Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN

Selama bertahun-tahun, apendik telah keliru dipandang sebagai organ sisa dengan fungsi yang tidak diketahui. Namun saat ini telah dipahami bahwa apendik merupakan organ imunologis yang secara aktif berpartisipasi dalam mensekresi imunoglobulin, terutama imunoglobulin A (Ig A). Walaupun apendik merupakan komponen yang terintegrasi dalam sistem gut associated lymphoid tissue (GALT), fungsinya tidak begitu penting dan apendektomi tidak berhubungan dengan predisposisi sepsis manapun atau manifestasi lainnya dari penurunan daya tahan tubuh. Jaringan limfoid pertama kali tampak pada apendik kurang lebih 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah jaringan limfoid meningkat selama pubertas dan secara terus-menerus pada dekade selanjutnya, kemudian berkurang secara bertahap seiring dengan usia. Setelah usia 60 tahun, secara nyata tidak ditemukan jaringan limfoid dalam apendik, dan obliterasi sempuran dari lumen apendik sering ditemukan Acute appendicitis atau radang apendiks akut merupakan kasus infeksi intraabdominal yang sering dijumpai di negara-negara maju, sedangkan pada negara berkembang jumlah kasus yang dijumpai jauh lebih sedikit. Hal ini mungkin berhubungan dengan diet yang rendah serat pada masyarakat modern bila dibandingkan dengan masyarakat desa yang cukup banyak mengkonsumsi serat. Apendisitis dapat menyerang orang dalam berbagai kelompok umur. Umumnya apendisitis mengenai orang dengan usia dibawah 40 tahun, khususnya antara 8 sampai 14 tahun, dan sangat jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun Diagnosis apendisitis akut sampai saat ini masih merupakan diagnosis klinis. Pemeriksaan penunjang dan radiologis terutama diperlukan pada kasus yang meragukan dan untuk membantu menyingkirkan diagnosis lain. Kesulitan diagnosis umumnya dijumpai pada pasien dengan jenis kelamin wanita, anak kecil, atau orang lanjut usia. Penanganan apendisitis akut berupa penanganan konservatif dan operatif berupa apendektomi. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa kasus apendisitis dapat diobati secara konservatif dengan antibiotik namun pada akhirnya sebagian besar akan memerlukan tindakan operatif

16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Appendicitis adalah keradangan yang terjadi secara akut pada struktur appendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Appendicitis disebut juga umbai cacing atau di masyarakat lebih dikenal dengan istilah umbai cacing walaupun sebenarnya istilah tersebut kurang tepat. Hingga saat ini belum diketahui apa fungsi appendiks yang sebenarnya, namun demikian organ ini sering menimbulkan masalah kesehatan 2.2 Epidemiologi Sejarah apendisitis dimulai pada tahun 1827 oleh Melier yang pertama kali menyebutkan proses peradangan di sekum dengan typhlitis atau perityphlitis. Reginald H. dan Fitz untuk pertama kalinya melakukan pemeriksaan histopatologi apendiks dari hasil operasi. Sejarah modern apendisitis dimulai dari tulisan klasik Charles McBurney tahun 1889, yang dipublikasikan dalam New York Surgical Society on November 13,1889. McBurney mendiskripsikan peradangan akut di

kuadran kanan bawah biasanya disebabkan oleh apendisitis, yang sebelumnya disebut oleh Melier dengan typhlitis atau perityphlitis.1,2 Frekuensi apendisitis ialah sekitar 7% di Amerika Serikat. Angka insidennya ialah 1,1 kasus perseribu orang.2,4,6 Di Inggris, apendisitis merupakan

kegawatdaruratan abdomen yang paling sering dan mengakibatkan 40.000 orang harus dirawat di rumah sakit setiap tahunnya.4 Pria lebih banyak terkena dibandingkan wanita dengan rasio 1,4:1 dan resiko mendapatkan penyakit ini ialah 8,6% pada pria dan 6,7% pada wanita.4 Golongan umur terbanyak adalah dewasa muda, yaitu antara umur 10-30 tahun.6 Sejak tahun 1940, insiden apendisitis telah menurun di Inggris namun penyebab penurunan ini belum begitu jelas.4 Angka mortalitas yang tinggi dari apendisitis akut mengalami penurunan dalam beberapa dekade.1,4,6 Hawk et al, membandingkan kasus apendisitis akut pada periode 19331937 dengan 19431948. Angka mortalitas pasien apendisitis akut dengan peritonitis lokal menurun dari 5% menjadi 0%. Angka mortalitas pasien apendisitis akut dengan peritonitis umum menurun dari 40,6% menjadi 7,5%. Pada tahun 1930, 15 kasus meninggal karena apendisitis dari 100 ribu populasi, sedangkan

