Agustus 2021
Disetujui Oleh:
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-
Nya penulis bisa menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di
Apotek Kimia Farma No. 341 Jl. Terusan Jakarta Antapani Bandung. Laporan ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian profesi Apoteker pada
Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad
Yani.
Kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini, penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Apotek Kimia Farma No. 341 Antapani Bandung selaku tempat PKPA
dilaksanakan.
2. Ibu Prof. Dr. apt. Afifah B. Sutjiatmo, M,S. Selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Jenderal Ahmad Yani.
3. Ibu Dr. apt. Sri Wahyuningsih, M.Si. Selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Ahmad Yani.
4. Ibu Dra. apt. Ambarsundari, MM. Selaku Koordinator PKPA Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Ahmad Yani.
5. Ibu Dr. apt. Endang Kumolowati, M.S. Selaku pembimbing PKPA Apotek
atas bimbingan, petunjuk dan arahan yang telah diberikan selama penyusunan
laporan ini.
6. Ibu apt. Reyke Pracillya, S.Farm. Selaku pembimbing Praktik Kerja Profesi
Apoteker Kimia Farma No. 341 Antapani Bandung, atas bimbingan dan
arahan yang diberikan selama pelaksanaan PKPA dan penyusunan laporan
ini.
7. Staf pengajar dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Ahmad
Yani.
8. Keluarga tercinta yang senantiasa selalu memberikan do’a, serta dukungan
baik moril maupun materil.
9. Rekan-rekan Profesi Apoteker Angkatan XXX Fakultas Farmasi Universitas
Jenderal Ahmad Yani telah memberikan dukungan do’a dan semangat selama
penulisan laporan ini.
Dalam penulisan laporan ini banyak mendapat kesulitan dan hambatan, sehingga
masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
2.2 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai. 11
LAMPIRAN ............................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
Apoteker yang mengelola Apotek memiliki 2 macam tanggung jawab yaitu tanggung
jawab dalam kegiatan manajerial serta kegiatan pelayanan klinis. Kegiatan Apoteker
dalam mengelola manajemen Apotek dapat berupa penentuan lokasi, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pemusnahanobat/alkes, dan lain sebagainya termasuk
pengelolaan keuangan. Sedangkan kegiatan Apoteker dalam pelayanan klinis adalah
kegiatan Compounding dan dispensing, pemberian konseling, homecare, hngga
pemantauan efek samping obat. Sebagai tenaga kesehatan yang bekerja di sarana
kesehatan, maka Apoteker harus menunjukkan eksistensinya dengan melakukan
praktik dan pelayanan kefarmasian. Prinsip dari praktik kefarmasiaan tersebut adalah
Apoteker harus dapat menjamin safety (keamanan), efficacy (efektivitas), dan quality
(kualitas) obat. Hal tersebut dapat dicapai melalui beberapa komponen penting dari
sistem pelayanan kesehatan yaitu intervensi kesehatan masyarakat, memegang
prinsip penggunaan obat yang rasional, pengelolaan pasokan obat yang efektif, serta
kegiatan pelayanan kefarmasian.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 51 Tahun 2009, pelayanan
kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Kegiatan tersebut harus didukung oleh
sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang sesuai. Pelayanan kefarmasian
harus memiliki mutu yang berkualitas sebagai jawaban atas tuntutan pasien dan
masyarakat yang didasari oleh perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dari
paradigma lama yaitu drug oriented service ke paradigma baru yaitu patient oriented
service. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula berfokus pada pengelolaan
obat sebagai komoditi sekarang telah berubah menjadi pelayanan yang komprehensif
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (PerMenKes RI Nomor 35
Tahun 2014).
