Anda di halaman 1dari 12

Diare pada Penderita HIV

April 21, 2012 by Medicinesia This post has already been read 7287 times!

Oleh Herliani Dwi Putri Halim Diare merupakan buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah padat dimana kandungan air lebih banyak daripada biasanya, berat 200 gram, dan frekuensi lebih dari tiga kali per hari. 1 Pada pasien HIV, diare dapat menyebabkan morbiditas yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas kehidupan. Di Afrika, diare kronik dijadikan prediktor seropositif HIV pada orang dewasa. Tidak hanya itu, jumlah anak dengan HIV yang meninggal karena diare juga lebih tinggi daripada anak tanpa HIV. 2 Secara garis besar, etiologi diare dibagi menjadiinfeksi dan non-infeksi. Neoplasma gastrointestinal, reaksi obat, intoleransi laktosa, dan insufisiensi pankreas merupakan penyebab diare non-infeksi. 3 Diare yang persisten (berlangsung 15-30 hari) disertai dengan demam tinggi dan nyeri abdomen menandakan adanya enterokolitis infeksiosa. Hal ini disebabkan oleh respons pejamu yang lemah sehingga meningkatkan insidens infeksi oportunistik seperti bakteri, protozoa, dan jamur.4 Etiologi Diare Pada Pasien HIV A.Diare Akibat Jamur Di Indonesia, infeksi jamur belum berhasil dibasmi secara tuntas baik yang bersifat endemik maupun oportunistik. Insidens tertinggi infeksi oportunistik jamur disebabkan oleh kandidiasis. Jamur tersebut merupakan flora normal di saluran pencernaan, saluran urogenital, dan kulit. 5Namun, jamur jarang menyebabkan diare pada pasien HIV.6 Sebelum era HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), penderita AIDS yang menderita kriptokokus berkisar 5-10%. 5 Struktur dan Pertumbuhan Jamur Secara garis besar, jamur dibagi menjadi yeasts (ragi) dan molds (kapang). Yeasts merupakan sel tunggal berbentuk bulat atau elips yang tumbuh secara aseksual (pertunasan). Nantinya, hifa rantai panjang akibat kegagalan pelepasan diri dari spesies disebut pseudohifa. Di lain sisi, molds tumbuh dengan filamen panjang yang disebut hifa. Hifa ada yang berbentuk kusut seperti anyaman tikar yang disebut miselium dan ada yang membentuk dinding yang disebut hifa bersepta.5

Sel jamur terdiri dari dua bagian penting yaitu: 1.dinding sel jamur terdiri dari polisakarida, glikoprotein, dan lipid, 2.membran sel jamur yang mengandung ergosterol.7 Karakter penting jamur lainnya adalah dimorfik termal sehingga molds baru terbentuk pada keadaan saprofit dengan temperatur bebas danyeasts terbentuk pada temperatur tubuh pejamu. Sebagian besar jamur bersifat aerob obligat dan sisanya anaerob fakultatif. Selain itu, kebanyakan jamur berkembang biak secara aseksual dengan spora aseksual disebut konidia. Sisanya berkembang biak secara seksual dengan spora seksual yang disebut zigospora, ascospora, atau basidiospora. 5 Kemudian, jamur membutuhkan sumber nitrogen dan karbohidrat untuk pertumbuhannya.7 Patogenesis Kulit yang intak merupakan pertahanan tubuh yang efektif dalam mencegah masuknya jamur, selain adanya asam lemak pada kulit yang menghambat pertumbuhan dermatofit. Netrofil dan fagosit mempunyai peranan penting dalam mengeliminasi infeksi jamur. Sebagai respons imun spesifik, jamur yang masuk ke dalam tubuh menyebabkan produksi IgM dan IgG yang hingga kini belum diketahui fungsinya. Sel T CD4+ dan T CD8+ bekerjasama dalam mengeliminasi jamur. Respons dari sel Th1

