Anda di halaman 1dari 3

Tanda-Tanda Syirik dalam Penyakit Kikir!

Kamis, 2013 Februari 07 13:26

Tidak ada dosa seperti sifat kikir yang begitu berdampak buruk kepada orang-orang yang berada di sekeliling orang kikir. Bila dosa yang lain, setidak-tidaknya pelaku dosa merasakan kelezatan dari apa yang dilakukannya, tapi orang yang kikir dari satu sisi ia sendiri dalam kondisi tersiksa, di sisi lain orang-orang yang berada di sekelilingnya tersiksa olehnya. Allah Swt dalam ayat 75-77 surat at-Taubah berfirman, "Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orangorang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta." Untuk menghindari penyakit kikir dan sifat buruk lainnya, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenal sifat itu. Mengenai apa itu kikir, biasanya benak setiap orang yang mendengarnya langsung berpikiran tentang harta dan kekayaan. Arti makna "bukhl" atau kikir dalam bahasa Arab berarti mencegah, menahan dan tidak membelanjakan. Dengan pengertian seperti ini, kata bukhl itu bisa berarti baik dan positif. Imam Ali as berkata, "Siapa yang bakhil (kikir) dalam hartanya dan tidak membelanjakannya, maka ia akan terhina dan siapa saja yang bakhil dalam agamanya dan tidak membelanjakannya, maka ia akan beruntung dan jaya." Melepaskan diri dari arti bahasanya, sebagai sifat buruk, bagaimana kita memaknai dan apa ukurannya seorang disebut kikir? Sebagian orang menyebut batasan kikir itu tidak membelanjakan hal-hal yang wajib. Artinya, seorang yang kikir itu tidak membayar dan mengeluarkan hartanya untuk hal-hal yang wajib baginya.

Sebagian lain menyebut kikir adalah sulit memberi dan orang yang kikir adalah orang yang sulit mengeluarkan harta. Tapi definisi ini tidak sesuai dan juga tidak detil. Karena betapa banyak orang kikir memberikan sesuatu yang tidak bernilai miliknya kepada orang lain dan betapa banyak orang dermawan yang sulit memberikan barang bernilainya seperti jam tangan dan lain-lain. Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin dan Faidh Kasyani dalam buku al-Mahajjah al-Baidha mendefinisikan kikir dengan harta atau kekayaan harus dibelanjakan atau dikeluarkan dengan cara tertentu. Membelanjakan uang dan harta di tempat yang tidak tepat dengan ukuran yang juga tidak tepat merupakan israf dan penghambur-hamburan dan tidak mengeluarkan uang atau kekayaan di tempat yang seharusnya terhitung kikir. Di tengahtengah dari dua kondisi ini; israf dan bukhl merupakan hal yang dianjurkan dan diterima oleh Islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat 67 surat al-Furqan, "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." Bakhil adalah orang yang menolak hukum syariat atau hukum kehormatan (muruwah) dan tidak memberi di tempat yang harus dilakukannya. Dengan kata lain, seorang yang kikir adalah orang yang tidak mengeluarkan hartanya dalam tujuan yang lebih penting dari melindungi harta, baik tujuannya untuk melindungi agama (memberikan khumus, zakat dan lain-lain), untuk melindungi keselamatan, kehormatan dan lain-lain. Sebab dan akar penyakit kikir Apakah seseorang yang menyembunyikan makanan yang bagus dari tamunya, ia adalah orang kikir dan sesuai dengan ayat-ayat al-Quran ia dikategorikan sebagai penghuni surga? Bila sifat kikir tidak merasuk ke dalam diri seseorang dan perilaku kikir itu terkadang muncul, maka ia tergolong kikir. Tapi janji azab bagi orang kikir yang telah dijelaskan dalam al-Quran bagi orang-orang yang sifat kikirnya sudah menjadi karakternya. Motifasi yang membuat orang bersifat kikir adalah berburuk sangka kepada Allah Swt. Bila ia memberi dan memenuhi kebutuhan saudara seagamanya, maka ia akan mengatakan bahwa saya telah membantu orang lain dan sekarang giliran Allah Swt untuk membantuku. Artinya, seseorang yang memiliki sifat kikir pasti ada secercah kekafiran atau kesyirikan dalam dirinya. Ketika ia berkata, "Lalu apa yang harus kulakukan?", seakan-akan tidak ada Allah dan hanya ada dirinya. Imam Ali as mengatakan, "Bersifat kikir dengan harta yang dimiliki merupakan tanda buruk sangka seseorang kepada Allah Swt." Al-Quran menjelaskan beberapa faktor sebagai sarana yang memunculkan sifat kikir pada diri manusia. Faktor paling penting kembali pada manusia yang tidak memperhatikan kepemilikan Allah dan ketidakbutuhan-Nya. Tidak mengenal diri dan Allah dengan baik dan benar membuat manusia merasa sombong dan memamerkan apa yang dimilikinya dan terkadang membuat manusia takut miskin. Manusia yang tidak memiliki pengetahuan tentang Allah dan kepemilikan mutlak-Nya akan beranggapan bahwa bila ia membelanjakan hartanya dan membantu orang lain, maka ia mungkin akan jatuh miskin. Dalam kondisi ini, sifat kikir semakin menguat dalam dirinya yang mendorongnya berusaha untuk tidak jatuh miskin. Dengan demikian, orang-orang Kafir senantiasa takut menjadi miskin dan tidak siap mengeluarkan hartanya dan berinfak.

Sombong dan berbangga-bangga juga merupakan faktor lain yang menumbuhkan sifat kikir dalam diri manusia. Siapa saja yang merasa dirinya lebih dari yang lain dan tidak membutuhkan akan membanggakan dirinya dan sombong agar mendapat ucapan syukur atau kasih sayang orang lain. Oleh karenanya, bersifat kikir dan berpesan kepada orang lain agar bersifat kikir merupakan tanda-tanda orang sombong dan bangga dengan dirinya. Al-Quran mengatakan, "(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan." (QS. an-Nisa: 37) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

Anda mungkin juga menyukai