Anda di halaman 1dari 19

JURNAL READING

EFFECT OF LOW-DOSE KETAMINE ON POST-


OPERATIVE SERUM IL-6 PRODUCTION AMONG
ELECTIVE SURGICAL PATIENTS: A RANDOMIZED
CLINICAL TRIAL

Andika Metrisiawan
NIM 1871101001

PEMBIMBING
dr. I Gede Budiarta Sp.An., KMN

PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
Telaah Jurnal Uji Klinis

Judul Jurnal : Effect of low-dose ketamine on post-operative serum IL-6 production


among elective surgical patients: a randomized clinical trial.

Penulis : Tonny Stone Luggya, Tony Roche, Lameck Ssemogerere, Andrew Kintu,
John Mark Kasumba, Arthur Kwizera, Jose VB Tindimwebwa

Publikasi : African Health Sciences Vol 17 Issue 2, June, 2017


Pembimbing : dr I Gede Budiarta Sp.An KMN
Penelaah : dr Andika Metrisiawan
Tanggal telaah: 12 Maret 2020

I. DESKRIPSI JURNAL
I.1 Tujuan Utama Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menentukan perubahan kadar penanda
inflamasi IL-6 setelah operasi dari data awal (baseline), segera setelah operasi di
PACU, pada 24 jam dan 48 jam pasca operasi.

I.2 Tujuan Tambahan Penelitian


 Menilai tingkat IL-1β pada titik waktu yang sama.

I.3 Hasil Utama Penelitian


Ketamin dosis rendah menurunkan respons awal IL-6 terhadap pembedahan
dengan berkurangnya peningkatan IL-6 pada 24 dan 48 jam pasca bedah

I.4 Hasil tambahan Penelitian


Tidak ada pembacaan ELIZA yang terdeteksi dalam 98% IL1-β antibodi
berlapis mikro yang dianalisis. Tidak didapatkan hasil penlitian tambahan.

I.5. Kesimpulan Penelitian


Ketamin dosis rendah menurunkan respons awal IL-6 terhadap pembedahan dengan
berkurangnya peningkatan IL-6 pada 24 dan 48 jam pasca bedah, tetapi perbedaannya tidak

2
signifikan secara statistik yang mungkin disebabkan ukuran sampel yang kecil dan variasi
nilai IL-6 yang luas.

II. TELAAH JURNAL


II.1. VALIDITY (VALIDITAS)
II.1.1. Validitas Interna non kausa
II.1.1.1 Validitas Seleksi
a. Kriteria seleksi
Percobaan prospektif, double-blind, acak, terkontrol placebo ini
dilakukan pada 39 pasien dalam rentang usia 18-70 tahun dengan Status Fisik
American Society of Anesthesiology (ASA) I dan II, yang dijadwalkan untuk
operasi abdominal atau perineum elektif.. Pasien dengan kondisi berikut
dieksklusi: hipertensi atau mereka yang memiliki tekanan darah di atas
140/100 selama 3 kali pembacaan yang konsisten terpisah selama 15 menit,
pasien sepsis atau demam (Tx> 38 ° C), pasien pheochromocytoma, pasien
bedah saraf, epilepsi, keadaan darurat atau operasi tulang belakang dan
penggunaan infiltrasi anestesi local serta ditambah pasien yang menerima
transfusi darah intraoperative.

b. Metode alokasi subjek


Peserta ditentukan secara acak berdasarkan berat badan untuk menerima
ketamin 0,5 mg / kg atau plasebo menggunakan blok 4. Seorang ahli statistik
independen dari penelitian ini membuat kode acak berurutan menggunakan
program komputer. Untuk memungkinkan blinding, seorang apoteker di lokasi
yang terpisah mencampurkan kedua intervensi dalam merek dan konsistensi
yang sama dalan jarum suntik steril 10 ml dan jarum suntik ini berisikan
larutan jernih dengan konsentrasi 10 mg/ml yang dapat mengakomodir berat
terendah yang dimungkinkan yaitu 20 kg dan kemungkinan berat tertinggi 200
kg .

c. Concealment
Concealment dilakukan dengan cara memberi label pada masing-
masing jarum suntik sesuai dengan kode acak berurutan dan ditempatkan
dalam kantong opak yang dibawa ke ruang operasi pada pagi harinya.