Apoteker dituntut memiliki peran lebih dalam praktik kefarmasian untuk dapat
mengikuti perubahan paradigma tersebut. Apoteker yang semula hanya berperan
sebatas pada distribusi dan penyediaan obat, sekarang memiliki tanggung jawab lebih
besar terhadap kesehatan pasien. Apoteker diharapkan mampu melaksanakan
kegiatan menyeluruh mulai dari mengidentifikasi, mengatasi, dan mencegah berbagai
masalah terkait pengobatan pasien (drug related problems).
Praktik Kerja Profesi Apoteker dilaksanakan di apotek Kimia Farma Jalan Terusan
Jakarta No. 341 Bandung sebagai apotek pendidikan, dimulai pada tanggal 2 Agustus
sampai 27 Agustus 2021.
BAB II
PELAKSANAAN PKPA
Apotek Kimia Farma 380 merupakan salah satu apotek yang berada di bawah
koordinasi Kimia Farma Unit Bisnis Bandung. Kimia Farma 380 memiliki kegiatan
yang khusus bersifat pelayanan kepada masyarakat, di mana kegiatan
administrasinya dilakukan oleh Bisnis Manager Bandung yang terletak di Jl.
Cihampelas No. 7 Bandung. Apotek Kimia Farma 380 menjalankan fungsinya
sebagai salah satu apotek pelayanan kefarmasian dan kesehatan masyarakat melalui
pelayanan.
Apotek Kimia Farma 380 berlokasi di Jalan Terusan Jakarta No. 341 Antapani
Bandung, lokasinya cukup strategis, terletak di samping jalan raya besar, di
sekitarnya terdapat pemukiman penduduk, dilalui oleh kendaraan umum, dan mudah
dijangkau dengan jalur angkutan umum dan pribadi.
Bangunan Apotek Kimia Farma 380 Bandung hanya terdiri dari satu lantai disertai
dengan tempat parkir. Bangunan Apotek Kimia Farma 380 dibagi menjadi 3 (tiga)
bagian, yaitu :
2.2 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP di Kimia Farma
380 Bandung
2.2.1 Perencanaan
i. Data History
Data history merupakan data lampau atau data penjualan tiga bulan yang lalu
dengan melihat datanya akan diketahui barang apa yang cepat habis atau laku
terjual.
ii. Data Defekta
Data defekta yaitu data yang diperoleh dari hasil pengecekan jumlah persediaan
barang apotek dengan cara menulis dan menghitung jumlah obat yang akan
habis atau sudah habis. Hasil defekta kemudian dikumpulkan dan dijadikan
bahan acuan dalam pemesanan atau perencanaan barang di apotek.
iii. Sistem Pareto
Apotek Kimia Farma 380 melakukan perencanaan barang berdasarkan sistem
pareto, yaitu berdasarkan data barang yang sudah terjual dalam periode tertentu.
Kelompok barang prinsip pareto dikenal juga sebagai klasifikasi ABC, yaitu :
a. Pareto A : 15% - 20% jumlah jenis barang terjual memiliki kontribusi paling
tinggi terhadap omset apotek dengan nilai sebesar 80% dari seluruh nilai
penjualan. Barang Pareto A ini wajib dan tidak boleh datang terlambat.
b. Pareto B : 20% - 25% dari total barang terjual memiliki kontribusi sebesar
15% dari seluruh nilai penjualan.
c. Pareto C : 50% - 60% dari total barang terjual memiliki kontribusi sebesar 5%
dari seluruh nilai penjualan.
Analisis sistem pareto digunakan karena jumlah jenis obat yang sangat banyak
sedangkan yang banyak digunakan serta memberikan kontribusi besar terhadap
omset jumlahnya sedikit, sehingga perlu dilakukan prioritas dalam
pengendaliannya.
iv. Data Penolakan Resep dan Trend Obat Baru
Petugas akan mencatat dan memperhatikan trend obat atau kosmetika baru yang
sering dicari atau ditanyakan konsumen namun belum tersedia di apotek. Jika
permintaan konsumen akan produk tersebut banyak, maka ini dapat dijadikan
satu data dalam merencanakan barang di apotek. Perencanaan harus dilakukan
dengan baik untuk mencegah kekosongan ataupun penumpukan barang sehingga
perputaran barang tidak mengalami hambatan.
