Anda di halaman 1dari 12

4

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Syiah dilihat dari etimologi berarti pengikut, sekte, partai, atau kelompok, atau dalam arti yang lebih umum pendukung. Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa pendapat, antara lain: a. Asy-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal: Syiah adalah kelompok yang mengikuti dan mendukung Ali dan berkeyakinan bahwa dia adalah imam dan khalifah (pengganti) yang ditunjuk berdasarkan nash dan wasiat, baik apakah wasiat itu secara eksplisit ataukah implisit dan mereka berkeyakinan bahwa imamah tidak keluar dari anak keturunannya2. b. DR. Mani Al-Juhni dalam al-Mawsuah: Syiah adalah kelompok yang mengikuti dan mendukung Ali dan memandangnya lebih utama dibanding dari para sahabat Rasulullah lainnya dan mereka berkeyakinan bahwa Ali adalah imam yang ditetapkan berdasarkan wasiat dari Rasulullah saw3. Sekte Syiah muncul pada akhir masa khalifah ketiga (Usman), yaitu ketika merosotnya pamor khalifah Utsman yang dinilai melakukan nepotisme sehingga memicu pemberontakan-pemberontakan yang pada puncaknya menjadi penyebab terbunuhnya Utsman. Setelah peristiwa fitnah ini, muncul dua kelompok besar yaitu pendukung Muawiyah dan pendukung Ali. Pendukung Ali yang dikenal sebagai Syiah Ali kemudian tumbuh dan berkembang pada masa khalifah Ali. Ketika Ali wafat, pemikiran Syiah berkembang menjadi sekte-sekte. Dasar-dasar yang dipakai oleh sekte Syiah dalam menempatkan posisi Ali dan ahlu bait sebagai khalifah (imam) adalah peristiwa-peristiwa ketika Rasulullah masih hidup yang menunjukkan keistimewaan Ali dan menganggap
2

Asy-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal (Buku I), Alih Bahasa: Prof. Asywadie Syukur, Lc DR. Mani bin Hamad Al-Juhni, Al-Mausuah Al-Muyassarah Fil Adyan Wal Madzahib Wal

(Surabaya: PT. Bina Ilmu, tanpa tahun), hal. 124


3

Ahzab Al-Muashirah (Jilid Awal), versi elektronik (Riyadh: Darun Nadwah, 1418H), hal. 51

Numan, Muha

Ali tumbuh dalam lingkungan yang istimewa. Dan yang paling kuat dijadikan dasar sekte Syiah sebagai isyarat pengangkatan Ali sebagai khalifah adalah peristiwa Ghadir Khum, yaitu hadits Rasulullah yang mengatakan :


Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka Ali sebagai walinya (Musnad Ahmad 5/347 No. 22995, dan masih ada beberapa hadits yang berbeda redaksinya, namun memiliki makna yang sama) Rasulullah mengucapkan kata-kata tersebut sambil mengangkat tangan Ali. Peristiwa ini terjadi pada 18 Dzulhijah (10 Maret 632M), setelah melakukan Haji Wada, di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum, yaitu suatu tempat antara Mekah dan Madinah. Menurut Jafari, The event is, however, not recorded by some of those Sources. which are commonly used for the study of the life of the Prophet, such as Ibn Hashim, Tabari, and Ibn Sa'd. They either pass in silence over Muhammad's stop at Ghadir Khum, or, if they mention it, say nothing of this tradition. 4 (Peristiwa itu tidak dicatat oleh sebagian sumber-sumber rujukan yang biasa digunakan untuk studi mengenai kehidupan Rasulullah, seperti Ibnu Hashim, Tabari, dan Ibnu Sa'd. Mereka melewatkan peristiwa berhentinya Rasulullah di Ghadir Khum, jika mereka menuliskannya maka sia-sialah tradisi ini). Lebih lanjut menurut pendapat Jafari mengutip Vecca Vaglieri the attitude of these few writers in that they evidently feared to attract the hostility of the Sunnis, who were in power, by providing material for the polemic of the Shi'is, who used these words to support their thesis of 'Ali's right to the caliphate. Consequently, the western biographers of Muhammad, whose work is based on these sources, equally make no reference to what happened at Ghadir Khum. 5 (Sikap beberapa penulis ini, yang secara nyata takut menimbulkan permusuhan dari aliran Sunni yang berkuasa, apabila menyajikan materi
4

