Anda di halaman 1dari 21

24.

Menjelaskan tentang kelainan hati, empedu dan pankreas pada anak dapat melakukan perencanaan pengelolaan kelainan hati, empedu dan pankreas pada anak.

Pankreatitis

Patogenesis Rangkaian kejadian yang tepat yang menyebabkan pankreatitis belum diketahui. Diusulkan bahwa setelah suatu kejadian awal seperti obstruksi duktus, proenzim pankreas diaktifkan setelah ko-lokalisasi dengan hidrolase lisosom di dalam sel asinus, menyebabkan autodigesti dan aktivasi selanjutnya dan melepaskan protease aktif. Lesitin diaktifkan oleh fosfolipase A2 ke dalam lisolesitin toksik. Fosfolipase tidak stabil dan dapat diaktivasi oleh sejumlah kecil tripsin. Pankreas yang sehat dilindungi oleh 3 faktor: 1. Proses dimana protease pankreas disintesis sebagai proenzim inaktif, 2. Proses dimana enzim digesti dipisahkan ke dalam granula sekretori, 3. Adanya penghambat protease. Temuan histopatologis pankreatitis akut dihubungkan dengan pelepasan enzim proteolitik dan lipolitik yang diaktifkan. Edema interstisial tampak dini. Kemudian, ketika episode pankreatitis menjelek nekrosis menyatu dan terlokalisasi, gangguan pembuluh darah, menyebabkan pendarahan, dan respons radang di dalam peritoneum mungkin berkembang.

Manifestasi Klinik Penderita dengan pankreatitis akut menderita nyeri perut, muntah menetap, dan demam. Nyeri di epigastrium dan menetap, sering menyebabkan anak mengambil posisi antalgik dengan persendian paha dan lutut ditekuk, duduk tegak atau tiduran pada satu sisi. Anak sangat tidak nyaman dan rewel serta tampak kesakitan. Perut mungkin kembung dan cukup sakit. Dapat teraba suatu massa. Nyeri meningkat intensitasnya selama 24-48 jam, selama masa tersebut muntah bisa bertambah dan penderita mungkin perlu perawatan di rumah sakit karena dehidrasi dan membutuhkan terapi cairan dan elektrolit. Prognosisnya untuk kasus akut tanpa komplikasi sangat baik. Pankreatitis pendarahan akut, bentuk pankreatitis akut yang paling berat, jarang pada anak-anak. Pada keadaan yang mengancam jiwa, penderita sakit akut dengan mual berat, muntah dan nyeri perut. Syok, demam tinggi, ikterus, asites, hipokalsemia, dan efusi pleura bisa terjadi. Perubahan warna kebiru-biruan mungkin terlihat disekitar umbilikus (Tanda Cullen) atau di panggul (Tanda Grey Turner). Pankreas mengalami nekrosis dan mungkin berubah menjadi massa yang meradang dan berdarah. Angka kematian, yang adalah sekitar 50%, terkait dengan sindrom respons radang sistemik: Syok, gagal ginjal, sindrom distres pernapasan orang dewasa, koagulasi intravaskuler tersebar (Disseminated intravascular coagulation [DIC]), pendarahan saluran cerna masif, dan infeksi sistemik atau intra-abdominal.

Diagnosis Pankreatitis akut biasanya terdiagnosis dengan mengukur aktivitas lipase dan amilase serum. Kadar amilase serum khas naik sampai dangan 4 hari. Berbagai keadaan lain bisa juga menyebabkan hiperamilasemia tanpa pankreatitis. Penggunaan rasio kliren (Bersihan) dari amilase dan kreatinin ginjal tidak memperbaiki sensitifitas spesifitas penentuan amilase serum. Kenaikan amilase air liur bisa merancukan kinisi dalam membuat diagnosis pankreatitis pada anak dengan nyeri perut, tetapi laboratorium dapat memisahkan isoenzim amilase ke dalam fraksi pankreas dan air liur. Kelainan laboratorium lain yang mungkin muncul pada pankreatitis akut adalah hemokonsentrasi, koagulopati, leukositosis, hiperglikemia, glukosuria, hipokalsemia, peningkatan gamma glutamil transpeptidase, dan hiperbilirubinemia. Rotgenografi dada dan perut dapat menunjukkan temuan yang tidak spesifik. Rotgenogram dada mungkin menunjukkan atelektasis seperti plat, infiltrat basiler, elevasi hemidiafragma, efusi pleura sisi kiri (Jarang sisi kanan), efusi perikardium, dan edema pulmonum. Rotgenogram perut mungkin menunjukkan lekungan pojok, pelebaran kolon transversa, (Tanda putus), ileus, klasifikasi pankreas (Jika berulang), tepi psoas kiri kabur, pseudokista, kekaburan perut merata (Asites), dan gelembung gas ekstra lumen peripankreas. Ultrasonografi (USG) dan Scan CT mempunyai peran besar dalam diagnosis dan dalam menindak-lanjuti keadaan anak dengan pankreatitis. Temuan bisa meliputi pembesaran pankreas, hipoekoik, edema pankreas yang transparan, massa pankreas, adanya pengumpulan cairan, dan abses.

Pengobatan Tujuan manajemen medis adalah untuk menghilangkan nyeri dan mengembalikan homeostasis metabolik. Meperidin adalah obat pilihan untuk penyembuhan nyeri dan harus diberikan pada dosis adekuat. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan mineral harus dikembalikan dan dirumat. Pengisapan nasogastrik berguna pada penderita yang muntah. Penderita harus dipertahankan tidak mendapat apa-apa dari mulut. Penggunaan antibiotik rutin tidak bermanfaat selama fase akut kecuali kalau ada infeksi sekunder. Respon terhadap pengobatan biasanya sempurna setelah 2-4 hari. Pemberian makan kembali bisa dimulai jika amilase serum telah normal dan gejala klinis hilang. Walaupun terapi bedah pankreatitis akut jarang diperlukan, pengobatan pankreatitis akut berat bisa melibatkan nutrisi parenteral total dan drainase secara bedah bahan nekrosis atau abses. Cara yang lebih baru meliputi pencucian peritoneum untuk mengurangi resiko infeksi sekunder dan memakai penghambat tripsin. Terapi endoskopi mungkin berguna jika pankreatitis disebabkan oleh kelainan anatomi, seperti striktur atau batu.

Prognosis Faktor prognosis belum dikembangkan pada anak dengan pankreatitis. Temuan prognostik yang jelek ini ditemukan pada pankreatitis hemoragis yang mematikan.

Kolestasis

Kolestasis Neonatus Kolestasis neonatus didefinisikan sebagai peningkatan kadar bilirubin terkonjungasi yang berkepanjangan dalam serum sesudah umur 14 hari pertama. Kolestasis pada bayi baru lahir mungkin karena infeksi, genetik, metabolik, atau kelainan yang tidak ditegaskan yang meningkat karena obstruksi mekanik aliran empedu atau gangguan fungsional dari fungsi ekskresi hati dan sekresi empedu. Neonatus dengan kolestasis dapat dibagi menjadi kolestasis dengan ekstrahepatik dan kolestasis dengan intrahepatik.

