Anda di halaman 1dari 16

TUGAS FARMAKOTERAPI II

HIPERTENSI

DI SUSUN OLEH : RUPA LESTY MUHAMMAD FURQON G1F009059 G1F009067

PUTRI KUSUMA WARDANI G1F010001 (KELAS A)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI 2013

BAB I PENDAHULUAN

Hipertensi menjadi topik pembicaraan yang hangat dan menjadi salah satu prioritas masalah kesehatan di Indonesia maupun di seluruh dunia, karena dalam jangka panjang peningkatan tekanan darah yang berlangsung kronik akan menyebabkan peningkatan risiko kejadian kardiovaskuler, serebrovaskuler dan renovaskuler. Analisis Kearney dkk, memperlihatkan bahwa peningkatan angka kejadian hipertensi sungguh luar biasa: pada tahun 2000, lebih dari 25% populasi dunia merupakan penderita hipertensi, atau sekitar 1 miliar orang, dan dua pertiga penderita hipertensi ada di negara berkembang. Bila tidak dilakukan upaya yang tepat, jumlah ini akan terus meningkat, dan pada tahun 2025 yang akan datang, jumlah penderita hipertensi diprediksi akan meningkat menjadi 29%, atau sekitar 1,6 miliar orang di seluruh dunia. Di Indonesia, angka kejadian hipertensi berkisar 6-15%4 dan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan, terutama di daerah pedesaan. Sementara itu, di Amerika Serikat, data NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey) memperlihatkan bahwa risiko hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Data NHANES 2005-2008 memperlihatkan kurang lebih 76,4 juta orang berusia 20 tahun adalah penderita hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi. Walau upaya, tindakan sudah banyak dilakukan dan tersedia banyak obat untuk mengatasi hipertensi, tata laksana hipertensi masih jauh dari berhasil. Data NHANES 20052008 di Amerika Serikat menunjukkan dari semua penderita hipertensi, hanya 79,6% sadar telah menderita hipertensi; namun hanya 47,8% yang berusaha mencari terapi. Dan dari 70,9% pasien yang menjalani terapi, 52,2% tidak mencapai kontrol tekanan darah target.

BAB II HIPERTENSI 1. Definisi Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan darah diukur dengan sphygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak atau terlentang paling sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah merokok atau minum kopi. Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (Yogiantoro M, 2006). 2. Epidemiologi Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025, dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15%, tetapi angka prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran, Jawa Tengah sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6% sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8% (Wade, 2003). 3. Etiologi Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh factor tunggal dan khusus. Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stress akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Risiko relative hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain factor genetik, umur,

jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi (Yogiantoro M, 2006). 4. Klasifikasi Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua kali atau lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan. Tabel Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII adalah sebagai berikut: Klasifikasi tekanan darah Normal Prehipertensi Hipertensitahap I Hipertensitahap II >120 120 139 140 159 > 160 Tekanan darah sistolik (mmHg) Dan Atau Atau Atau Tekanan darah diastolik (mmHg) < 80 80-89 90-99 >100

5. Patofisiologi Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormone antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan

multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi jaringan yang adekuat meliputi aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa factor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.

Patoflow Hipertensi

6. Terapi Hipertensi Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah: 1. Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg. 2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. 3. Menghambat laju penyakit ginjal.

Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis seperti penjelasan dibawah ini: A. Terapi non farmakologi Modifikasi gaya hidup penting untuk menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari. Olah raga aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan organ target. Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok. Berikut merupakan table modifikasi gaya hidup untuk mengontrol hipertensi:

(Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

B. Terapi farmakologi Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat antihipertensi perlu dimulai berdasarkan pada 2 kriteria: 1) tingkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, dan 2) tingkatan risiko kardiovaskular. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama (Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006). Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti terbaik yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas, dan bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktek evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat hipertensi. Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadar menurunkan tekanan darah, tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam seleksi obat hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat yang paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagonis kalsium (CCB) (Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

Guideline ESC/ ESH 2007 memberi petunjuk pemilihan golongan obat antihipertensi sebagai terapi inisial berdasarkan karakteristik kerusakan target organ subklinis.

(Tedjakusuma,2012). JNC VII (2003) merekomendasikan pilihan jenis obat antihipertensi berdasarkan ada tidaknya penyakit komorbid (Compelling Indications for Individual Drug Classes).