17

30 tahun kemudian hanya 1 kasus meninggal dari 100 ribu populasi. Pada tahun 1977, mortalitas pasien dengan apendisitis akut tanpa perforasi 0,1-0,6% dan dengan perforasi 5%.1
2.3

Etiologi Dan Patofisiologi Apendisitis Akut Sampai saat ini masih menjadi perdebatan dan spekulasi umum di kalangan para ahli mengenai penyebab pasti dari apendisitis. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan hubungan diet rendah serat dan konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis. Ada beberapa teori yang sudah diajukan, seperti teori sumbatan, teori infeksi, teori konstipasi dan teori higiene, namun hal ini juga belum jelas benar. Diperkirakan pula bahwa pada penderita tua obstipasi merupakan faktor resiko yang utama, sedangkan pada umur muda adalah adanya pembengkakan sistim limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula adanya perubahan konsentrasi flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang besar.

PATOGENESIS APENDISITIS

Gambar 1. Patogenesis Apendisitis

16

Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 1525 cmH2O dan meningkat menjadi 3050 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan pada lumen sekum berkisar antara 34 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum. Normalnya, mukosa apendiks dapat mensekresi cairan 1 ml dalam 24 jam. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum. Hambatan aliran dalam muara apendiks berperan besar dalam patogenesis apendisitis. Apendiks juga berperan sebagai sistem imun pada sistem gastrointestinal (GUT). Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues (GALD) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Pemikiran bahwa apendiks adalah bagian dari sistem GALD yang mensekresi globulin kurang banyak berkembang. Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek pada sistem immunologi. Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab jaringan limfoid disini kecil jika dibandingkan jumlah di saluran pencernaan dan seluruh tubuh. 2.3.1 Peranan diet dan higiene.1 Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, diverticulitis, dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab dan mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Tapi hal ini masih perlu dipertanyakan lagi, sebenarnya apakah konstipasi ini benar berperan dalam terjadinya apendisitis. Banyak pasien-pasien konstipasi kronis yang tidak pernah menderita apendisitis dan sebaliknya orangorang yang tidak pernah mengeluh konstipasi mendapatkan apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis. Penggunaan yang berlebihan dan terus menerus dari laksatif pada kasus konstipasi akan memberikan kerugian karena hal

17

tersebut akan merubah suasana flora usus dan akan menyebabkan terjadinya keadaan hiperemia usus yang merupakan permulaan dari proses peradangan. Bila kebetulan sakit perut yang dialami disebabkan apendisitis maka pemberian purgative akan merangsang peristaltik yang merupakan predisposisi untuk terjadinya perforasi dan peritonitis. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses menjadi memadat, lebih lengket dan berbentuk makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lama. Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam kolon, tetapi dapat juga mengubah kandungan bakteri. Hill et al menyimpulkan bahwa bakteri yang terdapat dalam feses orang Amerika dan Inggris (yang mengkonsumsi rendah serat) lebih tinggi dibandingkan feses orang Uganda, India, dan Jepang. Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya insiden apendisitis di negara maju seperti Amerika dan Inggris yang kurang mengkonsumsi serat lebih besar dibandingkan di Afrika dan Asia. 2.3.2 Peranan Obstruksi.1 Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali adanya sumbatan dari lumen apendiks. Hal ini disokong dari hasil pemeriksaan histologis pascaoperasi dan eksperimen pada binatang percobaan. Condon menyebutkan bahwa apendisitis adalah akibat dari obstruksi yang diikuti infeksi. Disebutkan bahwa 60% kasus berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan hiperplasia jaringan limfoid submukosa dan 35% karena stasis fekal atau fekalit sementara 4% karena benda asing lainnya dan 1% karena striktur atau hal-hal lainnya yang menyebabkan penyempitan dari lumen apendiks. Teori ini juga didukung oleh penemuan Wangensteen dan Brower (1939) yang mengatakan bahwa pada 75% apendisitis akut terdapat obstruksi dari lumen apendiks, dan pada apendisitis gangrenosa seluruhnya terdapat obstruksi.