Sayyid Husayn Muhammad Ja'fari, The Origins and Early Development of Shia Islam (electronic Jafari, The Origins and Early Development of Shia Islam, hal. 22

version), (Republik Islam Iran : Ansariyan Publications, tanpa tahun), hal. 22


5

yang berpolemik dengan Syiah, yang mana menggunakan tulisan-tulisan tersebut untuk mendukung hak-hak Ali sebagai khalifah. Konsekuensinya, penulis biografi Muhammad dari dunia barat, yang juga mendasarkan tulisannya pada sumber-sumber ini, sama-sama tidak mereferensikan mengenai apa yang terjadi di Ghadir Khum). B. Ajaran-Ajaran Syiah Dan Sekte-Sekte Derivasinya 1. Ajaran-Ajaran Syiah a. Pandangan Teologi Keberadaan imam bukan hanya penting untuk menerangkan syariah dan menyempurnakan apa yang telah dimulai oleh Rasulullah. Tetapi juga penting untuk menjaga syariah dan memeliharanya dari kelenyapan serta mencegahnya dari adanya penyimpangan dan kesesatan. Dalam perkembangannya selain memperjuangkan hak kekhalifahan, Syiah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkaitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni : tauhid (kepercayaan kepada keesaan Allah); nubuwwah (kepercayaan kepada kenabian); maad (kepercayaan akan adanya hidup di akhirat); imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan ahlul bait); dan adl (keadilan Ilahi). Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat Syiah meyakini bahwa Allah swt. tidak dapat dilihat dengan kasat mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Syiah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnembawa kepada kemusyrikan.

Pandangan Mengenai Kasab (Upaya Manusia) Tuhan memang yang menghendaki manusia bebas dalam perbuatanperbuatannya, karena Dia ingin menguji dan membawa manusia ke jalan kesempurnaan. Sebab manusia tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali dengan kebebasan berkehendak (f'ree will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri; itu karena perbuatan yang dipaksakan dan di luar kemauan seseorang tidak menggambarkan apakah ia baik atau buruk. Jika manusia bersifat terpaksa dalam perbuatan-perbuatannya, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Tuhan. Inilah yang diajarkan Syiah bahwa manusia tidak jabr (mutlak terpaksa) dan tidak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di antara keduanya. Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya (Ushul al-Kafi, I, hal.92) Tidak Ta'thil dan Tidak Pula Tasybih Syiah meyakini bahwa ta'til ma'rifatullah atau anggapan tidak ada jalan untuk mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya adalah pendirian yang keliru. Demikian pula tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Bahkan menurut Syiah, tasybih adalah perbuatan yang sesat dan syirik. Dengan kata lain, Syiah mengatakan bahwa Allah swt. dapat diketahui dan jalan untuk mengenal-Nya tidak tertutup. Demikian pula Syiah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai keserupaan dengan makhluk-Nya. b. Imamah (Khalifah / Wilayah) Adapun inti dari paham Syiah yang paling menonjol adalah mengenai imamah (wilayah) adalah : 1) Pangkat khalifah pengganti Rasulullah sesudah Rasulullah wafat diwarisi oleh ahli waris Rasulullah dengan jalan tunjukan dari Nabi. Yang ditunjuk

oleh Rasulullah Muhammad saw. sesudah wafatnya adalah Ali bin Abi Thalib. 2) Khalifah yang dalam istilah Syiah Imam, adalah pangkat yang tertinggi dalam Islam dan menjadi salah satu rukun dan tiang Islam. Karena itu imam harus ditunjuk oleh Rasulullah dan imam-imam yang lain ditunjuk pula oleh imam itu. 3) Khalifah (Imam) itu menurut paham Syiah adalah mashum, artinya tidak pernah membuat dosa dan tidak boleh diganggu-gugat dan dikritik, karena ia adalah pengganti Rasulullah yang sama kedudukannya dengan Rasulullah. c. Metode Istinbath (Pengambilan Dasar Hukum) Kalangan Syiah punya Ushul Fikih tersendiri dan kaidah-kaidah istinbath yang banyak perbedaannya dari kalangan sekte Sunni yang sudah ada. Syiah mempunyai imam yang menjadi marja (panutan) mereka dalam hal yang berkaitan dengan urusan ajaran agama. Umumnya kalangan Syiah mempunyai dasar tersendiri dalam melakukan Istinbath hukum, yaitu berpijak pada Alkitab (Alquran), Sunnah, Ijma dan Akal. Alkitab atau Alquran dalam pandangan Syiah tidak jauh beda dengan ulama lainnya. Alquran adalah sumber utama dari segala corak pemikiran Islam. Alquranlah yang memberikan kesahan dan kewenangan kepada segala sumber keagamaan yang lain dalam Islam. Oleh karena itu harus dipahami oleh semua orang. Sunnah bagi Syiah berbeda dengan apa yang difahami oleh kalangan jumhur ulama Sunni. Tentang sunnah yang dimaksudkan oleh Syiah adalah segala sesuatu yang diucapkan, dikerjakan oleh orang-orang yang mempunyai sifat mashum yang berhubungan dengan penetapan hukum serta penjelasanpenjelasannya. Yang mereka maksudkan dengan sifat mashum disini ialah Rasulullah Muhammad dan para imam mereka. Adapun cara kaum Syiah dalam mengikuti hadits yaitu hadits yang langsung didengar dari Rasulullah atau dari salah seorang imam. Mengenai hadis