2.2.2 Pengadaan
i. Pengadaan Rutin
Pengadaan barang di Apotek Kimia Farma 380 dilakukan dengan sistem
Forecasting. Sistem Forecasting yaitu membaca penjualan item selama 90 hari
sebelumnya, sistem menarik data dan hasilnya disebut sistem forecasting, sistem
ini diolah dikantor pusat bagian pengadaan, hasil data yang didapat akan di share
kebagian pengadaan di setiap head office. Lalu dikembalikan ke masing-masing
farmasi manejer untuk dapat diedit apabila terdapat perubahan jumlah pengadaan,
kemudian diserahkan kembali ke bagian pengadaan lalu bagian pengadaan
membuat surat pesanan, surat pesanan akan dikirim ke PBF yang di tunjuk lalu
PBF mengirimkan pesanan ke Apotek kemudian apotek menerima pesanan. Surat
pesanan dikirimkan ke PBF melalui email. Unit Bussines Manager Bandung,
kemudian akan membuat rekap BPBA dari semua Apotek Pelayanan, dan
menuangkannya ke dalam Surat Pesanan (SP). Surat pesanan inilah yang akan
diteruskan ke Pedagang Besar Farmasi (PBF) teripilih. Terdapat 2 jenis Surat
Pesanan (SP) terdiri dari Surat Pesanan umum (OTC, alkes, dan BMHP) dan Surat
Pesanan khusus (Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Obat-Obat Tertentu).
Semua Surat Pesanan ditandatangani oleh apoteker. Semua obat atau barang yang
diperlukan dapat dipesan melalui BPBA, kecuali untuk pemesanan obat-obat
narkotika, psikotropika, prekursor dan OOT.
ii. Pengadaan Khusus
Pengadaan khusus merupakan pengadaan untuk obat-obat golongan narkotika,
psikotropika, dan prekursor. Dalam penelitian untuk golongan tersebut harus
memiliki SP (Surat Pesanan) sendiri yang memuat tanda tangan Apoteker
Penanggung Jawab (APJ). Pemesanan obat golongan narkotika menggunakan SP
khusus formulir 1 yang harus ditandatangani oleh APJ dengan mencantumkan
nama, nomor SIA, dan stempel apotek. Untuk 1 surat pesanan hanya berlaku
untuk 1 jenis obat narkotika saja. Pembelian obat golongan narkotika hanya boleh
melalui distributor tunggal yang ditunjuk oleh pemerintah. Surat Pesanan
narkotika dibuat paling sedikit 4 (empat) rangkap.
Untuk pembelian obat golongan psikotropika dilakukan dengan cara yang sama
dengan pemesanan obat-obat narkotika, tetapi menggunakan surat pesanan khusus
psikotropika sebanyak 2 (dua) rangkap. Satu SP boleh memuat beberapa jenis
pesanan psikotropika dengan satu PBF yang sama. Contoh Surat Pesanan
Psikotropika dapat dilihat pada Lampiran 5. Sama halnya dengan pemesanan
narkotika dan psikotropika, pemesanan obat mengandung prekursor farmasi juga
menggunakan SP khusus.
v. Konsinyasi
Konsinyasi merupakan suatu bentuk kerjasama antara Apotek Kimia Farma 380
dengan suatu perusahaan atau distributor yang ingin menitipkan produk yang
sedang dipromosikan di apotek. Barang-barang yang merupakan barang
konsinyasi umumnya merupakan obat-obatan, suplemen kesehatan atau alat
kesehatan yang baru beredar di pasaran. Distributor obat yang akan menitipkan
barangnya, datang ke apotek dan menawarkan diri untuk diperkenankan
menkosinyasikan barangnya. Setelah persetujuan barang yang akan
dikonsinyasikan diberikan disertai dengan faktur daftar barang. Obat
dikonsinyasikan dalam jangka waktu tertentu, di mana bila setelah jangka waktu
tertentu belum terjual habis maka produk akan ditarik kembali dan apotek
membayarkan sejumlah barang yang laku terjual saja.
