Anda di halaman 1dari 3

Belajar dari Kematian

Kematian adalah peristiwa akbar yang akan menimpa siapa saja yang bernama makhluk hidup. Cepat atau pun lambat, kematian itu pasti akan tiba. Yang membedakan hanya waktu, siapa yang akan dipanggil lebih dulu dan siapa yang masih ditangguhkan. Jatah untuk ke arah panggilan itu masing-masing sudah jelas. Dalam firman-Nya Allah swt menjelaskan urut-urutan kepastian ini, yang diawali dengan mengingatkan asal-muasal kejadian manusia sbb: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sesuatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati." (QS Al-Mu'minun: 12-15) Kita semua ini tidak lain adalah makhluk-makhluk yang sedang pasrah menunggu datangnya almaut. Suka atau tidak suka. Siap atau pun tidak. Kematian akan datang juga. Mungkin nanti, besok, lusa atau bahkan setelah kita menikmati tulisan ini. Lupa mati Karena kesibukan, orang sering dibuat lupa dengan sunatullah ini. Kesibukan sering mengantarkan orang lupa pada jadwal tetap yang pasti akan dialami. Kekagetan biasanya muncul setelah ada sanak-saudara atau tetangga yang meninggal. Pada saat itu baru kembali muncul kesadaran bahwa panggilan bergilir ke alam baka masih terus berlanjut. Undangan kematian masih tatap datang. Anehnya, banyak informasi kematian yang diterima baik melalui televisi, majalah, maupun koran, sering tidak menggetarkan hati. Bahkan bernilai seperti hiburan? Berita perihal kematian --yang mengerikan sekalipun-- tidak ubahnya dengan berita-berita yang lain seputar kasus politik dan kriminalitas. Kematian Lady Diana, misalnya, ketika peristiwa itu baru terjadi hampir seluruh masyarakat dunia turut terbelalak, menangis, histeris. Seolah tidak yakin kalau hukum kepastian ini juga berlaku untuk seorang manusia bernama Diana. Mereka meraung dan meratap: "Ooh.. mengapa orang seperti dia harus mati. Mengapa di usia yang semuda itu harus meninggalkan dunia?" Lolongan itu justru aneh, karena lupa di balik itu masih ada jadwal panggilan untuk dirinya juga, sudah ada di depan matanya, sudah beberapa saat lagi tiba gilirannya. Sesungguhnya tidak ada yang istimewa dari peristiwa apapun di dunia ini. Tidak pula karena wafatnya orang terkenal, pemimpin dunia, public figure, atau apapun namanya dengan seorang TKW yang meninggal karena teraniaya. Semuanya kembali pada perjalanan akhir yang bersangkutan, adakah nilai iman dan taqwa di dalam hatinya. itulah bekal yang paling baik sekembalinya manusia setelah mengarungi hidup di dunia. Taqwa itulah bekal kembali yang paling baik setelah manusia berpulang ke alam baqa sana. Bila ada bekal takwa berarti ada bekal yang siap dibawanya untuk 'melapor' di hadapan Tuhan. Mengapa peristiwa kematian tidak banyak mengundang kesadaran? Padahal di sana lengkap terpampang sejumlah mayat yang bergelimpangan, juga dengan uraian-uraian kejadian yang kadang didramatisir media massa sehingga nampak begitu negerikan? Mengapa jadi demikian? Kejadian seperti itu tidak lain karena manusia telah begitu lelah menghadapi kehidupan ini. Manusia telah disibukkan oleh berbagai kegiatan mencari penghidupan yang membuatnya lupa. Juga dipadatkan oleh masalah yang bertumpuk. Masalah itu setiap hari semakin bertambah banyak. Karena kelelahan itulah hingga informasi yang datangnya dari kampung akhirat bukan bernilai pendidikan dan peringatan lagi. Menyangkut hal ini, salah seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw, "Ya