(Tedjakusuma,2012).

1. Diuretik Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton). Tetapi, JNC VII melihatnya sebagai kelas yang independen karena bukti mendukung indikasi khusus. Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain. Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air; masalah ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan. 2. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien dengan hipertensi. Studi ALLHAT menunjukkan kejadian gagal jantung dan stroke lebih sedikit dengan klortalidon dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke konsisten dengan hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project (CAPP). Pada studi dengan lansia, ACEI sama efektifnya dengan diuretik dan penyekat beta, dan pada studi yang lain ACEI malah lebih efektif. Kebanyakan klinisi setuju bila ACEI bukan merupakan terapi lini pertama pada kebanyakan pasien hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik. ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron. 3. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormone antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB.

Studi menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target jangka panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan indikasi khusus lainnya. Tujuh ARB telah di pasarkan untuk mengobati hipertensi; semua obat ini efektif menurunkan tekanan darah. ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti menaikkan dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah yang drastis. Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB. Seperti ACEI, kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk pemberian 1 x/hari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling pendek dan diperlukan dosis pemberian 2x/hari agar efektif menurunkan tekanan darah. 4. Penyekat beta Ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik diantara penyekat beta yang ada, tetapi menurunkan tekanan darah hampir sama. Ada tiga karakteristik farmakodinamik dari penyekat beta yang membedakan golongan ini yaitu efek: Kardioselektif (cardioselektivity)

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi penyekat beta. Tetapi, kardioselektifitas adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilangan selektifitas relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1. Pada dosis berapa kardioselektifitas hilang tergantung dari pasien ke pasien. Pada umumnya, penyekat beta yang kardioselektif lebih disukai bila digunakan untuk mengobati hipertensi. ISA (intrinsic sympathomimetic activity)

Beberapa penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsic (ISA). Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja secara agonis beta reseptor parsial. Tetapi penyekat beta ISA ini tidak menurunkan kejadian kardiovaskular dibanding dengan penyekat beta yang lain. Malahan, obat-obat ini dapat meningkatkan resiko pasca infark miokard atau pada pasien dengan resiko penyakit koroner yang tinggi. Jadi, ISA jarang diperlukan. Mestabilkan membrane (membran-stabilizing)

Semua penyekat beta mempengaruhi aksi menstabilkan membrane (membrane-stabilising action) pada sel jantung bila dosis cukup besar digunakan. Aktifitas ini diperlukan bila karakteristik antiaritmik dari penyekat beta diperlukan. 5. Antagonis kalsium (CCB) CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high voltage channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya menghambat channel tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer. Ada dua subkelas CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridine. Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan pada efek farmakodinamik yang lain. Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem) menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung jawab terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung pada pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil. 6. Penyekat alfa-1 Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penyekat reseptor 1 selektif. Bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilasi dan menurunkan tekanan darah. Pada studi ALLHAT doxazosin adalah salah satu obat yang digunakan, tetapi di stop lebih awal karena secondary end point stroke, gagal jantung, dan kejadian kardiovaskular terlihat dengan pemberian doxazosin dibanding chlorthalidone. Tidak ada perbedaan pada primary end point penyakit jantung koroner fatal dan infark miokard nonfatal. Data ini menunjukkan kalau diuretik tiazid superior dari doxazosin (dan barangkali 1-blocker lainnya) dalam mencegah kejadian kardiovaskular pada pasien dengan hipertensi. Jadi penyekat alfa adalah obat alternatif kombinasi dengan obat antihipertensi primer lainnya. 7. Agonis 2 sentral Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor 2 adrenergic di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak dan meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac output, total peripheral resistance, aktifitas plasma rennin, dan reflex baroreseptor. Klonidin

