Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN AKHIR PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK KIMIA FARMA NO 341 JL. TERUSAN


JAKARTA ANTAPANI BANDUNG

Diajukan untuk memenuhi pesyaratan Ujian Paktik Kerja Profesi


Apoteker Pada Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Jenderal Achmad Yani

ALIYA SALSABILA, S.Farm.


3351201521

PROGRAM STUDI PROFESI


APOTEKER FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD
YANI CIMAHI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER


DI APOTEK KIMIA FARMA NO 341 JL. TERUSAN
JAKARTA ANTAPANI BANDUNG

Agustus 2021

ALIYA SALSABILA, S.Farm


3351201521

Disetujui Oleh:
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-
Nya penulis bisa menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di
Apotek Kimia Farma No. 341 Jl. Terusan Jakarta Antapani Bandung. Laporan ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian profesi Apoteker pada
Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad
Yani.
Kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini, penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Apotek Kimia Farma No. 341 Antapani Bandung selaku tempat PKPA
dilaksanakan.
2. Ibu Prof. Dr. apt. Afifah B. Sutjiatmo, M,S. Selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Jenderal Ahmad Yani.
3. Ibu Dr. apt. Sri Wahyuningsih, M.Si. Selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Ahmad Yani.
4. Ibu Dra. apt. Ambarsundari, MM. Selaku Koordinator PKPA Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Ahmad Yani.
5. Ibu Dr. apt. Endang Kumolowati, M.S. Selaku pembimbing PKPA Apotek
atas bimbingan, petunjuk dan arahan yang telah diberikan selama penyusunan
laporan ini.
6. Ibu apt. Reyke Pracillya, S.Farm. Selaku pembimbing Praktik Kerja Profesi
Apoteker Kimia Farma No. 341 Antapani Bandung, atas bimbingan dan
arahan yang diberikan selama pelaksanaan PKPA dan penyusunan laporan
ini.
7. Staf pengajar dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Ahmad
Yani.
8. Keluarga tercinta yang senantiasa selalu memberikan do’a, serta dukungan
baik moril maupun materil.
9. Rekan-rekan Profesi Apoteker Angkatan XXX Fakultas Farmasi Universitas
Jenderal Ahmad Yani telah memberikan dukungan do’a dan semangat selama
penulisan laporan ini.
Dalam penulisan laporan ini banyak mendapat kesulitan dan hambatan, sehingga
masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak.

Cimahi, Agustus 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ v

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. vi

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 6

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 6

1.2 Tujuan PKPA ...................................................................................................... 8

1.3 Waktu dan Tempat PKPA ................................................................................... 8

BAB II PELAKSANAAN PKPA ............................................................................... 9

2.1 Tinjauan Tempat PKPA ..................................................................................... 9

2.2 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai. 11

2.3 Pelayanan Farmasi Klinik ................................................................................. 18

BAB III TUGAS KHUSUS ...................................................................................... 18

3.1 Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 18

3.2 Pembahasan ....................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 24

LAMPIRAN ............................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 36 Tahun 2009,


kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun social
yang memngkinkan setiap orang untuk hdup produktif secara social dan ekonomi.
Pembangunan kesehatan diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud kesehatan di masyarakat
yang optimal, maka perlu dilakukan suatu upaya kesehatan dengan cara peningkatan
kualitas tenaga kesehatan, adanya sistem pelayanan yang terorganisir dengan baik
dan ditunjang oleh sarana kesehatan yang memadai.

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan


kesehatan yang bertujuan untuk meningkatakn derajat kesehatan masyarakat. Upaya
kesehatan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan berupa pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(curative), dan pemulihan kesehatan (rehabilitative). Konsep upaya kesehatan
tersebut merupakan pedoman dan pegangan bagi seluruh sarana atau fasilitas
pelayanan kesehatan di Indonesia.

Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya


kesehatan. Sarana kesehatan meliputi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),
Rumah sakit, Balai Pengobatan, Praktek Dokter, Praktek Dokter Gigi, Pabrik
Farmasi, Laboratorium Kesehatan, Poliklinik, Rumah Bersalin, dan lain sebagainya.
Sarana kesehatan atau fasilitas pelayanan kesehatan tersebut harus dapat memberikan
ayang luas bagi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Salah satu sarana
kesehatan yang memberikan upaya kesehatan berupa pelayanan kefarmasian pada
pasien atau masyarakat adalah Apotek.