3
d. Angka drop out
Pada penelitian ini tidak didapatkan peserta yang mengalami drop out.

e. Jenis analisis
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS (versi 16.0; SPSS Inc,
Chicago, IL). Karakteristik peserta dirangkum menggunakan mean, median
dan standar deviasi yang disajikan menggunakan tabel dan histogram.
Variabel kategorikal dirangkum menggunakan proporsi, persentase dan
disajikan menggunakan diagram lingkaran atau diagram batang. Data
dianalisis menggunakan ANOVA atau tes Kruskal-Wallis yang sesuai untuk
hubungan antara perubahan tingkat IL-6 dan IL-1β dengan masing-masing
prediktor, proporsi dibandingkan menggunakan chi-square dan odds rasio.
Data dinilai untuk distribusi varian normal menggunakan plot normalitas dan
uji Kolmogorov-Smirnov. Data kategorikal dianalisis menggunakan uji eksak
Fisher dan analisis gabungan naif dilakukan untuk setiap subjek yang
memberikan satu titik data untuk kecocokan. Nilai p ≤ 0,05 dianggap
signifikan secara statistik

f. Kesimpulan validitas seleksi


Pada penelitian ini mempunyai validitas seleksi yang baik dari aspek
alokasi random partisipan, drop out, concealment, dan jenis analisis.

II.1.1.2. Validitas Pengontrolan Perancu


a. Pengontrolan perancu pada tahap desain dengan cara restriksi dan randomisasi
Terdapat 2 cara pengontrolan perancu pada penelitian ini yaitu dengan
metode kriteria ekslusi (restriksi) dan teknik alokasi random :
i. Kriteria ekslusi yaitu hipertensi atau mereka yang memiliki tekanan
darah di atas 140/100 selama 3 kali pembacaan yang konsisten
terpisah selama 15 menit, pasien sepsis atau demam (Tx> 38 ° C),
pasien pheochromocytoma, pasien bedah saraf, epilepsi, keadaan
darurat atau operasi tulang belakang dan penggunaan infiltrasi

4
anestesi local serta ditambah pasien yang menerima transfusi darah
intraoperative.
ii. Peserta ditentukan secara acak berdasarkan berat badan untuk
menerima ketamin 0,5 mg / kg atau plasebo menggunakan blok 4.
Seorang ahli statistik independen dari penelitian ini membuat kode
acak berurutan menggunakan program komputer. Untuk
memungkinkan blinding, seorang apoteker di lokasi yang terpisah
mencampurkan kedua intervensi dalam merek dan konsistensi yang
sama dalan jarum suntik steril 10 ml dan jarum suntik ini berisikan
larutan jernih dengan konsentrasi 10 mg/ml yang dapat
mengakomodir berat terendah yang dimungkinkan yaitu 20 kg dan
kemungkinan berat tertinggi 200 kg
b. Analisis dengan komparabilitas baseline data
Menurut peneliti tidak ada perbedaan data baseline yang signifikan
pada kedua kelompok perlakuan
Tabel 1. Karakterisktik baseline pasien

c. Pengontrolan perancu pada saat analisis (bila diperlukan)


Pada penelitian ini tidak diperlukan pengontrolan perancu saat analisis
karena data baseline pada kelompok sudah setara.

II.1.1.3. Validitas Informasi


a. Blinding
Pada penelitian ini dilakukan double blind (tersamar ganda). Penelitian
ini tersamar baik untuk pasien dan tim yang mengumpulkan sampel.

b. Komponen pengukuran variabel penelitian

5
Peserta secara acak ditentukan berdasarkan berat badan untuk
menerima ketamin 0,5 mg / kg atau plasebo menggunakan blok 4. Pasien
kemudian dipanggil setelah mendapatkan persetujuan selama kunjungan pra
operasi dan di ruang operasi sebuah jarum suntik yang telah kode diambil
secara buta dari kantung yang berwarna gelap di hadapan seorang perawat,
kode tersebut akan menjadi nomor studi pasien. Berat badan, tekanan darah
dan suhu pasien dicatat sesuai diagram alir. Di ruang operasi 5 ml sampel
darah dikumpulkan sebagai data awal (baseline). Anestesi umum dilakuikan
dengan induksi bolus tiopenton (2mg / kg) lambat, diikuti oleh analgesia opiat
morfin intravena (0,1 mg / kg) dan suxamethonium 100 mg untuk intubasi.
Pemberian campuran Isoflurane-oksigen digunakan untuk pemeliharaan
anestesi. Sebelum insisi, pemberian isi dari jarum suntik yang telah diambil
sebelumnya kepada pasien sesuai dengan pengacakan. Penggantian serta
pemantauan cairan dan volume dilakukan sesuai dengan protokol ruang
operasi MNRTH. Durasi operasi dicatat dan pasien dibangunkan dan
diekstubasi pada akhir operasi. Pasca operasi, pasien dipantau di unit
perawatan pasca operasi (PACU) di mana 5 ml darah kedua dikumpulkan
sebelum dipindahkan kembali ke bangsal. Pada 24 dan 48 jam pasca operasi
dilakukan pengumpulan sampel ketiga dan keempat serta dilakukan penilaian
klinis pasien. Tramadol digunakan sebagai analgesik nyeri pasca operasi pada
studi ini kemudian dilanjutkan analgetik sesuai dengan standar perawatan
MNR yaitu diklofenak intramuskuler atau pethidine.
Karakteristik peserta dirangkum menggunakan mean, median dan
standar deviasi. Variabel kategorikal dirangkum menggunakan proporsi dan
persentase.
c. Kesimpulan validitas informasi
Penelitian ini memiliki validitas informasi yang baik.