16

Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses peradangan. Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%. Selanjutnya apendisitis yang berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan hiperplasia jaringan limfoid submukosa disebutkan lebih banyak lagi terjadi pada anak-anak, sementara obstruksi karena fekalit atau benda asing lebih banyak ditemukan sebagai penyebab apendisitis pada orang dewasa. Adanya fekalit dihubungkan oleh para ahli dengan hebatnya perjalanan penyakitnya. Bila terdapat fekalit (apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala akut kemungkinan apendiks telah mengalami komplikasi yaitu gangren 77%, bila tidak ditemukan apendikolit dan hanya gangren 42%. Penelitian lain menyebutkan bahwa apendisitis akut dengan apendikolit terdapat kemungkinan gangren atau perforasi sebanyak 50%. Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Pada megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus. Selain fekalit dan hiperplasia kelenjar limfoid, sebab obstruksi yang lain harus dipertingkan juga, apalagi untuk negara kita Indonesia dan negara-negara Asia khususnya yaitu penyumbatan yang disebabkan oleh cacing dan parasit lainnya. 2.3.3 Peranan Flora Bakterial.1 Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supuratif, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah

17

Escherichia coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis. Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis dapat menyebabkan erosi membran mukosa apendiks dan perdarahan. Pada kasus infiltrasi bakteri, dapat menyebabkan apendisitis akut dan abses. Pada awalnya Entamoeba histolytica berkembang di kripte glandula intestinal. Selama invasi pada lapisan mukosa, parasit ini memproduksi ensim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan berikutnya adalah bakteri yang menginvasi dan berkembang pada ulkus, dan memprovokasi proses peradangan yang dimulai dengan infiltrasi sel radang akut. Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina serosa. Proses awal ini terjadi dalam waktu 1224 jam pertama. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mukus yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminer meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen apendiks cepat. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan udem. Kondisi yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah keadaan yang disebut apendisitis fokal, atau apendisitis simpel. Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intraluminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular akan mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial. Keadaan ini akan menyebabkan udem bertambah berat, terjadi iskemia, dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah keadaan yang disebut apendisitis akut supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut tekanan intraluminer akan semakin tinggi, udem menjadi lebih hebat, terjadi gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren pada dinding apendiks terutama pada daerah antimesenterial yang relatif miskin vaskularisasi. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk elipsoid. Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin meningkat, akan terjadi perforasi pada daerah yang gangren tersebut. Material intraluminer yang infeksius akan tercurah ke dalam rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal maupun general tergantung keadaan umum

16

penderita dan fungsi pertahanan omentum. Apabila fungsi omentum baik, tempat yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum, terjadilah infiltrat periapendikular. Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks, terjadilah keadaan yang disebut abses periapendikular. Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius dari lumen apendiks tersebut akan menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal. Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup baik, proses akan terlokalisir, tetapi apabila keadaan umumnya kurang baik maka akan terjadi peritonitis generalisata. Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut sehingga dapat terjadi keadaan keadaan seperti apendisitis rekurens, apendisitis kronis, atau yang lain. Apendisitis rekurens adalah suatu apendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks terdapat peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan akut. Sedangkan apendisitis kronis digambarkan sebagai apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, temuan durante operasi maupun pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda-tanda peradangan khronis, dan serangan

menghilang setelah dilakukan apendektomi. Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan perlekatan yang banyak. Dan kadang-kadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks ke organ lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-kadang terdapat stenosis parsial atau ada bagian yang mengalami distensi dan berisi mukus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi fragmentasi dari apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan parut. Gambaran ini merupakan gross pathology dari suatu apendisitis kronis.

2.4

Diagnosis Apendisitis Akut. Apendisitis akut adalah diagnosis klinis. Penegakkan diagnosis terutama didasarkan pada riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila ada keragu-raguan atau untuk menyingkirkan diagnosis. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, perempuan dua kali lebih banyak mempunyai apendiks normal daripada laki-laki dalam kasus apendektomi. Primatesta (1994) melaporkan bahwa perempuan tiga kali