Apoteker yang mengelola Apotek memiliki 2 macam tanggung jawab yaitu tanggung
jawab dalam kegiatan manajerial serta kegiatan pelayanan klinis. Kegiatan Apoteker
dalam mengelola manajemen Apotek dapat berupa penentuan lokasi, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pemusnahanobat/alkes, dan lain sebagainya termasuk
pengelolaan keuangan. Sedangkan kegiatan Apoteker dalam pelayanan klinis adalah
kegiatan Compounding dan dispensing, pemberian konseling, homecare, hngga
pemantauan efek samping obat. Sebagai tenaga kesehatan yang bekerja di sarana
kesehatan, maka Apoteker harus menunjukkan eksistensinya dengan melakukan
praktik dan pelayanan kefarmasian. Prinsip dari praktik kefarmasiaan tersebut adalah
Apoteker harus dapat menjamin safety (keamanan), efficacy (efektivitas), dan quality
(kualitas) obat. Hal tersebut dapat dicapai melalui beberapa komponen penting dari
sistem pelayanan kesehatan yaitu intervensi kesehatan masyarakat, memegang
prinsip penggunaan obat yang rasional, pengelolaan pasokan obat yang efektif, serta
kegiatan pelayanan kefarmasian.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 51 Tahun 2009, pelayanan
kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Kegiatan tersebut harus didukung oleh
sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang sesuai. Pelayanan kefarmasian
harus memiliki mutu yang berkualitas sebagai jawaban atas tuntutan pasien dan
masyarakat yang didasari oleh perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dari
paradigma lama yaitu drug oriented service ke paradigma baru yaitu patient oriented
service. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula berfokus pada pengelolaan
obat sebagai komoditi sekarang telah berubah menjadi pelayanan yang komprehensif
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (PerMenKes RI Nomor 35
Tahun 2014).

Apoteker dituntut memiliki peran lebih dalam praktik kefarmasian untuk dapat
mengikuti perubahan paradigma tersebut. Apoteker yang semula hanya berperan
sebatas pada distribusi dan penyediaan obat, sekarang memiliki tanggung jawab lebih
besar terhadap kesehatan pasien. Apoteker diharapkan mampu melaksanakan
kegiatan menyeluruh mulai dari mengidentifikasi, mengatasi, dan mencegah berbagai
masalah terkait pengobatan pasien (drug related problems).

Apoteker berkewajiban memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat


dalam menjamin dan/ atau menetapkan sediaan farmasi, memberikan pelayanan
kefarmasian yang baik, serta mempertahankan dan meningkatkan mutu
penyelenggaraan pelayanan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam
melaksanakan peran tersebut, Apoteker memerlukan peningkatan pengetahuan,
ketrampilan dan sikap yang sesuai secara berkesinambungan sejalan dengan
perkembangan terkini. Selain itu, Apoteker juga harus membangun suatu sistem
manajemen resiko dalam Apotek yang mencegah terjadinya medication error demi
menjamin patient safety.

Dalam pelayanan kefarmasian di Apotek, Apoteker memiliki suatu tugas dan


tanggung jawab yang tidak dapat diwakilkan oleh tenaga kesehatan lainnya, sehingga
Apoteker harus senantiasa menjalankan tanggung jawab tersebut untuk
meningkatkan eksistensinya. Tanggung jawab tersebut dapat berupa pemberian
komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada pasien. Pelaksanaan tanggung jawab
ini secara tidak langsung memaksa Apoteker untuk lebih menggali ilmu pengetahuan
tentang kesehatan secara terus menerus (long life learner). Apoteker harus dapat
mengembalikan kepercayaan masyarakat mengenai pentingnya peran Apoteker
dalam meningkatkan kesehatan. Prinsip ‘no pharmacist no service’, dimana tidak
boleh ada pelayanan apabila tidak ada Apoteker di tempat, harus selalu dijunjung
tinggi agar menjaga eksistensi Apoteker tersebut.

Sehubungan dengan pentingnya peranan Apoteker dalam dunia kesehatan terutama


dalam praktik kefarmasian di Apotek sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka
para calon Apoteker selain memerlukan pengetahuan teoritis mengenai hal-hal terkait
praktik kefarmasian, juga perlu melakukan praktik langsung ke dunia kerja. Oleh
karena itulah, Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani bekerja sama
dengan PT Kimia Farma Apotek untuk menyelenggarakan suatu Praktek Kerja
Profesi Apoteker (PKPA). Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di apotek sebagai
gambaran mengenai peranan apoteker yang sebenarnya di lapangan terutama di
apotek.

1.2 Tujuan PKPA

Tujuan dilaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek yaitu :

1. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi, posisi dan


tanggung jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian di apotek.
2. Membekali calon apoteker agar memiliki wawasan, pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan
kefarmasian di apotek.
3. Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat dan mempelajari
strategi kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka
pengembangan praktik farmasi komunitas di apotek.
4. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga
kerja yang profesional.
5. Memberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di
apotek.

