Andika Metrisiawan
NIM 1871101001
PEMBIMBING
dr. I Gede Budiarta Sp.An., KMN
Penulis : Tonny Stone Luggya, Tony Roche, Lameck Ssemogerere, Andrew Kintu,
John Mark Kasumba, Arthur Kwizera, Jose VB Tindimwebwa
I. DESKRIPSI JURNAL
I.1 Tujuan Utama Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menentukan perubahan kadar penanda
inflamasi IL-6 setelah operasi dari data awal (baseline), segera setelah operasi di
PACU, pada 24 jam dan 48 jam pasca operasi.
2
signifikan secara statistik yang mungkin disebabkan ukuran sampel yang kecil dan variasi
nilai IL-6 yang luas.
c. Concealment
Concealment dilakukan dengan cara memberi label pada masing-
masing jarum suntik sesuai dengan kode acak berurutan dan ditempatkan
dalam kantong opak yang dibawa ke ruang operasi pada pagi harinya.
3
d. Angka drop out
Pada penelitian ini tidak didapatkan peserta yang mengalami drop out.
e. Jenis analisis
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS (versi 16.0; SPSS Inc,
Chicago, IL). Karakteristik peserta dirangkum menggunakan mean, median
dan standar deviasi yang disajikan menggunakan tabel dan histogram.
Variabel kategorikal dirangkum menggunakan proporsi, persentase dan
disajikan menggunakan diagram lingkaran atau diagram batang. Data
dianalisis menggunakan ANOVA atau tes Kruskal-Wallis yang sesuai untuk
hubungan antara perubahan tingkat IL-6 dan IL-1β dengan masing-masing
prediktor, proporsi dibandingkan menggunakan chi-square dan odds rasio.
Data dinilai untuk distribusi varian normal menggunakan plot normalitas dan
uji Kolmogorov-Smirnov. Data kategorikal dianalisis menggunakan uji eksak
Fisher dan analisis gabungan naif dilakukan untuk setiap subjek yang
memberikan satu titik data untuk kecocokan. Nilai p ≤ 0,05 dianggap
signifikan secara statistik
4
anestesi local serta ditambah pasien yang menerima transfusi darah
intraoperative.
ii. Peserta ditentukan secara acak berdasarkan berat badan untuk
menerima ketamin 0,5 mg / kg atau plasebo menggunakan blok 4.
Seorang ahli statistik independen dari penelitian ini membuat kode
acak berurutan menggunakan program komputer. Untuk
memungkinkan blinding, seorang apoteker di lokasi yang terpisah
mencampurkan kedua intervensi dalam merek dan konsistensi yang
sama dalan jarum suntik steril 10 ml dan jarum suntik ini berisikan
larutan jernih dengan konsentrasi 10 mg/ml yang dapat
mengakomodir berat terendah yang dimungkinkan yaitu 20 kg dan
kemungkinan berat tertinggi 200 kg
b. Analisis dengan komparabilitas baseline data
Menurut peneliti tidak ada perbedaan data baseline yang signifikan
pada kedua kelompok perlakuan
Tabel 1. Karakterisktik baseline pasien
5
Peserta secara acak ditentukan berdasarkan berat badan untuk
menerima ketamin 0,5 mg / kg atau plasebo menggunakan blok 4. Pasien
kemudian dipanggil setelah mendapatkan persetujuan selama kunjungan pra
operasi dan di ruang operasi sebuah jarum suntik yang telah kode diambil
secara buta dari kantung yang berwarna gelap di hadapan seorang perawat,
kode tersebut akan menjadi nomor studi pasien. Berat badan, tekanan darah
dan suhu pasien dicatat sesuai diagram alir. Di ruang operasi 5 ml sampel
darah dikumpulkan sebagai data awal (baseline). Anestesi umum dilakuikan
dengan induksi bolus tiopenton (2mg / kg) lambat, diikuti oleh analgesia opiat
morfin intravena (0,1 mg / kg) dan suxamethonium 100 mg untuk intubasi.
