdasarkan pergerakan mekanis fluida yang diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu dan perbedaan tekanan. Konstruksi yang sederhana, biaya awal yang murah dan biaya energi yang rendah merupakan alasan utama penerapan ventilasi alami, terutama di daerah tropis seperti Indonesia. 2.5.1 Ventilasi Alamiah Ventilasi alamiah adalah pertukaran udara di dalam suatu bangunan dengan udara di luarnya tanpa menggunakan kipas atau peralatan mekanik lainnya (Suhardiyanto, 2009), juga sering disebut sebagai pengendalian atau kontrol pasif, dengan kata lain tanpa adanya perlakuan mekanis. Menurut Norton et al. (2007), ventilasi alamiah terjadi akibat adanya dua faktor pemicu mekanisme pergerakan fluida. Faktor pemicu pertama disebabkan oleh panas apung (thermal buoyancy) yang sering disebut sebagai efek cerobong asap (stack effect), dimana perbedaan suhu yang terjadi pada fluida di dalam rumah tanaman berasal dari proses konveksi panas, fluks radiasi matahari dan metabolisme organisme yang ada di dalam rumah tanaman. Udara yang terpanaskan akan menurunkan massa jenisnya sehingga massa udara semakin ringan dan dengan pengaruh gravitasi dapat menyebabkan parsel udara yang semakin ringan cenderung bergerak ke atas atau mengapung. Faktor pemicu kedua, adanya angin yang menyebabkan perbedaan tekanan pada bagian dinding dan penutup bangunan rumah tanaman karena adanya tekanan yang hilang (pressure drop) sehingga memaksa udara yang ada di dalam rumah tanaman bergerak melalui celah bukaan ventilasi. Faktor termal berperan dominan pada saat kecepatan udara rendah, sehingga terjadi pergerakan udara akibat perbedaan suhu dan kerapatan udara di dalam dan di luar rumah tanaman. Selanjutnya Kamaruddin (1999) menyatakan bahwa batas kecepatan angin dimana faktor termal masih dapat berperan dominan adalah sebesar 1 ms-1, sedangkan menurut Papadakis et al. (1996) sebesar 1.67 ms-1. Disamping itu, Papadakis et al. (1996) menyatakan bahwa pada saat kecepatan angin lebih dari 1.8 ms-1 efek termal

10

terhadap laju ventilasi dapat diabaikan. Jika kecepatan angin di luar rumah tanaman cukup tinggi dan perbedaan suhu udara di dalam dan di luar rumah tanaman kecil maka faktor angin dominan dan pengaruh faktor termal dapat diabaikan. Dalam hal desain ventilasi alamiah, Connellan, (2000);Kumar et al., (2009) mengemukakan bahwa luas bukaan ventilasi minimalnya 20% dari luas lantai rumah tanaman sehingga suhu di dalam rumah tanaman dapat mendekati suhu ambien di luar rumah tanaman. Hal serupa dilaporkan oleh Kamaruddin et al., (2000) bahwa luas bukaan ventilasi lebih dari 40% dari luas lantai rumah tanaman dapat memberikan laju ventilasi alamiah yang cukup baik dan dapat menghindari peningkatan suhu yang ekstrim di dalam rumah tanaman beriklim tropis. Sementara itu, Campen (2004) telah mendesain rumah tanaman berbasis CFD untuk kondisi iklim di Indonesia dan melakukan simulasi penentuan luas bukaan ventilasi. Hasil simulasi dilaporkan bahwa luas bukaan ventilasi sebesar 40.4% dari luas permukaan konstruksi rumah tanaman cukup optimum untuk pertumbuhan tanaman di Indonesia. Selanjutnya, Hermanto et al., (2006) telah melakukan optimasi luasan ventilasi alamiah yang dirancang pada bubungan rumah tanaman untuk produksi tomat di daerah iklim tropis basah. Hasil optimasi melaporkan bahwa luas ventilasi 60% dari luas lantai rumah tanaman dapat memberikan kondisi lingkungan yang baik sepanjang tahun. 2.5.2 Ventilasi Mekanis Ventilasi mekanis pada rumah tanaman di daerah iklim tropis basah umumnya menggunakan fan atau blower. Hal ini mengingat bahwa kedua alat tersebut hanya memicu pergerakan udara untuk melewati bangunan rumah tanaman yang bersifat terselubung (envelope), dimana udara dapat terperangkap didalamnya. Terperangkapnya udara di dalam rumah tanaman dapat menimbulkan panas yang berlebih di dalam bangunan rumah tanaman dibandingkan dengan udara di luar. Hal ini dipengaruhi oleh radiasi matahari dan gelombang panjang yang terperangkap di dalam rumah tanaman yang lebih dikenal dengan greenhouse effect. Dengan demikian,

