Penulis : Lusia Kus Anna | Kamis, 29 April 2010 | 11:04 WIB. KOMPAS.com Terpapar bunyi keras atau suara bising bisa mengganggu pendengaran. Diperkirakan 38 juta penduduk mengalami gangguan pendengaran dan ketulian akibat polusi kebisingan di kota-kota besar di Indonesia. Suara keras dan bising tidak cuma berasal dari tempat kerja, tetapi juga tempat rekreasi, atau mendengar musik keras, termasuk lewat earphone. Kajian Komisi Eropa menunjukkan, kebiasaan mendengar musik dengan earphone dengan volume tinggi (di atas 100 desibel), lebih dari satu jam sehari dalam jangka minimal lima tahun, membawa risiko gangguan pendengaran permanen. Saat ini, 50-100 juta orang diperkirakan aktif mendengar musik melalui earphone setiap harinya. Berdasarkan penelitian, sebagian besar mereka menyetel volume hingga di atas 89 desibel untuk mengimbangi kebisingan lalu lintas.Gangguan pendengaran karena bising merupakan gangguan pendengan tipe saraf (tuli sensorineural) akibat kerusakan koklea atau saraf sensoris. Menurut dr Ronny Suwento, SpTHT, dari Departemen Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT), RSCM, Jakarta, getaran kuat akibat gelombang suara keras akan merusak sel-sel rambut koklea dalam telinga dalam. "Kerusakan itu akan menghambat impuls listrik mencapai saraf pendengaran sehingga tidak ada yang diteruskan ke otak untuk diinterpretasi sebagai suara," kata dr Ronny. Gangguan pendengaran akibat paparan suara bising terjadi secara bertahap. "Mungkin pada tahun-tahun awal orang itu tidak akan merasakan gangguan karena suara yang kita gunakan dalam komunikasi sehari-hari hanya 500-4000 desibel," tambahnya. Kendati demikian, orang yang mengalami kerusakan koklea tidak bisa mendengar suara pada nada tinggi, seperti suara peluit kereta atau peluit wasit di sepak bola. "Lambat laun ambang batas pendengarannya makin menurun sampai akhirnya tidak bisa mendengar suara lagi," kata dr Ronny. Sekitar 50 persen gangguan pendengaran yang dapat dicegah, antara lain, adalah gangguan pendengaran akibat kebisingan. Untuk itu, penting sekali menggunakan pelindung telinga jika Anda terpapar suara keras. "Untuk para pekerja di pabrik atau pemain musik, sangat
penting menggunakan pelindung telinga. Kurangi juga volume musik dari earphone demi pendengaran yang sehat," saran dr Ronny.
Meski indera pendengaran Anda berada dalam kondisi prima saat ini, tak ada salahnya mulai melindungi diri untuk mencegah gangguan pendengaran di masa datang. Mulailah dengan mengecilkan volume earphone. Bila orang lain di dekat Anda bisa mendengarkan musik yang berasal dari pemutar musik Anda, berarti volumenya terlalu keras.
Hingga kini, para ahli belum mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan Viagra dapat memengaruhi pendengaran seseorang. Diduga hal itu ada kaitannya dengan reaksi kimia berantai yang memicu ketukan pada telinga bagian dalam. Riset itu melaporkan bahwa rata-rata pria yang terkena efek samping Viagra adalah mereka yang berusia 57 tahun, meski ada dua pria lainnya yang baru berusia 37. Salah seorang juru bicara dalam laporan riset itu menegaskan bahwa laporan mengenai reaksi yang timbul akibat obat-obat ini tidak serta-merta membuktikan bahwa hal itu diakibatkan oleh penggunaan obat.
The American Diabetes Association memperkirakan saat ini ada 16 juta orang penderita diabetes di AS. Sementara itu, menurut data NIH, ada 36 juta orang Amerika yang dilaporkan mengalami gangguan pendengaran dalam berbagai tingkatan. Peningkatan kadar gula darah diketahui akan memicu kerusakan pembuluh darah di sekitar telinga sehingga menyebabkan gangguan pendengaran. "Hasil penelitian ini bisa menjadi acuan bagi penderita diabetes untuk melakukan pemeriksaan telinga sejak dini dibandingkan dengan orang yang tak menderita diabetes," kata Chika Horikawa, peneliti dari Niigata University Faculty of Medicine, Jepang.
Medikolegal dengan Penerapan Model Forcier-Lacerte pada Kasus Forensik Hukum Kesehatan dan Asuransi. Dalam pidatonya bertajuk Pencegahan Gangguan Pendengaran, Tantangan, dan Harapan dalam Implementasi Program Sound Hearing 2030, Endang menyatakan, berdasar survei Multi Center Study di Asia Tenggara, Indonesia termasuk empat negara dengan prevalensi ketulian cukup tinggi, yakni 4,6 persen.
