Anda di halaman 1dari 14

Awas, Bising Bisa Bikin Tuli

Penulis : Lusia Kus Anna | Kamis, 29 April 2010 | 11:04 WIB. KOMPAS.com Terpapar bunyi keras atau suara bising bisa mengganggu pendengaran. Diperkirakan 38 juta penduduk mengalami gangguan pendengaran dan ketulian akibat polusi kebisingan di kota-kota besar di Indonesia. Suara keras dan bising tidak cuma berasal dari tempat kerja, tetapi juga tempat rekreasi, atau mendengar musik keras, termasuk lewat earphone. Kajian Komisi Eropa menunjukkan, kebiasaan mendengar musik dengan earphone dengan volume tinggi (di atas 100 desibel), lebih dari satu jam sehari dalam jangka minimal lima tahun, membawa risiko gangguan pendengaran permanen. Saat ini, 50-100 juta orang diperkirakan aktif mendengar musik melalui earphone setiap harinya. Berdasarkan penelitian, sebagian besar mereka menyetel volume hingga di atas 89 desibel untuk mengimbangi kebisingan lalu lintas.Gangguan pendengaran karena bising merupakan gangguan pendengan tipe saraf (tuli sensorineural) akibat kerusakan koklea atau saraf sensoris. Menurut dr Ronny Suwento, SpTHT, dari Departemen Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT), RSCM, Jakarta, getaran kuat akibat gelombang suara keras akan merusak sel-sel rambut koklea dalam telinga dalam. "Kerusakan itu akan menghambat impuls listrik mencapai saraf pendengaran sehingga tidak ada yang diteruskan ke otak untuk diinterpretasi sebagai suara," kata dr Ronny. Gangguan pendengaran akibat paparan suara bising terjadi secara bertahap. "Mungkin pada tahun-tahun awal orang itu tidak akan merasakan gangguan karena suara yang kita gunakan dalam komunikasi sehari-hari hanya 500-4000 desibel," tambahnya. Kendati demikian, orang yang mengalami kerusakan koklea tidak bisa mendengar suara pada nada tinggi, seperti suara peluit kereta atau peluit wasit di sepak bola. "Lambat laun ambang batas pendengarannya makin menurun sampai akhirnya tidak bisa mendengar suara lagi," kata dr Ronny. Sekitar 50 persen gangguan pendengaran yang dapat dicegah, antara lain, adalah gangguan pendengaran akibat kebisingan. Untuk itu, penting sekali menggunakan pelindung telinga jika Anda terpapar suara keras. "Untuk para pekerja di pabrik atau pemain musik, sangat

penting menggunakan pelindung telinga. Kurangi juga volume musik dari earphone demi pendengaran yang sehat," saran dr Ronny.

"Earphone" Merusak Pendengaran


Penulis : Lusia Kus Anna | Rabu, 18 Agustus 2010 | 08:18 WIB KOMPAS.com Bila Anda termasuk orang yang hobi mendengarkan musik lewat earphone, maka sebaiknya perhatikan volume pemutar musik Anda. Pasalnya, suara bising dari pemutar musik secara berangsur-angsur akan menurunkan kualitas pendengaran Anda. Hal tersebut secara nyata terbukti pada para remaja di Amerika Serikat. Survei terbaru menunjukkan, 1 dari 5 remaja di sana mengalami gangguan pendengaran. Kebiasaan mendengarkan musik dari pemutar digital dengan volume keras dituding menjadi penyebabnya. Penelitian yang dilakukan para ahli dari Harvard itu menunjukkan prevalensi gangguan pendengaran meningkat dari 15 persen pada tahun 1988-1994 menjadi 19,5 persen pada survei tahun 2005-2006. Mayoritas gangguan pendengaran termasuk "ringan", yaitu ketidakmampuan mendengar suara pada desibel 16-24 atau suara setara bisikan atau gemerisik daun. Namun, gangguan pendengaran ini secara berangsur bisa memburuk. "Gangguan pendengaran ringan ini masih memungkinkan mereka untuk mendengar suara vokal dengan jelas. Namun, mungkin ada sebagaian suara konsonan yang kurang begitu jelas, misalnya huruf-huruf T, K, dan S," kata dr Gary Curhan, salah satu peneliti. Walaupun para peneliti tidak secara khusus menuding iPod sebagai biang keladi, peningkatan jumlah penderita gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi terus meningkat. Penelitian terbaru di Australia juga menunjukkan hasil yang tak jauh beda. "Dalam jangka panjang, kebiasaan mendengarkan musik dari player dengan volume keras memang bisa mengganggu pendengaran, tapi bukan berarti anak-anak tidak boleh menggunakan MP3 player," kata Curhan.