II.1.1.4. Validitas Analisis


a. Analisis terhadap data baseline
Peneliti membandingkan data baseline dengan menguji secara statistik.
Peneliti menyimpulkan tidak ada perbedaan data baseline yang bermakna.
b. Analisis dan interpretasi terhadap hasil utama dan hasil tambahan

6
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS (versi 16.0; SPSS Inc,
Chicago, IL). Karakteristik peserta dirangkum menggunakan mean, median
dan standar deviasi yang disajikan menggunakan tabel dan histogram.
Variabel kategorikal dirangkum menggunakan proporsi, persentase dan
disajikan menggunakan diagram lingkaran atau diagram batang. Data
dianalisis menggunakan ANOVA atau tes Kruskal-Wallis yang sesuai untuk
hubungan antara perubahan tingkat IL-6 dan IL-1β dengan masing-masing
prediktor, proporsi dibandingkan menggunakan chi-square dan odds rasio.
Data dinilai untuk distribusi varian normal menggunakan plot normalitas dan
uji Kolmogorov-Smirnov. Data kategorikal dianalisis menggunakan uji eksak
Fisher dan analisis gabungan naif dilakukan untuk setiap subjek yang
memberikan satu titik data untuk kecocokan. Nilai p ≤ 0,05 dianggap
signifikan secara statistik.

c. Kesimpulan validitas analisis


Validitas analisis pada penelitian cukup baik. Penjelasan mengenai
jenis analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini dijabarkan dengan
baik.

II.1.2. Validitas interna kausal


II.1.2.1. Temporalitas
Pada desain penelitian uji klinis, temporalitas (hubungan waktu) terpenuhi

II.1.2.2. Spesifikasi
Pada penelitian ini spesifikasi terpenuhi karena data baseline setara.

II.1.2.3. Kekuatan hubungan


Kekuatan hubungan (asosiasi) pada penelitian ini dijelaskan dengan baik.
Peneliti menemukan peningkatan serum IL-6 dapat ditekan dengan pemberian
ketamine 0,5 mg/kg sebelum insisi dimana puncaknya pada 24 jam pasca operasi.
Namun temuan ini dikatakan tidak signifikan secara statistik dengan nilai p>0,05.

II.1.2.4. Dosis respon

7
Pada penelitian ini di ruang operasi diambil sampel darah sebanyak 5 mL
untuk data baseline kemudian pasien menerima ketamin (0,5 mg / kgBB, kelompok
Ketamine), dan normal saline (kelompok Plasebo) secara intravena sebelum insisi
dilakukan.

II.1.2.5. Konsistensi internal


Pada penelitian ini tidak menggunakan stratifikasi perlakuan, sehingga
konsistensi internal tidak dapat dievaluasi

II.1.2.6. Konsistensi eksternal


Pada penelitian ini, konsistensi eksternal terpenuhi karena sesuai dengan
penelitian lain yang dilakukan oleh Ali et al, Kartalov et al , dan Beilin et al.

II.1.2.7. Biological plausibility


Hasil penelitian sesuai dengan teori mengenai ketamin. Ketamine adalah antagonis
reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) yang dalam dosis sub-anestesi yang rendah
menghasilkan analgesia dengan desensitisasi suatu Sistem Saraf Sentral (CNS)
NMDA yang telah tersensitisasi, sehingga menghambat transmisi nyeri.
Peningkatan peradangan dan nyeri pasca pembedahan dimediasi oleh respons kaskade
hormon dan sitokin. Interleukin 6 (IL-6) memengaruhi proses homeostatis sistem
imun dengan sifat pro dan anti-inflamasi yang bergantung pada konteks yang telah
menjadi target utama intervensi klinis untuk meningkatkan luaran suatu penyakit dan
kesejahteraan pasien. Konsentrasi serum IL-6 merupakan indikator yang baik untuk
aktivasi respon inflamasi dan prediktor morbiditas dan mortalitas selanjutnya. Selain
itu penurunan jumlah sitokin mengurangi infiltrasi neutrofil akut yang menyebabkan
peradangan akibat pembedahan diikuti oleh kerusakan jaringan dari akumulasi
protease yang dilepaskan neutrofil dan spesies oksigen reaktif.
Peradangan bedah secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan kadar IL-6 serum
yang meningkat 1-3 jam, memuncak pada 4-24 jam dan sisanya meningkat selama 48
–72 jam pasca operasi. Semakin besar trauma bedah, semakin besar respons IL-6
serum seperti operasi abdomen yang menghasilkan respons yang lebih besar daripada
operasi penggantian pinggul. Secara relatif IL-1β dan TNF dapat dideteksi dalam
kadar serum yang jauh lebih rendah daripada IL-6 setelah operasi elektif. Namun pada
kondisi syok hemoragik dan septik hasilnya menunjukkan peningkatan IL-1β, TNF
8
dan IL-6 yang meningkat secara signifikan dengan peningkatan risiko ARDS,
kegagalan multi organ dan kematian. Ketamin mempengaruhi peradangan pasca
operasi pada bypass kardiopulmoner dengan menekan produksi sitokin.