11

kondisi lingkungan (iklim mikro) di dalam rumah tanaman menjadi ektrim bagi tanaman. Fungsi utama dari fan dan blower yang berupa exhaust fan adalah menggerakkan udara yang terperangkap di dalam rumah tanaman keluar sehingga terjadi perbedaan tekanan antara udara di dalam dengan udara di luar. Adanya perbedaan tekanan dapat memicu pergerakan udara dari tekanan tinggi ke rendah, sehingga udara terdistribusi dengan sendirinya dan ruang rumah tanaman mendapat suplai udara dari luar. Berdasarkan hasil penelitian Norton et al.(2007) dilaporkan bahwa pengontrolan udara dengan menggunakan ventilasi mekanis dapat mengendalikan udara lebih presisi dibandingkan dengan ventilasi alamiah. Selain itu, pengendalian tidak tergantung pada kondisi iklim lingkungan (iklim makro), sehingga pengendalian dapat dilakukan kapan saja sesuai dengan rancangan strategi pengontrolan iklim mikro. 2.6 Karakteristik Kasa pada Rumah Tanaman (Screenhouse) Penggunaan screen sebagai penutup pada bukaan ventilasi membantu menekan jumlah serangan hama pengganggu ke dalam rumah tanaman, akan tetapi penggunaannya akan menurunkan laju ventilasi dan menaikkan suhu udara dalam rumah tanaman. Aliran udara yang melewati screen ditentukan oleh jumlah dan bentuk strukturnya yang direpresentasikan dengan satuan mesh atau porositas. Ukuran mesh menggambarkan banyaknya lubang per inchi panjang screen. Sedangkan porositas menunjukkan rasio jumlah luas permukaan lubang screen yang dapat dilalui oleh udara terhadap permukaan screen per satuan luas. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi ukuran mesh screen yang sesuai untuk mencegah berbagai macam serangga masuk ke dalam rumah tanaman. Harmanto et al., 2006 telah melakukan penelitian tentang iklim mikro menggunakan model matematika (metode energy balance) pada rumah tanaman modified arch dengan bukaan ventilasi atap dan dinding yang ditutup screen di daerah tropika. Ukuran screen yang digunakan adalah 78, 52 dan 40mesh. Dibandingkan dengan screen ukuran 40 mesh, screen dengan ukuran 52 dan 78 mesh dapat menurunkan laju pertukaran udara sebesar 35% dan 78% dan meningkatkan suhu udara di dalam rumah tanaman sebesar 1 3 C. Akan tetapi

12

screen 40 mesh kurang efektif dalam mencegah hama masuk, sehingga ukuran net 52-mesh lebih dianjurkan untuk digunakan dalam mencegah kenaikan suhu udara dan menurunnya laju ventilasi secara nyata. Untuk daerah subtropika, Fatnassi et al. (2006) telah menguji screen antiBemisia (52 mesh) dan anti-Thrips (132 mesh) yang dipasang pada bukaan ventilasi di atap dan dinding rumah tanaman multi-span dan menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban absolut udara di dalam rumah tanaman yang dipasang screen meningkat sebesar 2.7 C dan 0.7 g/kg untuk screen anti-Bemisia (52 mesh) dan meningkat sebesar 4.7 C dan 1.3 g/kg untuk screen anti-Thrips (132 mesh) dibandingkan dengan rumah tanaman yang tidak dipasangi screen pada bukaan ventilasinya. Pola aliran udara yang melewati screen didekati dengan poros medium dan menghitung nilai kehilangan tekanan yang terjadi (Teitel, 2010). Perhitungan kehilangan tekanan pada kondisi incompressible dan aliran udara tunak (steady state) dapat diprediksi dengan persamaan Forcheimer: ( ) ( )| | (1)