17

lebih banyak dibanding laki-laki dalam insidensi kasus apendektomi negatif. Hal ini dapat disadari mengingat perempuan yang masih sangat muda sering timbul gejala mirip apendisitis akut terutama penyakit ginekologis. Hal-hal penting yang dapat membantu penegakkan diagnosis apendisitis akut adalah bahwa apendisitis biasanya mempunyai perjalanan akut atau cepat. Dalam beberapa jam sudah timbul gejala atau bahkan memburuk oleh karena nyeri, penderita biasanya cenderung mempertahankan posisi untuk tidak bergerak. Penderita tampak apatis dan menahan nyeri. Oleh karena nyeri yang sangat, penderita segera dibawa ke rumah sakit. 2.4.1 Anamnesis Urutan kejadian symptoms mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdominal dan baru diikuti oleh vomitus, bila terjadi. a) Nyeri/Sakit perut.1,4 Keluhan utama pada pasien apendistis akut ialah nyeri perut. Gambaran klinisnya yang umum ialah nyeri perut dibagian tengah yang seiring waktu berpindah ke daerah fosa iliaka kanan. Gambaran klasik ini pertama kali dideskripsikan oleh Murphy namun hanya terjadi pada setengah kasus apendistis akut.4 Khasnya, nyeri awalnya muncul disekitar umbilikus dan semakin lama semakin meningkat intensitasnya selama 24 jam pertama. Nyeri kemudian berpindah dan menetap di fosa iliaka kanan. Nyeri yang pertama kali dirasakan pasien merupakan nyeri alih akibat inervasi visceral dari usus tengah (midgut). Nyeri ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut (tidak pin-point). Selain itu nyeri juga timbul oleh karena kontraksi apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami peradangan. Nyeri visceral ini merupakan nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Nyeri yang terlokalisir kemudian disebabkan oleh peradangan (>6 jam ) dan iritasi langsung peritoneum parietalis akibat proses peradangan lebih lanjut. Biasanya penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik. Nyeri ini memiliki sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.1 b) Mual dan muntah.1 Muntah terjadi akibat rangsangan terhadap nervus vagus. Anoreksia, nausea, dan vomitus biasanya muncul beberapa jam setelah nyeri abdomen. Anoreksia hampir

16

selalu dijumpai pada pasien dengan apendisitis akut sehingga sangat penting ditanyakan pada anamnesis. Meskipun demikian ketiadaan anoreksia tidak menyingkirkan diagnosis apendisitis. Hampir 75% penderita disertai dengan muntah, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan muntah hanya sekali atau dua kali. Muntah yang berat mungkin menandakan onset awal peritonitis generalisata akibat perforasi apendiks. Sebaliknya muntah jarang dijumpai pada apendiks nonperforasi.4 c) Obstipasi.1 Obstipasi biasanya terjadi karena penderita takut mengejan. Keluhan obstipasi biasanya muncul sebelum rasa nyeri dan beberapa penderita sebaliknya dapat

mengalami diare. Diare biasanya timbul pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum. d) Panas (infeksi akut).1 Keluhan panas biasanya muncul apabila apendisitis disertai komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5-38,50 C. Demam tinggi biasanya dijumpai pada kasus apendisitis yang diduga telah terjadi perforasi. Tabel 2.1. Gejala Apendisitis Akut.6 Gejala apendisitis Nyeri Anoreksia Nausea Vomiting Nyeri yang berpindah Gejala klasik (Murphy sign) Frekuensi ~100% ~100% 90% 75% 50% 50%

Sumber: American Association of Familiy Physician. Umumnya posisi anatomis apendiks dan manifestasi klinis akibat peradangannya ialah sebagai berikut:6 1. Retrosekum atau retrokolik (75%): Pada posisi ini sering ditandai dengan nyeri inguinal kanan disertai dengan nyeri tekan saat dilakukan palpasi. Rigiditas muskuler dan nyeri tekan saat dilakukan palpasi dalam sering tidak dijumpai oleh karena apendiks terlindungi oleh sekum. Otot psoas seringkali mengalami iritasi akibat proses peradangan apendiks didekatnya dan mengakibatkan fleksi pinggul dan nyeri

17

yang bertambah hebat saat dilakukan ekstensi pinggul. Tanda ini dikenal sebagai psoas stretch sign. 2. Subsekum dan pelvis (20%): Gejala klinis yang menonjol pada posisi ini ialah nyeri suprapubik dan urinary frequency. Diare dapat timbul oleh karena iritasi pada rectum. Nyeri tekan abdomen mungkin jarang ditemukan namun nyeri tekan disebelah kanan pada pemeriksaan colok dubur dan colok vagina mungkin dapat dijumpai. Pada pemeriksaan urin lengkap mungkin dapat dijumpai hematuria mikroskopik dan leukosituria. 3. Preileal dan post ileal (5%): Pada posisi ini gejala dan tanda yang muncul dapat sangat minimal. Biasanya muntah lebih menonjol dan diare dapat muncul akibat iritasi ileum distal. Untuk apendisitis akut yang telah mengalami komplikasi, misal perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini:1 a) Perforasi: Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,30C). Jumlah lekosit yang meninggi merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi. b) Peritonitis: Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari apendisitis yang telah mengalami gangren. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans muskuler yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat. c) Abses/infiltrat: Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah walling off (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah masa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk masa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan apendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi. Selain posisi apendiks, gambaran klinis apendistis akut juga dipengaruhi oleh umur pasien dan keadaan fisiologis tertentu seprti kehamilan.4 Meskipun jarang terjadi pada anak-anak, apendistis akut dapat menimbulkan kesulitan diagnosis pada pasien dengan usia muda. Anak-anak terutama bayi biasanya tidak mampu