Kenali Faktor Perusak Indera Pendengaran.


Penulis : Lusia Kus Anna | Sabtu, 19 November 2011 | 09:51 WIB Kompas.com - Sebuah penelitian terbaru menyebutkan sekitar 1 dari 5 orang Amerika berusia di atas 12 tahun menderita gangguan pendengaran. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak menyadari kemampuan indera pendengaran mereka menurun. "Gangguan pendengaran terjadi secara bertahap selama sehingga orang yang mengalaminya menjadi terbiasa dan merasa tidak ada yang salah karena prosesnya sangat lambat," kata Dr.Frank R.Lin, yang melakukan penelitian ini. Kendati risiko gangguan pendengaran akan meningkat seiring dengan usia, tetapi orang yang masih muda bukan berarti bebas dari risiko ini. Sekitar 0,5 persen pria berusia 20-an diketahui mengalami gangguan pendengaran, sementara itu 2,5 persen pria berusia 30 tahun dan 9 persen pria usia 40-an tahun juga mengalaminya. Menurut Lin pria lebih rentan mengalami gangguan pendengaran dibanding wanita. "Hal ini terjadi karena kebanyakan yang bekerja di bidang konstruksi dan industri adalah pria. Mereka lebih sering terpapar suara bising yang menyebabkan penurunan pendengaran," paparnya. Gangguan pendengaran akibat bising paling banyak terjadi. Biasanya terjadi akibat terpapar bunyi keras (lebih dari 90 desibel) secara terus menerus selama bertahun-tahun. Getaran suara keras ini akan merusak sel-sel rambut koklea di dalam telinga dalam sehingga menghambat impuls listrik mencapai saraf pendengaran. Sebuah penelitian menunjukkan hormon estrogen dalam tubuh wanita ikut melindungi lapisan dalam telinga sehingga indera pendengaran kaum hawa lebih tahan. Menurut Lin ada beberapa tanda yang bisa dikenali sebagai gejala gangguan pendengaran, misalnya saja suara yang didengar tidak lagi jernih atau kesulitan mendengar perbincaraan di lingkungan yang bising. "Bila Anda mencurigai adanya kemampuan dengar segera periksakan ke dokter THT," katanya.

Meski indera pendengaran Anda berada dalam kondisi prima saat ini, tak ada salahnya mulai melindungi diri untuk mencegah gangguan pendengaran di masa datang. Mulailah dengan mengecilkan volume earphone. Bila orang lain di dekat Anda bisa mendengarkan musik yang berasal dari pemutar musik Anda, berarti volumenya terlalu keras.

Viagra Picu Gangguan Pendengaran?


Selasa, 24 Mei 2011 | 14:38 WIB KOMPAS.com - Penggunaan viagra dan obat-obat impotensi sejenisnya ternyata berisiko menimbulkan efek samping terhadap kesehatan pendengaran. Laporan terbaru di Inggris menyebutkan, obat kejantanan ini berkaitan dengan ratusan kasus hilangnya pendengaran di kalangan Kaum Adam. Alhasil, para ahli medis pun mulai memberi peringatan kalau obat impotensi ini berpotensi mengganggu organ pendengaran. Peneliti dari Rumah Sakit Charing Cross London, RS Stoke Mandeville Buckinghamshire dan Rumah Sakit Royal Marsden di London melaporkan adanya kasus gangguan pendengaran yang dikaitkan dengan konsumsi viagra. Mereka mengusulkan agar temuan ini ditindaklanjuti oleh badan pengawas resmi di beberapa benua. Seperti yang dilaporkan dalam jurnal The Laryngoscope, sejumlah pengguna Viagra di beberapa benua yakni Eropa, Amerika, Asia Timur dan Australia melaporkan bahwa mereka kehilangan pendengaran setelah menggunakan pil tersebut. Tercatat 47 pria yang diduga mengalami gangguan pendengaran sensorineural (sudden sensorineural hearing loss/SSHL) yang berkaitan dengan Viagra dan obat sejenisnya yakni Cialis dan Levitra. SSHL merupakan sejenis gangguan pendengaran pada bagian dalam struktur salah satu atau kedua telinga yang dapat mengakibatkan hilangnya pendengaran secara permanen. Di Inggris, tercatat ada 8 pengguna mengalami keluhan yang sama. Sementara itu di Amerika, ada 223 kasus meski kemudian dianggap tidak valid karena datanya tidak detil.