Pemberian campuran Isoflurane-oksigen digunakan untuk pemeliharaan
anestesi. Sebelum insisi, pemberian isi dari jarum suntik yang telah diambil
sebelumnya kepada pasien sesuai dengan pengacakan. Penggantian serta
pemantauan cairan dan volume dilakukan sesuai dengan protokol ruang
operasi MNRTH. Durasi operasi dicatat dan pasien dibangunkan dan
diekstubasi pada akhir operasi. Pasca operasi, pasien dipantau di unit
perawatan pasca operasi (PACU) di mana 5 ml darah kedua dikumpulkan
sebelum dipindahkan kembali ke bangsal. Pada 24 dan 48 jam pasca operasi
dilakukan pengumpulan sampel ketiga dan keempat serta dilakukan penilaian
klinis pasien. Tramadol digunakan sebagai analgesik nyeri pasca operasi pada
studi ini kemudian dilanjutkan analgetik sesuai dengan standar perawatan
MNR yaitu diklofenak intramuskuler atau pethidine.
Karakteristik peserta dirangkum menggunakan mean, median dan
standar deviasi. Variabel kategorikal dirangkum menggunakan proporsi dan
persentase.
c. Kesimpulan validitas informasi
Penelitian ini memiliki validitas informasi yang baik.
6
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS (versi 16.0; SPSS Inc,
Chicago, IL). Karakteristik peserta dirangkum menggunakan mean, median
dan standar deviasi yang disajikan menggunakan tabel dan histogram.
Variabel kategorikal dirangkum menggunakan proporsi, persentase dan
disajikan menggunakan diagram lingkaran atau diagram batang. Data
dianalisis menggunakan ANOVA atau tes Kruskal-Wallis yang sesuai untuk
hubungan antara perubahan tingkat IL-6 dan IL-1β dengan masing-masing
prediktor, proporsi dibandingkan menggunakan chi-square dan odds rasio.
Data dinilai untuk distribusi varian normal menggunakan plot normalitas dan
uji Kolmogorov-Smirnov. Data kategorikal dianalisis menggunakan uji eksak
Fisher dan analisis gabungan naif dilakukan untuk setiap subjek yang
memberikan satu titik data untuk kecocokan. Nilai p ≤ 0,05 dianggap
signifikan secara statistik.
II.1.2.2. Spesifikasi
Pada penelitian ini spesifikasi terpenuhi karena data baseline setara.
7
Pada penelitian ini di ruang operasi diambil sampel darah sebanyak 5 mL
untuk data baseline kemudian pasien menerima ketamin (0,5 mg / kgBB, kelompok
Ketamine), dan normal saline (kelompok Plasebo) secara intravena sebelum insisi
dilakukan.
III.2. Saran
III.2.1. Saran untuk klinisi
Pemberian ketamin 0,5 mg/kgbb sebelum insisi dapat menekan peningatan
kadar IL-6 pasca operasi yang diharapkan dapat mengurangi morbiditas pasien seperti
rasa nyeri dan infeksi karena IL-6 terlibat dalam respon fase akut terhadap cedera dan
infeksi. Namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar
untuk dapat diterapkan secara luas.
10
Sebuah Studi Komparatif Mengenai Efek Hidrokortison Intravena dan
Ketamin Dalam Mengurangi Kejadian Menggigil (“shivering”) setelah
Anestesi Spinal pada Pembedahan Seksio Sesaria : Sebuah uji coba
terkontrol acak buta ganda
Nahid Manouchehrian, Mehdi Sanatkar, Hossein Kimiaei Asadi, Elahe Soleiman, Abbas
Moradi
Latar Belakang: Shivering adalah gerakan vibrasi berirama pada satu atau beberapa
kelompok otot yang disebabkan setelah anestesi umum atau lokal. Pencegahan dan
pengobatan awal shivering menyebabkan tidak ada konflik dengan pemantauan pasien dan
juga mengurangi efek samping kardio-respirasi dan metabolik pada pasien. Tujuan dari
penelitian ini adalah membandingkan efek ketamin dan hidrokortison dalam mengurangi
shivering paska spinal.