II.1.3 Validitas eksterna

II.1.3.1. Validitas eksterna 1


1) Besar sampel : Besar sampel untuk penelitian ini adalah 39 pasien yang
diacak ke dalam 2 kelompok dengan, dengan peserta pada kelompok
ketamin sebanyak 18 pasein dan pada kelompok plasebo sebanyak 21
pasien.
2) Participation rate : Participation rate dalam penelitian ini adalah 100%.

II.1.3.2. Validitas eksterna 2


Hasil penelitian ini hubungan antara pemberian ketamine dengan peningkatan
kadar IL-6 secara statistik tidak signifikan (p>0,05) karena jumlah sampel
yang kecil dan lebarnya variasi nilai IL-6.

II.2. IMPORTANCY (KEPENTINGAN)


Hasil penelitian ini penting secara klinis. Terdapat beda rerata kadar IL-6
serum pada kelompok ketamin dan plasebo. Ditemukan rerata peningkatan kadar IL-6
yang lebih rendah pada kelompok ketamine terutama pada awal pasca operasi
(PACU) dan 24 jam pasca operasi.

II.3. APPLICABILITY (APLIKABILITAS)


Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan untuk pasien di Indonesia khususnya di
Bali karena obat Ketamin tersedia. Penggunaan ketamin disarankan karena obat
tersebut memiliki harga relatif terjangkau di Indonesia, juga tidak bertentangan
dengan sosial ekonomi budaya dan agama di Indonesia.

III. KESIMPULAN DAN SARAN


III.1. Kesimpulan
Dalam hal validitas interna non kausa, penelitian ini memiliki validitas seleksi
yang baik, validitas pengontrolan perancu yang baik, validitias informasi yang baik,
9
dan validitas analisis yang baik. Penelitian ini memiliki validitas interna kausa yang
baik, namun validitas eksterna didapatkan hasil penelitian tidak signifikan secara
statistik. Penelitian ini memenuhi aspek importancy dan applicability dengan baik.

III.2. Saran
III.2.1. Saran untuk klinisi
Pemberian ketamin 0,5 mg/kgbb sebelum insisi dapat menekan peningatan
kadar IL-6 pasca operasi yang diharapkan dapat mengurangi morbiditas pasien seperti
rasa nyeri dan infeksi karena IL-6 terlibat dalam respon fase akut terhadap cedera dan
infeksi. Namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar
untuk dapat diterapkan secara luas.

III.2.2. Saran untuk penelitian


Disarankan untuk melakukan penelitian replikatif dengan ukuran sampel yang
lebih besar dan luaran klinis lainnya hingga 48 jam pasca oeprasi. Studi masa depan
juga dapat membandingkan ketamine dengan obat yang berbeda dalam menurunkan
kadar IL-6 serta luaran klinis lainnya untuk mengeksplorasi manfaat pasca-operasi
dari pemberian ketamin.

10
Sebuah Studi Komparatif Mengenai Efek Hidrokortison Intravena dan
Ketamin Dalam Mengurangi Kejadian Menggigil (“shivering”) setelah
Anestesi Spinal pada Pembedahan Seksio Sesaria : Sebuah uji coba
terkontrol acak buta ganda

Nahid Manouchehrian, Mehdi Sanatkar, Hossein Kimiaei Asadi, Elahe Soleiman, Abbas
Moradi

Latar Belakang: Shivering adalah gerakan vibrasi berirama pada satu atau beberapa
kelompok otot yang disebabkan setelah anestesi umum atau lokal. Pencegahan dan
pengobatan awal shivering menyebabkan tidak ada konflik dengan pemantauan pasien dan
juga mengurangi efek samping kardio-respirasi dan metabolik pada pasien. Tujuan dari
penelitian ini adalah membandingkan efek ketamin dan hidrokortison dalam mengurangi
shivering paska spinal.

Metode: Dalam studi prospektif ini, 150 wanita hamil secara acak dibagi menjadi tiga
kelompok setelah menjalani anestesi Spinal. Pasien menerima 3 cc hidrokortison (2 mg / kg,
kelompok A), 3 cc ketamin (0,5 mg / kg, Kelompok B) dan 3 cc normal saline (% 0.9,
kelompok C) secara intravena dalam durasi 10-15 detik setelah penjepitan tali pusat. Pada
semua pasien tekanan sistolik dan diastolik, tekanan arteri rata-rata, denyut jantung, tingkat
saturasi oksigen dan suhu tubuh dicatat sebelum anestesi dan kemudian setiap menit selama 5
menit pertama, setiap 5 menit selama 15 menit, setiap 10 menit sampai akhir operasi. Juga
skor sedasi, halusinasi, mual dan muntah, intensitas shivering dan jumlah penggunaan petidin
dan efedrin dicatat dalam kuesioner.