Negara lainnya ialah Myanmar, India, dan Sri Lanka. Prevalensi ketulian yang cukup tinggi dapat menimbulkan masalah sosial. Diperkirakan 36 juta orang menderita gangguan pendengaran dan 800.000 orang menderita ketulian di Indonesia. Otitis media supuratif kronik (OMSK), yaitu infeksi telinga tengah (yang) menahun, merupakan penyakit paling sering menyebabkan tuli permanen. Prevalensi OMSK di Indonesia secara umum 3 persen. Ini termasuk tinggi menurut WHO karena ada di kisaran 2-4 persen. Infeksi telinga tengah ditandai dengan pecahnya gendang pendengaran dan keluarnya cairan berulang berupa nanah dan lendir. Jika tidak ada pengobatan, dapat menimbulkan komplikasi. Infeksi telinga tengah menahun itu merupakan lanjutan dari otitis media akut yang sering terjadi bayi dan anak. Menurut penelitian, 83 persen anak berusia kurang dari satu tahun pernah mengalami infeksi telinga tengah akut paling sedikit tiga kali.
"Cara kerja PDE-51 pada pasien impoten adalah dengan meningkatkan aliran darah ke jaringan tertentu di tubuh. Ada dugaan mungkin efeknya sama pada selaput di pendengaran. Peningkatan sirkulasi darah di telinga memang bisa menyebabkan gangguan pendengaran," katanya.
Sementara dr Ralph Holme dari UK Charity Action on Hearing Loss, menyatakan perlunya penelitian lebih lanjut tentang gangguan pendengaran untuk membuktikan hubungan kausal antara asap rokok dan gangguan pendengaran. "Tetapi, sebagai tindakan pencegahan dan perlindungan terhadap pendengaran anak Anda, dianjurkan untuk menghindari asap rokok di sekitar mereka," ujarnya. (M05-11).
Asosiasi Diabetes Amerika mencatat, hampir 26 juta orang di AS mengidap diabetes, dan 34,5 juta lainnya mengalami gangguan pendengaran dengan tingkat yang berbeda-beda. Tandatanda gangguan pendengaran termasuk di antaranya kesulitan mendengar suara latar belakang atau mendengar percakapan dalam kelompok besar, serta sering mengubah volume radio atau TV.
"Jika orangtua dan guru tahu anak mengalami masalah pendengaran, mereka mungkin mengambil langkah-langkah untuk membuat pengaturan komunikasi yang berbeda, seperti menempatkan anak untuk duduk di barisan depan kelas atau menghindari suara bising," urai Howard Hoffman, MA, Direktur Epidemiologi dan Statistik Program dari National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD), yang menyediakan dana untuk penelitian ini. Kehilangan pendengaran ringan pada anak-anak dapat menunda kemampuan bahasa. Untuk gangguan pendengaran yang lebih parah, mungkin mereka memerlukan penggunaan alat bantu dengar. Dalam kajiannya, peneliti melibatkan lebih dari 200 anak dan remaja. Semua telah terkena HIV sebelum kelahiran, dan sekitar 60 persen adalah HIV positif pada saat penelitian. Peneliti melakukan tes pendengaran pada anak-anak bila orangtua atau pengasuh melaporkan ada masalah pendengaran. Anak-anak ini juga cenderung memiliki skor yang rendah saat menjalani tes kemampuan bahasa atau masalah pendengaran. Temuan menunjukkan, proporsi lebih besar dari kasus gangguan pendengaran terjadi pada anak-anak dengan HIV positif, dan peneliti menemukan bahwa mereka yang telah mengembangkan AIDS pada level berapa pun bahkan lebih mungkin memiliki gangguan pendengaran, meski penyakit dapat dikendalikan pada saat penelitian berlangsung. Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa anak dengan HIV rentan terhadap infeksi telinga tengah. Infeksi telinga tengah yang berulang dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Namun, 60 persen kasus dalam penelitian ini menunjukkan gangguan pendengaran lebih diakibatkan oleh masalah transmisi suara dari saraf telinga ke otak, bukan kerusakan di telinga tengah akibat infeksi telinga.
Disusun Oleh 3A2 1. Baniah 2. Helisa Mulya P. 3. Hartini 4. Desmi Ribayana 5. Eti Supriati 6. Juita Puspa E. 7. Elisnawati 8. Yosi Ostriani 9. Melda Gusmarni 10. Thomas Eko Putra 1180200054 1180200053 1180200051 1180200047 1180200056 1180200055 1180200052 1180200050 1180200049 1180200048
PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU 2013.