Metode: Dalam studi prospektif ini, 150 wanita hamil secara acak dibagi menjadi tiga
kelompok setelah menjalani anestesi Spinal. Pasien menerima 3 cc hidrokortison (2 mg / kg,
kelompok A), 3 cc ketamin (0,5 mg / kg, Kelompok B) dan 3 cc normal saline (% 0.9,
kelompok C) secara intravena dalam durasi 10-15 detik setelah penjepitan tali pusat. Pada
semua pasien tekanan sistolik dan diastolik, tekanan arteri rata-rata, denyut jantung, tingkat
saturasi oksigen dan suhu tubuh dicatat sebelum anestesi dan kemudian setiap menit selama 5
menit pertama, setiap 5 menit selama 15 menit, setiap 10 menit sampai akhir operasi. Juga
skor sedasi, halusinasi, mual dan muntah, intensitas shivering dan jumlah penggunaan petidin
dan efedrin dicatat dalam kuesioner.
Hasil: Ketiga kelompok serupa dalam tekanan darah dasar, tingkat sensorik dan motorik.
Kejadian shivering dalam kelompok hidrokortison secara signifikan lebih rendah daripada
kelompok kontrol (P = 0,000). Kejadian shivering dalam kelompok ketamin secara signifikan
lebih rendah daripada kelompok kontrol (P = 0,00). Juga kejadian shivering pada kelompok
hidrokortison secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok ketamin (P = 0,004).
Kesimpulan: Hidrokortison dan ketamin intravena efektif dalam mengurangi angka kejadian
shivering setelah anestesi spinal dalam operasi seksio sesaria, namun ketamin secara
signifikan lebih efektif daripada hidrokortison dalam kontrol kejadian shivering.
11
Kata kunci: anestesi spinal; seksio sesaria; ketamin; shivering; hidrokortison
Shivering adalah salah satu komplikasi yang tidak menyenangkan dari operasi seksio
sesaria (C-section) di ruang operasi dan memiliki dampak besar pada kesehatan pasien.
Shivering adalah gerakan ritmik, terjadi di lengan, kaki, leher, dan rahang. Ini adalah
komplikasi umum yang terjadi setelah anestesi umum dan lokal. Frekuensi shivering pada
anestesi umum dan regional adalah sekitar 40-65% dan 45-85% pada seksio sesaria.
Shivering sangat tidak menyenangkan bagi pasien dan bahkan kadang-kadang dapat
meningkatkan tingkat konsumsi oksigen hingga 100-600%. Selain menciptakan
ketidaknyamanan dan ketidakpuasan pada pasien, shivering dapat memperpanjang waktu
pemulihan, tingkat nyeri, serta meningkatkan tekanan intraokular dan intrakranial.1
Gerakan ini biasanya disebabkan oleh penurunan suhu tubuh, penurunan tonus
simpatik dan pelepasan sitokin selama operasi, serta peningkatan gradien suhu sentral dan
perifer .2 Penurunan suhu tubuh terjadi sebagai akibat dari penghambatan langsung
termoregulasi yang disebabkan oleh anestesi, pembuluh darah perifer longgar (vasodilatasi),
rongga tubuh terbuka, dan ruang operasi dingin.3
Seksio sesaria adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelahiran bayi
melalui sayatan pada dinding perut dan uterus.4 Dalam beberapa tahun terakhir, seksio sesaria
telah menjadi sangat mendunia di banyak negara berkembang dan maju. Selain itu, karena
ketidakmampuan untuk mengintubasi wanita hamil dan risiko tinggi aspirasi dalam anestesi
umum, maka anestesi spinal dipilih sebagai metode pilihan dalam seksio sesaria . 5
Manajemen pasien setelah seksio sesaria merupakan masalah penting karena kondisi pasien,
dan shivering yang disebabkan oleh operasi ini harus ditangani dengan menggunakan obat
yang berbeda. Untuk tujuan ini, beberapa obat, termasuk opioid dan non-opioid seperti
tramadol, pethidine, clonidine, ketamine, hidrokortison, dll telah digunakan. 6-7
12
shivering pasca operasi, bertindak melalui lemak, karbohidrat, protein, dan metabolisme
purin.9
Shivering sangat lazim dan memiliki efek samping yang tidak menyenangkan pada
pasien. Mengenai hal ini dan mempertimbangkan kondisi pemulihannya, penelitian ini
bertujuan untuk menentukan dan membandingkan efek dari hidrokortison intravena dan
ketamin pada pengurangan menggigil yang terjadi setelah anestesi spinal di seksio sesaria.
