Pemicu
Seorang wanita, 25 tahun, datang ke rumah sakit dengan demam disertai nyeri sendi. Demam terus menerus terutama dalam 2 minggu ini, demam tidak tinggi dan turun dengan obat penurun demam. Pasien jga mengeluhkan rasa sakit pada sendi-sendi kedua tangan dan kaki disertai bengkak sendi yang hilang timbul, hilang terutama bila os memakan obat dari puskesmas. Status presens: sensorium CM, TD: 130/80 mmHg, nadi: 90x/menit, pernapasan: 20x/menit. Dari pemeriksaan fisik dijumpai kepala: wajah terdapat bercak meninggi yg tidak khas berupa pigmentasi berlebih, leher: TVJ normal, abdomen: normal, ekstremitas superior: interphalanx joint digiti 2,3 dan 4 swelling, ekstremitas inferior: bengkak pada daerah wrist joint kanan dan kiri.
More Info
Hasil pemeriksaan darah: anemia (+), leucopenia (+), trombositopenia (+), LED meningkat. Pemeriksaan laboratorium apa lagikah yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Unfamilliar Terms
(-)
Masalah
1. Demam disertai rasa nyeri. 2. Sakit pada sendi-sendi kedua tangan dan kaki,disertai bengkak sendi yang hilang timbul. 3. Pada kepala: wajah terdapat bercak meninggi yang tidak khas,berupa pigmentasi berlebih. 4. Pada ekstremitas superior: interphalanx joint digiti 2,3,4 swelling. 5. Pada ekstremitas inferior; bengkak pada wrist joint kanan dan kiri. 6. Adanya anemia,leucopenia,trombositopenia,dan LED meningkat
Kulit
Darah
Inflamasi
Hiperpigmentasi
Anemia
Bengkak
Bercak merah
Leukopenia
Wajah
Trombositopenia
LED meningkat
Learning Issues
1. 2. 3. 4. 5. Differential Diagnosis Demam dan Nyeri Sendi. Patofisiologi Demam dan Nyeri Sendi. Reaksi Imun yang Normal dan Reaksi Autoimun. Jenis-jenis Penyakit Autoimun. Sindrom Lupus Eritematosus (SLE). a) Definisi. b) Klasifikasi. c) Etiopatogenesis (faktor pencetus). d) Penegakkan Diagnosa (gambaran klinis,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang). e) Penatalaksanaan. f) Komplikasi. g) Prognosis
Kriteria diagnosis menurut ARA (AMERICAN RHEUMATISEM ASOCIATION) 1. Arthritis. 2. Eritema (bercak malar). 3. Fotosensitif (bercak reaksi matahari). 4. Bercak Diskoid. 5. Ulcerasi Mukokutaneus Oral-Anal. 6. Salah satu kelainan darah: Anemia Hemolitik,Leukosit < 4.000/mm3. 7. Nefritis (Proteinuria > 0,5 g/ 24 jam. 8. Ensefalopati. 9. Pleuritis/Perikarditis. 10. Sitopenia. 11. Salah satu kelainan imunologi: Anti SM (Smith) diatas titer normal,Anti dsDNA diatas titer normal. NB: Seorang pasien diklasifikasikan menderita SLE apabila memenuhi 4 dari 11 kriteria.
malaise
Sel T
Sel T
3. Merangasang aktvasi dan proliferasi sel B 4. Produksi Antibodi Membentuk kompleks imun mengendap di organ target
1.Mengaktifkan sel radang fagositosis, dan diikuti dengan pembebasan: 5. mengaktivasi 6. >asam arakidonat
COX-1
&
COX-2
7.
8.
PGE2
Prostaglandin proinflamasi
Panas ( kalor )
Edema ( bengkak )
SISTEM IMUN
NONSPESIFIK SPESIFIK
LARUT : Biokimia - Lisozim - Sekresi sebaseus - Asam lambung - Laktoferin - Asam neuraminik Humoral - Komplemen - APP - Mediator asal lipid - sitokin
SELULAR : a. Fagosit >mononuclear >polimorfonuk lear b. Sel NK c. Sel mast d. Basofil e. Eosinofil f. SD
SELULAR : Sel T -Th1 -Th2 -Ts /Tr/ Th3 -Tdth -CTL /tc -NKT -Th17
10
IV.REAKSI AUTOIMUNITAS
Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self tolerance Sel B,Sel T atau keduanya.Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respons autoimun.
Faktor Imun yang berperan pada Autoimunitas Lanjutan A.Sequestered antigen Perubahan anatomik dalam jaringan B.Gangguan Persentasi C.Ekspresi MHC II yang tidak benar APC mensensitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel / Tc terhadap self antigen D.Aktivasi Sel B poliklonal EBV,LPS dan Parasit malaria
Memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal Perubahan struktur pada self antigen dan pembentukan determinan baru AUTOIMUNITAS
12
Menimbulkan translasi berbagai faktor etiologis ke dalalm kekuatan patogenik dan mempertahankan fase kronis serta destruksi jaringan.