Rasulullah, pesankan sesuatu kepadaku yang akan berguna bagiku dari sisi Allah." Nabi saw lalu bersabda, "Perbanyaklah mengingat kematian, maka kamu akan terhibur dari (kelelahan) dunia, dan hendaklah kamu bersyukur. Sesungguhnya bersyukur akan menambah kenikmatan Allah, dan perbanyaklah doa. Sesungguhnya kamu tidak mengetahui kapan doamu akan terkabul." (HR Ath-Thabrani) Ingat pada kematian akan membuat manusia punya kendali. Pangkal dari lupa dan keserakahan sebenarnya bermula dari sini, tidak ingat akan mati. Yang dibayangkan bagaimana bisa hidup lebih lama, bersenang-senang lebih banyak, dan dapat menghabiskan waktunya untuk bersuka-ria dengan leluasa. Kalau ada jatah, bahkan minta umurnya lebih lama hingga seribu tahun! Yang serakah bertambah keserakahannya, yang rakus semakin rakus dan yang zhalim semakin bertambah-tambah kezhalimannya. Kecenderungan ke arah sana dimiliki oleh siapa saja, lebih terkhusus oleh mereka yang lupa akan al-maut. Rasulullah saw bersabda, "Cukuplah maut sebagai pelajaran (guru) dan keyakinan sebagai kekayaan." (HR Ath-Thabrani) Seandainya kematian ini telah dipetik sebagai pendidik (guru) hati manusia secara otomatis akan terkendali. Kecurangan, kerakusan, kesombongan dan berbagai bentuk penyakit hati yang bersarang di dada akan dibunuh oleh takutnya pada mati. Sebagus apapun rupa, pada akhirnya akan binasa. Secantik bagaimanapun istri yang kita miliki, anak yang kita sayangi, perhiasan dan istana yang ada, semua akan ditinggalkan juga. Semuanya akan diakhiri oleh kematian. Karena hukum pastinya ini Nabiyullah yang mulia saw mengingatkan agar dalam pergaulan kita tidak mudah tertipu oleh bayang-bayang. Kita tidak diperbolehkan memvonis seseorang itu baik atau jahat, beruntung atau celaka. Karena kunci dari semua itu adalah pada ujung perjalanannya. "Janganlah kamu mengagumi amal seorang sehingga kamu dapat menyaksikan hasil akhir kerjanya." (Ath-Thusi Ath-Thabrani) Boleh jadi kita sering heran. Tidak jarang orang yang kelihatan baik-baik, rajin beribadah dan bershiyam Ramadhan meninggal dalam keadaan bermaksiat. Sementara di sisi lain kita juga menjumpai kasus yang tidak masuk akal, karena orang yang semula kita katakan brengsek, suka mengganggu lingkungan, bahkan dalam kalkulasi kita tidak pernah ada bayangan bakal mencium bau syurga sekalipun, justru mengakhiri hidupnya dengan husnul-khatimah. Tapi kasus seperti itu bukan untuk membuat kita ragu dan plin-plan. Pegangan hidup harus jelas. Menegakkan kepribadian Islam sama sekali tidak boleh surut dengan menyebarkan nilainilai al-Qur'an dan hadits untuk diri kita dan lingkungan. Karena Allah tetap Maha adil. Kalau Dia memutuskan untuk memberi hidayah terhadap seseorang, maka tentulah ada dari seseorang itu nilai yang baik yang layak sebagai landasan pemberian petunjuk itu. Ketentuan dan kehendak Allah di luar kaidah apapun yang dikenal manusia, hanya saja Dia menunjukkan cara yang bisa dipahami, misalnya dengan kaidah sebab-akibat. Semua itu terjadi karena kehendak Allah terhadap makhluk-Nya agar sunnah-Nya dipelajari, direnungkan, dan dihayati apa makna-maknanya. Dan yang terpenting agar kita dijauhkan dari akhir kehidupan yang rugi dan sia-sia, suul-khatimah. Marilah kita ingat sekali lagi, bahwa kita akan mati, dan mungkin saja itu terjadi besok pagi.

Pahlawan: Diteladani atau Dieksploitasi?


Hari Pahlawan, hanya dikenal di masyarakat yang ingin menumbuhkan kesan menghormati jasa pendahulunya di masa lalu. Dan untuk disebut pahlawan, sosoknya harus sudah tiada, karena dari sana baru bisa dikalkulasi baik-buruk perjalanan hidupnya. Menghormati mereka yang telah berjasa, tentu saja boleh-boleh saja, dan sudah selayaknya, sekalipun tidak semua negara memiliki hari pahlawannya sendiri-sendiri. Hanya saja tetap perlu dipilah-pilah, siapa dan bagaimana jatidiri dari yang disebut pahlawan. Sebab, sekalipun sama-

sama dikatagorikan pahlawan, perlakuan terhadapnya bisa berbeda-beda. Perbedaan itu didasari pada kenyataan, bahwa tidak semua yang disebut pahlawan itu meninggal sebagai muslim. Juga julukan pahlawan diberikan oleh pelaku sejarah berikutnya, yang tidak selalu sepemahaman dan sepemikiran, sehingga kriterianya bisa berbeda-beda. Ihwal kriteria ini menyebabkan julukan pahlawan menjadi terkesan sekadar formalitas, ibarat pangkat dan jabatan. Karena itu tepatlah kesadaran yang tetap mengakui, bahwa bukan hanya yang namanya disebut itulah yang layak diangkat sebagai pahlawan. Betapa banyak orang yang telah mengabdikan hidupnya untuk kebaikan ummat tanpa pamrih keduniaan. Setiap zaman memiliki pahlawannya sendiri-sendiri. Formalitas yang diberikan itu didasarkan pada apa yang nampak. Karenanya bisa jadi --apalagi di zaman yang serba bisa dibeli ini-- orang yang berniat burukpun menjadi nampak hanya serba baik, dan kemudian 'diresmikan' menjadi pahlawan. Seseorang juga bisa dianggap pahlawan bagi suatu kelompok masyarakat, tetapi disebut pengkhianat bagi kelompok masyarakat lain. Penyebutan pahlawan atau pengkhianat itu biasanya dilatarbelakangi kepentingan masingmasing. Dengan kata lain, generasi penerus mengeksploitasi nama pendahulunya untuk kepentingannya sendiri. Bagi ummat Islam, yang utama adalah esensinya. Sebutan itu urusan dunia, sedang penentu nasib adalah bagaimana nilai di hadapan Allah swt. Kita tak usahlah mengejar sebutan pahlawan di dunia, karena itu semua fana sifatnya. Alangkah nelangsa, bila disanjung-sanjung sepanjang umur, tetapi di akhirat merana sendirian di neraka. Bukankah lebih baik di dunia menjadi orang biasa, asal sukses hingga ke akhirat? Kita punya pahlawan masing-masing. Perjuangan mereka bisa menjadi inspirasi dan pendorong. Tetapi pahlawan yang harus senantiasa dikenang dan diteladani, adalah pahlawan dan idola kita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kita boleh 'mengeksploitasi' kepahlawanannya, demi membawa ummat manusia bersama-sama menuju surga.

Anda mungkin juga menyukai