dimana P merupakan tekanan udara yang hilang (Pa), x adalah ketebalan poros media (m), u merupakan kecepatan udara (ms-1), adalah massa jenis udara (kg m-3), dan adalah viskositas dinamik (kg m-1s-1). Sedangkan K merupakan permeabilitas screen (m2) dan Y adalah faktor inersia (non-dimensional). Nilai permeabilitas screen atau poros media dan nilai faktor inersia biasanya digunakan sebagai parameter acuan dalam menganalisa karakteristik bahan poros terhadap aliran udaranya. Miguel (1998) dalam Teitel (2010), telah menguji beberapa jenis bahan poros dengan wind tunnel, hasilnya menunjukkan bahwa korelasi terbaik antara permeabilitas screen K dan faktor inersia Y terhadap porositas bahan dapat direpresentasikan dengan pers 2. dan (2)

dimana adalah nilai porositas bahan yang ditentukan dari nilai panjang l dan lebar w dari mesh bahan poros serta d merupakan diameter bahan/benang struktur screen. Rumus untuk menghitung nilai porositas disajikan pada Pers 3 (Miguel, 1998 dalam Majdoubi et al., 2009).

13

)(

(3)

dimana l merupakan panjang lubang void (poros) dalam m dan w adalah lebar lubang void dalam m, sedangkan d adalah diameter bahan material kasa yang berbentuk benang, dalam m. 2.7 Karakteristik Fan Berdasarkan karakteristik alur dan pola aliran udara melewati fan, secara garis besar fan dapat dibedakan menjadi dua tipe; yaitu sentrifugal dan aksial (Anonimous, 1989). Kipas sentrifugal menggunakan perputaran impeller untuk meningkatkan kecepatan aliran udara. Pergerakkan udara dari pusat impeller ke ujung baling-baling menghasilkan energi kinetik. Energi kinetik ini akan menaikkan tekanan statik berupa aliran udara yang pelan sebelum dilepaskan. Kipas sentrifugal dapat menghasilkan tekanan relatif tinggi yang biasa digunakan pada aliran kotor (mengalirkan bahan-bahan khusus yang memerlukan penanganan dan kelembaban tinggi) dan pada sistem yang membutuhkan suhu tinggi (Anonimous, 1989). Oleh karenanya, kipas jenis ini paling umum digunakan oleh industri. Selain dapat menghasilkan tekanan tinggi, efisiensinya juga tinggi dan dapat dioperasikan lebih jauh untuk berbagai kondisi dengan tujuan tertentu. Sedangkan kipas axial, sesuai namanya, menggerakkan aliran udara melalui sumbu kipas. Udara akan tertekan karena adanya gaya angkat aerodinamik yang dihasilkan dari baling-baling kipas seperti pada propeller dan sayap pesawat terbang. Walaupun dapat juga diganti dengan kipas sentrifugal, tetapi pada udara bersih, tekanan rendah, aplikasi untuk volume tinggi, lebih umum digunakan kipas axial. Keuntungan dari kipas axial adalah aliran yang dihasilkan lebih seragam, biaya rendah, dan ringan (Anonimous, 1989). Pengaruh sistem yaitu perubahan pada performa kipas yang dihasilkan dari interaksi komponen-komponen pada kipas, seperti saluran, penyaring, belokan, pemanggang, jumlah sudu (blade) pada kipas, dan sudut kemiringan sudu. Performa kipas atau fan dapat dilihat dari hubungan antara laju aliran udara yang terlewatkan terhadap tekanan statis yang ditimbulkannya. Hal ini dideskripsikan

14

oleh Gambar 3 yang menunjukan performa kipas yang dipengaruhi oleh interaksi komponen sistem pada kipas.

Gambar 3.

Perubahan performa kipas akibat interaksi komponen sistem pada kipas (Anonimous, 1989).