yang diterima melalui perantara, kebanyakan orang-orang Syiah menerimanya apabila sanad atau mata rantai penyampaiannya meyakinkan, atau ada bukti yang pasti mengenai kebenarannya. Sedangkan yang dimaksudkan dengan ijma sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijma yang berasal dari imam-imam mereka yang mashum. d. Taqiyah Syeikh Al-Mufid mengartikan taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran, menutupi keyakinan, demi maslahat agama atau dunia 6. Imam Khomeini menyebutkan bahwa taqiyah merupakan syariat. Kewajiban berpegang dengan konsep taqiyyah dalam setiap perkara, kecil maupun besar. Sesungguhnya taqiyyah telah disyariatkan untuk memelihara diri sendiri dan orang lain dari kemudaratan di bidang cabang-cabang hukum. Tetapi apabila Islam seluruhnya berada dalam keadaan genting maka tiada tempat lagi untuk berlindung dan berdiam diri 7. e. Mutah Mutah adalah perkawinan temporer, atau disebut juga kawin kontrak. Sekte Syiah membolehkan adanya mutah, dengan mendasarkan argumennya pada QS. An-Nisa : 24.8 Berbeda dengan pemahaman Sunni yang telah menganggap kebolehan mutah telah dimansukh pada peristiwa Khaibar. Yang masyhur di kalangan Syiah, yang mengharamkan mutah adalah Umar bin Khattab, itulah sebabnya Syiah tidak menerima pengharaman tersebut. Menurut Jafari Another problem was that of mut'a (temporary marriage), over which the Shi'i and Kufan jurists differed, the former allowing it on the
6

Muhammad bin Muhammad bin Numan (Syeikh Mufid), Tashhih Itiqad Al-Imamiyah (versi Imam Khomeini, Al-Hukumah Al-Islamiyyah (versi elektronik), (Najf : tanpa penerbit, 1389H), Sayid Husein Al-Musawi, Lillaahi tsumma li at-Tarikh, Edisi Terjemah : Mengapa Saya

elektonik), (tanpa penerbit : tanpa tahun), hal. 137


7

hal. 142
8

Keluar Dari Syiah? Penterjemah Iman Sulaiman, Lc (Jakarta : Pustaka Kautsar, 2003), hal. 43

10

authority of 'Ali, the latter forbidding it, referring to the decision of Umar. The argument was that if 'Umar could revoke a permission granted by the Prophet, then 'Ali could revoke a ruling of 'Umar. 9 (Masalah lainnya yaitu mengenai mutah (kawin temporer / kontrak) yang mana ada perbedaan pandangan antara Syiah dan penduduk Kufah. Kelompok pertama membolehkan atas dasar otoritas Ali, sedangkan kelompok yang terakhir menolaknya, dengan mendasarkan kepada keputusan Umar. Argumentasinya adalah sebagai berikut, jika Umar bisa membatalkan sesuatu kebolehan yang berasal dari Nabi, maka demikian juga Ali bisa membatalkan peraturan yang dikeluarkan Umar). f. Khumus Menurut Imam Khomeini, khumus (yaitu cukai seperlima dari pendapatan) merupakan sumber keuangan besar yang menyumbang kepada Baitul Mal hartaharta yang banyak dan menampung sebagian besar Baitul Mal. Menurut mazhab Syiah cukai seperlima itu diambil dari semua perolehan, manfaat dan keuntungan, baik dari pertanian, perniagaan, galian dan harta karun. Seorang penjual sayursayuran juga mengeluarkan cukai seperlima itu manakala ia memperolehi lebih dari keperluan tahunannya sesuai dengan dasar ajaran syariat dalam masalah perbelanjaan, sebagaimana juga kapten kapal dan orang yang memperoleh harta karun dan galian turut mengeluarkannya. Disumbangkan seperlima dari kelebihan keuntungan kepada Imam atau pemerintahan Islam untuk disalurkan kepada Baitul Mal. 10 g. Tahrif Mengenai tahrif atau pengurangan pada ayat-ayat Alquran, ada 3 pandangan dalam sekte Syiah, yaitu (1) sebagian kecil meyakini bahwa Alquran yang ada pada umat muslim sama persis ketika diturunkan dan yakin bahwa Allah menjaganya; (2) sebagian besar meyakini bahwa Alquran itu sama seperti
9 10