Hasil: Ketiga kelompok serupa dalam tekanan darah dasar, tingkat sensorik dan motorik.
Kejadian shivering dalam kelompok hidrokortison secara signifikan lebih rendah daripada
kelompok kontrol (P = 0,000). Kejadian shivering dalam kelompok ketamin secara signifikan
lebih rendah daripada kelompok kontrol (P = 0,00). Juga kejadian shivering pada kelompok
hidrokortison secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok ketamin (P = 0,004).

Kesimpulan: Hidrokortison dan ketamin intravena efektif dalam mengurangi angka kejadian
shivering setelah anestesi spinal dalam operasi seksio sesaria, namun ketamin secara
signifikan lebih efektif daripada hidrokortison dalam kontrol kejadian shivering.

11
Kata kunci: anestesi spinal; seksio sesaria; ketamin; shivering; hidrokortison

Shivering adalah salah satu komplikasi yang tidak menyenangkan dari operasi seksio
sesaria (C-section) di ruang operasi dan memiliki dampak besar pada kesehatan pasien.
Shivering adalah gerakan ritmik, terjadi di lengan, kaki, leher, dan rahang. Ini adalah
komplikasi umum yang terjadi setelah anestesi umum dan lokal. Frekuensi shivering pada
anestesi umum dan regional adalah sekitar 40-65% dan 45-85% pada seksio sesaria.
Shivering sangat tidak menyenangkan bagi pasien dan bahkan kadang-kadang dapat
meningkatkan tingkat konsumsi oksigen hingga 100-600%. Selain menciptakan
ketidaknyamanan dan ketidakpuasan pada pasien, shivering dapat memperpanjang waktu
pemulihan, tingkat nyeri, serta meningkatkan tekanan intraokular dan intrakranial.1

Gerakan ini biasanya disebabkan oleh penurunan suhu tubuh, penurunan tonus
simpatik dan pelepasan sitokin selama operasi, serta peningkatan gradien suhu sentral dan
perifer .2 Penurunan suhu tubuh terjadi sebagai akibat dari penghambatan langsung
termoregulasi yang disebabkan oleh anestesi, pembuluh darah perifer longgar (vasodilatasi),
rongga tubuh terbuka, dan ruang operasi dingin.3

Seksio sesaria adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelahiran bayi
melalui sayatan pada dinding perut dan uterus.4 Dalam beberapa tahun terakhir, seksio sesaria
telah menjadi sangat mendunia di banyak negara berkembang dan maju. Selain itu, karena
ketidakmampuan untuk mengintubasi wanita hamil dan risiko tinggi aspirasi dalam anestesi
umum, maka anestesi spinal dipilih sebagai metode pilihan dalam seksio sesaria . 5
Manajemen pasien setelah seksio sesaria merupakan masalah penting karena kondisi pasien,
dan shivering yang disebabkan oleh operasi ini harus ditangani dengan menggunakan obat
yang berbeda. Untuk tujuan ini, beberapa obat, termasuk opioid dan non-opioid seperti
tramadol, pethidine, clonidine, ketamine, hidrokortison, dll telah digunakan. 6-7

Ketamine adalah obat hipnosis intravena dan antagonis reseptor N-methyl-d-aspartat


yang menyebabkan stimulasi langsung dari sistem saraf pusat simpatik dan penghambatan
pelepasan norepinefrin oleh terminal pasca-ganglionik simpatik. Ketamine dapat
menyebabkan takikardia, hipertensi, dan peningkatan curah jantung, sementara tampaknya
ketamine karena mekanisme tersebut, mengurangi distribusi panas sentral ke periferal dan
menyebabkan berkurangnya prevalensi shivering pasca anestesi spinal .8 Di sisi lain,
hidrokortison adalah salah satu glukokortikoid yang dapat berguna dalam pencegahan

12
shivering pasca operasi, bertindak melalui lemak, karbohidrat, protein, dan metabolisme
purin.9

Selanjutnya, komplikasi ini dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi pemantauan


elektrokardiografi, tekanan darah, serta saturasi oksigen arteri dan menunda kontak efektif
ibu-anak. Oleh karena itu, penting untuk memilih obat yang tepat untuk pencegahan
menggigil selama anestesi spinal dengan efek samping minimal pada ibu dan anak .7,10

Shivering sangat lazim dan memiliki efek samping yang tidak menyenangkan pada
pasien. Mengenai hal ini dan mempertimbangkan kondisi pemulihannya, penelitian ini
bertujuan untuk menentukan dan membandingkan efek dari hidrokortison intravena dan
ketamin pada pengurangan menggigil yang terjadi setelah anestesi spinal di seksio sesaria.