bersifat protektif, sedangkan Th2 merugikan pejamu karena merusak jaringan melalui pembentukan granuloma. Selain itu, aktivasi dari imunitas diperantarai seluler dapat menghasilkan respons delayed hypersensitivity.5 Oleh karena itu, individu yang imunokompeten umumnya resisten terhadap infeksi jamur. Sebaliknya, jamur (kandidiasis) maupun filamen jamur (aspergilus, zigomycetes, Cryptococcus neoformans; nonkandida patogen) dapat menjadi infeksi oportunistik pada individu imunosupresi, seperti HIV. Infeksi dapat terjadi melalui inhalasi atau inokulasi kulit.5 Kandidiasis paling sering disebabkan oleh Candida albicans. Semua jenis yang patogen dapat ditemukan sebagai mikroorganisme komensal pada kulit, tinja, mulut, dan vagina. Masuknya kandida ke aliran darah pada saat ketahanan fagositik pejamu menurun dapat menyebabkankandidiasis sistemik yang ditandai dengan demam tinggi. Kandida juga dapat masuk saat keutuhan kulit dan membran mukosa terganggu akibat trauma, luka bakar yang berat, pemasangan kateter atau infus, serta penyalahgunaan obat bius intravena. Kemudian, semua jenis kandida seperti C. albicans, C. tropicalis, C.parapsilosis, C,krusei. kecuali C.glabrata tampak dalam jaringan sebagai jamur maupun pseudohifa. Kandidiasis viseral akan menimbulkan komplikasi berupa neutropenia. Hal ini membuktikan bahwa neutrofil berperan utama dalam mekanisme pertahanan pejamu terhadap jamur ini. 5 Jamur dimorfik histoplasmosis, Histoplasma capsulatum, dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi menuju paru. Pada saat ini, neutrofil dan fagosit berusaha untuk menghancurkannya, dan yang berhasil lolos akan menuju nodus limfatikus. Untuk selanjutnya, sel T tersensitisasi oleh antigen jamur yang mengaktivasi neutrofil dan makrofag. Di jaringan, mikroorganisme ini berubah menjadi yeast. Selain itu, jamur ini tetap menghasilkan substansi alkalin seperti bikarbonat dan amonia di dalam makrofag agar terhindar dari degradasi fagolisosom. Mikroorganisme yang bertahan di dalam makrofag menyebar luas secara hematogen yang bermanifestasi pada histoplasmosis diseminata, khususnya pada pasien dengan CD4+ <150 sel/mm3. Gejala yang tampak adalah demam, berkeringat malam, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, dan kelemahan.5 B. Diare Akibat Virus Diare akibat infeksi rotavirus atau virus lainnya relatif sering dan biasanya dapat sembuh sendiri (selflimiting) pada orang dewasa sehat. Pada pasien HIV dengan CD4+ <50 sel/mm 3 dapat menyebabkan kolitis, namun menurun secara drastis sejak era HAART. CMV ini secara histologik dapat menyebabkan badan inklusi pada sel epitel, endotel, dan otot polos. 6 C. Diare Akibat Bakteri Pada pasien HIV, toksin Clostridium difficile, Salmonella, Shigella, Campylobacter, dan E. coli 0157 H7 dapat menyebabkan diare.6Infeksi bakteri ada yang bersifat invasif dan non-invasif. Bakteri non-invasif mengeluarkan enterotoksin yang terikat pada mukosa usus halus 15-30 menit setelah diproduksi. Sedangkan bakteri yang invasif seperti Salmonella dan Shigella merusak dinding usus sehingga nekrosis dan ulserasi. Oleh karena itu, diare dapat disertai lendir dan darah. Pada pasien dengan CD4+ < 75 sel/ mm3, maka terdapat kemungkinan penyebabnya adalam M. avium complex (MAC) sehingga dilakukan pemeriksaan tinja atau kultur darah. Selain diare, MAC menyebabkan demam, anemia, berat badan menurun, neutropenia, dan hepatosplenomegali.6 D.Diare Akibat Parasit Parasit penyebab diare tersering adalah Cryptosporidium, Microsporidium, dan Entamoeba histolytica. Cryptosporidium parvummenyebar luas di seluruh dunia dan menular melalui air minum yang terkontaminasi kista pada tinja herbivora. Parasit ini dapat menyebabkan dehidrasi dan gangguan kadar ion di dalam tubuh. Microsporidium adalah bakteri berspora seperti Enterocytozoon bieneusi dan Encephalitozoon intestinalis. Kemudian, E.histolytica biasanya asimptomatik karena berkolonisasi. Jika simptomatik, gejala yang muncul meliputi kram, nyeri perut, dan tinja berdarah. Terakhir, Giardia lamblia tersebar di seluruh dunia dan ditransmisikan melalui air serta fekal-oral. Gejala yang timbul bervariasi seperti kram, diare, kembung, flatulens, dan penurunan berat badan. Keseluruhan parasit menyebabkan diare dengan merusak dinding usus. 6 Patofisiologi Diare Akibat Infeksi Oportunistik Pada HIV Pada dasarnya, mekanisme diare pada pasien HIV dan non-HIV adalah sama. Keparahan diare bergantung pada daya penetrasi merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan usus halus, dan daya lekat kuman.1 Toksin yang dihasilkan bakteri non-invasif menyebabkan kegiatan berlebihan nikotinamid adenie dinukleotid (NAD) sehingga meningkatkan siklik AMP (cAMP) dalam sel. Pada akhirnya, sel