2.8

Sistem Pendinginan Evaporasi (Evaporative Cooling) Pendinginan evaporasi merupakan metode yang dianggap paling efektif

dalam menurunkan suhu dan mengontrol kelembaban udara di dalam rumah tanaman (Kumar et al. 2009). Namun bagi daerah beriklim tropis basah, pengendalian kelembaban udara di dalam rumah tanaman telah menjadi suatu hal yang tidak mudah dilakukan. Terdapat tiga jenis evaporative cooling yang sering digunakan dalam industri pertanian adalah: 1) sistem baling-baling kipas (fan-pad system) seperti exhaust fan atau blower, 2) sistem pengabutan air (fog/mist system), dan 3) roof evaporative cooling yaitu pendinginan atap dengan cara mengalirkan atau menaburkan partikel air yang lembut terhadap atap rumah tanaman sebagai sumber masuknya panas dari sinar radiasi matahari yang dominan.

15

2.8.1 Fan-pad System Candra et al., (1989) telah melakukan penelitian tentang efektifitas penggunaan sistem pendingin fan pada rumah tanaman berbahan atap plastik seluas 24 m2. Dengan menggunakan fan, suhu udara di dalam rumah tanaman dapat diturunkan sekitar 4-5 C dari kondisi suhu lingkungan luar. Hal serupa telah dilaporkan oleh Jain and Tiwari (2002) bahwa penerapan cooling pad pada rumah tanaman seluas 24 m2 sangat sensitif terhadap parameter panjang dan ketinggian dimensi rumah tanaman. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya analisa optimalisasi penerapan cooling pad pada rumah tanaman terhadap dimensi rumah tanamannya, sehingga dapat membantu rekomendasi dalam perancangan dan pengembangan rumah tanaman. Di sisi lain, Jamal (1994), menyatakan bahwa laju pertukaran volume udara sebesar 20 m3/jam merupakan kondisi terbaik bagi rumah tanaman yang berada di daerah tropis. Penelitian tersebut dilakukan pada saat musim kering dengan memanfaatkan cooling pad. 2.8.2 Sistem Pengabutan Sistem pengabutan (fog system) merupakan sistem dimana air disemprotkan dengan tekanan tinggi pada nozzle sehingga bentuk air menjadi sangat kecil seperti kabut yang biasa disebut droplet, dengan diameter droplet sekitar 2-60m (Kumar et al.2009). Kecilnya ukuran diameter droplet sangat memungkinkan air terbawa oleh udara, sehingga suhu udara di dalam rumah tanaman dapat menurun dengan signifikan namun kelembaban udaranya menjadi meningkat. Montero et al. (1994) telah menggunakan sistem pengabutan air pada rumah tanaman yang memiliki mesh screen sebesar 45%, melaporkan bahwa suhu maksimum yang dapat direduksi dengan sistem pengabutan sepanjang siang hari dalam rumah tanaman adalah sebesar 5C. Sementara itu, Arbel et al.(1999),telah menguji efisiensi sistem pengabutan yang memiliki kemampuan ukuran droplet sebesar 2-60 m pada rumah tanaman seluas 16 m x 24 m di daerah Israel, dibandingkan dengan sistem fan-pad. Hasil uji tersebut telah menunjukkan bahwa performansi sistem pengabut