Metode

Percobaan prospektif, buta ganda, acak, terkontrol ini dilakukan pada 150 pasien
dalam rentang usia 18-40 tahun dengan Status Fisik American Society of Anesthesiology
(ASA) I dan II, yang melakukan seksio sesaria. Pasien dengan kondisi berikut dieksklusi:
Kehamilan berisiko tinggi, kehamilan ganda, seksio sesaria darurat, preeklampsia dan
eklampsia, penyakit kardiovaskular, penyakit paru, riwayat gangguan kejiwaan, penyakit
tiroid, diabetes tipe I dan II, riwayat terapi kortikosteroid, hipertensi , ulkus peptikum, perlu
transfusi, demam lebih dari 38 derajat celcius, dan kontraindikasi untuk anestesi spinal.

Sebelum anestesi spinal, semua pasien diberikan oksigen (6 L / menit) melalui


sungkup muka. Terapi cairan diberikan dengan larutan Ringer (10-15 mL / kg / jam).
Anestesi spinal dilakukan dengan menggunakan jarum spinal Quincke (25G) di ruang
intervertebral L3-L4 dan L4-L5. Suhu ruang operasi dijaga pada 23 ° C. Berat badan ibu
diukur dan dicatat sebelum operasi.

Para pasien secara acak dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan jenis obat
shivering. Grup A dan B menerima 2 mg / kg hidrokortison dan 0,5 mg / kg ketamin, masing-
masing. Di sisi lain, kelompok C (kontrol) diberikan secara intravena dengan salin normal
(0,9%) dengan volume yang sama 3 mL setelah menjepit tali pusat dalam waktu 10-15 detik.
Pada semua pasien, parameter seperti tekanan darah sistolik dan diastolik, tekanan arteri rata-
rata, denyut jantung, saturasi oksigen darah arteri, dan suhu ditentukan. Parameter ini dicatat
sebelum dan sesudah induksi anestesi setiap 1-5 dan 5/15 menit, masing-masing; selain itu
data tersebut didokumentasikan setiap 10 menit sesudahnya.

13
Tingkat sedasi, halusinasi, mual, muntah, intensitas shivering, dan jumlah konsumsi
analgesik dicatat juga. Menggigil (sebagai hasil utama) diklasifikasikan oleh pengamat buta
selama periode intraoperatif dan pasca operasi menggunakan skala divalidasi oleh Crossley
dan Mahajan [12]. Skala ini dinilai pada skala Likert 4-titik (0 = tidak menggigil, 1 =
piloereksi atau vasokonstriksi perifer, tetapi tidak terlihat menggigil, 2 = aktivitas otot hanya
dalam satu kelompok otot, 3 = aktivitas otot di lebih dari satu kelompok otot, tetapi tidak
menggigil secara umum, 4 = menggigil yang melibatkan seluruh tubuh). Dalam kasus skor
yang diperoleh lebih tinggi dari dua, pasien secara intravena dikelola dengan 0,25-0,5 mg / kg
pethidine. Selain itu, untuk pengobatan mual dan muntah, 10 mg metoclopramide IV
dipertimbangkan.

Analisis statistik

Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS (versi 16.0; SPSS Inc, Chicago, IL).
Menurut jenis data, mereka disajikan sebagai rata-rata dan standar deviasi atau frekuensi dan
persentase. Kelompok studi dibandingkan menggunakan uji Chi-square. P-value kurang dari
0,05 dianggap signifikan secara statistik.

Pertimbangan etis

Masalah etik penelitian ini dianggap dan disetujui oleh Komite Etik "Hamadan"
Universitas Ilmu Kedokteran (kode etik: IR.UMSHA.REC.1394.462). Penelitian ini adalah
uji klinis dan terdaftar dan disetujui oleh komite regional uji klinis Iran
(IRCT2016073110841N6).

Hasil

Sebanyak 150 pasien dengan kandidat status fisik ASA I dan II untuk seksio sesaria
dipilih secara acak. Tidak ada perbedaan statistik antara kelompok studi mengenai data
demografi, termasuk usia, graviditas, tingkat blok sensorik, yang merupakan indikasi
distribusi yang tepat dari pasien dan kesamaan antara kelompok dalam hal ini (Tabel 1).

Uji t independen diterapkan untuk membandingkan parameter-parameter ini antara


kelompok studi. Menurut Tabel 2, tekanan darah sistolik memiliki penurunan yang lebih
tinggi pada kelompok hidrokortison, dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun
demikian, pengurangan ini tidak signifikan secara statistik (P = 0,113). Di sisi lain, nilai ini
memiliki elevasi yang lebih tinggi pada kelompok ketamin dibandingkan dengan kelompok

14
kontrol; Namun, peningkatan ini tidak signifikan (P = 0,197). Meskipun demikian, ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok hidrokortison dan ketamin dalam hal tekanan
darah sistolik (P = 0,020).