menyekskresikan aktif anion klorida ke dalam lumen usus yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kalium, dan natrium. Pompa natrium sendiri tidak terganggu sehingga absorpsi ion natrium dapat dikompensasi dengan pemberian larutan glukosa. Diare sekretorik yang terjadi ditandai dengan meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari usus, menurunnya absorpsi, dan volume tinja banyak sekali. Meskipun dilakukan puasa makan dan minum, diare akan tetap berlangsung.1 Sedangkan diare yang disebabkan oleh jamur seperti kandida, mekanismenya belum diketahui.8

Pemeriksaan dan Tatalaksana Diare Terkait HIV Pemeriksaan diare meliputi: 1.Penilaian awal.Pada awalnya, penting bagi kita untuk menanyakan riwayat bepergian, pengobatan, dan makanan. Selanjutnya, melakukan pengukuran kadar CD4+ dan menentukan lokasi anatomis kelainan apakah di usus halus atau usus besar. 2.Menentukan etiologi dari diare. Beberapa mikroorganisme memiliki karakteristik, seperti C. difficile berkaitan dengan penggunaan antibiotik klindamisin dan penisilin. 3.Investigasi. Melakukan pemeriksaan mikroskop, mikrobiologi, dan kultur. Jika mikroorganisme penyebab tidak ditemukan di tinja, maka lakukan biopsi. Selain itu, jika diare disertai demam, lakukan pemeriksaan kultur darah, radiografi dada, dan urinalisis.3

Komplikasi HIV Infeksi oportunistik memberi andil sekitar 80% kematian pada pasien AIDS.9 Adapun infeksi oportunistik atau kondisi yang sesuai dengan kriteria diagnosis AIDS adalah sebagai berikut: CMV (selain hati, limfa, atau kelenjar getah bening) Ensefalopati HIV yang ditandai oleh gangguan kognitif dan disfungsi motorik Herpes simpleks, ulkus kronik, bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis Histoplasmosis diseminata atau ekstraparu Isosporiasis dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan) Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru Kandidiasis esofagus Kanker serviks invasif Koksidiomikosis diseminata atau ekstraparu Kriptokokosis ekstraparu Kriptosporidiosis dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan) Leukoensefalopati multifokal progresif Limfoma Burkitt, imunoblastik, primer pada otak MAC, M.kansasii, M. tuberculosis yang paru, diseminata atau ekstraparu Pneumonia akibat Pneumocystis carinii dan pneumonia rekuren Sarkoma Kaposi Septikemia salmonella rekuren Wasting syndrome yaitu penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik, kelemahan kronik, dan demam lama (> 30 hari, intermiten atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit lain slain HIV.10 Perjalanan penyakit akan lebih progresif pada pengguna narkotika. Sekitar 80% pengguna narkotika mengidap hepatitis C dan infeksi katup jantung juga lebih sering dijumpai pada pasien HIV dengan penggunaan narkotika. Selain itu, lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Di Indonesia, koinfeksi tuberkulosis dengan HIV sering dijumpai.10 Sedangkan di Amerika Serikat, epidemi AIDS memunculkan kembali tuberkulosis aktif. Risiko untuk mengalami infeksi sangat tinggi pada orang dengan CD4+ < 200 sel/mm 3.9Nantinya, infeksi