Metode
Percobaan prospektif, buta ganda, acak, terkontrol ini dilakukan pada 150 pasien
dalam rentang usia 18-40 tahun dengan Status Fisik American Society of Anesthesiology
(ASA) I dan II, yang melakukan seksio sesaria. Pasien dengan kondisi berikut dieksklusi:
Kehamilan berisiko tinggi, kehamilan ganda, seksio sesaria darurat, preeklampsia dan
eklampsia, penyakit kardiovaskular, penyakit paru, riwayat gangguan kejiwaan, penyakit
tiroid, diabetes tipe I dan II, riwayat terapi kortikosteroid, hipertensi , ulkus peptikum, perlu
transfusi, demam lebih dari 38 derajat celcius, dan kontraindikasi untuk anestesi spinal.
Para pasien secara acak dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan jenis obat
shivering. Grup A dan B menerima 2 mg / kg hidrokortison dan 0,5 mg / kg ketamin, masing-
masing. Di sisi lain, kelompok C (kontrol) diberikan secara intravena dengan salin normal
(0,9%) dengan volume yang sama 3 mL setelah menjepit tali pusat dalam waktu 10-15 detik.
Pada semua pasien, parameter seperti tekanan darah sistolik dan diastolik, tekanan arteri rata-
rata, denyut jantung, saturasi oksigen darah arteri, dan suhu ditentukan. Parameter ini dicatat
sebelum dan sesudah induksi anestesi setiap 1-5 dan 5/15 menit, masing-masing; selain itu
data tersebut didokumentasikan setiap 10 menit sesudahnya.
13
Tingkat sedasi, halusinasi, mual, muntah, intensitas shivering, dan jumlah konsumsi
analgesik dicatat juga. Menggigil (sebagai hasil utama) diklasifikasikan oleh pengamat buta
selama periode intraoperatif dan pasca operasi menggunakan skala divalidasi oleh Crossley
dan Mahajan [12]. Skala ini dinilai pada skala Likert 4-titik (0 = tidak menggigil, 1 =
piloereksi atau vasokonstriksi perifer, tetapi tidak terlihat menggigil, 2 = aktivitas otot hanya
dalam satu kelompok otot, 3 = aktivitas otot di lebih dari satu kelompok otot, tetapi tidak
menggigil secara umum, 4 = menggigil yang melibatkan seluruh tubuh). Dalam kasus skor
yang diperoleh lebih tinggi dari dua, pasien secara intravena dikelola dengan 0,25-0,5 mg / kg
pethidine. Selain itu, untuk pengobatan mual dan muntah, 10 mg metoclopramide IV
dipertimbangkan.
Analisis statistik
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS (versi 16.0; SPSS Inc, Chicago, IL).
Menurut jenis data, mereka disajikan sebagai rata-rata dan standar deviasi atau frekuensi dan
persentase. Kelompok studi dibandingkan menggunakan uji Chi-square. P-value kurang dari
0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Pertimbangan etis
Masalah etik penelitian ini dianggap dan disetujui oleh Komite Etik "Hamadan"
Universitas Ilmu Kedokteran (kode etik: IR.UMSHA.REC.1394.462). Penelitian ini adalah
uji klinis dan terdaftar dan disetujui oleh komite regional uji klinis Iran
(IRCT2016073110841N6).
Hasil
Sebanyak 150 pasien dengan kandidat status fisik ASA I dan II untuk seksio sesaria
dipilih secara acak. Tidak ada perbedaan statistik antara kelompok studi mengenai data
demografi, termasuk usia, graviditas, tingkat blok sensorik, yang merupakan indikasi
distribusi yang tepat dari pasien dan kesamaan antara kelompok dalam hal ini (Tabel 1).
14
kontrol; Namun, peningkatan ini tidak signifikan (P = 0,197). Meskipun demikian, ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok hidrokortison dan ketamin dalam hal tekanan
darah sistolik (P = 0,020).