2.2.3 Penerimaan
Setiap barang yang datang ke apotek Kimia Farma 380 Bandung diterima oleh
Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian untuk diperiksa kesesuaian barang yang tertera
pada faktur. Pengecekan dilakukan terhadap jenis barang, jumlah barang, tanggal
kadaluarsa obat, serta kondisi fisik barang. Jika barang yang datang sesuai dengan
yang tertera pada faktur maka petugas apotek akan membubuhkan stampel Kimia
Farma disertai paraf dan nomor urut penerimaan faktur. Tetapi jika barang yang
diterima tidak sesuai pesanan atau terdapat kerusakan fisik maka bagian pembelian
akan membuat nota pengembalian barang dan mengembalikan barang tersebut ke
distributor yang bersangkutan untuk kemudian ditukar dengan barang yang sesuai.
2.2.4 Penyimpanan
Obat yang telah diterima disimpan pada rak obat dan dicatat tanggal barang masuk,
nomor faktur pembelian, jumlah barang yang masuk, sisa barang, serta paraf petugas
pada kartu stok. Untuk barang swalayan dan OTC terlebih dahulu diberi label harga
kemudian barang disimpan di counter swalayan dan OTC. Jika rak obat-obat serta
counter swalayan dan OTC penuh maka sisa barang disimpan di gudang.
Penyimpanan barang di Apotek Kimia Farma berdasarkan:
2.2.5 Pemusnahan
2.2.6 Pengendalian
i. Kartu Stock
Jumlah barang yang masuk dan keluar setiap harinya dicatat di kartu stock dengan
menulis tanggal, nomor dokumen, nomor bacth, barang yang masuk dan keluar
disertai paraf yang menulis. Blanko kartu stok Kimia Farma 380 dapat dilihat
pada Lampiran 7.
ii. Stock Opname
Stock Opname adalah pengecekan terhadap barang yang biasa dilakukan setiap 3
bulan sekali, Stock opname fisik barang dilakukan di Apotek Kimia Farma 380
setiap tiga bulan sekali. Stok fisik yang dihitung adalah sisa fisik barang pada saat
berakhirnya periode stock opname. Tujuan dari stock opname adalah :
a. Pengecekan tanggal kadaluwarsa (expire date).
b. Mencocokkan jumlah stok fisik dan stok pada komputer untuk mengetahui
adanya kehilangan barang.
c. Data ini berguna untuk evaluasi apotek, mengetahui modal dalam bentuk
barang, dan melihat barang-barang yang kurang laku atau tidak laku.
Kegiatan pencatatan dan pelaporan di Apotek Kimia Farma 380 Bandung meliputi
pencatatan stok barang, pencatatan defekta, pencatatan permintaan dan penerimaan
barang, pencatatan rekap resep dan barang kosong, laporan keuangan, laporan obat
narkotika dan psikotropika, dan laporan stock opname.
Pengelolaan obat narkotika dan psikotropika diatur secara khusus dalam PerBPOM
Nomor 4 Tahun 2018 dan Permenkes Nomor 3 Tahun 2015, mulai dari pengadaan,
penyimpanan, hingga pemusnahan obat, untuk menghindari terjadinya
penyalahgunaan obat tersebut.
ii. Penerimaan
Penerimaan narkotika dan psikotropika dari PBF harus berdasarkan faktur
pembelian yang sah dan diterima oleh Apoteker Penanggung Jawab (APJ).