Hingga kini, para ahli belum mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan Viagra dapat memengaruhi pendengaran seseorang. Diduga hal itu ada kaitannya dengan reaksi kimia berantai yang memicu ketukan pada telinga bagian dalam. Riset itu melaporkan bahwa rata-rata pria yang terkena efek samping Viagra adalah mereka yang berusia 57 tahun, meski ada dua pria lainnya yang baru berusia 37. Salah seorang juru bicara dalam laporan riset itu menegaskan bahwa laporan mengenai reaksi yang timbul akibat obat-obat ini tidak serta-merta membuktikan bahwa hal itu diakibatkan oleh penggunaan obat.

Diabetes Juga Merusak Indera Pendengaran.


Kompas.com - Komplikasi yang ditimbulkan penyakit diabetes sangat luas, mulai dari penyakit ginjal, jantung, kerusakan saraf, dan kebutaan. Menurut studi terbaru diabetes juga terkait dengan gangguan pendengaran. Dalam hasil analisis beberapa penelitian sebelumnya, tim ilmuwan dari Jepang menemukan penyakit kencing manis meningkatkan risiko gangguan pendengaran sampai dua kali lipat. Pada penyandang diabetes yang berusia muda risikonya lebih besar lagi. Penelitian tersebut adalah yang pertama yang menemukan kaitan antara diabetes dan kehilangan pendengaran. Pada tahun 2008 peneliti dari U.S National Institute of Health (NIH) menemukan pola serupa pada 11.000 sampel responden. Dalam studi tersebut orang yang menderita diabetes lebih banyak yang mengalami tuli atau gangguan pendengaran dibanding orang yang tak menderita diabetes. Secara umum, gangguan pendengaran didefinisikan sebagai kesulitan mengerti apa yang orang katakan dalam suara berbisik dan tidak bisa mendengar beberapa kata dalam volume suara biasa.

The American Diabetes Association memperkirakan saat ini ada 16 juta orang penderita diabetes di AS. Sementara itu, menurut data NIH, ada 36 juta orang Amerika yang dilaporkan mengalami gangguan pendengaran dalam berbagai tingkatan. Peningkatan kadar gula darah diketahui akan memicu kerusakan pembuluh darah di sekitar telinga sehingga menyebabkan gangguan pendengaran. "Hasil penelitian ini bisa menjadi acuan bagi penderita diabetes untuk melakukan pemeriksaan telinga sejak dini dibandingkan dengan orang yang tak menderita diabetes," kata Chika Horikawa, peneliti dari Niigata University Faculty of Medicine, Jepang.

Gangguan Pendengaran Masih Terabaikan.