16

mengungkapkan keluhan yang dialaminya. Selain itu, gejala dan tanda yang muncul juga tidak bersifat spesifik. Oleh karena itu, diagnosis apendistis akut sering terlambat atau bahkan sama sekali tidak dapat ditegakkan sehingga memberikan kontribusi terhadap laju perforasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 50% pada kelompok umur ini.6 Pasien apendistis akut berusia lanjut memiliki laju mortalitas paling tinggi. Pada pasien ini sering kali gejala dan tanda apendistis akut tidak khas, berkurang, atau tidak muncul sama sekali. Sebagai tambahan, pasien lanjut usia biasanya keadaan umumnya agak jelek dan sering disertai dengan kondisi komorbid lain seperti penyakit jantung, diabetes, dan ginjal. Kombinasi kedua faktor ini memberikan kontribusi terhadap laju mortalitas yang tinggi hingga lebih dari 5% pada kelompok usia lanjut.1,6 Kondisi lain yang perlu mendapatkan perhatian lebih ialah pasien apendistis akut dengan kehamilan. Pada kehamilan, posisi apendiks mulai bergeser pada bulan keempat sampai kelima kehamilan. Gejala-gejala yang menyertai kehamilan sering menyerupai gejala apendisitis. Selain itu leukositosis yang sering terjadi pada kehamilan menyebabkan pemeriksaan hitung WBC dalam diagnosis apendistis akut menjadi kurang bermanfaat. Meskipun laju mortalitas pada ibu cukup rendah, laju mortalitas pada bayi yang dikandung mencapai 2-8,5% dan meningkat menjadi 35% jika terjadi perforasi disertai peritonitis generalisata.6 2.4.2 Pemeriksaan Fisik.1,4,6,7,10 a) Inspeksi: Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada

appendikuler abses. Pemeriksaan pada anak, perhatikan posisi anak yang terbaring pada meja periksa. Anak menunjukkan ekspresi muka yang tidak gembira. Anak tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri. b) Palpasi: Tujuan palpasi adalah untuk menentukan apakah penderita sudah mengalami iritasi peritoneum atau belum. Pada pemeriksaan abdomen pada anak dengan permukaan tangan yang mempunyai suhu yang sama dengan suhu abdomen anak. Biasanya cukup dipanaskan dengan menggosok-gosok tangan dengan pakaian penderita. Tangan yang dingin akan merangsang otot dinding abdomen untuk berkontraksi sehingga sulit menilai keadaan intraperitoneal. Terkadang kita perlu melakukan palpasi dengan tangan anak itu sendiri untuk mendapatkan otot abdomen yang tidak tegang. Abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi

17

dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas, kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Palpasi dengan permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari tangan, dengan tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot atau adanya tumor yang superfisial. Waktu melakukan palpasi pada abdomen anak, diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan boneka atau usaha yang lain, sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. Hindari gerakan yang cepat dan kasar karena hal ini akan menakuti anak dan membuat pemeriksaan nyeri tekan tidak mungkin dilakukan. Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan palpasi pada pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah:1,4,6 Nyeri tekan Mc.Burney: Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis. Nyeri lepas: Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney. Nyeri ini terjadi akibat rangsangan pada peritoneum. Defans muskuler: Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietalis. Rangsangan ini kemudian menyebabkan rangsangan pada muskulus rektus abdominis sehinggga otot ini mengalami kontraksi. Rovsing sign: Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan nyeri sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakan peritoneum sekitar apendiks yang meradang. Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada apendiks yang terletak retrosekal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks. Ada 2 cara memeriksa : 1. Aktif: Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien

memfleksikan articulatio coxae kanan dan nyeri dirasakan di perut kanan bawah. 2. Pasif: Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri kemudian pemeriksa melakukan ekstensi pasif paha kanan sambil menahan pinggul kanan penderita (tanda bintang).

16

Gambar 2. Tanda psoas. Nyeri saat dilakukan ekstensi pasif pada paha kanan. Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan hipogastrium. apendiks terletak pada daerah

Gambar 3. Tanda obturator. Nyeri saat dilakukan rotasi pada paha yang berada dalam keadaan fleksi.