Apabila Apoteker Penanggung Jawab berhalangan hadir maka proses
penerimaan dapat dilakukan oleh Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian yang
ditunjuk oleh APJ dilengkapi dengan surat pendelegasian wewenang. Pada
proses penerimaan dilakukan pemeriksaan yang meliputi jenis, jumlah narkotika
yang dipesan, kekuatan sediaan, dan tanggal kadaluwarsa.
iii. Penyimpanan
Golongan obat narkotika dan psikotropika disimpan tersendiri di lemari khusus
dengan dua pintu yang terkunci masing-masing dengan kunci yang berbeda
(double lock), lemari terbuat dari bahan yang kuat, dan disimpan di area yang
tidak dilalui oleh umum untuk menjaga keamanannya. Anak kunci lemari khusus
dikuasai oleh Apoteker Penanggung Jawab atau pegawai lain yang ditunjuk
dan/atau diberi wewenang.
iv. Pelayanan
Apotek Kimia Farma 380 Bandung hanya melayani narkotika dan psikotropika
dengan resep asli atau copy resep yang dibuat oleh Apotek Kimia Farma 380
sendiri, dan diserahkan langsung oleh Apoteker. Contoh copy resep dapat dilihat
di Lampiran 9.
v. Pelaporan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesi No. 3 Tahun 2015
Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor yaitu untuk pelaporan penggunaan obat golongan
narkotika dilakukan setiap bulan. Untuk pelaporan penggunaan obat golongan
narkotika dan psikotropika menggunakan sistem online dengan SIPNAP (Sistem
Informasi Penggunaan Narkotika dan Psikotropika) yang dikelola oleh Dinas
Kesehatan Kota Bandung. Apotek Kimia Farma 380 membuat laporan
penggunaan obat golongan narkotika setiap bulan sebelum tanggal 10. Contoh
yang paling sedikit terdiri atas:
1) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan obat narkotika, psikotropika,
dan/atau prekursor farmasi.
2) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
3) Jumlah yang diterima.
4) Jumlah yang diserahkan.
Kemudian dilaporkan kepada kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepala balai setempat.
vi. Pemusnahan
Prosedur pemusnahan narkotika dilakukan sebagai berikut :
1. Apoteker Penanggung Jawab membuat dan menandatangani surat
permohonan untuk pemusnahan narkotika yang berisi antara lain jenis dan
jumlah narkotika yang kadaluwarsa/rusak.
2. Surat permohonan yang telah ditandatangani oleh APJ dikirim ke BPOM
Jawa Barat yang kemudian akan menetapkan waktu dan tempat pemusnahan.
3. Kemudian dibentuk panitia pemusnahan yang terdiri dari Apoteker
Penanggung Jawab, petugas BPOM, dan Kepala Dinas Kesehatan Kota
Bandung.
4. Bila pemusnahan telah dilaksanakan, maka dibuat berita acara pemusnahan.
2.3 Pelayanan Farmasi Klinik
2.3.2 Dispensing
Dispensing adalah kegiatan yang terdiri dari penyiapan obat hingga proses
penyerahan obat. Setelah melakukan pengkajian resep, maka dilakukan hal
sebagai berikut :
i. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep :
a. Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep.
b. Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat.
ii. Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
iii. Memberikan etiket yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. Warna putih untuk obat dalam/oral.
b. Warna biru untuk obat luar dan suntik.
c. Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau
emulsi. Contoh etiket dapat dilihat di Lampiran 10.
iv. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah dengan obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang
salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut :
a. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan
serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
resep), biasanya disebut dengan double checking.
b. Memanggil nama.
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
d. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait
dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus
dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-
lain.
e. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat sehingga kemungkinan
emosinya sedang tidak stabil, dan memastikan bahwa pasien sudah paham.
f. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarga
pasien.
g. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan di paraf oleh Apoteker
(apabila diperlukan).
h. Menyimpan resep pada tempatnya.
i. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.
j. Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan
obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.