Penulis : Lusia Kus Anna | Sabtu, 1 Desember 2012 | 12:23 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Gangguan pendengaran saat ini masih terabaikan, padahal sebenarnya dapat dicegah. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 50 persen gangguan pendengaran yang dapat dicegah ialah gangguan pendengaran karena infeksi, kebisingan, pemakaian obat ototoksik, dan akibat pernikahan antarkeluarga. Demikian antara lain terungkap dalam pidato pengukuhan Jenny Endang Bashiruddin sebagai guru besar dalam ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher (THTKL) Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Sabtu (9/1). Pada hari yang sama ditetapkan pula Herkutanto sebagai guru besar tTetap dalam ilmu kedokteran forensik dan medikolegal FKUI. Herkutanto membawakan pidato berjudul Penyelesaian Masalah

Medikolegal dengan Penerapan Model Forcier-Lacerte pada Kasus Forensik Hukum Kesehatan dan Asuransi. Dalam pidatonya bertajuk Pencegahan Gangguan Pendengaran, Tantangan, dan Harapan dalam Implementasi Program Sound Hearing 2030, Endang menyatakan, berdasar survei Multi Center Study di Asia Tenggara, Indonesia termasuk empat negara dengan prevalensi ketulian cukup tinggi, yakni 4,6 persen.

Negara lainnya ialah Myanmar, India, dan Sri Lanka. Prevalensi ketulian yang cukup tinggi dapat menimbulkan masalah sosial. Diperkirakan 36 juta orang menderita gangguan pendengaran dan 800.000 orang menderita ketulian di Indonesia. Otitis media supuratif kronik (OMSK), yaitu infeksi telinga tengah (yang) menahun, merupakan penyakit paling sering menyebabkan tuli permanen. Prevalensi OMSK di Indonesia secara umum 3 persen. Ini termasuk tinggi menurut WHO karena ada di kisaran 2-4 persen. Infeksi telinga tengah ditandai dengan pecahnya gendang pendengaran dan keluarnya cairan berulang berupa nanah dan lendir. Jika tidak ada pengobatan, dapat menimbulkan komplikasi. Infeksi telinga tengah menahun itu merupakan lanjutan dari otitis media akut yang sering terjadi bayi dan anak. Menurut penelitian, 83 persen anak berusia kurang dari satu tahun pernah mengalami infeksi telinga tengah akut paling sedikit tiga kali.

Ketulian Dapat Dicegah.


Jenny mengatakan, angka kejadian infeksi telinga tengah menahun tinggi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kesehatan telinga sehingga ketika terjadi infeksi tidak segera ke dokter. Akibatnya, penyakit bertambah berat sehingga membutuhkan operasi. Penyembuhan total infeksi telinga tengah ialah dengan mengatasi reaksi peradangan dan menutup lubang gendang telinga. Untuk penyembuhan total biasanya butuh pembedahan. Di Indonesia sudah dapat dilakukan seluruh jenis bedah rekonstruksi pendengaran, tetapi jumlah spesialis masih sedikit. Sampai pertengahan 2007, ada sekitar 777 spesialis THT-KL. Dari jumlah itu hanya sekitar 68 spesialis melakukan bedah telinga secara rutin dan sekitar 20 yang sudah mahir rekonstruksi pendengaran. Masih begitu banyak tantangan dan kendala untuk mengatasi masalah gangguan pendengaran, ujarnya. Dengan keterbatasan itu, usaha yang harus lebih giat dilakuan ialah meningkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan dan meningkatkan kemampuan dokter umum sebagai lini terdepan. (INE).

Obat Impotensi Picu Gangguan Pendengaran.