Mekanisme Dua mekanisme patogenesis yang paling mungkin adalah jejas hati karena virus atau penyakit hati metabolik. Sebagai contoh penyakit hati metabolik yang disebabkan oleh kesalahan metabolisme asam empedu bawaan yang disertai dengan akumulasi asam empedu primitif toksik dan kegagalan membuat asam empedu koleretik dan asam empedu trofik normal. Manifestasi klinik dan histologis tidak spesifik dan sama dengan manifestasi yang terdapat pada jejas hepatobiliaris neonatus yang lain. Adalah juga mungkin bahwa mekanisme autoimun yang dapat menimbulkan beberapa bentuk jejas hati neonatus yang membingungkan. Keseluruhan, mekanismenya belum didokumentasi dengan baik. Beberapa manifestasi histologis jejas hati pada awal kehidupan jarang terlihat pada orang yang lebih tua. Kelainan fungsional pada pembentukan aliran empedu bisa juga memainkan peran pada kolestasis neonatus. Aliran empedu secara langsung tergantung pada ekskresi asam empedu hati yang efektif. Selama fase transpor sel hati dan metabolisme asam empedu yang relatif tidak efisien pada awal kehidupan, jejas hati ringan selanjutnya dapat menurunkan aliran empedu dan menyebabkan produksi asam empedu toksik abnormal.Gangguan efektif satu langkah dalam rangkaian kejadian yang dilibatkan dalam sekresi hati bisa menimbulkan ekspresi penuh sindrom kolestasis. Sindrom hepatitis neonatus (Kolestasis intrahepatik) dapat dibagi menjadi berbagai bentuk: 1. Hepatitis neonatus idiopatik, yang terjadi dalam bentuk sporadik ataupun familial, adalah penyakit yang tidak diketahui sebabnya.

2. Hepatitis infeksiosa pada neonatus mungkin terbukti disebabkan oleh virus spesifik, seperti herpes simpleks, enterovirus, sitomegalovirus, atau, kadang-kadang oleh hepatitis B. 3. Kasus Hipoplasia duktus biliaris intrahepatik membentuk sub-kelompok heterogen penyakit kolestasis yang bisa muncul sebagai kolestasis neonatus.

Pengobatan Pengobatan paling rasional untuk kolestasis adalah perbaikan aliran empedu ke dalam usus. Pada prinsipnya ada beberapa hal pokok yang menjadi pedoman dalam penatalaksanaannya, yaitu: 1. Sedapat mungkin mengadakan perbaikan terhadap adanya gangguan aliran empedu 2. Mengobati komplikasi yang telah terjadi akibat adanya kolestasis 3. Memantau sedapat mungkin untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan fatal yang dapat mengganggu proses regenerasi hepar 4. Melakukan usaha-usaha yang dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan 5. Sedapat mungkin menghindari segala bahan/keadaan yang dapat mengganggu/merusak hepar. Adapun juga pengobatan lainnya yaitu: 1. Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk : a. Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam litokolat), dengan memberikan Fenobarbital 5 mg/kg/BB/hari dibagi 2 dosis per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirect menjadi bilirubin direct); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Kolestiramin 1 gr/kg/BB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder. b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan asam unsodeoksikolat, 3 10 mg/kg/BB/hari dibagi 3 dosis per oral. Asam unsedeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik. 2. Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu : a. Pemberian makanan yang mengandung medium chain tri-glycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpi lemak. b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. 3. Terapi bedah Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis atresia bilier hasilnya meragukan, maka Fitzgerald menganjurkan laparatomi eksplorasi pada keadaan sebagai berikut : Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direct > 4 mg/dl atau terus meningkat, meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison selama 5 hari.

Ateresia biliaris Istilah ateresia biliaris tidak tepat karena anatomi kelainan duktus biliaris ekstrahepatik pada penderita yang terkena sangat bervariasi. Tata nama yang lebih tepat akan menggabarkan patofisiologinya, yaitu kolangiopati obliteratif progresif. Mungkin ada obliterasi segmen distal duktus biliaris dengan duktus ekstrahepatik paten sampai ke porta hepatis. Ini adalah lesi yang dapat dikoreksi secara bedah, tetapi tidak lazim. Bentuk ateresia biliaris yang paling lazim, meliputi sekitar 85% kasus, adalah obliterasi seluruh cabang biliaris ekstrahepatik pada atau di atas porta hepatis. Keadaan ini menyajikan masalah yang jauh lebih sulit pada pengelolaan operasi.

Insiden Ateresia biliaris telah dideteksi pada 1:10.000-15.000 kelahiran hidup, hepatitis neonatus idiopatik pada 1:5.000-10.000. Hipoplasia duktus biliaris intrahepatik muncul jauh kurang sering, pada sekitar 1:50.000-75.000 kelahiran hidup.

Manajemen penderita dengan kecurigaan ateresia biliaris Pada bayi dengan gambaran klinis dan biopsi hati mengesankan adanya obstruksi biliaris, lapratomi eksplorasi dan kolangiografi langsung harus dilakukan untuk menentukan adanya dan letak obstruksi. Pada penderita yang mempunyai lesi yang bisa dikoreksi, drainase langsung dapat dikerjakan. Bila ditemukan lesi yang bisa dikoreksi, pemeriksaan potongan beku yang yang diambil dari potongan porta hepatisdapat mendeteksi adanya epitelium biliaris dan menentukan ukuran dan patensi sisa duktus biliaris. Pada beberapa kasus, kolangiogram akan menunjukkan bahwa cabang biliaris paten, tetapi diameter berkurang, mengesankan bahwa kolestasis bukan disebabkan oleh obliterasi saluran empedu tetapi hipoplasia duktus biliaris atau penurunan aliran aliran secara mencolok pada adanya penyakit intrahepatik. Pada kasus ini transeksi atau diseksi yang lebih lanjut ke dalam porta hepatis harus dihindari. Untuk penderita yang padanya tidak ditemukan lesi yang bisa dikoreksi, maka cara hepatoportoenterostomi Kasai dapat dilakukan. Dasar pemikiran tindakan ini adalah bahwa sisasisa duktus biliaris kecil, yang menggambarkan saluran-saluran sisa, mungkin ada dalam jaringan fibrosa porta hepatis; saluran demikian mungkin merupakan kelanjutan langsung sistem duktuli intrahepatik. Pada kasus demikian, transeksi porta hepatik dengan anastomosis mukosa usus ke permukaan proksimal transeksi bisa memungkinkan drainase empedu. Jiak aliran tidak segera disempurnakan dalam usus beberapa bulan pertama, obliterasi progresif dan sirosis akan terjadi. Jika saluran mikroskopis paten berdiameter lebih besar dari 150 nanometer ditemukan.; penyempurnaan aliran empedu pascabedah dimungkinkan. Operasi Kansai paling berhasil (90%) jika dilakukan sebelum umur 8 minggu. Manfaat jangka pendek hepatoportoenterostomi adalah dengan kompresi dan drainase yang cukup untuk mencegah mulainya sirosis dan mempertahankan pertumbuhan sampai transplantasi hati dapat dilakukan.