Tekanan darah diastolik jauh lebih rendah pada kelompok hidrokortison dibandingkan
pada kelompok saline normal; Namun, perbedaan ini tidak signifikan (P = 0,936).
Selanjutnya, nilai ini lebih tinggi pada kelompok ketamin, dibandingkan dengan kelompok
kontrol dan hidrokortison (P = 0,048, P = 0,028, masing-masing). Selain itu, denyut jantung
lebih tinggi pada kelompok hidrokortison dibandingkan pada kelompok kontrol; Namun
demikian, perbedaan ini tidak signifikan secara statistik (P = 0,308). Sebaliknya, nilai ini
lebih rendah pada kelompok ketamine, dibandingkan dengan yang di kelompok kontrol, dan
perbedaan ini secara statistik signifikan (P = 0,008).

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok hidrokortison dan ketamin
dalam hal denyut jantung (P = 0,159). Tekanan arteri rata-rata lebih rendah di kelompok
hidrokortison dari pada kelompok kontrol, namun perbedaan ini tidak signifikan (P = 0,665).
Data lain dan perbedaan yang signifikan ditampilkan di (Tabel 2).

Uji Chi-square digunakan untuk membandingkan efek samping antar kelompok.


Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, kejadian halusinasi pada kelompok hidrokortison dan
ketamin sama dengan pada kelompok kontrol (Odds ratio [OR] = 1.000, P = 1.00). Oleh
karena itu, kedua obat, yaitu hidrokortison dan ketamin, tidak memiliki peran dalam
menyebabkan halusinasi. Insiden mual pada kelompok hidrokortison (OR = 0,207, P = 0,001)
dan ketamin (OR = 0,141, P = 0,000) secara statistik signifikan dibandingkan dengan pada
kelompok kontrol.

Menurut odds ratio, insidensi mual lebih rendah pada kelompok ketamine
dibandingkan pada kelompok hidrokortison; Namun, perbedaan ini tidak signifikan (P =
0,538). Baik hidrokortison dan ketamin efektif dalam mengurangi mual, dan ketamin
menyebabkan lebih sedikit mual daripada hidrokortison. Tidak ada perbedaan yang diamati
antara kelompok hidrokortison dan ketamin dalam kejadian nistagmus (P = 1.000).
Selanjutnya, kedua obat tersebut tidak berperan dalam timbulnya nistagmus.

Intensitas shivering pada kelompok hidrokortison dan ketamin secara signifikan lebih
rendah daripada pada kelompok kontrol (P = 0,000). Selain itu, nilai ini lebih rendah pada
kelompok ketamin dibandingkan pada kelompok hidrokortison, yang secara statistik

15
signifikan (P = 0,007). Intensitas menggigil antara ketiga kelompok dibandingkan melalui uji
t sampel independen (Tabel 3).

Uji Chi-square diterapkan untuk membandingkan prevalensi obat-obatan ini. Tingkat


konsumsi efedrin dalam kelompok hidrokortison adalah 0,768 (Odd Ratio = 0,768)
dibandingkan dengan kelompok kontrol (p = 0,548). Rasio 0,291 diukur antara kelompok
ketamin dibandingkan dengan kontrol (Odd Ratio = 0,291) dan juga perbedaan yang
signifikan dalam administrasi efedrin yang diamati antara ketamin dan kelompok kontrol (P =
0,004).

Hasil ini menunjukkan bahwa ketamin memiliki efek yang signifikan pada
pengurangan penggunaan efedrin, tetapi efek ini tidak terdeteksi pada kelompok
hidrokortison. Rasio konsumsi petidin dalam kelompok hidrokortison dibandingkan dengan
kelompok kontrol adalah 0,208 (odd ratio = 0,298) dan ada perbedaan yang signifikan dalam
penggunaan petidin antara hidrokortison dan kelompok kontrol (p <0,001). Rasio pemberian
petidin dalam kelompok ketamin adalah nol dibandingkan dengan kelompok kontrol (Odd
Ratio = 0). Juga, ada perbedaan yang signifikan dalam konsumsi petidin antara ketamin dan
kelompok kontrol (p <0,001). Hasil ini menunjukkan bahwa ketamin dan hidrokortison
memiliki peran yang signifikan dalam mengurangi penggunaan pethidine. Namun, mengenai
nilai odd ratio, ketamin lebih efektif daripada hidrokortison dalam mencegah pemberian
petidin, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat pemberian kedua obat (p =
0,495) (Tabel 4).