1.3 Waktu dan Tempat PKPA

Praktik Kerja Profesi Apoteker dilaksanakan di apotek Kimia Farma Jalan Terusan
Jakarta No. 341 Bandung sebagai apotek pendidikan, dimulai pada tanggal 2 Agustus
sampai 27 Agustus 2021.
BAB II
PELAKSANAAN PKPA

2.1 Tinjauan Tempat PKPA

2.1.1 Profil Apotek Kimia Farma 380


PT Kimia Farma (Persero) Tbk atau Kimia Farma telah berkembang menjadi
perusahaan dengan pelayanan kesehatan (Healthcare) terintegrasi di Indonesia.
Bidang usaha Healthcare Kimia Farma didukung oleh kegiatan manufaktur farmasi,
riset dan pengembangan, distribusi dan perdagangan, pemasaran, ritel farmasi, serta
laboratorium klinik dan klinik kesehatan. PT. Kimia Farma Apotek adalah anak
perusahaan yang dibentuk oleh Kimia Farma untuk mengelola apotek-apotek milik
perusahaan yang ada, dalam upaya meningkatkan kontribusi penjualan untuk
memperbesar penjualan konsolidasi PT. Kimia Farma Tbk.

Apotek Kimia Farma 380 merupakan salah satu apotek yang berada di bawah
koordinasi Kimia Farma Unit Bisnis Bandung. Kimia Farma 380 memiliki kegiatan
yang khusus bersifat pelayanan kepada masyarakat, di mana kegiatan
administrasinya dilakukan oleh Bisnis Manager Bandung yang terletak di Jl.
Cihampelas No. 7 Bandung. Apotek Kimia Farma 380 menjalankan fungsinya
sebagai salah satu apotek pelayanan kefarmasian dan kesehatan masyarakat melalui
pelayanan.

2.1.2 Visi dan Misi Kimia Farma


1. Visi
Menjadi perusahaan healthcare pilihan utama yang terintegrasi dan
menghasilkan nilai yang berkesinambungan.
2. Misi
a. Melakukan aktivitas usaha di bidang industri kimia dan farmasi,
perdagangan dan jaringan distribusi, ritel farmasi dan layanan kesehatan
serta optimalisasi aset.
b. Mengelola perusahaan secara Good Corporate Governance dan
Operational Excellence didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM)
profesional.
c. Memberikan nilai tambah dan manfaat bagi seluruh stakeholder.

2.1.3 Budaya Perusahaan (Core Values)

Berdasarkan Surat Edaran KBUMN No. SE-7/MBU/07/2020 tanggal 1 Juli 2020


tentang Nilai- Nilai Utama (Core Values) Sumber Daya Manusia Badan Usaha Milik
Negara, maka Perseroan menetapkan akhlak sebagai budaya kerja (core values)
Kimia Farma Grup menggantikan ICARE. Adapun akronim dari core values akhlak
yaitu Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif yang dijadikan
sebagai identitas dan perekat budaya kerja yang mendukung peningkatan kinerja
secara berkelanjutan di setiap BUMN. Untuk mempercepat pemahaman tentang
nilai-nilai akhlak, manajemen melakukan implementasi terhadap seluruh Insan Kimia
Farma dengan berbagai media offline maupun online. Adapun makna dari akhlak
adalah :

i. Amanah (Memegang teguh kepercayaan yang diberikan)


a. Memenuhi janji dan komitmen
b. Bertanggung jawab atas tugas, keputusan dan tindakan yang dilakukan
c. Berpegang teguh kepada nilai moral dan etika
ii. Kompeten (Terus belajar dan mengembangkan kapabilitas)
a. Meningkatkan kompetensi diri untuk menjawab tantangan yang selalu
berubah.
b. Membantu orang lain belajar.
c. Menyelesaikan tugas dengan kualitas terbaik.
iii. Harmonis (Saling peduli dan menghargai perbedaan)
a. Menghargai setiap orang apapun latar belakangnya
b. Suka menolong orang lain
c. Membangun lingkungan kerja yang kondusif
iv. Loyal (Berdedikasi dan mengutamakan kepentingan Bangsa dan Negara)
a. Menjaga nama baik sesama karyawan, pimpinan, BUMN dan Negara
b. Rela berkorban untuk mencapai tujuan yang lebih besar
c. Patuh kepada pimpinan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan etika
v. Adaptif (Terus berinovasi dan antusias dalam menggerakkan ataupun
menghadapi perubahan)
a. Cepat menyesuaikan diri untuk menjadi lebih baik
b. Teus menerus melakukan perbaikan mengikuti perkembangan tekhnologi
c. Bertindak proaktif
vi. Kolaboratif (Membangun kerjasama yang sinergis)
a. Memberi kesempatan kepada berbagi pihak untuk berkontribusi
b. Terbuka dalam bekerja sama untuk menghasilkan nilai tambah
c. Menggerakkan pemanfaatan berbagai sumber daya untuk tujuan bersama

2.1.2 Lokasi Apotek Kimia Farma 380

Apotek Kimia Farma 380 berlokasi di Jalan Terusan Jakarta No. 341 Antapani
Bandung, lokasinya cukup strategis, terletak di samping jalan raya besar, di
sekitarnya terdapat pemukiman penduduk, dilalui oleh kendaraan umum, dan mudah
dijangkau dengan jalur angkutan umum dan pribadi.