Senin, 11 Januari 2010 | 07:58 WIB. Kompas.com - Para pria yang mengonsumsi obat anti impotensi dalam jangka panjang diingatkan akan bahaya berkurangnya pendengaran. Hasil studi ini disimpulkan dari penelitian terhadap 11.525 pria berusia di atas 40 tahun yang mengonsumsi obat anti impotensi golongan phosphodiesterase type 5 inhibitor (PDE-51). Obat-obatan anti impotensi yang menggunakan PDE-51 antara lain obat sildenafil (viagra), tadalafil (cialis), dan vardenafil (levitra). Pada tahun 2007, badan obat dan makanan Amerika (FDA) mengumumkan para produsen obat anti impotensi untuk mencantumkan efek samping gangguan pendengaran dalam labelnya. Aturan baru ini dikeluarkan setelah beberapa kasus gangguan pendengaran setelah memakai obat golongan PDE-51. Pakar epidemiologi dari Universitas Alabama, profesor Gerald McGwin, baru-baru ini mempublikasikan hasil studi epidemiologi mengenai kaitan antara obat PDE-51 dengan gangguan pendengaran. Epidemiologi adalah studi yang mengaitkan distribusi penyakit atau masalah kesehatan dalam sebuah populasi yang mungkin berkaitan dengan faktor tertentu. Studi tersebut memang tidak menemukan kaitan langsung antara obat PDE-51 dengan gangguan pendengaran, tetapi memang ditunjukkan adanya kaitan antara dua hal itu. Hasil studi juga menemukan adanya kondisi lain yang mungkin memicu gangguan pendengaran. 'Meski ada batasan dari hasil studi ini, tapi pasien yang mengonsumsi obat anti impotensi diminta untuk memperhatikan tanda dan gejala berkurangnya fungsi pendengaran. Segeralah mencari bantuan medis untuk mencegah gangguan yang sifatnya permanen," kata McGwin. PDE-51 pada awalnya diciptakan untuk mengobati hipertensi paru, namun kini secara luas digunakan untuk mengatasi disfungsi ereksi. McGwin mengatakan mungkin memang ada mekanisme biologi bagaimana obat ini menyebabkan gangguan pendengaran.

"Cara kerja PDE-51 pada pasien impoten adalah dengan meningkatkan aliran darah ke jaringan tertentu di tubuh. Ada dugaan mungkin efeknya sama pada selaput di pendengaran. Peningkatan sirkulasi darah di telinga memang bisa menyebabkan gangguan pendengaran," katanya.

Asap Rokok Juga Ganggu Pendengaran.


Rabu, 27 Juli 2011 | 09:20 WIB KOMPAS.com Efek buruk asap rokok bagi kesehatan memang tak terbantahkan, baik pada mereka yang menghisap rokok maupun bagi perokok pasif yang terpapar asap pembakaran rokok atau juga dikenal dengan istilah secondhand smoke. Penelitian terbaru menunjukkan, remaja yang terpapar asap rokok memiliki risiko hampir dua kali lipat mengalami gangguan pendengaran. Para peneliti dari New York University School of Medicine menganalisis lebih dari 1.500 anak muda berusia 12-19 tahun yang berpartisipasi dalam riset gizi dan nutrisi berskala nasional tahun 2005-2006. Peserta menjalani tes darah untuk mengukur tingkat zat kimia yang disebut continine, suatu bentuk pecahan dari nikotin. Para remaja ini juga diperiksa fungsi pendengarannya. Hasilnya menunjukkan, remaja yang terpapar asap rokok lebih cenderung memiliki gangguan pendengaran yang berhubungan dengan masalah koklea. Koklea merupakan organ pendengaran yang berfungsi mengirim pesan ke syaraf pendengaran dan otak. "Ini merupakan jenis gangguan pendengaran yang biasanya terjadi akibat faktor usia atau dialami anak yang lahir dengan tuli bawaan," kata Dr Michael Weitzman yang memublikasikan risetnya dalam jurnal Archives of Otolarygonology. Peneliti lainnya, dr Anil Lalwani, menilai, fakta mengenai asap rokok yang dapat menimbulkan gangguan pendengaran di kalangan remaja ini memiliki implikasi bagi kesehatan masyarakat.

Sementara dr Ralph Holme dari UK Charity Action on Hearing Loss, menyatakan perlunya penelitian lebih lanjut tentang gangguan pendengaran untuk membuktikan hubungan kausal antara asap rokok dan gangguan pendengaran. "Tetapi, sebagai tindakan pencegahan dan perlindungan terhadap pendengaran anak Anda, dianjurkan untuk menghindari asap rokok di sekitar mereka," ujarnya. (M05-11).

Diabetes Picu Gangguan Pendengaran.