16
Diskusi

Shivering adalah gerakan otot tak terkendali yang dapat menyebabkan peningkatan
produksi panas dan metabolit .13 Menggigil adalah komplikasi umum yang terjadi setelah
anestesi umum atau regional dengan kejadian 5-65% atau 40%, masing-masing .14-15 Masalah
ini tidak hanya menyebabkan efek buruk pada pasien, tetapi juga dapat dikaitkan dengan
komplikasi serius. Efek merugikan ini termasuk hingga 600% peningkatan konsumsi oksigen

17
dan peningkatan pelepasan katekolamin, curah jantung, emisi karbon dioksida, serta tekanan
intraokular dan intrakranial.14

Selain itu, menggigil meningkatkan laju metabolisme, dan pada kasus yang parah
dapat menyebabkan asidosis laktat. Komplikasi ini juga dapat mempengaruhi pemantauan
pasca operasi pasien, elektrokardiografi, dan tekanan darah. Mengingat tingginya prevalensi
menggigil dan efek sampingnya yang tidak menyenangkan, kondisi ini juga harus diberi
perhatian yang cukup seperti komplikasi pasca operasi lainnya yang harus dicegah .14

Dalam penelitian ini, perbedaan yang signifikan diamati antara ketamin dan kelompok
kontrol mengenai kejadian dan intensitas menggigil. Temuan ini menunjukkan efektivitas
ketamine dalam pencegahan menggigil dan mengurangi intensitasnya. Demikian pula, dalam
survei yang dilakukan oleh Dal et al., Setelah anestesi spinal, menggigil secara signifikan
lebih rendah pada kelompok ketamin, dibandingkan dengan kelompok kontrol (plasebo). 13

Mereka menyimpulkan bahwa ketamin efektif dalam mencegah dan mengurangi


keparahan menggigil setelah anestesi spinal.13 Sejalan dengan hasil penelitian ini, dalam
sebuah penelitian yang dilakukan oleh oleh Abdelrahman et al., Menggigil selama anestesi
spinal dalam kelompok ketamin secara signifikan lebih rendah daripada di kelompok lain. 16
Namun demikian, te dkk. melaporkan pengurangan intensitas menggigil dalam kelompok
hidrokortison dan ketamin. Mereka menunjukkan bahwa hidrokortison adalah alternatif yang
lebih baik untuk pethidine, dibandingkan dengan ketamin .17

Dalam uji klinis acak buta ganda, Manouchehrian dan rekan, mereka mempelajari 70
pasien kebidanan dengan ASA I atau II yang dilaporkan mengalami shivering setelah anestesi
spinal dengan bupivakain. Pasien-pasien ini adalah dua kelompok yang menerima tramadol,
atau meperidine. Mereka melaporkan bahwa menggigil berhenti setelah 2,57 ± 2,26 dan 6,24
± 4,76 menit pada kelompok kelompok tramadol dan meperidin, masing-masing. Selain itu,
mereka menunjukkan denyut jantung pra-injeksi dan pasca-injeksi yang berbeda, laju
pernapasan dan oksigen arteri.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pazoki et al., Tingkat shivering dari
seksio sesaria dalam ketamin (0,5 mg per kg) dan pethidine (3,0 mg per kg) kelompok adalah
81,77% dan 58,7%, masing-masing. Dalam studi yang disebutkan, kelompok petidin
memiliki insidensi menggigil lebih rendah dan keparahan, dibandingkan dengan kelompok
ketamin. Mereka mengungkapkan khasiat petidin yang lebih baik, dibandingkan dengan

18
ketamin; Namun, mereka menunjukkan penggunaan terbatas pethidine karena efeknya pada
sistem saraf pusat, depresi pernafasan, serta eksaserbasi mual dan muntah .19

Dalam penelitian ini, kelompok hidrokortison dan ketamin sebanding dengan kejadian
halusinasi. Frekuensi nistagmus adalah nol pada kelompok hidrokortison dan kontrol dan 2%
pada kelompok ketamin. Kelompok ketamin dan hidrokortison memiliki perbedaan yang
signifikan dengan kelompok kontrol dalam hal terjadinya mual. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa kedua obat ini mengurangi kejadian mual.

Demikian juga, risiko kejadian mual pada kelompok hidrokortison adalah satu hingga
46 kali lebih banyak dibandingkan pada kelompok ketamin. Di sisi lain, usia, graviditas,
sensorik dan blok motorik tingkat, tekanan darah, denyut jantung, tekanan darah arteri, dan
saturasi oksigen darah darah arteri dibandingkan antara ketiga kelompok. Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok-kelompok yang terkait dengan variabel-variabel
ini.

Kesimpulan

Dalam penelitian ini, kami menyelidiki nilai hidrokortison intravena dan ketamin
dalam mengurangi shivering yang terjadi setelah anestesi spinal dalam operasi seksio sesaria.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan, ada perbedaan yang signifikan antara efek
hidrokortison, ketamine, dan saline normal pada mengurangi kejadian dan intensitas
menggigil.

Ketamin lebih efektif dan lebih aman daripada hidrokortison dalam mencegah dan
mengendalikan shivering pasca anestesi spinal . Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat,
disarankan untuk melakukan penelitian yang sama dengan ukuran sampel yang lebih besar.
Studi masa depan juga dapat membandingkan obat yang berbeda, seperti pethidine,
digunakan dalam pengobatan shivering pasca operasi atau menyelidiki penggunaan obat
bersamaan dengan efek samping yang lebih sedikit dalam hal ini.

19

Anda mungkin juga menyukai