Anda di halaman 1dari 11

Artikel Penelitian

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup yang Dinilai dengan Asthma Quality of Life Questionnaire

Syifa Imelda, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Persahabatan, Jakarta

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi derajat asma dan kualitas hidup yang dinilai dengan Asthma Quality of Life Questionnaire (AQLQ). Penelitian menggunakan desain kohort observasional. Subjek penelitian merupakan pasien asma (GINA 2002), laki-laki dan perempuan, usia 15-60 tahun. Seluruh subjek melakukan pemeriksaan fungsi paru, mengisi catatan harian dan mengisi kuesioner AQLQ dengan wawancara. Subjek {n=130, 101 perempuan, rerata usia 42,10 (12,25) tahun} terdiri atas kelompok asma derajat ringan (47 pasien), derajat sedang (42 pasien) dan derajat berat (41 pasien). Rerata skor kualitas hidup semua pasien berkisar 4,79 (1,07) untuk skor total sampai 5,01 (1,23) untuk domain keterbatasan aktivitas. Rerata skor kualitas hidup pasien asma derajat ringan berkisar 5,42 (0,66) untuk domain keterbatasan aktivitas sampai 5,71 (0,78) untuk domain fungsi emosi. Pasien asma derajat sedang berkisar 4,64 (1,01) untuk domain gejala sampai 4,80 (1,25) untuk domain fungsi emosi lebih rendah dibandingkan pasien asma derajat ringan (p<0,05). Rerata skor kualitas hidup pasien asma derajat berat berkisar 4,23 (0,99) untuk domain gejala sampai 4,56 (0,87) untuk domain keterbatasan aktivitas lebih rendah dibandingkan pasien asma derajat sedang (p>0,05). Gejala klinis dengan kualitas hidup mempunyai korelasi sedang -berat. Nilai fungsi paru dengan kualitas hidup mempunyai korelasi lemah. Disimpulkan derajat asma mempengaruhi kualitas hidup pada kelompok asma derajat ringan dibandingkan derajat sedang dan berat tetapi tidak mempengaruhi kualitas hidup pada kelompok asma derajat sedang dibandingkan derajat berat. Kata Kunci: kualitas hidup, derajat asma, AQLQ

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

435

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup

Correlation of Asthma Degree Compared to Quality of Life that Measured by Asthma Quality of Life Questionnaire Syifa Imelda, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono
Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia, Persahabatan Hospital, Jakarta, Indonesia

Abstract: The aim of this study was to asses correlation between the asthma degree and quality of life which was measured by asthma quality of life questionnaire (AQLQ. The study was performed by observational cohort study. Subjects were asthma patients based on GINA 2002, male and female, age 15-60 years. All of the subjects had lung function examination, filled the daily card and interviewed to check AQLQ questionnaire. Subjects {n=130, 101 female, mean of age 42.10 (12.25) years old} were consisted of mild asthma degree group (47 patients), moderate asthma (42 patients) and severe asthma (41 patients). All patients had quality of life score mean range from 4.79 (1.07) total score to 5.01 (1.23) the limitation of activity score. Mild asthma patients had quality of life score mean range from 5.42 (0.66) the limitation of activity domain to 5.71 (0.78) emotional function domain. Meanwhile moderate asthma patients had quality of life score mean range from 4.64 (1.01) symptom domain to 4.80 (1.25) emotion function domain, lower than mild asthma degree patients (p<0.05). Quality of life score mean of severe asthma degree patients range from 4.23 (0.99) symptoms domain to 4.56 (0.87) the limitation of activity domain, lower than moderate asthma patients (p>0.05). Quality of life with clinical symptoms had moderate strong correlation. Meanwhile the quality of life with lung function test had weak correlation. It was concluded that the quality of life was influenced by asthma degree of mild asthma patients compared to moderate and severe asthma patients but was not influenced by asthma degree of patient with moderate compared to severe degree of asthma. Keywords: quality of life, asthma degree, AQLQ

Pendahuluan Asma merupakan penyakit saluran napas kronis yang penting dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia dengan kekerapan yang bervariasi di setiap negara dan cenderung meningkat di negara berkembang.1,2 Asma dapat timbul pada semua usia terutama usia muda dan tidak tergantung tingkat sosioekonomi tertentu.3 Meskipun asma jarang menimbulkan kematian, penyakit ini sering menimbulkan masalah baik pada anak maupun dewasa. Asma dapat menyebabkan gangguan aktivitas sehari-hari dan gangguan emosi (cemas, depresi).4 Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari tetapi dapat pula bersifat menetap dan mengganggu aktivitas sehari-hari.5 Derajat keterbatasan aliran udara asma juga sangat bervariasi sehingga gejala klinis yang ditimbulkannya (batuk, mengi dan sesak napas) juga bervariasi. Kualitas hidup terkait kesehatan merupakan pengalaman subjektif pasien mengenai dampak penyakit dan penatalaksanaannya terhadap kepuasan hidup sehingga pada umumnya kualitas hidup pasien asma akan lebih buruk dibandingkan subjek normal.6,7 Identifikasi dan memperbaiki gangguan kualitas hidup merupakan komponen penting pada penatalaksanaan asma.8
436

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menetapkan bahwa tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.9 Kuesioner kualitas hidup spesifik asma telah banyak dikembangkan sehingga dampak penyakit asma dan penatalaksanaannya dapat secara akurat diukur.8,10 Kuesioner tersebut telah banyak digunakan pada uji klinis dan praktik klinis bersamaan dengan pemeriksaan fungsi paru, gejala klinis dan petanda inflamasi.8 Hal itu disebabkan kualitas hidup, gejala klinis dan diameter saluran napas merupakan komponen yang berbeda sehingga apa yang dirasakan pasien tidak dapat disimpulkan dari hasil pengukuran parameter klinis lainnya. Beberapa penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa korelasi antara kualitas hidup dengan gejala klinis dan nilai fungsi paru sangat bervariasi.6,11 Hal tersebut karena pada pengukuran kualitas hidup tidak hanya meliputi dampak penyakit dan penatalaksanaannya tetapi juga efek samping obat, rasa cemas, depresi dan kepuasan terhadap pelayanan kesehatan. Kualitas hidup dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan, status sosioekonomi, riwayat merokok dan lain-lain. Jenis alat ukur yang digunakan juga dapat mempengaruhi kualitas hidup.

