Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

SINDROM NEFROTIK
Pembimbing : dr. Nelson Pandaleke, Sp. PD

Penyusun : Kartika Ramadhayani 030.08.135

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT DR. MINTOHARDJO PERIODE 12 NOVEMBER 2012 19 JANUARI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

1 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

REFERAT SINDROM NEFROTIK

Telah disetujui oleh : dr. Nelson Pandaleke, Pandaleke, Sp. PD.

Pada tanggal,

Des Desember 2012 2012

Dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RS DR. MINTOHARDO Periode 12 November 2012 19 Januari 2013 2013

Jakarta, Jakarta, Desember Desember 2012 2012 Pembimbing,

(dr. Nelson Pandaleke, Pandaleke, Sp. PD PD.)

2 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat Sindrom Nefrotik. Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Nelson Pandaleke, Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada dokter-dokter pembimbing lain di bagian Penyakit Dalam RS DR. Mintohardjo. Tujuan dari pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Penulis sangat berharap bahwa referat ini dapat menambah wawasan mengenai sindroma nefrotik. Dan diharapkan, bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan mengenai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan hal tersebut. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Jakarta, Desember 2012 Penulis,

Kartika Ramadhayani

3 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

DAFTAR ISI

BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII BAB VIII BAB IX BAB X

Pendahuluan ..5 Etiologi ......6 Klasifikasi ......8 Patologi anatomi ....10 Patofisiologi ...12 Gejala klinis dan gambaran laboratorium ......14 Penatalaksanaan .....16 Komplikasi .........19 Prognosis ........22 Kesimpulan ........23

Daftar Pustaka ....24

BAB I
4 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu.1 Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T (4). Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif.1 Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obatobatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif. Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).1 Pada anak-anak kurang dari 16 tahun paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% dibawah 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1.000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. Angka kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia dibawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun.2,3 Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas diagnostik dan penatalaksanaan SN.2
5 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

BAB II ETIOLOGI
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik seperti berikut: A. Glomerulonefritis (GN) primer: GN lesi minimal (GNLM) Glomerulosklerosis fokal (GSF) GN membranosa (GNMN) GN membranoproliferatif (GNMP) GN proliferatif lain

B. GN sekunder akibat: i. Infeksi: - HIV - Hepatitis virus B dan C - Sifilis - Malaria - TBC - Lepra - Endokarditis ii. Keganasan: -Adenokarsinoma paru, payudara, kolon -Limfoma hodgkin -Mieloma multiple iii. Penyakit jaringan penghubung: - SLE - Rheumatoid Arthritis

6 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

iv. Efek obat dan toksin: - NSAID - Preparat emas - Penisilinamin - Probenesid - Captopril - Heroin v. Lain-lain: - Diabetes Mellitus - Amiloidosis - Pre-eklamsi

GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa (GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat mislnya obat NSAID atau preperat emas, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.1,4

7 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

BAB III KLASIFIKASI


Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok: I. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

II. Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh:

Malaria kuartana atau parasit lain. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis vena renalis. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.

Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.

III. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu : a. Kelainan minimal

Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel berpadu (mikroskop elektron) Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerolus Lebih banyak terdapat pada anak Prognosis baik
8

[REFERAT] Sindroma Nefrotik

b. Nefropati membranosa

Glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel Prognosis kurang baik

c. Glomerulonefritis proliferatif

Eksudatif difus Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening) Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular. Dengan bulan sabit (crescent) Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral. Glomerulosklerosis membranoproliferatif Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.

d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental


Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus Prognosis buruk1,4,5,6

9 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

BAB IV PATOLOGI ANATOMI


a) Kelainan minimal o Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun tampak tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG). o Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau penyakit podosit. o Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada anakanak usia 1-5 tahun. o Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis mayor yang tidak memperlihatkan imunopatologi. b). Nefropati membranosa (glomerulonefritis membranosa) o Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. o Jarang ditemukan pada anak-anak. o Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain masih normal. o Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron. c). Glomerulosklerosis fokal segmental o Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektif dan responnya terhadap kortikosteroid buruk.

10 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

o Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli (istilah fokal) dan pada permulaan hanya glomeroli jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka semua bagian terkena. o Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa anyaman didalam satu glomerolus, menyisihkan bagian-bagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan segmental. o Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik. d). Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN) o Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. o Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan suatu penambahan matriks mesangial. o Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi membrana basalis (jejak-trem atau kontur lengkap) o Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik. o Ada MPGN tipe I dan tipe II. e). Glomerulonefritis proliferatif fokal o Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen glomerulus individual (segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal). o Lebih sering ada dengan sindrom nefritik.1,4,5,6