2.3.4 Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga
untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan
sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan
masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker
menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai
rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien/keluarga pasien sudah
memahami obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu
diberi konseling :
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui)
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya TB, DM,
AIDS, epilepsi)
c. Pasien yang menggunakan obat dengan intruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off)
d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin)
e. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih
dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan
satu jenis obat
f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah
Adapun tahapan konseling yaitu :
i. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien.
ii. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui three prime
questions, yaitu :
a. Apa yang disampaikan oleh dokter tentang obat Anda?
b. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat Anda?
c. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah
Anda menerima terapi obat tersebut?
iii. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
iv. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat
v. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker kemudian mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda
tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan
dalam konseling.
Metode pelayanan UPDS adalah dengan WWHAM (Who, What, How long,
Action, Medicine) yaitu siapa yang sakit, apa penyakitnya, sudah berapa lama,
apa saja tindakan yang sudah dilakukan, obat apa saja yang telah dikonsumsi.
Apotek KF 380 telah melakukan pemberian informasi yang baik dan dapat
memastikan bahwa pasien dengan permintaan obat UPDS sudah terbiasa dan
mengetahui cara pemakaian obat tersebut. Jika pasien baru pertama kali
menggunakannya, maka apoteker berkewajiban memberikan penjelasan
mengenai obat tersebut, baik cara pakai maupun dosis penggunaan, serta
verifikasi akhir terhadap pemahaman pasien.
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA) meliputi dua kegiatan yaitu yang
bersifat manajerial berupa standar pengelolaan sediaan farmasi dan standar
pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan sediaan farmasi (obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika) merupakan suatu urutan kegiatan dimulai dari
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, dan
pencatatan/ pelaporan. Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan oleh apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi
dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping yang meliputi pengkajian dan
pelayanan resep, pelayanan informasi obat (PIO), home care, pemantauan terapi obat
(PTO), monitoring efek samping obat (MESO), dan konseling termasuk untuk
swamedikasi dan pencatatan obat yang digunakan pada PMR (patien medication
record) (Supardi, 2019).
3.2 Pembahasan
Hal baru yang mungkin belum ada di Indonesia adalah ketika pasien menerima obat,
mereka juga diberikan satu lembar kertas yang berisi tentang informasi obat yang
akan digunakan oleh pasien. Informasi tersebut dimuat dalam kolom-kolom yang
berisi nama obat, gambar obat ( bewarna ), khasiat dari obat ( efek ), aturan
pemakaian, interaksi obat dengan obat/ bahan lain serta kolom yang digunakan untuk
memuat catatan khusus dari apoteker. Lembaran ini berupa hasil print out komputer
yang sudah terprogram.
Dari jumlah apoteker di Jepang, jumlah apoteker di Jepang 250 ribuan orang lebih
tinggi daripada Indonesia yang hanya berjumlah 30 ribuan orang pada tahun yang
sama. Di negara tersebut, seluruh apotek berisi apoteker. Tidak seperti di Indonesia
yang ada istilah asisten apoteker. Jadi, di Jepang pasien benar – benar dilayani oleh
seorang apoteker. Selain perbedaan jumlah, apoteker Jepang juga meminta
pasiennya untuk menuliskan data diri dan riwayat pengobatan pasien sebelum si
pasien dapat mendapatkan obatnya, entah itu obat bebas atau beresep (Yamada &
Nabeshima, 2014).
3.2.2. Pelayanan Kefarmasian di Korea Selatan
Negara Korea Selatan adalah salah satu negara yang memiliki perkembangan
kemajuan yang sangat pesat. Tentunya juga dalam bidang kesehatan dan obat-obatan.
Sebenarnya, tidak jauh berbeda dengan Jepang. Pelayanan kefarmasian dilakukan
terhadap pasien langsung ditangani oleh apoteker. Apotek banyak bertebaran di
Korea, mulai di pinggir jalan, mall dan rumah sakit. Hasil tingkat pelayanan
kefarmasian bervariasi antar wilayah atau institusi di Korea Selatan. Konsep
pelayanan kefarmasian tidak cukup didefinisikan, dan cenderung terbatas pada
beberapa bagian konseling pengobatan. Melalui layanan perawatan kefarmasian,
dokter ingin memperoleh informasi obat yang komprehensif dari dan untuk berbagi
tanggung jawab klinis dengan apoteker. Dokter meminta apoteker memberikan
informasi obat yang penting dan dipilih dengan cermat kepada pasien mereka dengan
cara yang berpusat pada pasien. Kesimpulan model layanan perawatan kefarmasian
yang sukses harus memungkinkan pertukaran informasi yang efisien di antara para
profesional kesehatan untuk membangun kepercayaan antar-profesional dan untuk
memberikan kesinambungan perawatan baik dari segi waktu dan pengaturan.
Sebagai prasyarat dari sistem tersebut, diperlukan untuk mengembangkan bukti
klinis dan sistem penghargaan yang sesuai untuk layanan perawatan kefarmasian
(Lee et al., 2016).
Dalam pelayanan kefarmasian pada saat ini telah banyak dikembangkan berbagai
teknologi yang bertujuan untuk mempercepat palayanan. Terdapat berbagai
jenis automatic dispensing mechine (ADM) untuk berbagai sediaan (oral maupun
injeksi) yang telah tersedia di pasaran pada saat ini. Mesin automatik dispensing
dibeberapa negara telah digunakan untuk membantu dispensing sediaan farmasi baik
pada farmasi komunitas maupun di rumah sakit. Proses dispensing menggunakan
bantuan teknologi untuk mengoptimalkan pelayanan pada beberapa apotek di Korea
Selatan (Swastila, 2017).
Di Korea juga tidak ada tenaga teknisi atau asisten apoteker sehingga segala proses
dispensing obat dilakukan oleh apoteker. Proses pelayanannya sebagai berikut
(Swastila, 2017) :
Oleh karena itu, universitas setempat telah meninjau untuk meningkatkan program
sarjana disana agar dapat melakukan lebih banyak layanan berbasis pasien. Konsep
Pharmaceutical Care mengharuskan apoteker untuk fokus pada pasien individu dan
menganggap tingkat tanggung jawab untuk perawatan pasien yang berkaitan dengan
penggunaan obat. Untuk dapat memfokuskan kembali apotek profesi kepada pasien,
perubahan harus dilakukan dalam praktek dan juga pendidikan. Di Amerika Serikat,
fakultas farmasi telah mengadopsi dokter dari farmasi (Pharm D) program untuk
mempersiapkan apoteker memenuhi syarat di bidang Kefarmasian; namun, di luar
Amerika Serikat perubahan ini bervariasi dan lambat. Di Jordan, praktik farmasi
sebagai profesi modern dimulai hanya pada awal dekade ke-4 abad ke-20 dengan
hanya beberapa apoteker yang berpraktik di komunitas apotek (Albsoul-Younes,
Wazaify, & Alkofahi, 2008).
Perubahan dalam pendidikan farmasi telah cepat juga, dengan dua publik dan enam
swasta fakultas farmasi meluluskan sekitar 1000 apoteker per tahun. Ini adalah
jumlah fakultas yang relatif tinggi untuk negara kecil seperti Jordan, terutama ketika
dibandingkan dengan 5 dan 10 fakultas Farmasi di besar negara-negara seperti Arab
Saudi dan Iran. Beberapa masalah diakui sebagai kendala utama yang perlu diatasi
untuk mengembangkan kebaikan layanan praktik farmasi di Jordan. Masalah utama
adalah bahwa program pendidikan tidak mengatasinya secara maksimal. Untuk itu
para pemimpin farmasi di Jordan berpikir bahwa apoteker yang berpraktik harus
memenuhi syarat untuk menjadi kompeten di bidang kefarmasian, metode yang
disukai adalah melalui program pendidikan farmasi berkelanjutan. Metode lain yaitu
seperti program sertifikat, residensi, dan beasiswa (Mukattash et al., 2018).
Kurangnya deskripsi pekerjaan yang tepat dan kesadaran akan peran klinis apoteker
di antara profesional kesehatan diakui oleh sebagian besar masyarakat sebagai
hambatan penting terhadap perkembangan pelayanan farmasi klinis yang
komprehensif di Jordan. Masalah pendapatan apoteker yang rendah di Jordan juga
dibandingkan dengan negara lain disebutkan oleh sebagian besar masyarakat. Baik,
apoteker dan perawatan kesehatan profesional lainnya. Namun di Jordan, selain
terlepas dari rendahnya tingkat kesadaran tentang pelayanan kefarmasian, sebagian
besar menyatakan bahwa apoteker memiliki peran lebih dari sekedar meracik obat.
Ini sangat penting dan menyoroti kebutuhan apoteker untuk terlibat secara aktif
dengan masyarakat umum (Albsoul-Younes et al., 2008).
Secara internasional, farmasi telah bergeser dari profesi berorientasi obat ke profesi
berorientasi pasien, namun hal ini belum diterapkan secara luas di banyak negara
Timur Tengah. Di Jordan, dilaporkan bahwa persepsi dan sikap masyarakat terhadap
apoteker komunitas masih rendah. Sangat penting untuk meningkatkan citra apotek
dan membangun hubungan jangka panjang berdasarkan kepercayaan. Selain itu,
kurangnya kepercayaan pasien yang ditunjukkan pada kemampuan apoteker untuk
memberikan nasihat kesehatan mungkin memiliki pengaruh. Hal ini dikonfirmasi
oleh temuan bahwa peran apoteker saat ini tidak memuaskan, yang mencerminkan
status profesi saat ini di Jordan (Mukattash et al., 2018).
Namun saat ini juga di Jordan, jumlah apotek komunitas berkembang pesat,
demikian pula jumlah apoteker terdaftar. Selain itu, pergi ke apotek tidak
memerlukan janji temu, yang memudahkan pasien untuk mendapatkan konsultasi
dan mengakses berbagai layanan kesehatan. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bahwa sebagian masyarakat menyatakan bahwa apoteker adalah sumber informasi
pilihan mereka tentang obat-obatan (Albsoul-Younes et al., 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Lee, I. H., Rhie, S. J., Je, N. K., Rhew, K. Y., Ji, E., Oh, J. M., … Yoon, J. H. (2016).
Perceived needs of pharmaceutical care services among healthcare professionals
in South Korea: a qualitative study. International Journal of Clinical Pharmacy,
38(5), 1219–1229. https://doi.org/10.1007/s11096-016-0355-9
Mukattash, T. L., Bazzi, N. H., Nuseir, K. Q., Jarab, A. S., Abu-Farha, R. K., &
Khdour, M. R. (2018). Pharmaceutical care in community pharmacies in Jordan:
A public survey. Pharmacy Practice, 16(2), 1–5.
https://doi.org/10.18549/PharmPract.2018.02.1126
Nordin, N., Hassali, M. A. A., & Sarriff, A. (2017). A global picture of extended
pharmacy services, perceptions, and barriers toward its performance: A
systematic review. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research,
10(11), 417–427. https://doi.org/10.22159/ajpcr.2017.v10i11.19884
Supardi, S. (2019). Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di
Beberapa Kota Indonesia The Implementation of Pharmaceutical Services
Standard in Pharmacies in Several Cities in Indonesia. Jurnal Penelitian Dan
Pengembangan Pelayanan Kesehatan, 3(3), 152–159.
Swastila, S. (2017). Student Exchange Program South Korea 2017 : Pharmaceutical
Care. Department of Pharmacy, Universitas Brawijaya.
Yamada, & Nabeshima. (2014). Pharmacist-managed clinics for patient ed
ucationand counseling in Japan: current status and future perspectives.
LAMPIRAN 1
ALUR PERENCANAAN DAN PENGADAAN BARANG APOTEK