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup Asthma quality of life questionnaire (AQLQ) merupakan salah satu kuesioner spesifik asma yang bersifat lebih valid, reliable dan responsive dibandingkan jenis kuesioner lain.6,11 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara derajat asma dengan kualitas hidup yang dinilai berdasarkan AQLQ. Metode Penelitian ini menggunakan studi kohort observasional pada pasien asma yang berobat di poliklinik asma RS Persahabatan Jakarta dan diambil secara consecutive sampling. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Oktober 2006 dengan kriteria inklusi adalah pasien asma (berdasarkan kriteria GINA 2002), laki-laki atau perempuan berusia 1560 tahun, mampu melakukan uji fungsi paru, mempunyai nilai fungsi paru VEP1 atau KVP lebih dari 40% prediksi, tidak menggunakan kortikosteroid oral untuk mengontrol asmanya dan bersedia mengikuti penelitian secara sukarela setelah menerima informed consent. Pasien yang memenuhi kriteria menjalani pemeriksaan spirometri dan diminta mengisi lembar catatan harian selama 2 minggu dan pada akhir minggu kedua pasien diminta untuk menyerahkan lembar catatan harian dan menjalani wawancara untuk mengisi kuesioner kualitas hidup. Kualitas hidup pasien asma dinilai dengan kuesioner AQLQ versi Bahasa Indonesia yang telah diterjemahkan oleh Juniper et al dengan wawancara terpimpin. Kuesioner tersebut terdiri atas 32 pertanyaan yang dikelompokkan menjadi 4 domain (gejala, keterbatasan aktivitas, fungsi emosi, pajanan lingkungan). Setiap pertanyaan diberi nilai sesuai skala Likert dari nilai 1 (secara keseluruhan dibatasi) sampai 7 (sama sekali tidak dibatasi). Skor dihitung dengan cara menjumlahkan semua nilai kemudian dibagi dengan jumlah pertanyaan. Skor tertinggi adalah 7 yang artinya sama sekali tidak ada gangguan kualitas hidup sedangkan skor terendah adalah 1 yang artinya sangat terganggu kualitas hidupnya. Perbedaan skor kualitas hidup 0,5 dinyatakan bermakna. Derajat asma ditentukan berdasarkan kriteria GINA tahun 2002 yang dikelompokkan menjadi asma ringan (asma intermiten dan asma persisten ringan), asma sedang (asma persisten sedang) dan asma berat (asma persisten berat). Gejala asma yang dinilai adalah jumlah batuk selama sehari, gangguan saat tidur malam, aktivitas sehari-hari, frekuensi mengi dan frekuensi penggunaan obat pelega. Skor batuk adalah 1 jika tidak ada, 2 jarang (<10x), 3 sering (1020x) dan 4 sangat sering (>20x). Skor gangguan saat tidur malam adalah 1 jika tidak ada, 2 tidur malam baik tetapi kadang batuk, 3 terbangun 23x karena batuk atau sesak dan 4 sering terbangun karena sesak. Skor gangguan aktivitas adalah 1 jika normal, 2 dapat berjalan cepat sejauh 200 m tapi kemudian sesak, 3 dapat berjalan biasa tetapi tidak dapat cepat karena sesak dan 4 hanya beristirahat di tempat tidur. Skor mengi adalah 1 jika tidak ada, 2 sedikit (12x), 3 sedang dan 4 banyak (hampir setiap hari). Frekuensi penggunaan obat pelega
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

dihitung berdasarkan jumlah semprot yang dipakai selama 2 minggu dibagi jumlah hari. Nilai fungsi paru (KVP% prediksi, VEP1% prediksi, APE) didapat dari pemeriksaan spirometri menggunakan spirometer merk Microspiro HI 298 buatan Chest Corporation, Japan. Usia, jenis kelamin, lama menderita asma, tingkat pendidikan, pemakaian inhalasi kortikosteroid, riwayat merokok dan indeks massa tubuh juga dianalisis terhadap kualitas hidup sebagai variabel perancu. Penelitian ini telah mendapat persetujuan Komite Etik Penelitian Kedokteran/Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Analisis Data Analisis dilakukan terhadap data parametrik dan nonparametrik. Hubungan antara variabel derajat asma, jenis kelamin, tingkat pendidikan, penggunaan inhalasi kortikosteroid, riwayat merokok dengan kualitas hidup dianalisis dengan uji parametrik x2 dan sebagai alternatif
Tabel 1. Karakteristik Pasien Asma Jumlah pasien (n) Rerata usia (SD), tahun Jenis kelamin (%) - Perempuan - Laki-laki Rerata lama sakit asma (SD), tahun Tingkat pendidikan (%) - Rendah - Sedang - Tinggi Penggunaan inhalasi kortikosteroid (%) - Tidak pernah menggunakan inhalasi kortikosteroid - Menggunakan inhalasi kortikosteroid tetapi tidak teratur - Menggunakan inhalasi kortikosteroid secara teratur Riwayat merokok (%) - Bukan perokok - Bekas perokok - Perokok Indeks massa tubuh (SD) Derajat asma (%) - Ringan - Sedang - Berat Gejala klinis (SD) - Batuk - Gangguan saat tidur malam - Aktivitas sehari-hari - Mengi - Frekuensi penggunaan obat bronkodilator Fungsi paru (SD) - KVP (% prediksi) - VEP1 (% prediksi) - APE (ml) SD = standar deviasi, KVP = kapasitas vital paksa, VEP1 = volume ekspirasi paksa detik pertama, APE = arus puncak ekspirasi 130 42,1 (12,2) 101 (77,7%) 29 (22,3%) 19,9 (14,3) 9 (6,9%) 71 (54,6%) 50 (38,5%) 41 (31,5%) 42 (32,3%) 47 (36,2%)

106 (81,5%) 17 (13,1%) 7 (5,4%) 24,9 (4,5) 47 (36,1%) 42 (32,3%) 41 (31,5%) 1,49 1,49 1,58 1,46 0,35 (0,33) (0,35) (0,37) (0,35) (0,27)

82,51 (8,84) 74,58 (17,04) 239,88 (78,89)

437

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup menggunakan uji Fisher. Hubungan variabel gejala klinis, nilai fungsi paru, usia, lama menderita asma, indeks massa tubuh dengan kualitas hidup dianalisis dengan uji T tidak berpasangan dan sebagai alternatif menggunakan uji MannWhitney. Analisis akan dilanjutkan dengan menggunakan uji regresi linier dengan batas kemaknaan di bawah 0,05. Hasil Penelitian Sebanyak 130 orang pasien asma dapat mengikuti penelitian sampai selesai yang terdiri atas kelompok asma derajat ringan 47 orang (36,1%), derajat sedang 42 orang (32,3%) dan derajat berat 41 orang (31,5%). Rerata skor kualitas hidup pada seluruh pasien asma adalah 4,79 (1,07) untuk skor total, 4,93 (0,89) skor domain gejala, 5,01 (1,23) domain keterbatasan aktivitas, 4,91 (1,13) domain fungsi emosi dan 4,89 (0,94) domain pajanan lingkungan. Rerata skor kualitas hidup baik skor total maupun setiap domain pada kelompok asma derajat ringan lebih tinggi dibandingkan kelompok asma derajat sedang dan berat dengan selisih lebih dari 0,5 dan secara uji statistik berbeda bermakna (p<0,05). Rerata skor kualitas hidup pada kelompok asma derajat sedang juga lebih tinggi dibandingkan kelompok asma derajat berat tetapi dengan selisih kurang dari 0,5 dan secara uji statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05) (Gambar 1). Korelasi skor batuk dengan skor kualitas hidup mempunyai kekuatan korelasi berkisar antara -0,375 (domain pajanan lingkungan) sampai -0,573 (domain gejala) dengan nilai p=0,000 seperti terlihat pada gambar 2. Korelasi antara skor gangguan saat tidur malam dengan skor kualitas hidup mempunyai koefisien korelasi berkisar antara -0,465 (domain pajanan lingkungan) sampai -0,743 (domain gejala) dengan nilai p=0,000. Skor aktivitas sehari-hari mempunyai koefisien korelasi dengan skor kualitas hidup berkisar antara -0,517 (domain pajanan lingkungan) sampai -0,746 (domain gejala) dengan nilai p=0,000. Skor mengi dengan skor kualitas hidup mempunyai koefisien korelasi berkisar antara -0,433 (domain pajanan lingkungan) sampai -0,725 (domain gejala) dengan nilai p=0,000. Skor penggunaan obat bronkodilator dengan skor kualitas hidup juga mempunyai koefisien korelasi berkisar antara -0,496 (domain pajanan lingkungan) sampai -0,739 (domain gejala) dengan nilai p=0,000.