Abses hati

A. Abses Hati Piogenik

Epidemiologi Insidens abses hati piogenik berkisar antara 0,006- 2,2% dan jarang ditemukan pada anak, hanya 3 kasus dari 100.000 pasien rawat inap. Secara epidemiologis, abses hati piogenik paling sering ditemukan pada pasien berusia 50-70 tahun. Pada anak, 50% kasus abses hati piogenik terjadi pada usia kurang dari 6 tahun, dan lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan rasio 7:1.4

Etiologi Abses hati piogenik pada umumnya disebabkan oleh bakteri aerob gram negatif dan anaerob, yang tersering adalah bakteri yang berasal dari flora normal usus seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Bacteriodes, enterokokus, streptokokus anaerob, dan streptokokus mikroaerofilik. Pada anak, Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan abses hati piogenik. Stafilokokus, Streptococcus hemolyticus dan Streptococcus milleri seringkali menjadi penyebab abses hati jika infeksi primernya endokarditis bakterialis atau infeksi gigi.

Patogenesis Mikroorganisme dapat masuk ke dalam hati melalui sirkulasi portal, sirkulasi sistemik dan stasis empedu akibat obstruksi duktus bilier. Sumber tersering penyebab terjadinya abses hati piogenik adalah penyakit pada sistem saluran bilier yaitu sebanyak 42,8%. Kolangitis akibat batu atau striktur merupakan penyebab yang paling sering, diikuti oleh divertikulitis atau apendisitis. Penurunan daya tahan tubuh memegang peran penting terjadinya abses hati. Kejadian yang paling sering adalah bakteremia vena portal dari proses infeksi intra abdomen seperti abses apendiks dan abses akibat tertelan benda asing. Pada 15-50% kasus abses piogenik tidak ditemukan fokus infeksi yang jelas yang disebut dengan abses kriptogenik. Abses pada lobus kanan hati lebih sering bersifat kriptogenik, sedangkan abses pada lobus kiri hati lebih sering berhubungan dengan hepatolitiasis.

Gambaran klinis Pada awal perjalanan penyakit, gejala klinis seringkali tidak spesifik. Gambaran klasik abses hati piogenik adalah nyeri perut terutama kuadran kanan atas (92%), demam yang naik turun disertai menggigil (69%), penurunan berat badan (42%), muntah (43%), ikterus (21%) dan

nyeri dada saat batuk (51%). Pada 63% kasus, gejala klinis muncul selama kurang dari dua minggu. Awitan abses soliter cenderung bertahap dan seringkali kriptogenik. Abses multipel berhubungan dengan gambaran sistemik akut dan penyebabnya lebih bisa diidentifikasi. Hati teraba membesar dan nyeri bila ditekan pada 24% kasus. Adanya hepatomegali disertai nyeri pada palpasi merupakan tanda klinis yang paling dapat dipercaya. Beberapa pasien tidak mengeluh nyeri perut kanan atas atau hepatomegali dan hanya terdapat demam tanpa diketahui sebabnya.Ikterus hanya terjadi pada stadium akhir kecuali jika terdapat kolangitis supuratif.

Pemeriksaan penunjang Leukositosis ditemukan pada 66% pasien, sering disertai dengan anemia akibat infeksi kronis dan peningkatan laju endap darah. Kadar alkali fosfatase biasanya meningkat, hipoalbuminemia dan kadar enzim transaminase yang sedikit meningkat. Foto polos dada dan abdomen memperlihatkan pembesaran hati, kadangkala tampak air fluid level di dalam rongga abses dan diafragma kanan biasanya terangkat. Hampir semua kasus abses hati dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan. Kedua teknik pencitraan ini dapat menentukan lokasi abses yang berukuran minimal 1 cm di parenkim hati. Alvarez dkk melaporkan bahwa ultrasonografi mempunyai angka sensitivitas 94% sedangkan sensitivitas CT scan 99%. Meskipun demikian, ultrasonografi adalah metode pencitraan yang direkomendasikan karena cepat, noninvasif, cost effective, dan dapat juga digunakan sebagai pemandu aspirasi abses untuk diagnostik dan terapi. Ultrasonografi dan CT scan juga dapat digunakan untuk memantau keberhasilan terapi. Pemantauan abses secara serial dengan ultrasonografi atau CT scan hanya dilakukan jika pasien tidak memberi respons yang baik secara klinis. Pemeriksaan biakan abses dapat menemukan bakteri patogen pada 86% kasus, hasil biakan steril ditemukan pada 14% kasus. Bakteri aerob gram negatif ditemukan tumbuh pada 70% kasus dan yang paling sering adalah Escherichia coli. Pemeriksaan biakan darah memberikan hasil positif pada 57% kasus.

Terapi Abses hati piogenik memerlukan terapi antibiotik dan drainase abses. Antibiotik parenteral spektrum luas yang secara empiris mampu mematikan bakteri gram negatif, bakteri anaerob dan Streptococcus, harus segera diberikan setelah diagnosis abses ditegakkan. Antibiotik yang diberikan terdiri dari golongan penisilin, aminoglikosid dan metronidazol yang efektif melawan E. coli, K. pneumonia, bakteriodes, enterokokus, dan streptokokus anaerob. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, lebih baik diberikan golongan sefalosporin daripada aminoglikosida. Terapi empiris ini diberikan sambil menunggu hasil biakan bakteri, yang kemudian dapat diganti sesuai dengan hasil biakan dan uji resistensi. Terapi antibiotik diberikan selama 2-4 minggu tergantung dari jumlah abses, respons klinis dan toksisitas antibiotik yang dipilih. Pada beberapa pasien, pemberian antibiotik saja efektif untuk pengobatan abses yang berukuran kurang dari 2 cm (mikroabses). Pada hampir semua pasien dengan abses hati lebih dari 3-4 cm memerlukan aspirasi perkutan atau drainase dengan kateter yang dipandu dengan USG atau CT scan.11 Drainase perkutan merupakan tata laksana utama pada abses hati piogenik,

baik soliter maupun multipel. Tindakan ini lebih aman dan sama efektifnya dengan operasi besar (drainase operatif ). Operasi besar hanya dilakukan jika drainase abses perkutan tidak berhasil atau ada indikasi lain yang membutuhkan operasi seperti penyakit saluran bilier. Keberhasilan drainase perkutan tampak pada 80-90% kasus.

Komplikasi dan prognosis Mortalitas abses hati piogenik dapat disebabkan oleh komplikasi seperti rekuren, sepsis, gagal ginjal akut, infeksi dari luka, pneumonia, infeksi saluran kemih, drainase yang lama, sepsis akibat kateter, dan perdarahan pasca operasi. Komplikasi tersebut ditentukan oleh faktor risiko seperti adanya demam, ikterus, syok septik, disseminated intravascular coagulation, abses multipel, ruptur abses, anemia, hipoalbuminemia, peningkatan kadar alkali fosfatase, bilirubin, SGOT SGPT, kreatinin, masa protrombin memanjang, dan infeksi polimikrobial.

