Anda di halaman 1dari 4

Evaluasi Penegakan Diagnosis Kini Diagnosis dari lepra biasanya berdasarkan dari beberapa parameter klinis yang berbeda,

namun melibatkan pemeriksaan mendalam dari lesi pada kulit dan syaraf perifer. Keberadaan dari Bakteri Tahan Asam pada spesimen kulit dengan perwarnaan Ziehl- Neelsens juga merupakan penanda diagnosis Lepra. (Naik dkk, 2011) Kenyataannya, tanda klinis pada lepra tingkat awal hanya menunjukkan kenampakan kulit yang lembut, mengkilat, dan berminyak, tanpa tanda kardinal yang khas. Sehingga penegakan diagnosis akan sulit tanpa didukung oleh penemuan bakteri yang positif. Sama hal nya pada diagnosis Lepra jenis Borderline dan Lepromatous, juga membutuhkan konfirmasi positif dari spesimen kulit. Padahal jenis tersebut merupakan penyebab utama dalam penyebaran infeksi lepra dalam komunitas. (Naik dkk, 2011) Umumnya penegakan diagnosis tiap jenis lepra menggunakan klasifikasi WHO atau dengan melakukan tes Lepromin; 1. Klasifikasi WHO Klasifikasi membagi lepra menjadi dua kategori, multibasilar dan pausibasilar. Jenis lepra dikategorikan multibasilar apabila memiliki Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+. Sedangkan jenis pausibasilar memiliki IB kurang dari 2+. (A. Kosasih, 2008)

Tabel Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) PB 1. Lesi Kulit (makula datar, papul yang meninggi, nodus) 1-5 Lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris Hilangnya sensasi yang jelas MB >5 Lesi Distribusi lebih simetris Hilangnya sensasi kurang jelas 2. Kerusakan syaraf (menyebabkan hilangnya oror oleh Hanya satu cabang syaraf Banyak cabang syaraf

sensasi/kelemahan yang dipersyarafi

syaraf yang terkena)

Tabel Scala Logaritma Ridley Indeks Bakteri Indeks Bakteri (IB) 1. 1+ 2. 2+ 3. 3+ 4. 4+ 5. 5+ 6. 6+ 1-10 bakteri pada 100 lapang minyak emersi 1-10 bakteri pada 10 lapang minyak emersi 1-10 bakteri pada lapang minyak emersi 10-100 bakteri pada lapang minya emersi 100-1000 pada lapang minyak emersi >1000 pada lapang minyak emersi

2. Tes Lepromin Tes ini pertama kali dipublikasikan oleh Kensuke Mitsuda, yang membuat penelitian untuk reaksi lepromin.Ide aslinya adalah untuk menemukan sebuah tes untuk membedakan pasien lepra dan yang bukan lepra. Dalam penelitiannya, Mitsuda menemukan hasil tesnya berbeda tergantung tipe lepra. Mitsuda memaparkannya pada 3rd International Leprosy Congress di Prancis tahun 1923 namun hanya mendapat

sedikit perhatian.Tes ini bertujuan untuk menentukan tipe lepra yang diderita pasien namun tidak direkomendasikan sebagai cara utama untuk menegakkan diagnosis lepra.

Bakteri lepra yang sudah di inaktifasi disuntikkan kebawah kulit, biasanya pada daerah lengan sehingga menyebabkan tonjolan kecil pada kulit. Setelah itu tempat penyuntikan diberi tanda, dan diperiksa pada hari ke 3 dan selanjutnya pada hari ke 28. Orang yang tidak mengidap lepra akan tidak terdapat atau hanya sedikit reaksi terhadap antigen. Pasien dengan tipe Lepromatous leprosy juga tidak terdapat reaksi pada antigen yang disuntikkan. Reaksi pada kulit akan ditemukan pada pasien dengan lepra tuberkuloid atau lepra borderline tuberkuloid.Risiko pada pemeriksaan ini sangat minimal dengan kemungkinan kecil terjadi reaksi alergi yang akan menyebabkan gatal. (Vorvick, 2011) Diagnosis Baru Saat ini berkembang jenis modifikasi baru dari penegakan diagnosis lepra. Khususnya dalam membedakan jenis lepra. Klasifikasi ini menggunakan skala logaritma Ridley sebagai acuan, yang dimodifikasi seedemikan rupa. Macam pengembangan logaritma ini dapat membedakan jenis Lepromatois dan Borderline. Apabila hasil pemeriksaan spesimen pasien dari lokasi yang terpapar lepra menunjukkan hasil yang positif, sedangkan hasil dari pemeriksaan pada lokasi yang tidak terpapar menunjukkan hasil negatif, maka kelompok tersebut digolongkan pada jenis Borderline. Sebaliknya, apabila hasil pemeriksaan spesimen pasien dari lokasi yang terpapar lepra

menunjukkan hasil positif dan pada pemeriksaan lokasi yang tidak terpapar menunjukkan hasil yang positif, maka kelompok tersebut digolongkan pada jenis Lepromatous. (Naik dkk, 2011) Ridley dan Jopling mengklasifikasikan lepra ke dalam berbagai tepe dan bentuk, yaitu: (A. Kosasih, 2008) 1. TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil 2. Ti: Tuberkuloid indefinite 3. BT: Borderline tuberculoid 4. BB: Mid borderline 5. BI: Borderline lepromatous 6. Li: Lepromatous indefinite

7. LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil Apabila dikonversikan dalam klasifikasi WHO, maka yang termasuk dalam tipe multibasiler adalah LL, BL, dan BB. Sedangkan yang termasuk dalam tipe pausibasiler adlah tipe i, TT dan BT. (A. Kosasih, 2008) Pembahasan Diagnosis Baru dan Kini Pada dasarnya, diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambara klinis, bakterioskopik, dan histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 meint, sedangkatn histopatologik 10-14 hari. Namun penegakan diagnosis hanya berdasarkan dengan melihat tanda kardinal dari lepra tidak dapat mendeteksi dan membedakan lepra menurut jenis-jenis nya, terutama pada onset awal. Padahal penentuan tipe lepra perlu dilakukan adar dapat menetapkan terapi yang sesuai. Terutama dalam kaitannya untuk mengatasi lepra sebagai penyakit infeksi di komunitas luas. Penentuan jenis lepra dapat dilakukan dengan menggunakan tes lepramin. Apabila menggunakan tes lepromin untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Tentu jenis tes semacam itu tidak bisa digunakan dalam mengidentifikasi jenis lepra dengan cepat. Sebaliknya, penggunaan tes Bakterioskopis dengan skala logaritma Ridley dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mampu mengindikasikan pengobatan MDT yang sesuai.

Referensi: Vorvick, Linda. (2011). Lepromin Skin Test. University of Maryland Medical Center. Available at: http://www.umm.edu/ency/article/003383all.htm Kosasih A dkk. (2008). Kusta. Dalam FKUI, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI Naik, Vaishali B. (2011). Evaluation of Significance of Skin Smears in Leprosy for Diagnostis, Follow-up, Assesment of treatment outcome and relapse. Diunduh di http://www.pacificjournals.com/ajbor/pdf/06-2011/Naik%20et%20al_10.pdf pada tanggal 21 September 2011

Anda mungkin juga menyukai