7.00

Skor Domain Gejala AQLQ

6.00

5.00

r=-0,573 p=0,000 uji Spearman

4.00

3.00

1.00

1.50

2.00

2.50

Skor Batuk

Gambar 2. Diagram Tebar antara Skor Batuk dengan Skor Kualitas Hidup Domain Gejala AQLQ

Koefisien korelasi antara nilai KVP% prediksi dengan skor kualitas hidup berkisar antara 0,190 pada domain keterbatasan aktivitas sampai 0,216 domain gejala (p<0,05) seperti terlihat pada gambar 3. Koefisien korelasi antara nilai VEP1% prediksi dengan skor gejala klinis berkisar antara 0,271 domain keterbatasan aktivitas sampai 0,320 skor total (p<0,05). Koefisien korelasi antara nilai APE dengan skor

p=0,000

p=0,000 p=0,096 5.43 p=0,055 4.64 4.23

p=0,000 5.42 p=0,303 4.74 4.56

p=0,000 5.71 p=0,162 4.8 4.4

p=0,000 5.53 p=0,209 4.76 4.36

6 5 4 3 2 1 0

5.48

4.71

4.39

Total

Domain Gejala

Domain Keterbatasan Aktivitas

Domain Fungsi Emosi

Domain Pajanan Lingkungan

Gambar 1. Perbandingan Skor Kualitas Hidup Berdasarkan Derajat Asma

438

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup domain gejala, fungsi emosi dan pajanan lingkungan (p<0,05). Sedangkan skor kualitas hidup pada pasien asma yang menggunakan inhalasi kortikosteroid secara teratur lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak pernah menggunakannya pada domain gejala dan fungsi emosi (p<0,05) seperti terlihat pada tabel 3. Skor kualitas hidup baik skor total maupun setiap domain tidak dipengaruhi riwayat merokok dan secara uji statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Korelasi antara indeks massa tubuh dengan skor kualitas hidup baik skor total maupun setiap domain mempunyai kekuatan korelasi sangat lemah dan secara uji statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa derajat asma, skor gejala klinis (batuk, gangguan saat tidur malam, aktivitas sehari-hari, mengi, penggunaan obat bronkodilator), nilai fungsi paru (KVP% prediksi, VEP1% prediksi, APE), jenis kelamin (domain keterbatasan aktivitas) dan pemakaian inhalasi kortikosteroid (skor total, domain gejala, fungsi emosi dan pajanan lingkungan) merupakan faktor yang secara bermakna mempengaruhi kualitas hidup. Setelah dilakukan analisis regresi linier didapatkan hasil bahwa hampir semua faktor tersebut secara bermakna mempengaruhi kualitas hidup kecuali variabel penggunaan inhalasi kortikosteroid yang tidak secara bermakna mempengaruhi kualitas hidup domain pajanan lingkungan (r=+0,040, p=0,327) seperti terlihat pada tabel 4. Diskusi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan derajat asma dengan kualitas hidup pasien asma yang diukur menggunakan AQLQ. Pada perkembangan penelitian dapat juga dilihat faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup pasien asma. Total pasien yang diteliti adalah 130 orang terdiri atas 47 orang (36,1%) kelompok asma derajat ringan, 42 orang (32,3%) kelompok asma derajat sedang dan

7.00

Skor Domain Gejala AQLQ

6.00

5.00

r=0,216 p=0,014 uji Pearson

4.00

3.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

Nilai KVP% Prediksi

Gambar 3. Diagram Tebar antara Nilai KVP% Prediksi dengan Skor Kualitas Hidup Domain Gejala AQLQ

kualitas hidup berkisar antara 0,194 domain fungsi emosi sampai 0,300 domain keterbatasan aktivitas (p<0,05). Korelasi antara umur dengan skor kualitas hidup baik skor total maupun setiap domain bersifat sangat lemah dan secara uji statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Rerata skor kualitas hidup pada pasien perempuan lebih rendah dibandingkan lakilaki pada domain keterbatasan aktivitas (p=0,048) seperti terlihat pada tabel 2. Penelitian ini memperlihatkan bahwa lama menderita asma tidak mempengaruhi kualitas hidup dengan koefisien korelasi bersifat lemah sangat lemah dan secara uji statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Skor kualitas hidup pasien asma berdasarkan tingkat pendidikan tidak memperlihatkan perbedaan bermakna secara uji statistik (p>0,05). Skor kualitas hidup pasien yang menggunakan inhalasi kortikosteroid secara teratur lebih tinggi dibandingkan pasien yang menggunakannya tetapi tidak teratur pada skor total,

Tabel 2. Skor Kualitas Hidup Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin Total Perempuan Laki-laki Domain gejala Perempuan Laki-laki Domain keterbatasan aktivitas Perempuan Laki-laki Domain fungsi emosi Perempuan Laki-laki Domain pajanan lingkungan Perempuan Laki-laki X (SD) Median Kisaran Nilai p

4,83 (0,98) 5,11 (0,79) 4,77 (1,12) 4,87 (0,92) 4,84 (0,90) 5,23 (0,79) 4,89 (1,27) 5,40 (1,01) 4,85 (1,11) 5,13 (1,19)

4,97 5,06 5,00 4,67 4,82 5,27 5,20 5,60 5,00 5,25

2,72 6,38 3,53 6,72 2,25 6,83 2,83 6,75 2,45 6,64 3,27 6,82 2,00 7,00 3,60 7,00 1,00 6,50 1,75 7,00

p=0,257 Mann-Whitney

p=0,869 Mann-Whitney

p=0,048 Mann-Whitney

p=0,093 Mann-Whitney

p=0,202 Mann-Whitney

X (SD) = nilai rerata (standar deviasi)

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

439

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup


Tabel 3. Skor Kualitas Hidup Berdasarkan Frekuensi Penggunaan Inhalasi Kortikosteroid Frekuensi kortikosteroid Total Tidak pernah Pernah tapi tidak teratur Pernah dan teratur Domain gejala Tidak pernah Pernah tapi tidak teratur Pernah dan teratur Domain keterbatasan aktivitas Tidak pernah Pernah tapi tidak teratur Pernah dan teratur Domain fungsi emosi Tidak pernah Pernah tapi tidak teratur Pernah dan teratur Domain pajanan lingkungan Tidak pernah Pernah tapi tidak teratur Pernah dan teratur X (SD) Median Kisaran Nilai p Mann-Whitney