Penulis : Bramirus Mikail | Jumat, 9 Maret 2012 | 10:22 WIB KOMPAS.com - Penelitian terbaru mengindikasikan, penyakit diabetes dapat memengaruhi gangguan pendengaran khususnya pada perempuan seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini bisa terjadi jika gangguan metabolisme tidak dapat dikontrol baik dengan pemberian obat-obatan. Para ilmuwan dari Henry Ford Hospital Detroit Amerika Serikat, mengatakan bahwa wanita penderita diabetes (usia 60-75 tahun) yang mampu mengontrol gula darah cenderung memiliki pendengaran lebih baik ketimbang wanita yang diabetesnya tidak terkontrol . Penelitian ini juga menunjukkan, gangguan pendengaran secara signifikan lebih buruk pada semua wanita penderita diabetes yang berusia lebih muda dari 60 tahun, sekalipun mampu mengendalikan diabetes dengan baik. Sementara pada pria, risiko terjadinya gangguan pendengaran lebih mungkin terjadi tanpa memandang usia mereka atau apakah mereka menderita diabetes. "Gangguan pendengaran adalah hal yang normal dari proses penuaan untuk semua orang, tetapi kondisi ini bisa lebih cepat terjadi pada pasien dengan diabetes, terutama jika tingkat glukosa darah tidak dikontrol dengan obat dan diet," kata Derek J Handzo, DO, dari Departemen THT Bagian Bedah Kepala dan Leher di Rumah Sakit Henry Ford. "Studi kami benar-benar menunjuk pentingnya pasien mengontrol diabetes mereka, terutama dengan bertambahnya usia mereka, terkait kemungkinan terjadinya gangguan pendengaran," tambahnya.

Asosiasi Diabetes Amerika mencatat, hampir 26 juta orang di AS mengidap diabetes, dan 34,5 juta lainnya mengalami gangguan pendengaran dengan tingkat yang berbeda-beda. Tandatanda gangguan pendengaran termasuk di antaranya kesulitan mendengar suara latar belakang atau mendengar percakapan dalam kelompok besar, serta sering mengubah volume radio atau TV.

Janin yang Terpapar HIV Berisiko Tuli.


Penulis : Bramirus Mikail | Jumat, 22 Juni 2012 | 17:02 WIB KOMPAS.com Gangguan pendengaran ternyata berisiko tinggi diderita oleh janin yang terpapar virus HIV. Menurut penelitian terbaru, gangguan pendengaran itu bisa terjadi ketika anak-anak tersebut berusia 16 tahun. Menurut riset yang dilakukan ilmuwan dari National Institute of Health Research Network, risiko gangguan pendengaran anak yang terinfeksi HIV adalah 9-15 persen. Sementara itu, anak yang bebas HIV tetapi terlahir dari ibu yang terinfeksi HIV, risikonya adalah 5-8 persen. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan gangguan pendengaran sebagai berkurangnya kemampuan mendengar pada empat frekuensi (500, 1.000, 2.000, dan 4.000 Hz) yang sangat penting untuk memahami bahasa, atau 20 desibel atau lebih tinggi daripada level normal pendengaran telinga. "Anak-anak yang terpapar HIV sebelum kelahiran berada pada risiko lebih tinggi mengalami gangguan pendengaran. Hal ini penting untuk mereka, juga bagi penyedia layanan kesehatan yang merawat mereka agar menyadari hal ini," kata George K Siberry, MD, dari Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development (NICHD). Temuan ini dipublikasikan secara online dalam The Pediatric Infectious Disease Journal. Menurut peneliti, dibandingkan anak lain, anak dengan infeksi HIV pada 200 sampai 300 persen lebih mungkin untuk mengalami gangguan pendengaran. Anak-anak yang lahir tanpa HIV dari ibu yang memiliki HIV, sebanyak 20 persen lebih mungkin mengalami gangguan pendengaran.