oportunistik ini akan mempercepat pembelahan virus dan mereaktivasi virus di dalam limfosit T. Dengan demikian, perjalanan penyakit akan semakin progresif. 10

www.medicinesia.com

HIV PADA ANAK ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DAN ANAK TERINFEKSI HIV/AIDS Oleh Maria Sulanty D.Heret S.Kep,Ns A. Konsep penyakit HIV, pengkajian, dan masalah keperawatan ( Pendekatan Proses Keperawatan). Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS adalah sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas selular. Penurunan imunitas biasanya diikuti dengan peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunitis serta penyakit keganasan. Terjadinya penurunan imunitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor-faktor yang penting untuk menjadi perhatian tenaga kesehatan adalah adanya stressor psikososial. Reaksi pertama kali yang ditunjukkan setelah didiagnosis mengidap HIV adalah menolak ( deniel) dan tidak percaya ( disbelief). Penderita HIV beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi dan mereka merupakan pasien sepanjang hidupnya.

B. Perjalanan penyakit. Perjalanan HIV/AIDS di bagi dalam dua fase : 1) Fase infeksi awal proses infeksi ( imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR;sel T; IL-2R); serum atau humoral ( beta-2 mikroglobulin, neopterin,CD8,IL-R); Dan antibody upregulation ( gp 120,anti p24;igA)(kam,1996). Induksi sel T- helper dan selsel lain diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel factor sistem imun agar tetap berfungsi dengan baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi dengan baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium yang lebih lanjut. 2) Fase infeksi lanjut Fase ini disebut dengan imunodefisiensi, karena dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya factor supresi berupa antibody terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin,

sehingga sel T tidak mampu memberikan respon terhadap mitogen dan terjadi disfungsi imunyang ditandai dengan penurunan kadar CD4+, Sitokin, antibody down regulation, TNF, dan anti nef ( Kam, 1996).

Tabel 1. Klasifikasi klinis dan CD4 pada pasien remaja dan orang dewasa menurut CDC ( Depkes,2003) CD4 Kategori klinis Total % A(Asimtomatis, Infeksi Akut B (simtomatis) C (AIDS) 500/ml 29% A1 B1 C1 200-499 14-28% A2 B2 C2 <200 <14% A3 B3 C3 Pembagian stadium : 1. Stadium pertama : HIV Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti dengan terjadinya perubahan serologis ketika antibody terhadap virus tersebut berubah dari negative menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibody terhadap HIV menjadi positif disebut dengan window period adalah antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan. 2. Stadium kedua : Asimptomatis ( tanpa gejala). Asimptomatis berarti bahwa di dalam organ tubuh terhadap HIV, tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala apapun. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain. 3. Stadium ketiga : pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata ( persistent Generalized Lymphadenopathy). Hal ini tidak dapat muncul pada satu tempat saja dan berlangsung lebih dari satu bulan. 4. Stadium keempat : AIDS itu tempat saja dan berlangsung lebih satu bulan. Keadaan ini disertai dengan adanya bermacam-macam penyakit, antara lain penyakit konstitusional, penyakit saraf, penyakit infeksi sekunder. Gejala klinis pada stadium AIDS antara lain : Gejala utama/ mayor : a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan. b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus. c. Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam tiga bulan. Gejala minor : a. Batuk kronis selam lebih dari satu bulan. b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh jamur candida albicons. c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh. d. Munculnya herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh. Tabel.2 4 tahap derajat infeksi HIV Fase Derajat 1 Infeksi HIV primer 2 HiV dengan defisiensi imun dini ( CD4+ >500/l). 3 Adanya HIV dengan defisiensi imun yang sedang (CD4+: 200-500/l) 4 HIV dengan defisiensi imun yang berat (CD4+ <200/l) disebut dengan AIDS. Sehingga menurut CDC Amerika (1993), pasien masuk dalam kategori AIDS bila CD4+ < 200/l.