4,79 (0,98) 4,69 (0,89) 5,15 (0,91) 4,71 (1,03) 4,49 (1,03) 5,15 (1,07) 4,85 (0,99) 4,83 (0,85) 5,08 (0,82) 4,74 (1,25) 4,88 (1,23) 5,35 (1,16) 4,95 (1,19) 4,72 (1,02) 5,05 (1,17)

4,59 4,84 5,38 4,92 4,71 5,25 4,64 4,73 5,27 5,00 5,30 5,80 4,75 5,00 5,25

2,75 6,72 2,72 6,09 2,81 6,38 2,50 6,75 2,25 6,25 2,75 6,83 2,45 6,82 3,00 6,64 3,18 6,18 2,00 7,00 2,20 7,00 2,20 7,00 2,00 7,00 2,50 6,50 1,00 6,50

p*=0,675p**=0,075p***=0,015

p*=0,349p**=0,046p***=0,003

p*=0,996p**=0,274p***=0,109

p*=0,514p**=0,005p***=0,036

p*=0,353p**=0,462p***=0,044

Nilai p* = nilai p hasil uji analisis kelompok tidak pernah menggunakan kortikosteroid dengan menggunakan kortikosteroid tapi tidak teratur Nilai p** = nilai p hasil uji analisis kelompok tidak pernah menggunakan kortikosteroid dengan menggunakan kortikosteroid secara teratur Nilai p*** = nilai p hasil uji analisis kelompok menggunakan kortikosteroid tapi tidak teratur dengan menggunakan kortikosteroid secara teratur X (SD) = nilai rerata (standar deviasi)

Tabel 4. Analisis Regresi Linier Variabel bebas Total Domain gejala 0,461 0,585 0,720 0,716 0,705 0,672 0,216 0,293 0,263 0,180 Kekuatan korelasi (r) Domain keterbatasan Domain fungsi aktivitas emosi 0,404 0,513 0,526 0,525 0,508 0,501 0,193 0,262 0,303 0,444 0,441 0,524 0,526 0,480 0,515 0,219 0,273 0,212 0,219

Domain pajanan lingkungan 0,427 0,338 0,421 0,441 0,422 0,431 0,256 0,310 0,305 0,040*

Derajat asma# Skor batuk# Skor gangguan saat tidur# Skor aktivitas sehari-hari # Skor mengi# Skor penggunaan obat bronkodilator# KVP% prediksi# VEP1% prediksi# APE # Frekuensi penggunaan kortikosteroid inhalasi
#

0,482 0,557 0,648 0,649 0,627 0,619 0,237 0,312 0,299 0,161

= nilai p<0,05

* = nilai p>0,05

41 orang (31,5%) kelompok asma derajat berat. Rerata (SD) usia pasien pada penelitian ini adalah 42,10 (12,25) tahun lebih tua dibandingkan rerata usia pasien pada penelitian yang dilakukan oleh Moy et al,11 yaitu 28 (9) tahun pada kelompok asma derajat ringan dan 32 (10) tahun pada kelompok asma derajat sedangberat. Sedangkan rerata usia pada penelitian yang dilakukan oleh Pont et al.12 adalah 39,8 tahun. Jenis kelamin pasien pada penelitian ini lebih banyak perempuan yaitu 101 orang (77,7%) sedangkan laki-laki hanya 29 orang (22,3%). Distribusi jenis kelamin tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Moy et al,11 yaitu laki-laki sebanyak 42% dan perempuan 58%. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Pont et al.12 mempunyai

distribusi jenis kelamin yang hampir merata yaitu laki-laki 41,8% dan perempuan 58,2%. Distribusi frekuensi penggunaan inhalasi kortikosteroid pada penelitian ini hampir merata. Sebanyak 28 pasien (21,5%) pada penelitian ini tidak mengikuti guideline yang dibuat oleh PDPI. Sebagian besar pasien pada penelitian ini bukan perokok. Rerata skor kualitas hidup pada seluruh pasien asma adalah 4,79 (1,07) untuk skor total, 4,93 (0,89) skor domain gejala, 5,01 (1,23) skor domain keterbatasan aktivitas, 4,91 (1,13) skor domain fungsi emosi dan 4,89 (0,94) skor domain pajanan lingkungan. Skor kualitas hidup setiap domain dan skor total pada kelompok asma derajat ringan lebih tinggi (>0,5) dibandingkan skor kualitas hidup pada kelompok asma

440

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup derajat sedang dan berat. Perbandingan tersebut secara uji statistik menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Kelompok asma derajat sedang juga mempunyai rerata skor kualitas hidup lebih tinggi dibandingkan kelompok asma derajat berat pada semua domain dan skor total dengan selisih kurang dari 0,5 dan secara uji statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Pasien asma derajat ringan mempunyai rerata skor kualitas hidup berkisar antara 5,42 (0,66) untuk domain keterbatasan aktivitas sampai 5,71 (0,78) untuk domain fungsi emosi. Sedangkan pasien asma derajat sedang mempunyai rerata skor kualitas hidup berkisar antara 4,64 (1,01) untuk domain gejala sampai 4,80 (1,25) untuk domain fungsi emosi. Rerata skor kualitas hidup pasien asma derajat berat berkisar antara 4,23 (0,99) untuk domain gejala sampai 4,56 (0,87) untuk domain keterbatasan aktivitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Moy et al.11 yang menyatakan bahwa skor kualitas hidup baik skor total maupun setiap domain pada pasien asma derajat ringan lebih tinggi dibandingkan pasien asma derajat sedang berat dan secara uji statistik berbeda bermakna. Rerata skor kualitas hidup pasien asma derajat ringan pada penelitian Moy et al.11 adalah 4,94 untuk domain keterbatasan aktivitas dan 4,68 untuk domain pajanan lingkungan sedangkan pasien asma derajat sedang-berat mempunyai rerata skor kualitas hidup adalah 4,42 untuk domain aktivitas dan 3,93 untuk domain emosi. Tetapi pada penelitian tersebut tidak melakukan analisis terhadap kelompok asma derajat sedang dengan kelompok asma derajat berat seperti yang dilakukan pada penelitian ini. Sehingga kami tidak dapat mengetahui apakah terdapat perbedaan skor kualitas hidup yang bermakna atau tidak pada kelompok pasien asma derajat sedang dengan kelompok asma derajat berat. Selain itu penelitian tersebut juga tidak dapat menjelaskan perbedaan skor kualitas tersebut disebabkan jumlah pasien asma derajat berat lebih dominan atau tidak dibandingkan pasien asma derajat sedang. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pont et al,12 yang memperlihatkan rerata skor kualitas hidup seluruh pasien asma adalah 5,5 (1,0). Skor kualitas hidup pada penelitian Pont et al,12 menurun seiring peningkatan derajat asma yaitu 6,1 (0,7) untuk pasien asma kelas 1, 5,5 (0,4) kelas 2, 5,2 (0,9) kelas 3 dan 4,8 (1,2) kelas 4. Klasifikasi yang digunakan oleh penelitian ini adalah berdasarkan guideline National Institute of Health tahun 1997. Pasien asma kelas 1 mempunyai kriteria klasifikasi yang sesuai dengan kriteria asma intermiten berdasarkan GINA 2002, sedangkan pasien asma kelas 2 sesuai dengan kriteria asma persisten ringan, kelas 3 sesuai dengan asma persisten sedang dan kelas 4 sesuai dengan asma persisten berat. Pada penelitian ini menggunakan klasifikasi asma derajat ringan (asma intermiten dan asma persisten ringan), asma derajat sedang (asma persisten sedang) dan asma derajat berat (asma persisten berat). Pada penelitian ini kami menggabungkan pasien asma intermiten dan asma persisten ringan. Sedangkan
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