sering digunakan untuk hipertensi yang resistan, dan metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan 8. Reserpin Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan norepinefrin dari ujung saraf simpatetik dan memblok perjalanan norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin juga mengosongkan katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi, dan berkurangnya curah jantung. Reserpin mulai kerja dan waktu paruhnya lambat sehingga dosis pemberian satu kali per hari. Tetapi, diperlukan 2 sampai 6 minggu sebalum efek antihipertensi maksimal terlihat. Reserpin dapat menyebabkan retensi natrium dan air yang cukup bermakna. Harus di kombinasikan dengan diuretic (tiazid lebih disukai). 9. Vasodilator arteri langsung (direct arterial vasodilators) Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik, sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan rennin. Akibatnya terbentuk takifilaksis, efek hipotensi akan hilang dengan pemakaian seterusnya. Efek ini dapat diatasi dengan penggunaan penyekat beta bersamaan (Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006). Terapi kombinasi Data penelitian klinik hipertensi memperlihatkan bahwa mayoritas pasien hipertensi memerlukan paling sedikit dua golongan obat untuk mencapati target tekanan darah. JNC VII (2003) dan ESC/ ESH (2007) menganjurkan untuk langsung mulai dengan kombinasi dua macam obat pada kelas II hipertensi (160/100 mmHg) atau pada kelompok hipertensi dengan risiko kardiovaskuler tinggi atau sangat tinggi. Kombinasi dengan garis solid adalah yang bermanfaat dan evidence based, sedangkan kombinasi dengan garis putus-putus tidak direkomendasikan (Tedjasukmana,2012).

Terapi kombinasi obat herbal dan obat antihipertensi Berdasarkan hasil review yang dilakukan Jie Wang et al (2012) ditemukan bahwa penggunaan kombinasi terapi herbal antara Yangxue Qingnao granule (YQG) dengan obat antihipertensi memiliki efek potensial dalam pengobatan hipertensi. Yangxue Qingnao granule (YQG) merupakan salah satu obat paten tradisional Cina sebagai terapi pengobatan hipertensi, yang sudah direkomendasikan oleh Newly Edited National Chinese Traditional Patent Medicines. YQG terdiri dari sebelas tanaman herbal, diantaranya angelica sinensis, Ligusticum chuanxiong Hort, white peony root, prepared radix rehmanniae, uncaria, Spatholobus suberectus Dunn, Prunella vulgaris, cassia seed, pearl shell, rhizoma corydalis, dan asarum herb. Berdasarkan dua belas percobaan yang dilakukan secara acak yang jumlahnya 1985 partisipan, YQG yang dikombinasikan dengan obat antihipertensi memiliki efek potensial dalam menurunkan tekanan darah. Namun, bukti tersebut masih belum kuat karena

keterbatasan metode yang dilakukan. Walaupun demikian hampir semuanya menyatakan bahwa kombinasi terapi dengan YQG memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian obat antihipertensi sebagai monoterapi dan belum pernah ada bukti yang dipublikasikan tentang hasil negatif dari kombinasi terapi ini. Kesimpulannya, sudah ada

beberapa hasil yang dapat membuktikan bahwa kombinasi terapi tersebut memiliki efek potensial terhadap pengobatan hipertensi, sehingga harus dilakukan uji yang lebih akurat untuk memperkuat temuan ini.

BAB III KESIMPULAN 1. Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. JNC VII mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2. 2. Angiotensin II memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormone antidiuretik (ADH). Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. 3. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat komplek. Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.

4. Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis. Terapi non
farmakologi yang dilakukan adalah dengan modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Terapi farmakologi yang diberikan yaitu dengan mengkonsumsi obat antihipertensi diantaranya adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagonis kalsium (CCB). Obat tersebut dapat diberikan secara monoterapi dan kombinasi terapi baik kombinasi antar obat antihipertensi maupun kombinasi dengan obat herbal.

DAFTAR PUSTAKA

Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi, Depkes RI, Jakarta. Jie Wang et al, 2012, Is Yangxue Qingnao Granule Combined with Antihypertensive Drugs, a ew Integrative Medicine Therapy, More Effective Than Antihypertensive Therapy Alone in Treating Essential Hypertension?, Hindawi Publishing Corporation. Tedjakusuma, Pradana, 2012, Tata Laksana Hipertensi, Departemen Kardiologi, RS Premier Jatinegara dan RS Grha Kedoya, Jakarta. Yogiantoro M, 2006, Hipertensi Esensial Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi keIV, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FakultasKedokteran Universitas Riau, Jakarta. Wade, A Hwheir, D N Cameron, A, 2003, Using a Problem Detection Study (PDS) to Identify and Compare Health Care Privider and Consumer Views of Antihypertensive therapy. Journal of Human Hypertension, Jun Vol 17 Issue 6. JNC VII (The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure), 2004. (Guidline)

Anda mungkin juga menyukai