Blumberg Sign: nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan. Dunphy sign Tenhorn sign: nyeri perut kanan bawah saat testis kanan ditarik kebawah.

c) Perkusi: pada pemeriksaan ini biasanya didapatkan nyeri saat dilakukan perkusi. d) Auskultasi: Peristaltik normal, peristaltik menghilang pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat perforasi apendiks. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus Rectal Toucher dan Vaginal Toucher: Colok dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis pada anak kecil karena biasanya menangis terus menerus. Walaupun pemeriksaan colok dubur dan colok vagina seringkali tidak didapatkan kelainan, namun pada apendisitis dengan posisi pelvis tidak jarang didapatkan nyeri tekan pada jam 9-12 pada pemeriksaan colok dubur dan

17

vagina. Nyeri tekan pada pemeriksaan colok dubur dan vagina dapat memperkuat diagnosis namun tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis apendisitis akut 1. Pemeriksaan penunjang Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Menurut Ein (2000) pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3.1 Tes laboratorium untuk apendisitis bersifat kurang spesifik, sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan diagnosa.1,4,6 Jumlah lekosit untuk akut adalah >10.000/mm3 dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil).1 Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai pedoman untuk apendisitis akut (Bolton et al, 1975).1 Marker peradangan lain yang dapat digunakan dalam diagnosis apendisitis akut adalah C-reactive protein (CRP).4,6 Petanda respon peradangan akut (acute phase response) dengan menggunakan CRP telah secara luas digunakan di negara maju. Nilai senstifitas dan spesifisitas CRP cukup tinggi, yaitu 80-90% dan lebih dari 90%.1 Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap rumah sakit di daerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5-10 menit), dan murah.1 Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada anak dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendiks yang mengalami peradangan akut dan menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993).1 Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.3,5 2.5 Diagnosis Banding.1,2,4,6,9 Pada keadaan tertentu beberapa penyakit dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, diantaranya adalah berasal dari saluran pencernaan seperti gastroenteritis, ileitis terminale, tifoid, divertikulitis Meckel tanpa perdarahan, intususepsi dan konstipasi. Gangguan alat kelamin perempuan termasuk diantaranya infeksi rongga panggul, torsio

16

kista ovarium, adneksitis dan salpingitis. Gangguan saluran kencing seperti infeksi saluran kencing, batu ureter kanan. 2.5.1 Kelainan Gastrointestinal Kolesisititis akut Divertikulum Meckel: Merupakan suatu penonjolan keluar kantong kecil pada usus halus yang biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah dekat dengan apendiks. Divertikulum dapat mengalami peradangan dan bahkan perforasi ( robek atau ruptur). Jika terjadi peradangan atau perforasi, harus ditangani dengan pembedahan. Enteritis regional Pankreatitis

2.5.2 Kelainan Urologi Batu ureter Sistitis

2.5.3 Kelainan Obstetri dan Ginekologi. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) Salpingitis akut (adneksitis) Penyakit peradangan panggul. Tuba falopi kanan dan ovarium terletak dekat apendiks. Wanita yang aktif secara seksual dapat mengalami infeksi yang melibatkan tuba falopi dan ovarium. Biasanya terapi antibiotik sudah cukup, dan pembedahan untuk mengangkat tuba dan ovarium tidak perlu.

17

Tabel 2.2. Diagnosis banding dari apendisitis akut. Sistem organ Gastrointesti nal Diagnosis banding Kolesisititis, Chrons disease, Diverticulitis, Ulkus duodenum, Gastroenteritis, Ileus, Invaginasi, NEC, Pankreatitis Ginekologis Kehamilan ektopik, Endometriosis, Torsi ovarium, PRP, Rupture kista ovarium, Abses tuboovarium Respirasi Urogenital Pleuritis, Pneumonia basilaris, Infark pulmoner Batu ginjal, Prostatitis, Pyelonefritis, Torsi testis, UTI, Wilms tumor Sistemik KAD, Porfiria, Sickle cell disease, Henoch-Schonlein purpura Lain-lain Infeksi parasit, Abses psoas, Rectus sheath hematoma

2.6 Penatalaksanaan Apendisitis Akut.1,5,6 2.6.1 Operatif (Appendektomi) Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Pembedahannya adalah dengan apendektomi, yang dapat dicapai melalui insisi McBurney. Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi. Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada apendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Apendektomi berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi: Operasi sito : untuk kasus akut, abses dan perforasi Operasi elektif : untuk kasus kronik.