Tekanan darah diastolik jauh lebih rendah pada kelompok hidrokortison dibandingkan
pada kelompok saline normal; Namun, perbedaan ini tidak signifikan (P = 0,936).
Selanjutnya, nilai ini lebih tinggi pada kelompok ketamin, dibandingkan dengan kelompok
kontrol dan hidrokortison (P = 0,048, P = 0,028, masing-masing). Selain itu, denyut jantung
lebih tinggi pada kelompok hidrokortison dibandingkan pada kelompok kontrol; Namun
demikian, perbedaan ini tidak signifikan secara statistik (P = 0,308). Sebaliknya, nilai ini
lebih rendah pada kelompok ketamine, dibandingkan dengan yang di kelompok kontrol, dan
perbedaan ini secara statistik signifikan (P = 0,008).
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok hidrokortison dan ketamin
dalam hal denyut jantung (P = 0,159). Tekanan arteri rata-rata lebih rendah di kelompok
hidrokortison dari pada kelompok kontrol, namun perbedaan ini tidak signifikan (P = 0,665).
Data lain dan perbedaan yang signifikan ditampilkan di (Tabel 2).
Menurut odds ratio, insidensi mual lebih rendah pada kelompok ketamine
dibandingkan pada kelompok hidrokortison; Namun, perbedaan ini tidak signifikan (P =
0,538). Baik hidrokortison dan ketamin efektif dalam mengurangi mual, dan ketamin
menyebabkan lebih sedikit mual daripada hidrokortison. Tidak ada perbedaan yang diamati
antara kelompok hidrokortison dan ketamin dalam kejadian nistagmus (P = 1.000).
Selanjutnya, kedua obat tersebut tidak berperan dalam timbulnya nistagmus.
Intensitas shivering pada kelompok hidrokortison dan ketamin secara signifikan lebih
rendah daripada pada kelompok kontrol (P = 0,000). Selain itu, nilai ini lebih rendah pada
kelompok ketamin dibandingkan pada kelompok hidrokortison, yang secara statistik
15
signifikan (P = 0,007). Intensitas menggigil antara ketiga kelompok dibandingkan melalui uji
t sampel independen (Tabel 3).
Hasil ini menunjukkan bahwa ketamin memiliki efek yang signifikan pada
pengurangan penggunaan efedrin, tetapi efek ini tidak terdeteksi pada kelompok
hidrokortison. Rasio konsumsi petidin dalam kelompok hidrokortison dibandingkan dengan
kelompok kontrol adalah 0,208 (odd ratio = 0,298) dan ada perbedaan yang signifikan dalam
penggunaan petidin antara hidrokortison dan kelompok kontrol (p <0,001). Rasio pemberian
petidin dalam kelompok ketamin adalah nol dibandingkan dengan kelompok kontrol (Odd
Ratio = 0). Juga, ada perbedaan yang signifikan dalam konsumsi petidin antara ketamin dan
kelompok kontrol (p <0,001). Hasil ini menunjukkan bahwa ketamin dan hidrokortison
memiliki peran yang signifikan dalam mengurangi penggunaan pethidine. Namun, mengenai
nilai odd ratio, ketamin lebih efektif daripada hidrokortison dalam mencegah pemberian
petidin, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat pemberian kedua obat (p =
0,495) (Tabel 4).