B. Abses hati amuba

Epidemiologi Infeksi amuba atau amubiasis disebabkan oleh Entamoeba histolytica, mencakup 10% dari populasi seluruh dunia dan 95% di antaranya adalah karier yang asimptomatis. Dari 5% pasien yang simptomatis, sepuluh persen menjadi abses hati.Abses hati amuba juga jarang terjadi pada anak yaitu sekitar 1-7% pasien anak, sering kali terjadi pada anak berusia kurang dari 3 tahun, lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan rasio 8:1. Insidens abses hati amuba dipengaruhi oleh keadaan nutrisi, higiene individu yang buruk, dan kepadatan penduduk.

Patogenesis Parasit ditularkan melalui jalur fekal-oral dengan menelan minuman atau makan yang mengandung kista Entamoeba histolytica. Bentuk kista yang patogen dapat melewati lambung dan berdisintegrasi di dalam usus halus, melepaskan trofozoit dan bermigrasi ke kolon. Selanjutnya trofozoit beragregasi di lapisan musin usus dan membentuk kista baru. Lisis dari epitel kolon dipermudah oleh galaktosa dan N-asetil-D-galaktosamin (Gal/GalNAc)-lektin spesifik yang dimiliki trofozoit, sehingga menyebabkan neutrofil berkumpul di tempat infasi tersebut. Ulkus pada epitel kolon merupakan jalur amuba masuk ke dalam sistem vena portal dan menyebabkan penyebaran ekstraintestinal ke peritoneum, hati dan jaringan lain. Organ hati merupakan lokasi penyebaran ekstraintestinal yang paling sering.18 Amuba bermultiplikasi dan menutup cabang-cabang kecil vena portal intrahepatik menyebabkan nekrosis dan lisis jaringan hati. Diameter daerah nekrotik bervariasi dari beberapa milimeter sampai 10 cm. Abses hati amuba biasanya soliter dan 80% kasus terletak di lobus kanan. Abses mengandung pus steril dan

jaringan nekrotik hati yang encer berwarna coklat kemerahan (anchovy paste). Amuba pada umumnya terdapat pada daerah perifer abses.

Gambaran klinis Pasien dapat merasakan gejala sejak beberapa hari hingga beberapa minggu sebelumnya. Nyeri perut kanan atas merupakan keluhan yang menonjol, pasien tampak sakit berat, dan demam. Seeto dkk melaporkan bahwa gejala abses hati amuba secara umum bersifat nonspesifik, 72% pasien mengeluh demam dan nyeri di perut kanan atas. Selain itu anoreksia ditemukan pada 39% kasus dan penurunan berat badan pada 29% kasus. Pada pemeriksaan fisis, 83% kasus dilaporkan demam dan 69% dengan hepatomegali yang disertai nyeri tekan. Ikterik jarang terjadi.

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan jumlah sel polimorfonuklear sekitar 70-80%, peningkatan laju endah darah, anemia ringan, peningkatan alkali fosfatase dan kadar bilirubin. Uji fungsi hati pada umumnya normal. Feses dapat mengandung kista, pada disentri ditemukan trofozoit hematofagus. Kista positif pada feses hanya ditemukan pada 10-40% kasus. Foto dada menunjukkan hemidiafragma kanan terangkat dengan atelektasis atau pleural efusi. Sensitivitas ultrasonografi dan CT scan untuk mendeteksi abses hati amuba adalah 85% dan 100%.19 Uji serologis dapat membantu menegakkan diagnosis abses hati amuba, antara lain IHA (indirect hemagglutination antibody), EIA (enzyme immunoassay), IFA (indirect immunolfuoresent antibotic), LA (latex agglutination), AGD (agar gel diffusion), dan CIE (counter immunoelectrophoresis). Antibodi hemaglutinasi indirek terhadap Entamoeba histolytica telah banyak digunakan dan meningkat pada 90% pasien.8,10,18 Sensitivitas IHA pada keadaan akut 70- 80%, sedangkan pada masa konvalesen > 90%.20 Kekurangan IHA selain hasil tes diperoleh terlalu lama, hasilnya juga tetap positif selama 20 tahun sehingga dapat memberi gambaran penyakit infeksi sebelumnya dan bukan infeksi yang akut. Saat ini IHA telah digantikan oleh EIA yang dapat mendeteksi antibodi E.histolytica baik IgG maupun imunoglobulin total. Uji serologis ini relatif lebih sederhana, mudah dilakukan, cepat, stabil dan murah harganya serta memiliki sensitivitas 99% dan spesifisitas > 90%. Titer positif dapat bertahan beberapa bulan hingga tahunan setelah sembuh sehingga di daerah endemik nilai diagnostiknya berkurang.

Terapi Metronidazol (35-50 mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 7-10 hari) atau tinidazol (60 mg/kg/hr selama 5 hari) merupakan terapi pilihan. Sembilan puluh lima persen abses amuba tanpa komplikasi membaik dengan pemberian metronidazol saja. Gejala klinis biasanya membaik dalam waktu 24 jam.8 Terapi metronidazol yang adekuat menyembuhkan 90% kasus. Dosis perlu diperhatikan, karena metronidazol yang lebih rendah memudahkan terjadinya relaps. Aspirasi jarum atau drainase perkutan yang dipandu dengan alat pencitraan telah menggantikan

posisi intervensi bedah sebagai pilihan utama untuk mengurangi ukuran abses. Salah satu dari tindakan tersebut dilakukan jika hasil serologis negatif pada abses berukuran besar (> 3-4 cm), tidak memberi respons terhadap terapi antiamuba setelah 4-5 hari atau jika terdapat ruptur ke peritoneum, pleura atau perikardium. Tindakan drainase operatif hanya diperlukan jika abses telah ruptur sehingga menyebabkan peritonitis amuba atau jika pasien tidak berrespons terhadap obat walaupun sudah dilakukan aspirasi dan drainase dengan kateter.

Komplikasi dan prognosis Komplikasi yang sering terjadi adalah ruptur abses, superinfeksi dan anemia. Komplikasi berat dapat terjadi akibat infeksi sekunder atau ruptur abses ke dalam pleura, perikardial atau daerah peritoneum. Dua pertiga kejadian ruptur terjadi di intraperitoneum dan sepertiganya di intratorakal. Pada orang dewasa, mortalitas abses hati amuba yang dapat didiagnosis dengan cepat dan tanpa adanya komplikasi adalah sekitar 1%. Pada anak, mortalitasnya tidak jelas diketahui tapi dapat meningkat secara bermakna akibat keterlambatan diagnosis. Dengan terapi antiamuba yang adekuat selama beberapa hari hingga minggu akan terjadi perbaikan klinis yang cepat dengan resolusi abses yang sempurna selama 3-9 bulan yang dapat di pantau secara radiologis.