11 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

BAB V PATOFISIOLOGI
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul, dimana albumin bermolekul kecil sehingga mudah keluar, dan yang kedua berdasarkan muatan listrik, dimana hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.1,5 Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.1,5 Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang,
12 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.1,5 Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.1 Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density lipoprotein).6,7 Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas
13 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. 6,7

BAB VI GEJALA KLINIS & GAMBARAN LABORATORIUM


Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka. Keluhan jarang selain malaise ringan dan nyeri perut. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat.5 Kelainan Urin dan Darah Pada Pasien Sindrom Nefrotik Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaria yang massif proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau 3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (>3 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus fokal).1,4

Gambaran laboratorium

Darah

: - Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl) - Kolesterol meningkat (> 200 mg/dl , TG > 170mg/dl) - Kalsium menurun - Ureum Normal
14

[REFERAT] Sindroma Nefrotik

- Hb menurun, LED meningkat

Urin

: - Volumenya : normal sampai kurang - Berat jenis : normal sampai meningkat - Proteinuria masif (> 3,5g/24 jam) - Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal - Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak, oval fat bodies, leukosit normal sampai meningkat.1,6,8

Pemeriksaan urin yang didapatkan Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat) didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan kekeruhan berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat. Penetapan 0,15 g/24 jam. Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 g/24jam. Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama edema masih ada. Berat jenis urin meningkat. Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid Ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan Sudan III). Terdapat leukosit.4,8,9 Pemeriksaan darah yang didapatkan
15 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

jumlah

protein

dengan

cara

Esbach

modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak >

Hipoalbuminemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin terbalik. Hiperkolesterolemia8

BAB VII PENATALAKSANAAN


Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL.

Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas) Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.
16 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan. Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari
Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari1

Medikamentosa: Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali tekanan osmotik plasma.1 Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam, sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton, atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.5,6

Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal.8

Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien yang tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan dengan kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 - 3
17 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal (terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan produksi sel sumsum tulang.2,8,10

Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic syndrome secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12 minggu masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2 mg/kg/hari pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change nephotic syndrome.10

18 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

BAB VIII KOMPLIKASI


1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada sindrom nefrotik: Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan: a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin. b) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya fibrinolisis. Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit. 2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan. 3. Gangguan tubulus renalis Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.
19 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

4. Gagal ginjal akut. Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan LFG. 5. Anemia Anemia mikrositik hipokrom, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe. Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang menurun akibat proteinuria. 6. Peritonitis Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kumankuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli. 7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan.

20 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan.4,8,9

Penatalaksanaan Komplikasi Sindroma Nefrotik:


Pengobatan komplikasi sindrom nefrotik ini secara simptomatik. 1. Pengobatan kelainan koagulasi dengan pemberian zat anti koagulan dan trombosis diberikan trombolitik. 2. Cegah infeksi. Jika terjadi infeksi sekunder maupun peritonitis diberikan antibiotik terutama yang berspektrum luas. 3. Pemberian furosemid untuk meningkatkan hantaran ke tubulus distal. Selain itu, furosemid juga diberikan bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam. Dosis furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravascular berat. 4. Jika terjadi gagal ginjal, hal ini membutuhkan proses dialisis, atau cangkok ginjal. 5. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi inflamasi infeksi kulit. Prednison dosis penuh : 60 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2/3 dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam seminggu atau selang sehari selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tapering off. Bila relaps, berikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi, kemudian dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila relaps sering atau resisten steroid, lakukan biopsi ginjal.
21 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

6. 1,25mg kalsiferol sehari (50.000 unit) untuk atasi hipokalsemia, tapi masih dalam tahap percobaan.5,8

BAB IX PROGNOSIS
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal. Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan kortikosteroid. Kelainan minimal (minimal lesion): Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid. Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa) Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia dalam waktu 10-20 tahun. Glomerulosklerosis fokal segmental Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik. Prognosis buruk Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)

22 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik.1,4,5

BAB X KESIMPULAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuri masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman diagnostik pengobatan rasional sebagian besar pasien SN. Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan atau mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit.

23 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

DAFTAR PUSTAKA
1. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta: IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549 2. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma. [cited 2012, Nov 28]. Available: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_Si ndromaNefrotikPatogenesis.html 3. Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb NJ.A, Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3rd ED. Great Britain: Oxford Universsity Press., 197-22 4. 5. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrisons Manual Of Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806 Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17, 2010. [cited Dec 05, 2012]. Available: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview 6. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008: vol.336.Website: BMJ. [cited 2012 Dec, 11] 7. Stephen JM, William G. Nephrotic Syndrome. Pathophysiology of Disease. 5th ed. USA: Lange-Mc Graw Hill. 2003. Page: 476-477 8. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009
24 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

9.

Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001

10. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia Kidney Care Club. [cited 2012, Dec 12]. Available: http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170

25 [REFERAT] Sindroma Nefrotik

Anda mungkin juga menyukai