16
Diskusi
Shivering adalah gerakan otot tak terkendali yang dapat menyebabkan peningkatan
produksi panas dan metabolit .13 Menggigil adalah komplikasi umum yang terjadi setelah
anestesi umum atau regional dengan kejadian 5-65% atau 40%, masing-masing .14-15 Masalah
ini tidak hanya menyebabkan efek buruk pada pasien, tetapi juga dapat dikaitkan dengan
komplikasi serius. Efek merugikan ini termasuk hingga 600% peningkatan konsumsi oksigen
17
dan peningkatan pelepasan katekolamin, curah jantung, emisi karbon dioksida, serta tekanan
intraokular dan intrakranial.14
Selain itu, menggigil meningkatkan laju metabolisme, dan pada kasus yang parah
dapat menyebabkan asidosis laktat. Komplikasi ini juga dapat mempengaruhi pemantauan
pasca operasi pasien, elektrokardiografi, dan tekanan darah. Mengingat tingginya prevalensi
menggigil dan efek sampingnya yang tidak menyenangkan, kondisi ini juga harus diberi
perhatian yang cukup seperti komplikasi pasca operasi lainnya yang harus dicegah .14
Dalam penelitian ini, perbedaan yang signifikan diamati antara ketamin dan kelompok
kontrol mengenai kejadian dan intensitas menggigil. Temuan ini menunjukkan efektivitas
ketamine dalam pencegahan menggigil dan mengurangi intensitasnya. Demikian pula, dalam
survei yang dilakukan oleh Dal et al., Setelah anestesi spinal, menggigil secara signifikan
lebih rendah pada kelompok ketamin, dibandingkan dengan kelompok kontrol (plasebo). 13
Dalam uji klinis acak buta ganda, Manouchehrian dan rekan, mereka mempelajari 70
pasien kebidanan dengan ASA I atau II yang dilaporkan mengalami shivering setelah anestesi
spinal dengan bupivakain. Pasien-pasien ini adalah dua kelompok yang menerima tramadol,
atau meperidine. Mereka melaporkan bahwa menggigil berhenti setelah 2,57 ± 2,26 dan 6,24
± 4,76 menit pada kelompok kelompok tramadol dan meperidin, masing-masing. Selain itu,
mereka menunjukkan denyut jantung pra-injeksi dan pasca-injeksi yang berbeda, laju
pernapasan dan oksigen arteri.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pazoki et al., Tingkat shivering dari
seksio sesaria dalam ketamin (0,5 mg per kg) dan pethidine (3,0 mg per kg) kelompok adalah
81,77% dan 58,7%, masing-masing. Dalam studi yang disebutkan, kelompok petidin
memiliki insidensi menggigil lebih rendah dan keparahan, dibandingkan dengan kelompok
ketamin. Mereka mengungkapkan khasiat petidin yang lebih baik, dibandingkan dengan
18
ketamin; Namun, mereka menunjukkan penggunaan terbatas pethidine karena efeknya pada
sistem saraf pusat, depresi pernafasan, serta eksaserbasi mual dan muntah .19
Dalam penelitian ini, kelompok hidrokortison dan ketamin sebanding dengan kejadian
halusinasi. Frekuensi nistagmus adalah nol pada kelompok hidrokortison dan kontrol dan 2%
pada kelompok ketamin. Kelompok ketamin dan hidrokortison memiliki perbedaan yang
signifikan dengan kelompok kontrol dalam hal terjadinya mual. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa kedua obat ini mengurangi kejadian mual.
Demikian juga, risiko kejadian mual pada kelompok hidrokortison adalah satu hingga
46 kali lebih banyak dibandingkan pada kelompok ketamin. Di sisi lain, usia, graviditas,
sensorik dan blok motorik tingkat, tekanan darah, denyut jantung, tekanan darah arteri, dan
saturasi oksigen darah darah arteri dibandingkan antara ketiga kelompok. Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok-kelompok yang terkait dengan variabel-variabel
ini.
Kesimpulan
Dalam penelitian ini, kami menyelidiki nilai hidrokortison intravena dan ketamin
dalam mengurangi shivering yang terjadi setelah anestesi spinal dalam operasi seksio sesaria.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan, ada perbedaan yang signifikan antara efek
hidrokortison, ketamine, dan saline normal pada mengurangi kejadian dan intensitas
menggigil.
Ketamin lebih efektif dan lebih aman daripada hidrokortison dalam mencegah dan
mengendalikan shivering pasca anestesi spinal . Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat,
disarankan untuk melakukan penelitian yang sama dengan ukuran sampel yang lebih besar.
Studi masa depan juga dapat membandingkan obat yang berbeda, seperti pethidine,
digunakan dalam pengobatan shivering pasca operasi atau menyelidiki penggunaan obat
bersamaan dengan efek samping yang lebih sedikit dalam hal ini.
19