pada penelitian yang dilakukan oleh Pont et al,12 memperlihatkan selisih skor kualitas hidup kelas 1 dengan kelas 2 sebesar lebih dari 0,5. Selisih skor kualitas hidup antara pasien asma kelas 3 dengan kelas 4 memperlihatkan lebih dari 0,5 berbeda dengan hasil yang didapat pada penelitian kami yang memperlihatkan selisih skor kualitas hidup antara kelompok pasien asma derajat sedang dengan berat kurang dari 0,5 dan berdasarkan uji statistik tidak memperlihatkan perbedaan bermakna. Korelasi antara skor kualitas hidup dengan skor gejala klinis menunjukkan kekuatan korelasi sedangkuat dengan arah korelasi negatif dan secara uji statistik menunjukkan perbedaan bermakna. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Moy et al,11 yang memperlihatkan korelasi yang lebih baik antara skor kualitas hidup asma dengan skor gejala klinis dibandingkan dengan nilai fungsi paru. Tetapi korelasi tersebut sangat dipengaruhi oleh derajat asma yaitu pada kelompok asma derajat ringan (r=0,34-0,56) mempunyai korelasi lebih kuat dibandingkan kelompok asma derajat sedangberat (r=0,06-0,27).11 Korelasi antara skor kualitas hidup baik skor total maupun setiap domain dengan skor penggunaan obat bronkodilator mempunyai kekuatan sedangkuat dengan arah korelasi negatif dan secara uji statistik menunjukkan perbedaan bermakna. Hasil ini hanya sesuai dengan penelitian Moy et al,11 yang menyatakan bahwa pada kelompok asma derajat ringan korelasi antara skor kualitas hidup dengan skor penggunaan obat bronkodilator mempunyai nilai r=-0,49 dan p=0,0001. Matheson et al,13 menyatakan bahwa pasien dengan diagnosis asma berdasarkan terdapatnya gejala mengi dalam 12 bulan terakhir mempunyai kualitas hidup yang diukur dengan SF-36 lebih buruk dan secara uji statisitik berbeda bermakna dibandingkan populasi normal. Tetapi jika definisi asma yang digunakan berdasarkan kombinasi gejala klinis dengan faal paru atau hanya berdasarkan nilai faal paru saja (hipereaktivitas bronkus atau nilai VEP1) tidak memperlihatkan gangguan kualitas hidup yang secara uji statistik bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa pasien dengan gejala respirasi apapun akan mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk.13 Beberapa penelitian lain juga memperlihatkan terdapat korelasi yang kuat antara kualitas hidup yang buruk dengan derajat asma yang diukur secara subjektif seperti skor gejala harian dan penggunaan obat bronkodilator. Sedangkan penelitian tersebut juga memperlihatkan korelasi yang sangat buruk antara parameter objektif seperti nilai VEP1 dengan skor kualitas hidup. Hal ini kemungkinan disebabkan perhatian pasien terhadap kondisi asmanya cenderung lebih fokus pada frekuensi gejala klinis, keterbatasan aktivitas dan menghindari pajanan lingkungan. Pasien dengan asma ringan pada umumnya mengalami gejala klinis lebih ringan sehingga mempunyai kualitas hidup yang hampir sama dengan populasi normal. Tetapi pada saat mereka mengalami gejala atau eksaserbasi maka kejadian tersebut akan sangat
441

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup mempengaruhi kualitas hidup mereka secara bermakna. Pada kondisi lain pasien dengan asma derajat lebih berat dan biasanya lebih sering mengalami gejala respiratorik akan dapat menerima kondisi kronik tersebut dalam kehidupannya sehari-hari sehingga jika terjadi eksaserbasi hanya akan memberikan dampak yang ringan terhadap kualitas hidupnya.13 Juniper et al.7 juga menyatakan bahwa terdapat korelasi dengan kekuatan sedang antara skor kualitas hidup yang dinilai dengan kuesioner the Acute AQLQ dengan gejala klinis (r=0,39) dan korelasi tersebut konsisten pada derajat asma yang lebih ringan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa semakin rendah nilai fungsi paru (VEP1% prediksi, KVP% prediksi dan APE) maka akan semakin rendah skor kualitas hidup yang dinilai dengan AQLQ pada semua domain dan skor total. Tetapi korelasi antara skor kualitas hidup baik skor total maupun setiap domain dengan nilai KVP% prediksi, VEP1% prediksi dan APE mempunyai kekuatan lemah dengan koefisien korelasi (r) berkisar antara 0,190 sampai 0,320 dan secara uji statistik menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Moy et al.11 yang menyatakan bahwa pada kelompok asma derajat ringan mempunyai korelasi yang lebih baik antara skor kualitas hidup dengan nilai VEP1 (r=0,18, p=0,02) dan APE (r=0,18, p=0,02). Sedangkan nilai fungsi paru lain (VEP1% prediksi, KVP, KVP% prediksi) mempunyai korelasi yang sangat lemah dan secara uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Hal ini disebabkan kisaran skor kualitas hidup pasien asma pada penelitian ini lebih lebar. Moy et al,11 menyatakan bahwa pada nilai VEP1% prediksi kurang dari 80% mempunyai kisaran kualitas hidup yang sangat luas yaitu 1,33 sampai 6,6. Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan adaptasi terhadap keterbatasan yang disebabkan asma, temperamen dan motivasi pasien, psikososial dan dukungan ekonomi serta kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan. Persepsi atau pemahaman pasien terhadap kondisi asma yang dialaminya sangat bervariasi dan mengalami adaptasi seiring dengan waktu. Skor intensitas gejala klinis dan penggunaan obat pelega mempunyai korelasi lebih kuat dibandingkan nilai fungsi paru dengan kualitas hidup yang diukur dengan AQLQ. Hal ini disebabkan nilai fungsi paru (VEP1, KVP) hanya menggambarkan kondisi pada satu waktu sedangkan kualitas hidup menggambarkan kondisi pasien selama lebih dari 2 minggu seperti halnya skor gejala klinis dan penggunaan obat pelega yang dinilai selama 2 minggu.10 Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Wisniewsky et al,11 yang menyatakan bahwa kualitas hidup, gejala klinis pada siang hari, gejala klinis pada malam hari dan nilai fungsi paru merupakan dimensi yang berbeda pada asma. Hal ini semakin mendukung bahwa kualitas hidup seharusnya diukur sebagai parameter tambahan pada parameter klinis yang telah ada.1 Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pasien asma
442