2.6.2 Konservatif diikuti operasi elektif. Penatalaksanaan nonoperatif terdiri atas: Bed rest total posisi Fowler (anti Trendelenburg) Diet rendah serat Antibiotika spektrum luas Metronidazol

16

Monitor : Infiltrat, tanda-tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED, bila baik mobilisasi. Penderita anak perlu cairan intravena untuk mengoreksi dehidrasi ringan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi bahaya muntah pada waktu induksi anestesi. Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan anak sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah. Kalau anak dalam keadaan syok hipovolemik maka diberikan cairan ringer laktat 20 ml/kgBB dalam larutan glukosa 5% secara intravena, kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan. Sebelum pembedahan, anak harus memiliki urin output sebanyak 1 ml/kgBB/jam. Untuk menurunkan demam diberikan acetaminophen suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas 380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk mengontrol demam. Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan apendisitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi

apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis . Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100 mg/kg), gentamisin (7,5 mg/kg) dan klindamisin (40 mg/kg) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidasol aktif terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin

17

BAB III LAPORAN KASUS

1. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Tanggal MRS : : : : : : MS 58 tahun Laki-laki Banjar Basangambu Manukaya Petani 14 Februari 2011 pkl. 13.30 WITA

2. Anamnesis Keluhan utama: Nyeri perut kanan bawah Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang sadar mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak + 3 jam SMRS, nyeri bersifat menetap bertambah parah bila batuk dan bertambah ringan bila berbaring. Awalnya pasien merasakan nyeri ulu hati dan panas badan sejak pukul 07.00 WITA, kemudian nyeri tersebut dirasakan berpindah dan menetap pada perut kanan bawah. Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan penderita. Makan terakhir 6 jam yang lalu, minum terakhir 4 jam yang lalu. Riwayat penyakit dahulu: Pasien pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Selain itu, didapatkan riwayat menderita konstipasi. Riwayat penyakit lainnya: penyakit jantung (-), hipertensi (-), asma (-), diabetes melitus (-), alergi obat (-). Riwayat penyakit keluarga: penderita mengatakan ada keluarganya pernah mengalami hal yang sama. Riwayat sosial : penderita adalah seorang petani.

3. Pemeriksaan Fisik (14/02/2011 : 13.30) Status Present Keadaan sakit umum Tekanan darah Nadi Respiration Rate Temp aksila : : : : : sedang 110/70 mmHg 88 kali/menit 22 kali/menit 37,5

16

Status General Mata : Rp +/+ isokor Anemis (+), ikterus -/THT Thoraks : : tidak ada keluhan cor : S1S2 tunggal reguler murmur (-) Pulmo: Ves +/+, rh -/-, wh -/Abdomen Ekstremitas : : Distensi (-), BU (+) N, H/L tidak teraba Hangat + + + +

Status lokalis : Regio Abdomen Inspeksi : Distensi (-), Darm contour (-), Darm Stifung (-)

Auskultasi : BU (+) N Palpasi Perkusi RT : Nyeri tekan Mc Burney ,Rovsing Sign, rebound phenomena (+) : Timpani : TSA (+) N, Mukosa rektum licin, ampula kosong, massa (-) Nyeri (+) jam 10-11 Handscoen : darah (-), feses (-) 4. Resume Pasien laki-laki 26 tahun dengan Migration of pain (Ligath Sign), febris, nyeri tekan McBurney, Rovsing sign, dan rebound phenomena. Pada RT didapatkan Nyeri (+) jam 10-11. Pasien adalah seorang petani, riwayat pernah operasi dan menderita penyakit lain disangkal. 5. Diagnosis Klinis Abdominal pain 6. Diagnosis causa Appendisitis Akut 7. Planing Diagnosis Darah lengkap, CRP,urinalisis USG Abdomen bawah 8. Planning Terapi Appendisektomi

17

9. Darah lengkap (14/02/2011) Wbc : 16 Hgb : 12,1 MCV: 82,0 MCH:27,3 Hct : 36,4 Plt : 317

PERKEMBANGAN PASIEN SELAMA DI RUANGAN Mata THT Thorax : an (-), ikt (-) : kesan tenang : Cor : S1 S2 N reg murmur (-) Po : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/Abd : dist (-), BU (+) N H/L tidak teraba Ext : hangat (+), edema (-)

15/02/2011 S : Nyeri luka operasi, flatus (+)

IVFD RL 20 tts/mnt + drip analgetik

Status Present : TD : 120/80 mmHg Nadi : 84x/menit Resp : 20x/menit

Cefotaxime 3 x 1 gram Asam tranxesamat 3 x 500 mg Diet bubur saring Mobilisasi duduk