Tabel.3 Klasifikasi klinis infeksi HIV menurut WHO ( Depkes, 2003). Stadium Gambaran klinis Skala aktivitas I II III IV 1. Asimptomatis 2. Limfadenopati generalisata. 3. Berat badan menurun < 10% 4. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti, dermatitis seboroik, pririgo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, dan kheilitis angularis. 5. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir. 6. Infeksi saluran napas bagian atas seperti sinusitis bakterialis. 7. Berat badan menurun > 10%. 8. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan. 9. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan. 10. Kandidiasis orofaringeal 11. Oral hairy leukoplakia 12. TB paru dalam tahun terakhir 13. Infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia, piomiositis. 14. HIV wasting syndrome seperti yang didefenisikan oleh CDC. 15. Pneumonia pneumocystis carinii. 16. Toksoplasmosis otak. 17. Diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan. 18. Kriptokokosis ekstrapulmonal. 19. Retinitis virus sitomegalo. 20. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan 21. Leukoensefalopati multifocal progresif. 22. Mikosis desiminata seperti histoplasmosis. 23. Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru. 24. Mikobakteriosis atipikal desiminata. 25. Septisemia salmonelosis nontifoid 26. Tuberkolosis di luar paru. 27. Limfoma 28. Sarcoma Kaposi 29. Ansefalopati HIV Asimptomatis, aktivitas normal Simptomatis, aktivitas normal

Pada umunya lemah, aktivitas di tempat tidur kurang dari 50%.

Pada umumnya sangat lemah,aktivitas di tempat tidur lebih dari 50%. C. Aspek Imunitas Secara imunitas, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper yang disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampu HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secra tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang di sebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya, bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan mebran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membrane. Pada bagian inti tersebut terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari DNA polymerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polymerase menyusun kopi DNA dan RNA tersebut, sementara enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polymerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cekatan ( Stewart, 1997, Baratawidjaja,2000). Kode genetic DNA berupa untai ganda setelah terbentuk akan masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ kemudian bereplikasi, sehingga menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis. Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel epitel pada usus, dan sel hobfour plasenta, sel-sel dendrite pada kelenjar limfe, sel-sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit.. Efek dari infeksi pada sel microglia di otak adalah encepalopati, sementara pada sel epitel usus adalah diare yang kronis ( Stewart,1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut tersebut biasanya baru disadari oleh pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4+ mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/l sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/l setelah terinfeksi selama 2-10 tahun. D. Aspek psikososial Aspek psikososial menurut Stewart(1997) di bedakan menjadi 3 aspek, yaitu : 1. Stigma social yang memperparah depresi dan pandangan yang negative tentang harga diri pasien dan keluarga.

2. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan untuk bekerja dan hidup serumah, juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Bagi pasien yang homoseksual , penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat terhadap kurangnya dukungan social. Hal ini akan memperparah kondisi pasien. 3. Respon psikologis yang memerlukan waktu yang lama mulai dari penolakan, marahmarah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien akhirnya mengkonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan stress yang alami. E. Intervensi 1. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dan intervensi keperawatan tekan sebanyak 90%. Apbila ibu mendapatkan terapi antiretroviral selama kehamilan. Dengan demikian, pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak menjadi penting, karena sebagian besar ODHA perempuan berada pada usia subur dan lebih dari 90% kasus ditularkan dari ibu.(Depkes,2003). Alasan pentingnya pencegahan penularan HIV dari ibu ODHA ke bayi : Sebagian besar ODHA perempuan berada pada usia subur. Lebih dari 90% kasus HIV pada anak ditularkan dari ibunya pada masa perinatal. Anak yang dilahirkan akan menjadi yatim piatu. Anak yang terinfeksi HIV mengalami gangguan tumbuh kembang. Stigmatisasi dan mungkin terjadi pada anak tersebut. a. Strategi pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak. WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV terhadap bayi (Depkes,2003) yaitu : 1. Mencegah jangan sampai ada wanita yang terinfeksi HIV ( pencegahan primer). 2. Apabila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan. 3. Apabila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya. 4. Apabila ibu dan anak sudah terinfeksi, berikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya. b. Pencegahan primer. Hal yang terutama dalam pencegahan primer bagi petugas kesehatan adalah mengikuti kaidah-kaidah universal standar yang ada. Sementara ibu-ibu yang sehat perlu mengubah perilaku hidup seksual dengan menerapkan prinsip ABC, yaitu : A = abstinence (tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan) ; B = Be Faithful ( setia kepada pasangan); dan C = Condom ( pergunakan kondom jika terpaksa melakukan hubungan dengan pasangan). Penerapan universal precaution harus dilakukan oleh petugas kesehatan dalam melaksanakan asuhan kepada semua pasien. Hal ini berarti bahwa semua darah atau cairan tubuh harus dianggap dapat menularkan HIV atau kuman-kuman penyakit yang lain. Transfuse darh haruslah memakai darah atau komponen darah yang sudah dinyatakan bebas HIV untuk dan untuk operasi berencana diupayakan untuk menggunakan transfuse darah autologis ( dari darah sendiri). c. Pencegahan penularan HIV dari ibu ODHA ke janinnya.

Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin/bayinya meliputi 4 hal, yaitu mulai saat hamil, saat melahirkan dan setelah melahirkan dan setelah melahirkan ( Depkes, 2003 : 86). : 1. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan. 2. Penggunaan retroviral saat persalinan dan bayi yang harus dilahirkan. 3. Penanganan obstetric selama persalinan. 4. Penatalaksanaan saat menyusui. d. Penggunaan antiretroviral untuk ibu mencegah penularan HIV dan ibu ke bayinya. Di Indonesia dan Negara berkembang lainnya, ART yang dianjurkan untuk mencegah penularan dari ibu ke janin/bayinya diantaranya adalah : 1. Nevirapine mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, dan ekonomis (Depkes,2003). Factor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relative mahal dan para prinsipnya ARV harus dibedakan seumur hidup. Efek samping neverapine meliputi ruam pada kulit, sindrom steven Jhonson, peningkatan serum aminotransferase, dan hepatitis. Aturan dosis yang dianjurkan : Ibu : diberikan neveripine 200 mg dosis tunggal saat persalinan. Bayi : 2 mg/kgBB dosis tunggal sebelum umur 3 hari ( dalam 72 jam pertama setelah lahir). 2. AZT Regimen ini lebih efektif untuk menurunkan risiko penularan dari ibu ke bayi (90%), tetapi lebih mahal karena perlu terapi ulangan dengan lama terapi sampai 1 bulan. Dosis yang dianjurkan untuk ibu hamil adalah 36 mg;AZT diberikan 2x 300mg/hari dan 300mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung. e. Cara persalinan yang disarankan dalm pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan bedah Caesar tetapi juga tidak melarangnya mengingat kondisi masing-masing daerah berbeda dan perlu pertimbangan mengenai biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan dan komplikasi akibat imunitas ibu yang rendah. Bedah ceasar dilakukan bila ada indikasi obstetric. Hindari partus lama dan tindakan infasif, amniotomi, ekstrasi vakum, ekstrasi cunam, dan anlisis gas darah bayi. f. Perhatian pascapersalinan Menurur depkes (2003) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan perawat setelah ibu melahirkan bayinya yaitu : a. Kontrasepsi Waktu paling lambat yang dianjurkan untuk kontrasepsi adalh 4 minggu setelah ODHA melahirkan. Jenis kontrasepsi adalah tidak spesifik, karena secara umum adalah sama. b. Menyusui Ibu yang positif HIV sebaiknya tidak menyusui bayinya karena dapat terjadi penularan sebesar 10-20%,apalagi bila payudara lecet atau radang. Pemberian ASI secara eksklusif selama 4-6 bulan pertama mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat infeksi selain HIV. Cara lain untuk menghindari penularan HIV adalah dengan menghangatkan ASI di suhu 66c.(Depkes,2003). Pemberian PASI sebaiknya menggunakan cangkir dan bukan botol. Makanan campuran (susu, makanan, jus dan air) tidak diperkenankan karena

meningkatkan resiko penularan dan meningkatkan angka kematian bayi. c. Terapi antiretroviral dan imunisasi. ART( Anti retroviral Therapy) menjadi semakin penting setelah ibu melahirkan karena ibu harus memelihara anaknya sampai cukup besar. Tanpa ART dikhawatirkan umur ibu tidak cukup panjang. Bayi juga harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat .tes HIV sudah harus dikerjakan saat bayi berumur 18 tahun.