16

lebih baik dari pada sistem fan atau pad, dimana suhu dan kelembaban udara yang dapat direduksi dengan sistem fan dan pad < 5 dan 20%. 2.8.3 Roof Evaporative Cooling Proses roof evaporative cooling dilakukan dengan memercikkan air ke permukaan atap rumah tanaman sehingga menghasilkan lapisan air tipis yang dapat meningkatkan laju evaporasi pada permukaan atap tersebut agar suhu udara di sekitar atap dan di dalam rumah tanaman akan menurun (Kumar et al. 2009). Sutar and Tiwari (1995), telah mempelajari efek aliran air yang tipis (water film) dipermukaan atap rumah tanaman terhadap suhu udara di dalamnya. Material atap yang digunakan adalah material plastik untuk rumah tanaman yang relatif murah. Percobaan tersebut dilakukan pada kondisi iklim di Delhi India. Hasil dari percobaan menyatakan bahwa suhu udara di dalam rumah tanaman dapat menurun antara 4-5C dari kondisi kontrol. Namun, ketika aliran tipis air dialirkan pada lapisan kain atau kasa yang tipis di atap rumah tanaman, maka suhu udara yang dapat direduksi dapat mencapai 10C. 2.9 Pemodelan pada Rumah Tanaman Pendekatan model pada rumah tanaman, khususnya pemodelan parameter fisik yang mempengaruhi iklim mikro (seperti suhu, kecepatan udara dan kelembaban udara pada rumah tanaman), secara garis besar dibedakan menjadi dua kriteria, yaitu model fenomena logis dan model perilaku (Krauss et al., 1997; Boulard et al., 2002). Kedua pendekatan model tersebut digunakan untuk memprediksi perubahan, pola serta distribusi iklim mikro seperti perpindahan panas dan transport massa yang terjadi pada bangunan rumah tanaman. Model perilaku (behavioural models), seperti komputasi sistem pakar (Artificial Neural Networks, Fuzzy logic dan Genetic Algorithm) sangat bermanfaat untuk menentukan strategi pengendalian iklim mikro pada rumah tanaman. Namun masih tergantung pada akurasi penentuan nilai dinamika atau laju perubahan parameter. Hasil prediksi model tersebut harus dibandingkan dengan data faktual hasil pengukuran atau dengan hasil prediksi dari model fenomena logis. Secara

17

sederhana pendekatan model pada rumah tanaman dideskripsikan dengan diagram pengklasifikasian model simulasi yang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4.

Diagram klasifikasi model simulasi pada rumah tanaman (diadopsi dari Krauss et al., 1997dalam Boulard et al., 2002).

Pemodelan fenomena logis terdiri dari dua jenis proses, yaitu tahap analisis dan tahap diskritisasi. Tahap analisis pemodelan biasanya dilakukan

penyederhanaan model berupa pembatasan wilayah (limited zones) analisis dari ruang model simulasi yang kompleks. Wilayah yang dianalisis lebih difokuskan pada wilayah-wilayah tertentu dalam ruang simulasi yang memiliki kriteria perubahan parameter secara signifikan, seperti wilayah permukaan atau dinding solid dengan fluida yang sering disebut dengan boundary layers, wilayah jet yaitu wilayah yang memiliki hembusan kecepatan fluida sangat tinggi (wilayah nozel dari humidity fire atau foging) dan wilayah-wilayah yang berpotensi terjadi olakan fluida (wakes) serta vortex. Sementara itu, tahapan diskritisasi adalah proses penyederhanaan persamaan model dinamika fluida yang kompleks menjadi

18

persamaan-persamaan matematis yang diskrit agar dapat dieksekusi oleh komputer untuk dikomputasi. Hal ini merupakan bagian dari analisis numerik pada tahapan simulasi dengan menggunakan CFD (Computational Fluid Dynamics). Metode diskritisasi dalam CFD terdiri dari 2 jenis pendekatan, yaitu metode volume hingga (finite volume method) dan metode elemen hingga (finite element method). Model CFD akan lebih akurat apabila digunakan untuk simulasi pada zona atau wilayah model yang mikro, namun tidak menutup kemungkinan dapat juga digunakan untuk mensimulasikan zona wilayah makro seperti visualisasi perubahana parameter iklim mikro pada satu ruang rumah tanaman (single zone) berbentuk 3D atau beberapa ruang rumah tanaman (multi zones). Multi zone rumah tanaman biasanya terdapat pada agroindustri yang memiliki beberapa rumah tanaman untuk proses produkdi budidaya. 2.10 Metode Komputasi Dinamika Fluida Computational fluid dynamics (CFD) bisa berarti suatu teknologi komputasi yang digunakan untuk mempelajari dan sebagai alat untuk menganalisa fenomena dinamika fluida seperti aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, perubahan phasa, interaksi fluida dan solid (Norton et al., 2007). Menurut Tuakia (2008), CFD adalah ilmu yang mempelajari cara memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaanpersamaan matematika (model matematika). Secara istilah CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang memungkinkan untuk mempelajari dinamika dari benda-benda atau zat-zat yang mengalir. Menurut Zhang (2005), pada dasarnya persamaan-persamaan dalam