Status Lokalis Regio abdomen Luka operasi terawat baik

A : Post Appendisektomi hari I

16

BAB IV PEMBAHASAN

Pasien laki-laki 58 tahun datang sadar mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak tadi pagi kira-kira 3 jam SMRS, nyeri bersifat menetap bertambah parah bila batuk dan bertambah ringan bila berbaring. Awalnya pasien merasakan nyeri ulu hati dan panas badan sejak pukul 7 pagi, kemudian nyeri tersebut berpindah dan menetap pada perut kanan bawah. Hal ini sesuai teori yang mengatakan bahwa terdapat gejala klasik apendisitis yaitu nyeri di daerah epigastrium, atau periumbilikus yang disertai dengan mual, bahkan terkadang muntah. Meskipun pada pasien tidak didapatkan mual maupun muntah, hal tersebut tidak dapat meniadakan kecurigaan terhadap apendicitis. Lebih lanjut, dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Dari pemeriksaan fisik status present didapatkan peningkatan suhu tubuh (37,5 0C), pemeriksaan status lokalis didapatkan nyeri tekan Mc Burney , Rovsing Sign, rebound phenomena dan dari RT terdapat nyeri pada jam 10-11 dimana sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius, nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah hal ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign), tanda abdominal swelling yang dapat dilihat sebagai distensi perut pada inspeksi tidak didapatkan pada pasien ini. Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan nyeri pada jam 10-11, dimana menurut teori pemeriksaan tersebut hanya digunakan untuk mengetahui lokasi appendik. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah untuk mencari tanda infeksi akut dan tanda appendiks yang khas yang diketahui sebagai peningkatan leukosit ( Leukositosis ) untuk menunjang temuan klinis, pada beberapa kasus appedistis yang tidak khas atau yang meragukan, pemeriksaan USG akan sangat menbantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain, akan tetapi pada pasien tidak dikerjakan mengingat diagnosis appendisitis berdasar alvarado skor dengan pemeriksaan klinis dan darah berjumlah 8, sangat memcbantu kita dalam menentukan keputusan tindakan yang akan diambil dalam hal ini adalah melakukan appendisektomi. Setelah dilakukan appendisektomi, diberikan antibiotik dan analgetik IV, perkembangan pasien di ruangan cukup baik dan tidak ditemulakan masalah yang berarti, flatus didapatkan pada hari I setelah Appendisektomi.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Apendisitis Akut. 2008. Available at: www.bedahugm.net. (Accessed: 14 Februari 2011). 2. Craig, S. Acute Appendicitis. Emedicine. Last update 30 September 2008. Available at:http://www.emedicine.co/emergGASTROINTESTINAL.htm 3. Gani et al. Diabetic Diagnostic Accuracy of Alvarado Scoring System in Acute Appendicitis. Agustus 2008. Available at : www.jlumhs.org (Accessed : 14 Februari 2011) 4. Humes, DJ., Simpson, J. Acute Appendicitis. BMJ Volume 333, 9 September 2006. Available at : http ://www.bmj.com (Accessed : 14 Februari 2011) 5. Mojca et al. Clinical And Laboratory Methods in Diagnosis Of Acute Appendicitis. Croatian Medical Journal Volume 48, Februari 2007. Available at : http ://www. cmj.hr (Accessed : 14 Februari 2011) 6. Mike Hardin Jr. Acute Appendicitis: Review And Update. American Family Physician Volume 60, 1 November 1999. Available at :

http://www.aafp.org/afp/991101ap/contents.html(Accessed : 14 Februari 2011) 7. Maa, J., Kirkwood, K.S. The Appendix. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. Saunders 2008. 8. Rofiq, Ahmad. Apendiksitis. Available at : http ://www. rofiqahmad.wordpress.com (Accessed : 14 Februari 2011) 9. Spurway, J., Simmons, B. A Review Of Acute Appendicitis And Concurrent Appendicolith. ASUM Ultrasound Bulletin 2004 August 7: 4: 1113. Available at : http//france.elsevier.com/direct/MEDMAL (Accessed : 14 Februari 2011). 10. Santacroce, L. Appendicitis. Emedicine. Last update 14 Agustus 2008. Avalaible at:http://www.emedicine.com/med/gensurAbdomen.htm 11. Phipip B, AppendicitisAcute. Last Updated: October 24, 2006 : Sandy Craig, MD, http://www.emedicine.com/ 12. Grace & Neil R Borley. 2007. At a Glance : Ilmu Bedah Ed.3. Jakarta : EMS. Hlm. 672-678

Anda mungkin juga menyukai