perempuan mempunyai skor kualitas hidup lebih rendah dibandingkan pasien asma laki-laki dengan selisih kurang dari 0,5 dan secara statistik tidak bermakna (p>0,05) pada semua domain kecuali domain keterbatasan aktivitas (p=0,048). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perempuan mempunyai kualitas hidup lebih buruk secara bermakna dibandingkan laki-laki.1416 Leidy et al,16 menyatakan bahwa pasien asma lakilaki mempunyai kualitas hidup yang dinilai dengan AQLQ terutama domain aktivitas dan gejala lebih baik dibandingkan perempuan. Osman et al.15 juga menyatakan bahwa skor kualitas hidup yang dinilai dengan AQLQ pada pasien perempuan dengan asma derajat ringan lebih rendah secara bermakna dibandingkan pasien laki-laki. Perbedaan tersebut konsisten terjadi tidak hanya dengan menggunakan AQLQ tetapi juga pada kuesioner yang bersifat spesifik asma lainnya dan kuesioner yang bersifat umum. Ford et al,17 juga menyatakan bahwa perempuan dengan asma mempunyai rerata jumlah hari tidak sehat secara fisik, mental, fisik dan mental serta keterbatasan aktivitas yang lebih besar dibandingkan pasien asma laki-laki. Perempuan dengan asma juga mempunyai risiko kesehatan yang buruk (OR 2,54; 95% CI 2,28 2,84) lebih tinggi secara bermakna dibandingkan laki-laki dengan asma (OR 2,21; 95% CI 1,92 2,54).17 Leynaert et al,18 menyatakan bahwa pasien asma laki laki mempunyai skor kualitas hidup yang dinilai dengan SF36 lebih tinggi secara bermakna dibandingkan perempuan (fungsi fisik, role physical, nyeri tubuh dan vitalitas). Hal ini disebabkan perempuan lebih rentan terhadap perubahan gejala klinis yang dialaminya dibandingkan laki-laki. Perbedaan yang tidak bermakna pada hasil penelitian ini disebabkan distribusi yang tidak seimbang antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jumlah subjek perempuan pada penelitian ini lebih banyak yaitu 101 orang (77,7%) dibandingkan laki-laki yaitu 29 orang (22,3%). Hal tersebut mungkin disebabkan oleh teknik pengambilan sampel yang menggunakan teknik consecutive sampling. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Moy et al,11 dan Pont et al,12 yang memperlihatkan bahwa distribusi jenis kelamin hampir sama walaupun perempuan sedikit lebih banyak dibandingkan laki-laki. Secara uji statistik perbedaan distribusi tersebut memperlihatkan hubungan yang bermakna (p=0,01). Selain itu pada semua kelompok derajat asma juga memperlihatkan distribusi yang tidak merata yaitu jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Jenis kelamin perempuan pada kelompok pasien asma derajat ringan sebanyak 35 orang (47,5%), laki-laki 12 orang (25,5%). Kelompok asma derajat sedang sebanyak 39 orang (92,9%) perempuan dan laki-laki 3 orang (7,1%) sedangkan kelompok asma derajat berat sebanyak 27 orang (65,9%) perempuan dan 14 orang (34,1%) laki-laki. Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa semakin bertambah usia pasien asma maka semakin rendah skor kualitas hidupnya pada semua domain kecuali domain fungsi
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup emosi yang memperlihatkan bahwa semakin tua usia pasien asma semakin baik kualitas hidupnya. Tetapi koefisien korelasi antara skor kualitas hidup dengan usia sangat rendah (r0,110) dan secara statistik tidak bermakna (p>0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas hidup yang dinilai dengan AQLQ pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh usia. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Katelaars et al, 19 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kualitas hidup dan peningkatan usia. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ford et al,17 yang menyatakan bahwa rerata jumlah hari tidak sehat secara fisik, mental, fisik dan mental serta rerata jumlah hari dengan keterbatasan aktivitas meningkat seiring dengan peningkatan usia. Brazier et al dan Mangione et al, 19 juga menyatakan bahwa korelasi negatif secara bermakna terjadi antara usia dan kualitas hidup yang dinilai dengan SF-36 untuk fungsi fisik dan nyeri tetapi tidak untuk status kesehatan mental. Gangguan kualitas hidup yang terjadi pada pasien asma usia tua lebih disebabkan keluhan sesak napas dan keterbatasan aktivitas yang lebih sering mengganggu kehidupannya sehari-hari. Sedangkan gangguan emosi (depresi, marah dan frustasi) pada pasien asma usia tua pada umumnya lebih rendah dan lebih stabil dibandingkan pasien asma usia muda sehingga kualitas hidup lebih baik dibandingkan pasien asma usia muda. Semakin lama pasien menderita asma semakin rendah skor kualitas hidup yang dinilai dengan AQLQ pada semua domain dan skor total kecuali domain fungsi emosi yang memperlihatkan bahwa semakin lama menderita penyakit asma semakin baik kualitas hidupnya. Tetapi pada penelitian ini memperlihatkan bahwa koefisien korelasi antara skor kualitas hidup dengan lama menderita asma sangat lemah (r0,125) dan secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Pasien yang telah lama menderita penyakit asma pada umumnya akan melakukan adaptasi terhadap penyakit asma yang dideritanya dan menganggap penyakitnya sebagai gaya hidup sehingga pasien merasa tidak ada gangguan pada aktivitas sehari-hari. Pada hasil penelitian ini skor kualitas hidup asma tidak dipengaruhi oleh lamanya sakit asma hal ini mungkin disebabkan luasnya kisaran lama menderita asma yaitu antara 1 sampai 55 tahun. Pasien asma dengan tingkat pendidikan rendah mempunyai skor kualitas hidup lebih rendah dibandingkan pasien asma dengan tingkat pendidikan sedang dan tinggi pada semua domain tetapi dengan selisih kurang dari 0,5 dan secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijnhoven et al, 6 yang menyatakan bahwa pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Tetapi pada hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa pasien asma dengan tingkat pendidikan sedang mempunyai skor kualitas hidup lebih baik
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