Hepatitis B kronis Patogenesis Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus yang lain, merupakan virus nonsitopatis yang mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun. Langkah pertama dalam proses hepatitis virus akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen virus ini mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HbeAg, pecahan produk HBcAg, Antigen-antigen ini, bersama dengan protein histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I, membuat sel suatu sasaran untuk melisis sel-T sitotoksis. Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti dengan baik. Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau protein MHC kelas I tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat diaktifkan, atau beberapa mekanisme lain yang belum diketahui dapat mengganggu penghancuran hepatosit. Agar infeksi dari sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang mengandung virus harus bertahan hidup. Walaupun mekanisme cedera hati yang tepat pada infeksi HBV tetap tidak pasti dan ini tetap harus dijelaskan, Pada pemeriksaan protein nukleokapsid dengan elektroforesis didapatkan hasil bahwa protein nuleokapsid memancarkan cahaya pada toleransi imunologik yang besar terhadap bayi HBV bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi HBV kronik yang sangat replikatif (HBeAg-positif). Pada tikus transgenik ditandai-HBeAg, pemajanan in utero terhadap HBeAg, yang cukup kecil untuk melewati plasenta, menyebabkan toleransi sel T untuk kedua protein

nukleokapsid. Pada gilirannya hal ini menjelaskan kenapa, kapan infeksi terjadi pertama kali dalam kehidupan, status imunologik tidak terjadi, dan diperpanjang, infeksi kekal terjadi. Mekanisme cedera hati akibat HBV tetap tidak pasti, kerusakan jaringan diperantarai kompleks imun terjadi untuk memainkan peranan patogenesis utama dalam manifestasi ekstrahepatik dari hepatitis B akut. Sindroma mirip penyakit serum prodormal yang diamati pada hepatitis B akut tampak berhubungan dengan deposit dalam dinding pembuluh darah jaringan dari kompleks imun yang bersirkulasi menyebabkan aktivasi sistem komplemen. Akibat klinis adalah ruam urtikaria, angioderma, demam, dan artritis. Selama prodormal dini infeksi HBV pada pasien ini, HBsAg titer tinggi dalam hubungannya dengan jumlah anti-HBs yang sedikit menyebabkan pembentukan kompleks imun yang bersirkulasi dapat larut (pada kelebihan antigen). Komponen komplemen dalam serum diturunkan selama fase artritis penyakit tersebut dan juga dapat dideteksi dalam kompleks imun yang bersirkulasi. Selain komponen komplemen, kompleks ini mengandung HbsAag, anti-HBs, IgG, IgM, IgA, dan fibrin. Sesudah pasien pulih dari sindrome mirip penyakit serum, kompleks imun ini hilang. Mutasi HBV lebih sering daripada untuk virus DNA biasa dan sederetan strain mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebabkan kegagalan mengekspresikan HBeAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan hepatitis berat dan mungkin eksaserbasi infeksi HBV kronis lebih berat.

Cara Penularan HBV: A. Penularan melalui kulit (Perkutan) Penularan perkutan terjadi jika bahan yang mengandung HBsAg/partikel virus hepatitis B intak masuk atau dimasukkan ke dalam kulit. Terdapat 2 keadaan cara penularan ini: 1. Penularan perkutan yang nyata: Terjadi jika bahan yang masuk melewati kulit; melalui penyuntikan darah atau bahan yang berasal dari darah, baik secara intravena atau tusukan jarum. i. Hepatitis pasca infeksi Hepatitis virus B akut dapat timbul sebagai akibat transfusi darah yang mengandung HBsAg positif. Dengan melakukan uji saring darah donor terhadap adanya HBsAg, maka jelas terdapat penurunan prevalensi kejadian hepatitis pasca transfusi. ii. Hemodialisa Prevalensi yang tinggi baik sebagai infeksi akut maupun kronik, telah dilaporkan pada penderita dengan penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa berkala. iii. Alat suntik Penularan lewat suntikan dengan mempergunakan alat yang tidak steril, telah lama dikenal. Sering sesudah imunisasi masal terjadi letupan hepatitis beberapa waktu kemudian. 2. Penularan perkutan tidak nyata Penularan perkutan yang tidak nyata bisa terjadi. Banyak penderita mendapat hepatitis virus B dan tidak pernah mengingat bahwa mereka mendapat

trauma pada kulit atau hal lain, virus hepatitis B tidak dapat menembus kulit yang sehat, namun dapat melalui kulit yang mengalami kelainan penyakit kulit. Penularan yang tidak nyata ini sangat mungkin memegang peranan penting dalam menerangkan jumlah pengidap HbsAg yang sangat besar. B. Penyebaran melalui selaput lendir 1. Penyebaran per-oral Cara ini terjadi jika bahan yang infeksius mengenai selaput lendir mulut. Cara ini tidak sering menimbulkan infeksi. Agaknya penularan melalui mulut hanya terjadi pada mereka dimana terdapat luka didalam mulutnya. 2. Penyebaran seksual Cara ini terjadi melalui kontak dengan selaput lendir pada alat kelamin, sebagai akibat kontak seksual dengan individu yang mengandung HBsAg positif yang bersifat infeksius. Infeksi ini dapat terjadi melalui hubungan seksual baik heteroseksual maupun homoseksual. Hal ini dimungkinkan oleh karena cairan sekret vagina dapat mengandung HBsAg. C. Penularan perinatal (Transmisi vertikal) Penularan perinatal ini disebut juga sebagai penularan maternal neonatal dan merupakan cara penularan yang unik. Penularan infeksi virus hepatitis B terjadi dalam kandungan, sewaktu persalinan, pasca persalinan. Manifestasi Klinis Diperkirakan 30% dari infeksi HBV asimtomatik. Gejala Hepatitis bervariasi dari penyakit yang ringan mirif flu sampai gagal hati yang fulminan dan mematikan, tergantung pada respon imun dan faktor virus inang lainnya yang masih belum dapat dipahami. Dalam anamnesis perlu ditanyakan tentang asal etnik, kontak dengan ikterus, kunjungan wisata, suntikan, perawatan gigi, tranfusi, dan homoseksualitas Walaupun pasien Non-ikterik, tetapi menunjukkan gejala gastrointestinal dan mirif influenza. Pasien demikian biasanya tidak terdiagnosis, kecuali ada riwayat yang jelas suatu penularan atau pasien memang diikuti sehabis tranfusi darah, lalu dijumpai keadaan-keadaan yang lebih parah dari gejala ikterus sampai Hepatitis viral yang fulminan dan fatal. Serangan ikterus biasanya dimulai dengan masa prodromal kurang lebih 3-4 hari sampai 2-3 minggu, dimana pasien umumnya merasa tidak enak badan, anoreksia, dan nausea, dan kemudian ada panas badan ringan, nyeri diabdomen kanan atas, yang bertambah parah pada setiap guncangan. Masa prodormal diikuti warna urin bertambah gelap dan warna tinja menjadi pucat; keadan demikian menandakan timbulnya ikterus dan berkurangnya gejala. Pasien merasa lebih sehat selama beberapahari, walaupun ikterik memburuk. Bukti klinis pertama infeksi HBV adalah kenaikan (ALT, SGPT), yang mulai naik tepat sebelum perkembangan kelesuan (letargi), anoreksia dan malaise, sekitar 6-7 minggu sesudah pemajanan. Penyakitnya mungkin didahului pada beberapa anak dengan prodormal seperti penyakit serum termasuk artritis atau lesi kulit, termasuk urtikaria, ruam purpura, makular atau makulopapular. Akrodermatitis papular, sindrom Gianotti-Crosti, juga dapat terjadi. Keadaankeadaan ekstrahepatik lain yang disertai dengan infeksi HBV termasuk polioarteritis,