Jafari, The Origins and Early Development of Shia Islam, hal. 219 Imam Khomeini, Al-Hukumah Al-Islamiyyah, hal 29

11

diturunkan namun mengalami perubahan dalam redaksi susunannya; dan (3) sebagian lagi meyakini bahwa Alquran yang ada di tangan sebagian besar kaum muslim, telah mengalami tahrif yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Al-Kulaini sebagaimana derajat Imam Bukhari dalam sekte Sunni menyebutkan dalam kitabnya Ushul Kaafi : Abu Basyir berkata, Aku berada di sisi Imam Shadiq as dan aku berkata, Apa mushaf Fathimah itu? Beliau menjawab, Mushaf yang tebalnya tiga kali Alquran yang ada di tanganmu. Namun, demi Allah! Tidak satu kata pun dari Alquran ada di dalamnya. h. Rajah Rajah adalah keyakinan hidupnya kembali pada orang meninggal. Ahli tafsir Syiah, Al-Qummi menafsirkan QS. An-Nahl:85 sebagai rajah. Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah rajah, kemudian menukil dari Husain bin Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: Nabi kalian dan Amirul Mukminin (Ali bin Abu Thalib) serta para imam as akan kembali kepada kalian 12 i. Al-Bada Al-Bada adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Syiah berkeyakinan bahwa Al-Bada ini terjadi pada Allah. Al-Kulaini dalam Ushul Kaafi meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada. 13 2. Sekte-Sekte Syiah dan Derivasinya Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah.
11

11

Muhammad bin Yaqub Al-Kulaini, Ushul Kaafi Jilid 1 (versi elektronik), (Beirut: Mansyurat Muhammad Shohibul Imam, Mengurai Pemikiran Islam Dalam Perspektif Sunny Syiah, Ad-Din Muhammad bin Yaqub Al-Kulaini, Ushul Kaafi, hal. 85

Al-Fajr, 2007), hal. 141


12

, Vol. 2 No 1 (Januari-Juli 2008), hal. 55


13

12

Dan diantara golongan Syiah yang sanggup mempertahankan kelompoknya sampai sekarang ini ialah golongan Kisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah (Itsna Asyariyah), Ghulat / Sabaiyah, dan Sabiyah / Ismailiyah. hubungan mereka dengan para pengaku Syiah. a. Kisaniyah Sekte Syiah ini dinisbatkan kepada Kisan, mantan sahaya Ali bin Abi Thalib. Ia pernah belajar kepada Muhammad bin Hanafiyah, karena itu ilmunya mencakup berbagai pengetahuan. Kelompok ini meyakini Muhammad bin Hanafiyah sebagai imam, meskipun Muhammad bin Hanafiyah sendiri tidak mendeklarasikan diriya sendiri sebagai imam, dan meyakini bahwa beliau tidak wafat melainkan menghilang dan bersembunyi di pegunungan Radwa dekat Madinah. Sekte ini meyakini tentang adanya rajah yaitu hidup kembali setelah kematian. Dalam imamah mereka bisa menerima imam selain dari keturunan Ali, namun imamah pada akhirnya akan dipegang oleh keturunan ahlu bait. b. Zaidiyah Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam kelima, setelah Ali bin Abi Thalib. Aliran ini yang paling dekat dengan kepada jamaah Islam (Sunni) dan paling moderat karena tidak mengangkat para imam ke derajat kenabian. Namun, mereka menganggap para imam sebagai manusia paling utama setelah Rasulullah Muhammad. Aliran Zaidiyah tidak berkeyakinan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Rasulullah telah ditentukan nama dan orangnya oleh Rasul, tetapi hanya sifat-sifatnya saja. Namun, sifat-sifat yang disebutkan itu telah membuat Ali sebagai orang yang pantas menjadi imam setelah Rasulullah wafat, karena sifat-sifat itu tidak dimiliki orang lain.
14

Kepercayaan-

kepercayaan golongan tersebut mengalami perkembangan, karena hubungan-

14

Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, hal 124

13

Syiah Zaidiyah juga berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khatab adalah sah dari sudut pandang Islam. Dalam pandangan mereka, jika ahl al hall wa al-aqd telah memilih seorang imam dari kaum muslim, meskipun ia tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan oleh Zaidiyah dan telah dibaiat oleh mereka, keimanannya menjadi sah. Zaidiyah tidak mencela dan mengutuk Abu Bakar dan Umar. Atas penerimaan Zaid bin Ali terhadap kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, maka sebagian pengikutnya menolak ajaran tersebut, dan memisahkan diri menjadi sekte yang disebut Rafidhah. Sebutan ini diambil dari kata yang diucapkan Zaid bin Ali Engkau menolakku, engkau menolakku. c. Sabiyah / Ismailiyah Istilah Syiah Sabiyah (Syiah Tujuh) dianalogikan dengan syiah Istna Asyariyah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syiah Sabiyah hanya mengakui tujuh imam, yaitu Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Jafar Ash-Shadiq, dan Ismail bin Jafar AshShadiq. Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Jafar AshShadiq, Syiah Sabiyah disebut juga Syiah Ismailiyah. Berbeda dengan Syiah Sabiyah, Syiah Itsna Asyariyah membatalkan Ismail bi Jafar sebagai imam ketujuh karena disamping memiliki kebiasaan tak terpuji juga karena dia wafat (143 H/760M) mendahului ayahnya, Jafar (w. 765). Sebagai penggantinya adalah Musa Al-Kazim, adik Ismail. Syiah Sabiyah menolak pembatalan tersebut, berdasarkan sistem pengangkatan imam dalam Syiah dan menganggap Ismail sebagai imam ketujuh dan sepeninggalnya diganti oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Ismail. d. Ghulat / Sabaiyah Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw artinya bertambah dan naik. Syiah Ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang

14

memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim. Syiah ini dipelopori oleh Ibnu Saba, yaitu seorang Yahudi dari Yaman yang masuk Islam, yang menunjukkan keislamannya secara berlebihan. Oleh karena itu Syiah Ghulat disebut juga Sabaiyah yang dinisbatkan kepada Ibnu Saba. Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syiah Ghulat adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Muhammad. Gelar ekstrim (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada beberapa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan juga ada beberapa orang yang dianggap Rasul setelah Rasulullah Muhammad. e. Imamiyah Dinamakan Syiah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik. Yakni Ali berhak menjadi khalifah bukan hanya karena kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi juga karena ia telah ditunjuk nash dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw. Ide tentang hak Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan khalifah telah ada sejak Rasulullah wafat. Syiah Imamiyah juga dinamai dengan Itsna Asyariyah. Disebut Itsna Asyariyah karena mereka mempunyai dua belas imam, Kedua belas imam yang mereka yakini itu adalah: 1.Ali bin Abi Thalib, 2. Hasan bin Ali, 3. Husain bin Ali, 4. Ali Zainal Abidin, 5. Muhammad al-Baqir 6. Jafar alShadiq, 7. Musa al-Khadim, 8. Ali al-Ridha 9. Muhammad al-Jawwad, 10. Ali al-Hadi, 11. Al-Hasan al-Askari, 12. Muhammad al-Muntadhar. Nama dua belas (Itsna Asyariyah) ini mengandung pesan penting dalam tinjauan sejarah, yaitu golongan ini terbentuk setelah lahirnya kedua belas imam yaitu kira-kira pada tahun 260 H/878 M. Menurut keyakinan Syiah dua belas (Imamiyah), imam yang terakhir ini menghilang di dalam

15

gua semenjak kecil sehigga tidak memiliki keturunan dan dengan demikian silsilah keimanan terhenti padanya. Sekitar pertengahan abad ke-2 H, Syiah Imamiyah telah menciptakan sebuah model kehidupan dunia untuk terus menerus mengharapkan sebuah zaman yang lain. Di tengah perlawanan terdapat sejumlah rezim politik yang terbentuk, sehingga paham Syiah Imamiyah menjadi sebuah agama kedamaian. Kedamaian ini bisa tercapai dengan menjalankan hidup serasi melalui hadits Rasulullah dan hadits-hadits para imam melalui penyerapan emosional kesyahidan mereka. Dengan konsolidasi sejumlah keyakinan doktrinal mereka dalam bentuk tulisan, pengembangan kehidupan publik dan dengan pengakuan politik oleh otoritas yang sedang berkuasa. Maka Syiah menjadi sebuah komunitas di dalam tubuh islam di Iran, Yaman, dan Irak bagian selatan.

Anda mungkin juga menyukai