dibandingkan pasien asma dengan tingkat pendidikan rendah dan tinggi pada semua domain dan skor total kecuali domain fungsi emosi. Walaupun selisih skor kualitas hidup antar kelompok pasien berdasarkan tingkat pendidikan kurang dari 0,5 dan secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Perbedaan hasil ini dapat disebabkan distribusi pasien berdasarkan tingkat pendidikan tidak merata yaitu jumlah pasien asma dengan tingkat pendidikan sedang lebih banyak dibandingkan pasien asma dengan tingkat pendidikan rendah dan tinggi. Jumlah pasien asma dengan tingkat pendidikan rendah 9 orang (6,9%), tingkat pendidikan sedang 71 orang (54,6%) dan tingkat pendidikan tinggi 50 orang (38,5%). Pasien dengan tingkat pendidikan sedang mempunyai distribusi derajat penyakit yang hampir merata yaitu sebanyak 23 orang (32,4%) merupakan pasien asma derajat ringan, 25 orang (35,2%) derajat sedang dan 23 orang (32,4%) derajat berat. Distribusi derajat asma pada pasien dengan tingkat pendidikan rendah dan tinggi juga hampir merata dan secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Distribusi derajat asma pada pasien dengan tingkat pendidikan rendah yaitu 2 orang (22,2%) merupakan pasien asma derajat ringan, 4 orang (44,5%) derajat sedang dan 3 orang (33,3%) derajat berat. Sebanyak 22 orang (44,0%) pasien asma dengan tingkat pendidikan tinggi mempunyai asma derajat ringan, 13 orang (26,0%) derajat sedang dan 15 orang (30,0%) derajat berat. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pasien asma yang menggunakan inhalasi kortikosteroid secara teratur mempunyai skor kualitas hidup lebih tinggi dibandingkan pasien yang menggunakannya secara tidak teratur dan yang tidak pernah menggunakannya pada semua domain dan skor total. Pasien asma yang menggunakan inhalasi kortikosteroid secara tidak teratur mempunyai skor kualitas hidup yang dinilai dengan AQLQ lebih rendah dibandingkan pasien asma yang tidak pernah menggunakan inhalasi kortikosteroid. Tetapi perbedaan antara pasien asma yang menggunakannya secara teratur dengan yang tidak pernah menggunakannya secara statistik berbeda bermakna pada domain gejala (p=0,046) dan fungsi emosi (p=0,005) sedangkan domain lainnya dan skor total tidak berbeda bermakna (p>0,05). Perbandingan antara pasien yang menggunakan inhalasi kortikosteroid secara teratur dengan yang menggunakannya tetapi tidak teratur secara uji statistik mempunyai hubungan bermakna pada semua domain dan skor total kecuali domain keterbatasan aktivitas (p=0,109). Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa pasien yang menggunakan inhalasi kortikosteroid secara tidak teratur mempunyai skor kualitas hidup lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak pernah menggunakan inhalasi kortikosteroid walaupun berdasarkan uji statistik tidak memperlihatkan hubungan yang bermakna (p>0,05). Juniper et al,20 menyatakan bahwa pemberian inhalasi kortikosteroid (budesonid 800 mg/hr) selama 4 minggu dapat meningkatkan skor kualitas hidup yang dinilai dengan AQLQ
443

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup secara bermakna dan dipertahankan selama 12 bulan pengobatan. Tetapi pada pemberian jangka panjang inhalasi kortikosteroid tidak memperlihatkan peningkatan yang bermakna pada skor kualitas hidup walaupun terjadi peningkatan fungsi paru yang secara statistik bermakna. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Schayck et al,7 bahwa terapi inhalasi Beclomethasone Dipriopionate pada pasien asma derajat ringan selama 2 tahun tidak memperlihatkan perubahan kualitas hidup yang dinilai dengan The Inventory of Subjective Health secara bermakna. Walaupun pemberian inhalasi tersebut dapat meningkatkan nilai VEP1 dan menurunkan gejala respiratorik secara bermakna.7 Schayck et al.7 menyatakan bahwa pasien dengan asma derajat ringan yang mendapat kortikosteroid inhalasi mempunyai kualitas hidup yang tidak berbeda bermakna dibandingkan pasien yang tidak pernah menggunakan kortikosteroid inhalasi namun penilaian kualitas hidup pada penelitian ini tidak menggunakan kuesioner yang bersifat spesifik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Juniper et al.21 yang menyatakan bahwa pasien asma derajat sedang yang tidak mendapat terapi inhalasi kortikosteroid akan mengalami perburukan skor kualitas hidup yang dinilai dengan AQLQ (-0,81) yang secara statistik bermakna dibandingkan pasien yang mendapat inhalasi Hydrofluoroalkane Beclomethasone Dipropionate 400 mg (+0,13) dan Chlorofluorocarbon Beclomethasone Dipropionate 800 mg (-0,03). Pada penelitian ini pasien asma yang menggunakan inhalasi kortikosteroid secara tidak teratur mempunyai skor kualitas hidup lebih buruk dibandingkan yang tidak pernah menggunakannya atau menggunakannya secara teratur. Pasien asma pada kelompok tersebut sebagian besar merupakan pasien yang berdasarkan derajat penyakitnya harus mendapat terapi inhalasi kortikosteroid atau yang disarankan oleh dokter untuk menggunakan obat tersebut. Pasien asma yang tidak pernah menggunakan inhalasi kortikosteroid pada penelitian ini merupakan pasien yang karena derajat penyakitnya tidak disarankan oleh dokter untuk mendapat terapi inhalasi kortikosteroid atau pasien disarankan untuk mendapat obat tersebut tetapi tidak pernah membelinya. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kelompok pasien yang tidak pernah menggunakan inhalasi kortikosteroid sebagian besar merupakan pasien asma derajat ringan sebanyak 17 orang (41,46%) dan derajat sedang 15 orang (36,59%) sedangkan hanya 9 orang (21,95%) yang merupakan pasien asma derajat berat. Sebagian besar pasien yang menggunakan inhalasi kortikosteroid secara tidak teratur merupakan kelompok pasien asma derajat berat yaitu 21 orang (50,0%). Sedangkan hanya 9 orang (21,43%) yang merupakan pasien asma derajat ringan dan 12 orang (28,57%) asma derajat sedang. Kebiasaan merokok pada pasien asma dapat memperburuk gejala klinis, fungsi paru dan kualitas hidup. Kebiasaan merokok juga dapat meningkatkan risiko
444