mempredisksi fenomena dinamika fluida seperti CFD dapat dibangun dan dianalisis berdasarkan persamaan-persamaan diferensial parsial (PDE = Partial Differential Equation) yang merepresentasikan hukum-hukum konservasi massa, momentum, dan energi. Penyelesaian persamaan diferensial yang cukup kompleks tidak dapat dieksekusi langsung oleh komputer. Oleh karena itu, persamaan aljabar tersebut ditransformasikan terlebih dahulu menjadi persamaan aljabar diskrit yang lebih sederhana, sehingga komputer dapat mengeksekusinya dengan ringan. Metode penyederhanaan ini disebut sebagai metode diskritisasi (Versteeg and Malalasekera, 1995).

19

2.11 Prinsip Diskritisasi Secara umum, diskritisasi dapat dianalogikan sebagai upaya untuk membagi sistem dari problem yang akan diselesaikan (obyek) menjadi bagian bagian yang lebih kecil, atau dengan kata lain membagi bentuk objek yang kontinum menjadi diskrit. Diskritisasi ini muncul karena adanya kesulitan untuk mempelajari sistem secara keseluruhan. Secara tidak langsung, diskritisasi juga berarti pendekatan untuk sesuatu (problem) yang riil dan kontinu. Metode diskritisasi yang biasa digunakan dalam analisa CFD adalah metode elemen hingga (finite element method) dan metode volume hingga (finite volume method). Menurut Molina-Aiz et al.,(2010) dalam kedua metode diskritisasi tersebut komputasi numerik dibangun berdasarkan dua tahapan proses. Tahap pertama adalah memformulasikan persamaan kesetimbangan dan metode pendekatan berdasarkan kondisi batasan tertentu. Sedangkan tahap kedua adalah pemisahan elemen variabel ke dalam bentuk matriks dan pencarian solusi algoritma secara sekuensial. 2.11.1 Finite Element Method (FEM) Prinsip FEM adalah membagi rangkaian kesatuan area ke dalam sejumlah bentuk area sederhana yang lebih kecil yang disebut elemen (Molina-Aiz et al., 2010), pada kasus ini digunakan elemen triangular atau quadrilateral (Gambar 5a). Finite Element banyak digunakan untuk

menyelesaikan problem kompleks seperti rekayasa struktur, steady state dan time dependent heat transfer, fluid flow, dan electrical potential problem (Zienkiewicz et al.,2005). Konsep dasar dari FEM diantaranya adalah membuat elemen-elemen diskrit untuk memperoleh simpangan-simpangan dan gaya-gaya dari suatu struktur. Selain itu, FEM menggunakan elemenelemen kontinum untuk memperoleh solusi pendekatan (approximate solution) terhadap permasalahan-permasalahan perpindahan panas,

mekanika fluida maupun mekanika solid.

20

Gambar 5.

Ilustrasi diskritisasi dengan menggunakan: (a) metode elemen hingga, (b) metode volume hingga (Molina-Aiz et al., 2010).

Pada metode diskrit ini, variabel dari setiap elemen diinterpolasi menggunakan polynomial Nj(xi). (4)

Dimana Nj merupakan fungsi bentuk polynomial pada titik j, dan n adalah jumlah titik pada masing-masing elemen (3 untuk elemen triangular, dan 4 untuk elemen quadrilateral). 2.11.2 Finite Volume Method (FVM) Menurut Apsley (2005) metode volume hingga (FVM) cocok diterapkan pada masalah aliran fluida dan aerodinamika. Selain itu, MolinaAiz et al.(2010) mengungkapkan bahwa konsep kinerja FVM adalah setiap titik perhitungan dilingkupi oleh sebuah volume terkendali (control volume) atau volume atur. Domain komputasi dibagi menjadi volume atur yang berupa grid-grid dan tidak saling tumpang tindih (overlapping), sehingga proses komputasi pada FVM lebih didekatkan terhadap kontrol suatu volume terbatas, bukan komputasi pada suatu node dari masing-masing grid. Perangkat lunak seperti ANSYS/FLUENT menyatakan pendekatan FVM dengan sebutan grid-centered finite volume approach, dimana perhitungan komputasi yang dikembangkan program tersebut dilakukan secara langsung pada area tengah grid (grid centers) dengan menginterpolasikan nilai variabel pada pusat elemen node yang