2. Intervensi keperawatan pada bayi dan anak. a. Pemberian ART Tujuan pemberian ART : 1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV 2. Memeperbaiki mutu hidup 3. Memulihkan dan memelihara fungsi kesehatan 4. Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam waktu yang lama. ARV ( Anti Retro Viral) bekerja langsung menghambat replikasi (penggandaan diri) HIV dan beberapa kombinasi obat ARV bertujuan untuk mengurangi viral load (jumlah virus dalam darah)agar menjadi sangat rendah atau berada di bawah tingkat yang dapt terdeteksi untuk jangka waktu yang lama. Tiga golongan ARV yang tersedia di Indonesia ( Depkes,2003) Jenis Cara kerja dan manfaat 1. Nucleoside Reverse Transriptase Inhibitor (NRTI) Menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini di perlukan agar virus dapat bereplikasi. Golongan obat ini meliputi : Zidovudin (ZDV,AZT), lamivudin (3TC); didanose (ddl); Zalcitabine (ddC); Stavudin (d4T) dan abacavir (ABC). 2. Non-Nucleosida Reverse Transriptase Inhibitor (NNRTI) Manfaat sama dengan NNRTI. Jenis golongan ini neveapine(NVP); efavirenz (EFV); dan delavirdine(DLV). 3. Protease Inhibitor (PI) Menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Jenis golongan obat ini adalah Indinavir (NFV); saquinavir (SQV);ritonavir (RTV); amprenavir (APV) dan Lopinavir(LPV). Indikasi pemberian ARV : 1. Infeksi HIV telah dikonfirmasi dengan tes antibody 2. Keluarga dan orang tua telah mendapat informasi yang lengkap dengan persyaratan tertentu. 3. Indikasi laboratorium atau klinis : HIV stadium IV criteria WHO tanpa perhatikan jumlah CD4+ Tes CD4+ : di bawah 200 Jika tes CD4+ tidak dapat dilakukan, ART sebaiknya di mulai jika infeksi HIV memenuhi klasifikasi klinis stadium II dan III, dengan limfosit total di bawah :200 b. Asuhan nutrisi pada ODHA (Bayi dan Anak). Asuhan nutrisi pada ODHA merupakan komponenyang penting dalam membantu mempertahankan keadaan sakitnya. ODHA akan menglami penurunan Berat Badan yang

dratis dan hal ini berkaitan dengan kekurangan nutrisi atau gizi. Penyebab kurang gizi bersifat multifaktorial, antara lain hilangnya nafsu makan, gangguan penyerapan sari makanan pada saluran pencernaan, hilangnya cairan tubuh akibat muntah dan diare dan gangguan metabolism ( steward,1997). Kehilangan berat Badan tidak dapt dihindarkan sebagai konsekuensi dari infeksi HIV. Asuhan nutrisi dan terapi ARV pada ODHA adalah sangat penting. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi opurtunistik. Sebaliknya penggunaan ARV dapat menyebabkan gangguan gizi. 1. Tujuan asuhan Nutrisi dan Gizi Tujuan asuhan gizi bagi ODHA adalah mempertahankan kesehatan dan status gizi serta meningkatkan kekebalan tubuh, sehingga kualitas hidup akan lebih baik. 2. Paket asuhan Nutrisi a. Pemantauan status nutrisi b. Intervensi atau pemberian nutrisi/gizi c. Konseling nutrisi 1. Pemantauan status nutrisi Pemantauan status nutrisi dapat dilakukan menggunakan ABCD yaitu : Antropometri, Bimechemical data, clinical Sign dan Symptoms 2. Pemberian nutrisi/gizi 3. Konseling nutrisi/gizi c. Asuhan pada anak dengan Paliatif dan terminal ( pendekatn Psikososial).

Anda mungkin juga menyukai