13
pembagian penyakit Autoimun menurut Mekanisme Penyakit Autoimun melalui Antibodi Penyakit Autoimun melalui kompleks imun Penyakit Autoimun melalui sel T Penyakit Autoimun melalui Faktor humoral & selular Penyakit Autoimun melalui Komplemen Organ spesifik: 1. Tiroiditis Hashimoto penyebab utama hipotiroid didaerah yang iodiumnya cukup.karakter klinis berupa kegagalan tiroid yang terjadi akibat kerusakan tiroid yang diperantarai autoimun. Terdapat 2 bentuk: - Goitrous (90%) : terjadi pembesaran kelenjar tiroid. - Atrofi (10%) : kelenjar tiroid mengecil. 2. Anemia Hemolitik Autoimun terdapat antibody terhadap sel-sel eritosit,sehingga umur eritrosit memendek. Etiologi: ganguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual. 3. Sindrom Sjogren penyakit autoimun yang mengenai kelenjar eksokrin dengan perkembangan penyakit yang melambat. Dikelompokkan menjadi 2: - Primer : tidak terkait dengan penyakit autoimun lain (40%). - Sekunder : tidak berkait denga penyakit autoimun yang mendasari,misalnya; SLE,RA,Sklerodema. Tanda dan Gejala: rasa panas seperti terbakar. keratokonjungtivitis (mata kering). Gejala sistemik seperti penyakit autoimun lainnya.
14
15
B.Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. 1.Discoid Lupus Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005). 2.Systemic Lupus Erythematosus SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998). 3.Lupus yang diinduksi oleh obat Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obatuntuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut
16
Propitiourasil Metimazol Penisilinamin Sulfasalazin Sulfonamid Nitrofurantoin Levodopa Litium Simetidin Takrolimus
C. Etiologi
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (2469%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLADR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin. Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
Kelompok 5 | Fak.Kedokteran Univ.HKBP Nommensen 17
D.Patogenesis
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998). Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. Sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cellmediated immunity. Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003). Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas selfantigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau,
Kelompok 5 | Fak.Kedokteran Univ.HKBP Nommensen 18
19
HLA DR2,DR3,C2,C4
Autoantibodi
Anti Sm(Small nuclear ribonuclearmprotein) Anti-Ro Anti-La Anti nRHP Anti ds DNA
Gen Non MHC Manosa Binding Protein (MBP) -Reseptor Sel T -IL-6 -Imunogloulin Gm dan Km allel
Pewarisan Gen
Peka terhadap Penyakit sehingga Berkurangnya netralisisr dan pembersihan baik terhadap antigen diri sendiri (self-antigen)
Autoimunitas
20
Sinar UV
Kerusakan Jaringan
AUTOIMUN
Autoimun
21
Estrogen abnormal
Pencetus LSE
Pencetus LSE
E.Penegakan Diagnosa
Gejala dari penyakit lupus: - demam - lelah - merasa tidak enak badan - penurunan berat badan - ruam kulit - ruam kupu-kupu - ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari - sensitif terhadap sinar matahari - pembengkakan dan nyeri persendian - pembengkakan kelenjar - nyeri otot - mual dan muntah - nyeri dada pleuritik - kejang - psikosa. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: - hematuria (air kemih mengandung darah) - batuk darah - mimisan - gangguan menelan - bercak kulit - bintik merah di kulit - perubahan warna jari tangan bila ditekan
Kelompok 5 | Fak.Kedokteran Univ.HKBP Nommensen 22
DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid (11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).
23
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman). Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodiantigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002). .Antinuclear antibodies (ANA) Harga normal : nol ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan antiSSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002). Tes Laboratorium lain Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),
Kelompok 5 | Fak.Kedokteran Univ.HKBP Nommensen 24
F.Penatalaksanaan
Tatalaksana SLE
Tabirsurya, profilaksisendokarditis
demam
Kelainan SSP
indometasin
Jikaberlanjut hidroksiklorokuin
+ steroid
Jikaberlanj ut
+statin
Kelas I
Kelas II dan IV
Kelas V
Kelas VI
steroid
25
26
G.Komplikasi
Komplikasi dari penyakit lupus ini dapat mengenai semua organ, memperburuk atau pun semakin menambah manifestasi klinis organ lainya.
dan semakin
Infeksi sekunder Gagal jantung karena miokarditis Efusi pleura Kelainan ginjal Kejang-kejang
H.Prognosis
Secara garis besar penyakit lupus punya 2 akhir kejadian kematian, yaitu kematian akibat komplikasi visceral yang tidak terkontrol, dan kematian akibat komplikasi kortikoterapi.Namun prognosis berbagai bentuk penyakit lupus sekarang telah membaik yaitu dapat bertahan selama 10 tahun dengan angka survival sebesar 90% ,seiring semakin baiknya cara pengobatan, diagnosis yang lebih dini, dan kemungkinan pengobatan variatif seperti hemodialysis lebih luas.
27
29