glomerulonefritis, dan anemia aplastik. Pada perjalanan penyembuhan infeksi HBV yang biasa, gejala-gejala muncul selama 6-8 minggu. Pada pemeriksaan fisik, kulit dan membrana mukosa tampak ikterik, terutama sklera dan mukosa di bawah lidah. Hepar biasanya membesar dan nyeri pada palpasi. Bila hati tidak dapat teraba dibawah tepi kosta, nyeri dapat diperagakan dengan memukul iga dengan lembut diatas hepar dengan tinju menggenggam. Sering ada splenomegali dan limfadenopati.

Komplikasi Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada pada virus hepatitis lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi bersama atau superinfeksi dengan HBV. Mortalitas hepatitis fulminan lebih besar dari 30%. Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi efektif; perawatan pendukung yang ditujukan untuk mempertahankan penderita sementara memberi waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati adalah satu-satunya pilihan lain. Infeksi HBV juga dapat menyebabkan hepatitis kronis, yang dapat menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler primer. Glomerulonefritis membranosa dengan pengendapan komplemen dan HbBeAg pada kapiler glomerolus merupakan komplikasi infeksi HBV yang jarang.

Pengobatan Mengingat bahwa hepatitis virus B selain dapat menimbulkan tanda-tanda akut, sering pula dapat menyebabkan kronis. Oleh karena itu pengelolaan penderita hepatitis virus B dibagi atas: akut dan kronis. 1. Pada stadium akut a. Istirahat mutlak/tirah baring. Ini merupakan perawatan baku yang sudah lama dianjurkan kepada penderita dengan hepatitis virus akut. Lamanya istirahat mutlak yang dianjurkan tergantung pada keadaan umum penderita dan hasil tes faal hati, terutama terhadap kadar bilirubin serum. b. Diet. Pada prinsipnya penderita seharusnya mendapat diet cukup kalori. Pada stadium dini persoalannya ialah bahwa penderita mengeluh mual, dan bahkan muntah, disamping hal yang menganggu yaitu tidak nafsu makan. Dalam keadaan ini jika dianggap perlu pemberian makanan dapat dibantu dengan pemberian infus cairan glukosa. Bilamana nafsu makan sudah timbul, dan rasa mual sudah berkurang, makanan penderita sebaiknya diganti dengan makan nasi dengan diit kaya protein. Pemberian protein sebaiknya dimulai dengan 50 mg/kg BB, kemudian dinaikkan sedikit demi sedikit sampai mencapai 100 mg/kg BB, dengan maksud untuk membantu memperbaiki sel-sel parenkim hati. c. Obat-obatan. Pada saat ini belum ada obat yang mempunyai khasiat memperbaiki kematian/kerusakan sel hati dan memperpendek perjalanan penyakit hepatitis virus akut.

2. Pada Stadium Konvalesensi a. Kegiatan fisik perlu dibatasi selama 3 bulan setelah HbsAg menjadi negatif, agar jangan terlalu capai dan memberatkan fungsi hati b. Diit yang tetap dibatasi yaitu terhadap makanan dan minuman yang mengandung alkohol. c. Terapi medikamentosa tetap diberikan terutama obat-obatan hepatotropik. Dan hendaknya berhati-hati memberikan obat lainnya yang dapat menimbulkan hepatotoksik. d. Mengingat bahwa penderita ini menderita hepatitis virus B, yang tidak jarang terjadi menjadi kronis, maka perlu sekali pemeriksaan HbsAg, Anti HBs, AntiHBc sebulan sekali dan sebaiknya dilakukan pemeriksaan AFP dan USG secara teratur misalnya tiap 4-6 bulan. 3. Pengelolaan Hepatitis B Kronik Tujuan pengobatan tentu saja untuk mengharapkan penyembuhan total dari infeksi virus hepatitis B, diharapkan bahwa virus tersebut dapat dihilangkan di dalam tubuh dan terjadi penyembuhan penyakit hatinya. Hal ini ditandai dengan menghilangnya HBsAg, DNA polymerase dan HBV DNA dan juga perubahan nilai SGOT dan SGPT (enzim hati) ke dalam batas normal. Obat Anti Virus 4. Interferon Mempunyai aktivitas biologik sebagai antiviral, antiproliferatif dan khasiat imunomodulasi. Dari penelitian-penelitian terdahulu memang dilihat adanya respons yang kurang dan hal ini disebabkan karena dosis yang rendah dan pendeknya jangka waktu pengobatan. Dengan telah ditemukan cara DNA rekombinant telah dapat dibuat alfa, beta dan gamma interferon dalam jumlah yang besar dan sebagian problem diatas telah dapat diatasi. Pemberian interferon (IF) lebih dari tiga minggu akan menyebabkan DNA polymerase (DNA-p) dan core antigen menjadi negatif. Dosis yang diberikan untuk alfaIF selama minggu pertama 7 juta U/hari, selanjutnya 3,5 juta U/hari untuk dua minggu berikutnya yang diberikan intramuskuler. Sedangkan dosis untuk beta-IF selama minggu pertama 6 juta U/hari, dilanjutkan 3 juta U/hari untuk dua minggu berikutnya diberikan intravena. Ternyata beta-IF lebih efektif daripada alfa-IF. Hal ini mungkin disebabkan cara pemberian yang berbeda. Sasaran utama dari interferon pada hepatitis kronis adalah menekan permanen replikasi virus atau membasminya sehingga dapat mencapai keadaan remisi penyakitnya. Indikasi pemberian interferon umumnya diberikan pada stadium replikasi (pembelahan virus) dan perjalanan hepatitis kronik yang ditandai kenaikan enzim hati (transaminase), HbeAg dan HBV DNA serum yang positif selama observasi 6 bulan. Pemberian interferon sering disertai timbulnya efek samping yaitu menggigil, demam, lemah, rambut rontok, berat badan turun, penekanan pada sumsum tulang, dan perubahan lokal pada tempat suntikan.

Prognosis Prognosis pengidap kronik HBsAg sangat tergantung dari kelainan histologis yang didapatkan pada jaringan hati. Semakin lama seorang pengidap kronik mengidap infeksi HBV maka semakin besar kemungkinan untuk menderita penyakit hati kronik akibat infeksi HBV tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa 40% pengidap infeksi HBV kronik yang mencapai usia dewasa akan meninggal akibat penyakit hati kronik misalnya sirosis atau KHP. Disamping itu seorang pengidap kronik dapat menjadi HBsAg negatif walaupun jarang. Hal ini terjadi pada 1% dari pengidap kronik setiap tahunnya.

Hepatitis C kronik

Etiologi atau penyebab hepatitis C VHC termasuk famili flaviviridae yang terdiri dari untalan RNA tunggal dengan diameter 30-60 mm, mempunyai evelop. Cara Penularan Virus hepatitis C (VHC) dapat ditularkan melalui beberapa cara, antara lain melalui parenteral, kontak personal (intrafamilial), transmisi seksual dan transmisi perinatal (vertical). Penularan secara parenteral, kecuali melalui transfusi, dapat terjadi melalui jarum suntik pada pengguna obat-obatan dan petugas kesehatan. penularan secara parenteral merupakan penularan yang utama, 80% pasien dengan hepatitis kronis pasca transfusi penyebabnya adalah hepatitis C. Hampir setiap anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah dari donor yang mengadung anti VHC, akan terinfeksi VHC. Risiko makin tinggi bila mendapat transfusi berulang dari donor yang multiple (leukemia, talasemia) atau mendapat produk darah yang diperoleh dari beberapa donor sekaligus (hemofilia). Meskipun infeksi VHC adalah penyebab utama hepatitis akibat transfusi, cukup banyak penderita hepatitis C yang ternyata tidak pernah memperoleh transfusi darah. Penularan infeksi VHC dapat juga terjadi pada penderita yang mendapat hemodialisis atau transplantasi organ. Penularan melalui hubungan seksual atau cairan tubuh sangat jarang dilaporkan beberapa peneliti. Transmisi intrafamilial adalah penularan yang terjadi dalam keluarga yang salah satu anggota keluarganya menderita hepatitis C. Transmisi perinatal dari ibu ke anak yang dilahirkan dilaporkan sangat jarang dan dianggap tidak setinggi transmisi perinatal pada hepatitis virus B, pada bayi yang lahir dari ibu dengan RNA VHC positif. Risiko penularan meningkat bila disertai adanya HIV (human immunodeficiency virus). Transmisi vertical tidak terjadi bila titer RNA VHC kurang dari 10 copieslml. Sebaliknya transmisi terjadi pada 36% bayi bila kadar RNA-VHC > 10 copies/ml.

Penularan VHC melalui air susu ibu sangat jarang, karena pada ASI dari ibu pengidap VHC yang dalam kolostrumnya mengandung RNA-VHC positif, tidak satupun bayinya terinfeksi dengan VHC sampai bayi berumur 1 tahun.

Gejala Klinis hepatitis C pada anak Masa inkubasi HVC sekitar 7 minggu (3-20 minggu). Manifestasi yang tidak spesifik menyebabkan diagnostik hepatitis C akut sulit ditegakkan tanpa pemeriksaan serologis. Seperti pada hepatitis akut yang lain, hanya 4-12% hepatitis C akut memberikan gejala klinis berupa malaise, nausea, nyeri perut kuadran kanan atas yang diikuti dengan urin berwarna tua dan ikterus. Pemeriksaan RNA VHC dapat terdeteksi dalam 1-2 minggu setelah terpapar dengan titer 106-106 copies/ml. Setelah beberapa minggu, kadar serum alanin aminotransferase (ALT) meningkat diikuti dengan timbulnya gejala klinis. Hampir semua pasien (lebih dari 80%) terjadi peningkatan sementara ALT dengan puncaknya lebih besar dari 10 kali normal, tetapi hanya 1/3 nya yang terdapat gejala klinis atau ikterus, sedangkan sisanya tanpa ikterus dan gejala subklinis. Lamanya sakit berlangsung 2-12 minggu, bila sembuh maka RNA VHC tidak ditemukan lagi dalam beberapa minggu dan nilai ALT akan kembali normal. Diagnosis Hepatitis C pada anak Manifestasi klinis hepatitis C yang tidak spesifik dan seringkali asimtomatik, menyebabkan sulit untuk menegakan diagnosis hepatitis C oleh karena itu dilakukan uji diagnosis yang terdiri : 1. Uji serologi, untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap VHC 2. Uji molekuler, untuk mendeteksi adanya genom RNA VHC Uji serologi dilakukan dengan cara enzyme immuno-assay (EIA) dan sebagai tes konfirmasi dipakai cara recombinant immunoblot assay (RIBA) uji molekuler di pakai cara polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan yang sensitif adalah cara RIBA. Laboratorium Setelah beberapa minggu, kadar serum alanin transferase (ALT) meningkat diikuti dengan timbulnya gejala klinis. Hampir semua pasien (lebih dari 80%) terjadi peningkatan sementara ALT dengan puncaknya lebih besar dari 10x normal, tetapi hanya 1/3 yang terdapat gejala klinis atau ikterus, sedangkan sisanya tanpa ikterus dan gejala subklinis. Pada hepatitis C yang kronik didapatkan kadar ALT tetap tinggi atau berfluktuasi dan RNA VHC masih ditemukan sedangkan anti VHC yang positif dapat terjadi baik pada infeksi akut maupun kronis.

Komplikasi Hepatitis kronik akibat infeksi HIV umumnya bersifat progresif, karena pada pemeriksaan biopsi hati ditemukan gambaran histologi berupa hepatitis kronik aktif maupun sirosis. Mekanisme terjadinya karsinoma sel hati diduga berkaitan dengan kerusakan sel hati kronis dan nekrosis yang diikuti dengan regenerasi sel-sel hati secara terus menerus. Penatalaksanaan

Pengobatan suportif yaitu istirahat dan diet yang baik. Untuk penderita kronik hepatitis C dapat diberikan interferon alfa (3 juta u/m2 3 kali dalam 1 minggu selama 6 bulan) namun kekambuhan masih sering terjadi. Pengobatan dapat juga dilengkapi sampai bulan 12-15. Respon pengobatan ini masih sangat rendah hanya sekitar 10-25%. RNH VHC akan kembali muncul setelah terapi dihentikan.

Gagal hati fulminal

Gagal hati fulminal didefinisikan ketat sebagai sindrom klinis akibat nekrosis hepatosit masif atau gangguan fungsional hepatosit bera pada penderita yang sebelumnya tidak menderita penyakt hati. Gangguan ini biasanya berkembang setelah masa kurang dari 8 minggu.

Etiologi Gagal hati fulminal paling sering merupakan komplikasi hepatitis virus (A, B, D, E, mungkin C, dan lain-lain). Resiko tinggi gagal hati fulminal yang tidak biasa terjadi pada orang muda yang menderita infeksi campuran dengan hepatitis virus B (HBV) dan hepatitis D. Infeksi dari: 1. 2. 3. 4. 5. Virus Epstein-Barr, Virus herpes simpleks, Adenovirus, Enterovirus sitomegalovirus, Varisela zoster

Bisa menyebabkan hepatitis fulminal pada anak. Jejas hati yan bisa diramal adalah setelah pemaparan pada karbon tetrakloid dan jamur Amanita phalloides atau setelah dosis asetaminofen berlebihan. Kerusakan idiosinkrasi bisa pasca pemakaian obat-obat seperti halotan atau natrium valproat. 1. 2. 3. 4. Iskemia dan hipoksia akibat oklusi vaskuler hepatik, Gagal jantung kongestif, Penyakit jantung sianotik kongenital, atau Syok sirkulasi

Bisa menyebabkan gagal hati.

Patologi Biopsi hati biasanya menemukan bercak atau penyatuan nekrosis masif hepatosit. Nekrosis multilobuler atau bersambung mungkin disertai dengan kolaps kerangka retikulin hati. Mungkin ada sedikit atau tak ada regenerasi hepatosit. Gambaran zona nekrosis bisa diamati dengan penanganan tertentu (Misalnya, cedera sentrilobuler dihubungkan dengan hepatotoksisitas asetaminofen atau dengan syok sirkulasi). Bukti adanya disfungsi hepatosit berat bukannya nekrosis sel kadang-kadang dapat merupakan oenemuan histologi yang menonjol (Misalnya, infiltrat lemak mikrovesikuler hepatosit dditemui pada sindrom Reye dan pada toksisitas tetrasiklin). Manifestasi Klinis Gagal hati fulminal bisa mempersulit penyakit hati akut yang diketahui sebelumnya atau gambaran penyakit hati yang sedang berjalan. Dapat mengakibatkan: 1. Diatesis heroragis 2. Asites 3. Ensefalopati hepatik

Penderita dapat dengan cepat menjelek pada stadium koma yang lebih dalam dimana respon extensor dan postur deserebrasi serta dekortikasi muncul. Respirasi biasanya meningkat pada awalnya, tetapi gagal respirasi bisa terjadi pada koma stadium IV

Gejala 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Ikterus progresif Bau (Fetor) hepatikum Demam Nafsu makan turun Muntah Nyeri abdomen Penurunan cepat ukuran hati Asteriksis (Penderita sering somnolen/bingung/bangun mendadak dan akhirnya hanya bisa merespon pada rangsangan nyeri)

Temuan pada bayi: 1. Iritabilitas 2. Sulit makan 3. Perubahan irama tidur

Pengobatan Manajemen gagal hati fulminal hanya supportif. Tidak ada terapi yang diketahui mengembalikan regenerasi hepar. 1. Bayi atau anak dengan koma hepatikum yang lanjut harus ditangani dalam unit perwatan intensif yang memungkinkan monitor terus-menerus fungsi vital. 2. Intubasi endotrakeal mungkin dibutuhkan untuk mencegah aspirasi, mengurangi edema serebri dengan hiperventilasi, dan mempermudah perawatan paru. 3. Larutan glukosa dan elektrolit harus diberikan secara intravena. 4. Penambahan kalsium, fosfor, dan magnesium parenteral. 5. Koagulopati harus diobati dengan pemberian vitamin K parenteral. 6. Pemakaian antasid atau penyekat reseptor H2 profilaksis atau keduanya harus dipertimbangkan karena resiko tinggi terjadi pendarahan saluran cerna. 7. Hipovolemia harus dihindari dan diobati dengan infus cairan dan produksi darah yang memadai. 8. Penderita harus diawasi ketat terhadap infeksi, meliputi sepsis, pneumonia, peritonitis, dan infeksi saluran kemih. 9. Pendarahan saluran cerna, infeksi, konstipassi,sedasi, keseimbangan elektrolit, dan hipovilemia harus dikenai dan dikoreksi. Masukan protein harus dibatasi atau dihentikan. Usus harus dibershkan dengan enema. Laktulosa harus diberikan setiap 24 jam oral atau melalui pipa nasogastrik dengan dosis (110-50 mL) cukup untuk menyebabkan diare. Dosis ini kemudian disesuaikan terhadap hasil beberapa gerakan

usus asam, longgar, tiap hari. Sirup laktulosa yang diencerkan dengan 1-3 volume air bisa juga diberikan sebagai enema retensi setiap 6 jam. 10. Transplantasi hati orthopik mungkin menyelamatkan hidup penderita yang mencapai stadium koma hepatikum lanjut.

Komplikasi 1. 2. 3. 4. Sepsis Pendarahan hebat Gagal ginjal Edema serebral

Prognosis Anak-anak dengan gagal hati bisa agaklebih baik dari orang dewasa, angka kematian keseluruhan diatas 70%. Prognosis sangat bervariasi tergantung pada penyebab gagal hati dan derajat ensefalopati hepatiknya.

Penyakit Kandung Empedu

Anomali Kandung empedu secara kongenital tidak ada pada sekitar 0,1% populasi. Hipoksia dan tidak adanya kandung empedu mungkin dihubungkan dengan atresia biliaris exrahepatik atau kistik fibrosis. Duplikasi kandung empedu jarang terjadi. Hidrops Akut Keadaan yang terkait dengan hidrops kandung empedu: 1. Penyakit Kawasaki 2. Faringitis streptokokus 3. Infeksi stafilokokus 4. Nutrisi parenteral total 5. Puasa yang lama 6. Hepatitis virus 7. Sipsis 8. Purpura Henoc-Schnlein 9. Adenitis mesenterika 10. Enterokolitis nekrotikans

Distensi nonkalkulus, non-radang akut kandung empedu bisa terjadi pada bayi dan anak. Hidrops ini ditentukan oleh tidak adanya kalkuli, infeksi bakteri, atau anomali kongenital sistem biliaris. Gangguan ini bisa mengkomplikasi infeksi akut, tetapi penyebabnya sering tidak diketahui. Hidrops kantung empedu bisa juga terjadi pada penderita yang mendapatkan nutrisi parenteral jangka lama, agaknya sebagai akibat stasis kantung empedu selama masa puasa enteral. Hidrops dibedakan dari kolesistitis tidak berbatu oleh tidak adanya proses radang yang berarti dan umumnya prognosisnya benigna. Penderita yang terkena biasanya merasa nyeri di kuadran kanan atas dengan massa yang bisa diraba. Demam, muntah, dan ikterus mungkin ada dan biasanya terkait dengan penyakit sistemik seperti infeksi streptokokus. Ultrasolografi menunjukkan distensi yang jelas, kandung empedu bebas-eko, tanpa dilatasi cabang-cabang biliaris. Hidrops akut biasanya diobati secara konservatif dan jarang membutuhkan kolesistostomi dan drainase. Pada laparotomi, ditemukan kandung empedu besar dan edema yang mengandung empedu berwarna putih, kuning, atau hijau. Obstruksi duktus sistikus oleh adenopati mesenterika kadang-kadang ditemukan. Kolesistektomi diperlukan juka kandung empedu mengalami gangren. Pemeriksaan patologi dinding kandung empedu menunjukkan edema dan radang ringa. Kultur empedu biasanya steril. Pengobatan hidrops kandung empedu biasanya nonbedah dengan fokus pada perawatan pendukung dan mengelola sakit yang datang antaranya. Penyembuhan spontan dan kandung empedu kembali normal biasanya terjadi setelah masa beberapa minggu.

Anda mungkin juga menyukai