"Jika orangtua dan guru tahu anak mengalami masalah pendengaran, mereka mungkin mengambil langkah-langkah untuk membuat pengaturan komunikasi yang berbeda, seperti menempatkan anak untuk duduk di barisan depan kelas atau menghindari suara bising," urai Howard Hoffman, MA, Direktur Epidemiologi dan Statistik Program dari National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD), yang menyediakan dana untuk penelitian ini. Kehilangan pendengaran ringan pada anak-anak dapat menunda kemampuan bahasa. Untuk gangguan pendengaran yang lebih parah, mungkin mereka memerlukan penggunaan alat bantu dengar. Dalam kajiannya, peneliti melibatkan lebih dari 200 anak dan remaja. Semua telah terkena HIV sebelum kelahiran, dan sekitar 60 persen adalah HIV positif pada saat penelitian. Peneliti melakukan tes pendengaran pada anak-anak bila orangtua atau pengasuh melaporkan ada masalah pendengaran. Anak-anak ini juga cenderung memiliki skor yang rendah saat menjalani tes kemampuan bahasa atau masalah pendengaran. Temuan menunjukkan, proporsi lebih besar dari kasus gangguan pendengaran terjadi pada anak-anak dengan HIV positif, dan peneliti menemukan bahwa mereka yang telah mengembangkan AIDS pada level berapa pun bahkan lebih mungkin memiliki gangguan pendengaran, meski penyakit dapat dikendalikan pada saat penelitian berlangsung. Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa anak dengan HIV rentan terhadap infeksi telinga tengah. Infeksi telinga tengah yang berulang dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Namun, 60 persen kasus dalam penelitian ini menunjukkan gangguan pendengaran lebih diakibatkan oleh masalah transmisi suara dari saraf telinga ke otak, bukan kerusakan di telinga tengah akibat infeksi telinga.

Perokok Pasif Terancam Tuli.


Penulis : Lusia Kus Anna | Kamis, 18 November 2010 | 15:01 WIB
Kompas.com Sedihnya menjadi perokok pasif, meski tidak menghisap rokok, tetapi mereka harus ikut kena getahnya. Selain berisiko gangguan paru dan pernapasan, indera pendengaran perokok pasif ikut terancam asap rokok yang dikepulkan oleh orang lain. Beberapa penelitian telah mengindikasikan bahwa perokok, baik yang sudah berhenti maupun masih merokok, berisiko mengalami gangguan pendengaran. Namun, tidak diketahui apakah perokok pasif ikut memiliki risiko yang sama. Asap rokok yang terisap memiliki kandungan bahan kimia yang bisa mengganggu sirkulasi darah di pembuluh darah kecil di dalam telinga. Akibatnya, organ-organ tersebut kekurangan oksigen dan terbentuknya sisa-sisa toksik sehingga telinga rusak. Kerusakan akibat paparan asap rokok ini berbeda dengan yang disebabkan oleh paparan suara bising atau penuaan. Dalam sebuah riset, para peneliti dari Universitas Miami dan Florida International University melakukan analisis hasil tes pendengaran terhadap 3.307 orang bukan perokok, yakni para mantan perokok dan orang yang tidak pernah merokok sama sekali. Selain dilakukan tes pendengaran, para ahli juga melakukan tes darah untuk mengetahui kadar nikotin yang disebut cotinine, yang dibentuk tubuh ketika kontak dengan asap rokok. Hasilnya, perokok pasif memiliki gangguan pendengaran yang lebih buruk dibanding orang yang tidak terpapar. Gangguan pendengaran ini terutama mereka tidak bisa menangkap pembicaraan yang dilakukan di lingkungan yang agak berisik. Bukan hanya itu, perokok pasif juga terancam mengalami tuli berdasarkan pemeriksaan seluruh frekuensi suara. "Kami belum tahu batasan asap rokok yang aman agar terhindar dari risiko gangguan telinga. Namun, yang paling aman adalah tidak terpapar sama sekali," kata Dr David Fabry, peneliti. Itu sebabnya, sebelum menyalakan rokok Anda, perhatikan dulu apakah dampaknya bagi orang lain di sekitar Anda yang terpaksa ikut "menelan" asap rokok yang dikepulkan.

JURNAL SISTEM SENSORI DAN PERSEPSI RESDI BUDAYA S.kep Ners

Disusun Oleh 3A2 1. Baniah 2. Helisa Mulya P. 3. Hartini 4. Desmi Ribayana 5. Eti Supriati 6. Juita Puspa E. 7. Elisnawati 8. Yosi Ostriani 9. Melda Gusmarni 10. Thomas Eko Putra 1180200054 1180200053 1180200051 1180200047 1180200056 1180200055 1180200052 1180200050 1180200049 1180200048

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU 2013.

Anda mungkin juga menyukai