21

berdekatan pada suatu permukaan volume atur f. Nilai masing-masing variabel yang merepresentasikan nilai rata-rata keseluruhan dari sebuah grid, diwakili dengan nilai titik pusat grid (P, N, S, E dan W ;Gambar 5.b). Metode penghitungan dalam komputasi atau diskritisasi berdasarkan pada perbedaan nilai atau gradien dari masing-masing grid. Nilai perubahan variabel tertentu ( ) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (5). (5)

dimana Nfaces merupakan batasan permukaan pada elemen volume, dan adalah nilai rata-rata hitung pada pusat grid terdekat (contohnya

permukaan P dan permukaan E pada Gambar 5.b). 2.12 Perbandingan Teknik Diskritisasi FVM dan FEM Dua metode diskritisasi (FVM dan FEM) telah diuji dan dibandingkan oleh Nakajima and Kallinderis (1994); Molina-Aiz et al.,(2010) pada grid yang tidak seragam untuk melihat sensitifitas dan akurasi dari hasil solving. Proses solving dilakukan pada aliran incompressible yang unsteady state 2 dimensi dengan menggunakan persamaan Navier-Stokes. Hasilnya disimpulkan bahwa kedua metode dikritisasi tersebut stabil dan memiliki akurasi yang sama pada grid yang seragam. Namun, pada grid yang tidak seragam metode FEM menjadi kurang sensitif. Meskipun pendekatan metode FEM dan FVM membutuhkan waktu komputasi per grid dan step yang sama, FEM memerlukan kapasitas memori penyimpanan dua kali lebih besar dibandingkan FVM. Selanjutnya, Haindl et al., (1999); dalam Molina-Aiz et al.,(2010) membandingkan FVM dan FEM untuk mendiskritisasi model difusi 3D menggunakan software AMIGOS. Hasil diskritisasi dilaporkan bahwa FVM lebih stabil dibandingkan FEM. Hal lain dilakukan oleh OCallaghan et al. (2003) yang melakukan kajian teori untuk memprediksi aliran darah melewati arteri femoralis ideal. Hasilnya menunjukkan bahwa secara kualitatif kedua metoda tersebut memiliki kesamaan, namun berbeda dalam hal kuantitatif. Hasil prediksi dengan menggunakan FVM lebih baik dari pada FEM, sehingga menyatakan bahwa FVM merupakan teori prediksi yang lebih handal. Sementara itu, Molina-Aiz et al.,(2010) membandingkan FEM dan FVM

22

untuk mensimulasikan fenomena ventilasi alamiah pada rumah tanaman. Hasil simulasi dilaporkan bahwa kedua metode tersebut sangat baik atau akurat ketika digunakan untuk memprediksi parameter suhu dari pada memprediksi parameter kecepatan udara. Selain itu, gambaran aliran udara pada setiap kasus yang dianalisa memiliki kesamaan kualitatif. Namun pada rumah tanaman tipe multi span, FVM mampu mensimulasikan aliran laju ventilasi udara yang lebih rendah dibandingkan FEM, meskipun nilai suhu hasil prediksi dengan FVM lebih rendah dari nilai faktualnya. Perbedaan antara FEM dan FVM terlihat juga pada proses pembuatan grid (meshing), dimana untuk geometri yang lebih kompleks proses meshing dengan menggunakan FEM jauh lebih mudah dibanding FVM (Molina-Aiz et al., 2010). Namun dalam hal komputasi, rata-rata FEM membutuhkan waktu komputasi per grid dan per tahap dua kali lebih banyak dibandingkan FVM, bahkan untuk proses penyimpanan database hasil komputasi FEM menghabiskan waktu 10 kali lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai