Anda di halaman 1dari 5

BAB I PENDAHULUAN Pemekaran Daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten

dari induknya. Landasan hukum untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pembentukan provinsi baru ini dapat didasari atas beberapa hal; misalnya kondisi alam dan ekonomi, keadaan sosial masyarakat, keterkaitan beberapa kabupaten/kota dalam suatu kesatuan sejarah, suku bangsa dan budaya, dan lain sebagainya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran daerah adalah sejalan dengan semangat otonomi daerah; beberapa provinsi dianggap memiliki wilayah terlalu luas sehingga diperlukan upaya untuk memudahkan pelayanan administrasi dan pemangkasan birokrasi dari ibu kota provinsi ke daerah dengan cara pemekaran, yaitu dengan penyatuan beberapa kabupaten/kota menjadi provinsi baru. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, diisyaratkan bahwa dalam pembentukan pemerintah daerah yang baru didasari kepada persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan, termasuk kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Secara administratif paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan suatu provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan suatu kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota termasuk lokasi calon ibu kota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

BAB II ISI Pola identifikasi sosio-kultural semacam itu memang bisa menjadi salah satu sub-poin syarat teknis dalam tiga syarat yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 untuk pemekaran wilayah. Identitas Jawa dalam kultur masyarakat Cirebonan memang berbeda dari kultur masyarakat Pasundan di Jawa Barat. Amin Maalouf, penyair Lebanon, pun menuturkan dalam In The Name of Identity-nya bahwa identitas baik itu suku, ras, agama, wilayah dan segala macam identitas yang melekat pada manusia bisa menjadi sumber konflik. Konflik dalam kasus ini bisa ditafsirkan soal akulturasi yang menghambat pembangunan daerah. Jadi pemisahan wilayah Cirebon dari Jawa Barat bisa menjadi satu wacana yang argumentatif. Sayangnya diskursus Sunda dan non-Sunda dalam hubungan masyarakat di Jawa Barat tidak bisa menjadi satu-satunya alasan yang membenarkan soal pemekaran wilayah Cirebon. Sebagaimana PP diatas, soal kulutural hanya menempati sub poin dalam tiga syarat proses pemekaran. Tiga syarat itu diantaranya: syarat administratif, syarat teknis, dan syarat kewilayahan. Syarat administratif merupakan awal dimana wacana pemekaran itu merupakan usulan masyarakat yang ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah setempat. Selanjutnya syarat teknis, yakni syarat yang didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan. pemerintahan. Terakhir, persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah yang meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana

Masalah yang kemudian muncul adalah dalam PP 78 tahun 2007, jika dibaca kembali, tercantum syarat pembentukan daerah baru yakni kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, serta pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat itu tidak operasional, misalnya mengenai kemampuan ekonomi. Kemampuan ekonomi yang sejauh manakah agar satu daerah bisa dikatakan layak untuk berdiri sendiri sebagai satu daerah otonom baru? Sehingga persoalan indikator ini bisa diselesaikan lewat jalur lobi politik antara elit daerah dengan elit pusat. Terbentuknya daerah otonom baru (DOB), sejak awal pembentukannya sudah memakan anggaran daerah. Setelah DOB ini terbentuk terciptalah ruang kosong kekuasaan, birokrasi dan tata pemerintahan daerah yang baru. Implikasinya, alokasi belanja pegawai di APBN semakin membengkak yang secara otomatis akan mengurangi alokasi belanja publik. Padahal, sumber daya yang dipakai ataupun hasilnya terkadang belum tentu lebih baik dari sebelumnya. Hal ini mengingat sepanjang sepuluh tahun, dari 1999 hingga 2009, daerah otonomi di Indonesia terus bertambah sebanyak 205, terdiri dari tujuh provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Penambahan ini membuat jumlah daerah otonomi di Indonesia kian banyak, menjadi 524 daerah, terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Selain itu, berdasarkan hasil pemekaran wilayah tersebut didapat bahwa 50 persen lebih DOB yang gagal untuk berotonomi secara mandiri. Ini tentu menjadi sarana evaluasi dan refleksi bagi Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) selaku lokomotif penggagas pemekaran. Jangan sampai stempel sebagai bureaucratic and political rent-seeking melekat erat kepada para penggagas. Istilah itu dinisbatkan pada kondisi daerah otonom baru dimana para elit memperoleh kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari pemekaran wilayah, baik dana secara langsung maupun kekuasaan. Untuk membentuk satu provinsi baru jelas begitu repot dan sangat merepotkan. Rencana pendirian Provinsi Cirebon misalnya saat ini masih