morbiditas dan mortalitas pasien asma karena dapat memicu dan memperberat eksaserbasi asma.22 Penelitian ini memperlihatkan bahwa pasien asma yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi dibandingkan pasien asma yang bukan perokok dan bekas perokok pada semua domain dan skor total. Berdasarkan uji statistik hasil penelitian tersebut tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Pasien asma yang bukan perokok dibandingkan bekas perokok mempunyai kualitas hidup lebih baik pada skor total, domain gejala dan pajanan lingkungan sedangkan domain fungsi emosi dan keterbatasan aktivitas lebih buruk tetapi secara statistik tidak bermakna. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Leynaert et al.18 yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada kualitas hidup pasien asma bukan perokok, bekas perokok dan perokok sedang yang dinilai dengan SF-36. Tetapi pada pasien asma perokok berat (>12 pak per pertahun) mempunyai kualitas hidup lebih buruk dibandingkan pasien yang bukan perokok berat.18 Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gallefoss et al.22 yang menyatakan bahwa pasien asma dengan kebiasaan merokok mempunyai kualitas hidup yang dinilai dengan SGRQ lebih buruk (14,7 unit; 95% CI 6123,3; p=0,001) dibandingkan pasien yang tidak merokok atau bekas perokok. Strine et al.23 menyatakan bahwa pasien asma yang merokok secara bermakna mempunyai risiko FMD lebih besar dibandingkan pasien asma yang tidak merokok. Perbedaan hasil yang didapat pada penelitian ini dapat disebabkan oleh jumlah pasien yang merokok hanya 7 orang (5,4%) dan pasien asma yang bekas perokok juga hanya 17 orang (13,1%). Sebagian besar pasien pada penelitian ini tidak mempunyai kebiasaan merokok yaitu 106 orang (81,5%) sehingga distribusi pasien berdasarkan kebiasaan merokok menjadi tidak merata. Selain itu sebagian besar pasien perokok mempunyai indeks brinkman ringan yaitu 5 orang (71,43%) sedangkan 2 orang lainnya masing masing mempunyai indeks brinkman sedang (14,28%) dan berat (14,28%). Pasien bekas perokok pada penelitian ini juga sebagian besar mempunyai indeks brinkman ringan yaitu sebanyak 12 orang (70,59%) sedangkan 3 orang (17,65%) mempunyai indeks brinkman sedang dan 2 orang (11,76%) lainnya mempunyai indeks brinkman berat. Penelitian ini memperlihatkan bahwa semakin besar indeks massa tubuh maka semakin baik kualitas hidup yang dinilai dengan AQLQ pada semua domain dan skor total. Tetapi koefisien korelasi antara indeks massa tubuh dengan skor kualitas hidup sangat lemah (r0,130) dan secara statistik tidak memperlihatkan hubungan yang bermakna (p>0,05). Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Strine et al.23 yang menyatakan bahwa pasien asma yang obese mempunyai risiko FMD lebih besar secara bermakna dibandingkan pasien asma dengan IMT < 30 kg/m2. Hasil ini juga tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pasien asma dengan indeks massa tubuh lebih besar mempunyai derajat asma dan gejala asma yang lebih berat dibandingkan
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup pasien asma yang mempunyai indeks massa tubuh normal. Hal ini mungkin juga disebabkan pasien pada penelitian ini mempunyai kisaran indeks massa tubuh yang sangat luas sehingga hasilnya menjadi tidak bermakna. Pada penelitian ini menggunakan jenis kuesioner AQLQ yang merupakan jenis kuesioner untuk menilai kualitas hidup pasien asma yang bersifat spesifik. Selain kuesioner kualitas hidup yang bersifat spesifik terdapat pula kuesioner kualitas asma yang bersifat umum seperti SF-36. Kuesioner yang bersifat umum digunakan untuk menilai dampak penyakit secara umum terhadap kehidupan penderita dengan menitikberatkan pengaruh kondisi kesehatan secara umum berdasarkan fungsi tubuh. Kuesioner yang bersifat khusus digunakan untuk menilai hasil intervensi pada subjek dengan penyakit tertentu dan menitikberatkan pengaruh karakteristik penyakit tersebut terhadap fungsi tubuh.24 Kesimpulan Derajat asma mempengaruhi kualitas hidup pada pasien asma derajat sedang dibandingkan derajat ringan sedangkan kualitas hidup tidak dipengaruhi oleh derajat asma pada pasien asma derajat berat dibandingkan derajat sedang. Hubungan antara kualitas hidup dengan gejala klinis mempunyai korelasi sedang kuat sedangkan kualitas hidup dengan nilai fungsi paru mempunyai korelasi lemah. Daftar Pustaka
1. 2. Guidelines for diagnosis and management of asthma. National Heart, Lung and Blood Institute. 2nd ed. New York: 2002.p.1-5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan dengan BPS. Survey kesehatan rumah tangga 1986. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1988. Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F, Pradjnaparamita, Suryanto E, et al. Epidemiologi. Dalam: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia. 1st ed. Jakarta: Balai Pustaka FKUI; 2004.p.12-5. Global initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention. NHLBI/WHO Workshop Report January 1995. National Institute of Health. National Heart, Lung dan Blood Institute. Publication number 02-3659, revised 2002. Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F, Pradjnaparamita, Suryanto E, et al. Pendahuluan. Dalam: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia. 1st ed. Jakarta: Balai Pustaka FKUI; 2004.p.1-2. Wijnhoven HAH, Kriegsman DMW, Hesselink AE, Penninx BWJH, de Haan M. Determinants of different dimentions of disease severity in asthma and COPD: pulmonary function and health-related quality of life. Chest 2001;119:1034-42. Schayck CP, Dompeling E, Rutten MPMH, Folgering H, Boom G, Weel C. The influence of an inhaled steroid on quality of life in patients with asthma or COPD. Chest 1995;107:1199-205. Juniper EF, Wisniewski ME, Cox FM, Emmett AH, Nielsen KE, OByrne PM. Relationship between quality of life and clinical 19. status in asthma: a factor analysis. Eur Respir J 2004;23:287-91. Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F, Pradjnaparamita, Suryanto E, et al. Program penatalaksanaan asma. Dalam: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia. 1st ed. Jakarta: Balai Pustaka FKUI; 2004.p.28-73. Lockey RF, DuBuske LM, Friedman B, Petrocella V, Cox F, Rickard K. Nocturnal asthmaeffect of salmeterol on quality of life and clinical outcomes. Chest 1999;115: 666-73. Moy ML, Israel E, Weiss ST, Juniper EF, Dube L, Drazen JM, et al. Clinical predictors of health-related quality of life depend on asthma severity. Am J Respir Crit Care Med 2001;163:924-9. Pont LG, Van der Molen T, Denig P, Van der Werf GT, HaaijerRuskamp FM. Relationship between guideline treatment and health-related quality of life in asthma. Eur Respir J 2004;23:71822. Matheson M, Raven J, Woods RK, Thien F, Walters EH, Abramson M. Wheeze not current asthma effect quality of life in young adult with asthma. Thorax 2002;57:165-7. Juniper EF, Svensson K, Mork A, Stahl E. Measuring healthrelated quality of life in adults during an acute asthma exacerbation. Chest 2004;125:93-7. Osman LM, Calder C, Robertson R, Friend JAR, Legge JS, Douglas JG. Symptoms, quality of life, and health service contact among young adults with mild asthma. Am J Respir Crit Care Med 2000;161:498-503. Leidy NK, Chan KS, Coughlin C. Is the asthma quality of life questionnaire a useful measure for low-income asthmatics? Am J Respir Crit Care Med 1998;158:1082-90. Ford ES, Mannino DM, Homa DM, Gwynn C, Redd SC, Moriarty DG, et al. Self-reported asthma and health-related quality of life: findings from the behavioral risk factor surveillance system. Chest 2003;123:119-27. Leynaert B, Neukirch C, Liard R, Bousquet J, Neukirch F. Quality of life in allergic rhinitis and asthma. Am J Respir Crit Care Med 2000;162:1391-6. Dyer CAE, Hill SL, Stockley RA, Sinclair AJ. Quality of life in elderly subjects with a diagnostic label of asthma from general practice registers. Eur Respir J 1999; 14: 39-45. Juniper EF, Svensson K, OByrne PM, Barnes PJ, Bauer CA, Lofdahl CGA, et al. Asthma quality of life during 1 year of treatment with budesonide with or without formoterol. Eur Respir J 1999;14:1038-43. Juniper EF, Buist AS. Health-related quality of life in moderate asthma: 400 mg hydrofluoroalkane beclomethasone dipropionate vs 800 mg chlorofluorocarbon beclomethasone dipropionate. Chest 1999;116:1297-303. Gallefoss F, Bakke PS, Kjaergaard P. Quality of life assessment after patient education in a randomized controlled study on asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1999;159:812-7. Strine TW, Ford ES, Balluz L, Chapman DP, Mokdad AH. Risk behaviors and health-related quality of life among adults with asthma: the role of mental health status. Chest 2004;126:184954. Rowe BH, Oxman AD. Performance of an asthma quality of life questionnaire in an outpatient setting. Am Rev Respir Dis 1993;148:675-81. SS

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

20.

3.

21.

4.

22.

5.

23.

6.

24.

7.

8.

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007

445

Anda mungkin juga menyukai