Anda di halaman 1dari 4

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

A. KONDISI UMUM

Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mendukung pembangunan ekonomi, serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Secara umum status kesehatan dan gizi masyarakat telah menunjukkan perbaikan seperti dilihat dari angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan dan prevalensi gizi kurang. Angka kematian bayi menurun dari 46 (1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (2002-2003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334 (1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003). Umur harapan hidup meningkat dari 65,8 tahun (1999) menjadi 66,2 tahun (2003). Prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak balita, telah menurun dari 34,4 persen (1999) menjadi 25,8 persen (2002). Namun demikian, status kesehatan ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara ASEAN maupun berbagai komitmen global antara lain seperti pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs). Beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan antara lain adalah masih tingginya disparitas status kesehatan. Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat, akan tetapi disparitas status kesehatan antartingkat sosial ekonomi, antarkawasan, dan antarperkotaanperdesaan masih cukup tinggi. Selain itu, status kesehatan penduduk miskin masih rendah. Angka kematian bayi pada kelompok termiskin adalah 61 dibandingkan dengan 17 per 1.000 kelahiran hidup pada kelompok terkaya. Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan balita, seperti ISPA, diare, tetanus neonatorum dan penyulit kelahiran, lebih sering terjadi pada penduduk miskin. Penyakit lain yang banyak diderita penduduk miskin adalah penyakit tuberkulosis paru, malaria dan HIV/AIDS. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier). Demikian juga pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Penduduk miskin belum terjangkau oleh sistem jaminan/asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, yang sebagian besar di antaranya adalah pegawai negeri dan penduduk mampu. Walaupun Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah ditetapkan, pengalaman

managed care di berbagai wilayah menunjukkan bahwa keterjangkauan penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan belum cukup terjamin. Permasalahan penting lainnya yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan adalah terjadinya beban ganda penyakit. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare, dan penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan kanker. Selain itu Indonesia juga menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue (DBD), HIV/AIDS, chikunguya, Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS). Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burden). Sementara itu, kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan juga masih rendah. Pada tahun 2002, rata-rata setiap 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 3,5 puskesmas. Selain jumlahnya yang kurang, kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan di puskesmas masih menjadi kendala. Pada tahun 2003 terdapat 1.179 Rumah Sakit (RS), terdiri dari 598 RS milik pemerintah dan 581 RS milik swasta. Jumlah seluruh tempat tidur (TT) di RS sebanyak 127.217 TT atau rata-rata 61 TT melayani 100.000 penduduk. Walaupun rumah sakit terdapat di hampir semua kabupaten/kota, namun kualitas pelayanan sebagian besar RS pada umumnya masih di bawah standar. Pelayanan kesehatan rujukan belum optimal dan belum memenuhi harapan masyarakat. Masyarakat merasa kurang puas dengan mutu pelayanan rumah sakit dan puskesmas, karena lambatnya pelayanan, kesulitan administrasi dan lamanya waktu tunggu. Selanjutnya, Indonesia juga mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan. Pada tahun 2001, diperkirakan per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7,7 dokter umum, 2,7 dokter gigi, 3,0 dokter spesialis, dan 8,0 bidan. Untuk tenaga kesehatan masyarakat, per 100.000 penduduk baru dilayani oleh 0,5 Sarjana Kesehatan Masyarakat, 1,7 apoteker, 6,6 ahli gizi, 0,1 tenaga epidemiologi dan 4,7 tenaga sanitasi (sanitarian). Di samping itu jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan masyarakat masih belum memadai sehingga banyak puskesmas belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan ini diperburuk oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua per tiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali. Disparitas rasio dokter umum per 100.000 penduduk antarwilayah juga masih tinggi dan berkisar dari 2,3 di Lampung hingga 28,0 di DI Yogyakarta. Perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung peningkatan status kesehatan penduduk. Perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat dapat dilihat dari kebiasaan merokok, rendahnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi lebih pada balita, serta kecenderungan meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, penderita penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA) dan kematian akibat kecelakaan. Selain itu, masih rendahnya kondisi kesehatan lingkungan juga berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat. Pada tahun 2002, persentase rumah II.27 2

tangga yang mempunyai akses terhadap air yang layak untuk dikonsumsi baru mencapai 50 persen, dan akses rumah tangga terhadap sanitasi dasar baru mencapai 63,5 persen. Kesehatan lingkungan yang merupakan kegiatan lintassektor belum dikelola dalam suatu sistem kesehatan kewilayahan.

B.

SASARAN PEMBANGUNAN TAHUN 2006

Sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2006 diarahkan untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat, terutama penduduk miskin, terhadap pelayanan kesehatan yang antara lain tercermin pada beberapa indikator sebagai berikut: 1. Meningkatnya proporsi keluarga yang berperilaku hidup bersih dan sehat; 2. Meningkatnya proporsi keluarga yang memiliki akses terhadap sanitasi dan air bersih; 3. Meningkatnya cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih; 4. Meningkatnya cakupan pelayanan antenatal, postnatal dan neonatal; 5. Meningkatnya tingkat kunjungan (visit rate) penduduk miskin ke Puskesmas; 6. Meningkatnya tingkat kunjungan (visit rate) penduduk miskin ke rumah sakit; 7. Meningkatnya cakupan imunisasi; 8. Menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit malaria, demam berdarah dengue (DBD), tuberkulosis paru, diare, dan HIV/AIDS; 9. Menurunnya prevalensi kurang gizi pada balita; 10. Meningkatnya pemerataan tenaga kesehatan; 11. Meningkatnya ketersediaan obat esensial nasional; 12. Meningkatnya cakupan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi produk terapetik/obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, produk komplemen dan produk pangan; 13. Meningkatnya penelitian dan pengembangan tanaman obat asli Indonesia; 14. Meningkatnya jumlah peraturan dan perundang-undangan di bidang pembangunan kesehatan yang ditetapkan; dan 15. Meningkatnya jumlah penelitian dan pengembangan di bidang pembangunan kesehatan.

C.

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN 2006

Pembangunan kesehatan diarahkan untuk (1) meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan melalui peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas; dan pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan melanjutkan pelayanan kesehatan gratis di puskesmas dan kelas III rumah sakit; (2) meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui peningkatan kualitas dan pemerataan fasilitas kesehatan dasar; dan peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan; dan (3) meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat melalui peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat; dan peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini. Pada tahun 2006, pembangunan kesehatan diprioritaskan pada peningkatan upaya kesehatan masyarakat, upaya kesehatan perorangan, pencegahan dan pemberantasan penyakit, dan perbaikan gizi II.27 3

masyarakat, sumber daya kesehatan, promosi dan pemberdayaan masyarakat, dan lingkungan sehat. Prioritas tersebut didukung oleh peningkatan obat dan perbekalan kesehatan, pengawasan obat dan makanan, pengembangan obat asli Indonesia, pengembangan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan, serta penelitian dan pengembangan kesehatan. Perhatian khusus diberikan pada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, dan pelayanan kesehatan di daerah tertinggal dan daerah bencana.

II.27 4

Anda mungkin juga menyukai