menghadapi keengganan masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka untuk bergabung. Sedangkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah memberikan lampu hijau bahkan sebentar lagi akan memberikan persetujuan. Namun aspirasi masyarakat Kabupaten Kuningan dan Majalengka harus tetap mendapat perhatian, tidak boleh ada unsur pemaksaan untuk mengikuti keinginan elit yang ada di Kota Cirebon. Jika perlu selenggarakan referendum untuk menentukan sikap, apakah ingin tetap bergabung dengan Provinsi Jawa Barat atau menyetujui pembentukan Provinsi Cirebon. Jika hasil referendum dimenangkan oleh masyarakat yang menyetujui pembentukan Provinsi Cirebon, maka dengan sendirinya rencana pembentukan bisa berlangsung mulus. Namun jika opsi tetap dalam lingkup Provinsi Jawa Barat yang menang, maka Panitia Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) perlu menempuh upaya lain. Sebagaimana ditetapkan Undang-undang, bahwa sebuah Provinsi harus memiliki minimal 5 kabupaten dan atau kota, maka untuk memenuhi aturan tersebut, perlu ditempuh langkah pemekaran terlebih dahulu. Dalam Hal ini Kabupaten Indramayu dimekarkan menjadi Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Indramayu Barat , sementara Kabupaten Cirebon dimekarkan menjadi Kabupaten Cirebon dan Kabupatern Cirebon Timur. Ditambah Kota Cirebon, maka akan tersedia lima kabupaten dan kota.

BAB III KRITIK DAN SARAN Pemekaran Provinsi Cirebon dari sisi ekonomi dan pemerataan infrastruktur sebenarnya sangat baik karena dengan adanya pemekaran tersebut maka akan terjadi pembangunan infrastruktur di Provinsi Cirebon mulai dari infrastruktur pemerintahan dan infrastruktur publik, sehingga dengan pemerataan pembangunan maka akan meningkatkan kesejahteraan masyrakat Provinsi Cirebon. Tetapi sebenarnya Provinsi Cirebon tidak harus terjadi, bila dari sisi ekonomi sebenarnya untuk memeratakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak harus dengan adanya pemekaran wilayah. Untuk memeratakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebenarnya tergantung kepada kebijakan Provinsi Jawa Barat, misalnya mengingat Cirebon merupakan PKN (Pusat Kegiatan Nasional) sehingga bisa dijadikan wilayah dengan prioritas pembangunan di Jawa Barat. Dengan dijadikannya Cirebon sebagai wilayah prioritas pembangunan maka akan terjadi pemerataan pembangunan dan secara tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, perbedaan budaya antara Provinsi Jawa Barat dan Cirebon yang merupakan salah satu alasan terjadinya pemekaran sebenarnya tidak terlalu dipermasalahkan, justru itu dapat dijadikan suatu potensi dalam kebudayaan dan pariwisata di Provinsi Jawa Barat. Dengan adanya variasi budaya di Provinsi Jawa Barat maka akan menambah daya tarik budaya dan pariwisata di Provinsi Jawa Barat sehingga dengan adanya daya tarik ini akan meningkatkan jumlah wisatawan dan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah utara Provinsi Jawa Barat.

Anda mungkin juga menyukai