2.1.3 Tata Ruang Apotek Kimia Farma 380

Bangunan Apotek Kimia Farma 380 Bandung hanya terdiri dari satu lantai disertai
dengan tempat parkir. Bangunan Apotek Kimia Farma 380 dibagi menjadi 3 (tiga)
bagian, yaitu :

1. Bagian depan apotek, berupa halaman parkir kendaraan.


2. Bagian tengah apotek, terdiri dari area tunggu pasien, swalayan farmasi,
area untuk melakukan kegiatan pelayanan (penerimaan resep, penyerahan
resep, peracikan obat, perlengkapan dan peralatan untuk menyimpan obat),
bagian administrasi.
3. Bagian belakang, ruang tunggu pasien, gudang penyimpanan obat, dan
toilet.
Penataan ruang apotek diatur sedemikian rupa sehingga dapat mempermudah
pegawai dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian dan juga memberikan
kenyamanan bagi pengunjung. Namun untuk kegiatan operasional Apotek Kimia
Farma 380 sudah difasilitasi dengan telepon dan komputer.

2.2 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP di Kimia Farma
380 Bandung

Berdasarkan Permenkes No. 73 Tahun 2016, pelayanan kefarmasian di apotek


meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial dan pelayanan
farmasi klinik di mana kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya
manusia, sarana dan prasarana. Yang dimaksud dengan kegiatan yang bersifat
manajerial adalah pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai. Pengelolaan perbekalan farmasi bertujuan supaya tersedianya
perbekalan farmasi yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan 5 indikator tepat,
yaitu :
a. Tepat item
b. Tepat jumlah/quantity
c. Tepat waktu
d. Tepat harga
e. Tepat kualitas
Lima indikator tepat dapat dicapai dengan tahapan pembelian yang baik, meliputi
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran sehingga
dapat tercapai pengelolaan perbekaan farmasi yang efektif dan efisien serta
pelayanan konsumen dengan mutu yang terjamin.

2.2.1 Perencanaan

Perencanaan adalah suatu kegiatan untuk memperkirakan dan menetapkan barang


yang akan disediakan di apotek. Menurut Permenkes Nomor 73 Tahun 2016, dalam
membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP perlu
diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
Apotek Kimia Farma 380 melakukan perencaan kebutuhan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan barang medis habis pakai (BMHP) didasarkan pada :

i. Data History
Data history merupakan data lampau atau data penjualan tiga bulan yang lalu
dengan melihat datanya akan diketahui barang apa yang cepat habis atau laku
terjual.
ii. Data Defekta
Data defekta yaitu data yang diperoleh dari hasil pengecekan jumlah persediaan
barang apotek dengan cara menulis dan menghitung jumlah obat yang akan
habis atau sudah habis. Hasil defekta kemudian dikumpulkan dan dijadikan
bahan acuan dalam pemesanan atau perencanaan barang di apotek.
iii. Sistem Pareto
Apotek Kimia Farma 380 melakukan perencanaan barang berdasarkan sistem
pareto, yaitu berdasarkan data barang yang sudah terjual dalam periode tertentu.
Kelompok barang prinsip pareto dikenal juga sebagai klasifikasi ABC, yaitu :
a. Pareto A : 15% - 20% jumlah jenis barang terjual memiliki kontribusi paling
tinggi terhadap omset apotek dengan nilai sebesar 80% dari seluruh nilai
penjualan. Barang Pareto A ini wajib dan tidak boleh datang terlambat.
b. Pareto B : 20% - 25% dari total barang terjual memiliki kontribusi sebesar
15% dari seluruh nilai penjualan.
c. Pareto C : 50% - 60% dari total barang terjual memiliki kontribusi sebesar 5%
dari seluruh nilai penjualan.
Analisis sistem pareto digunakan karena jumlah jenis obat yang sangat banyak
sedangkan yang banyak digunakan serta memberikan kontribusi besar terhadap
omset jumlahnya sedikit, sehingga perlu dilakukan prioritas dalam
pengendaliannya.
iv. Data Penolakan Resep dan Trend Obat Baru
Petugas akan mencatat dan memperhatikan trend obat atau kosmetika baru yang
sering dicari atau ditanyakan konsumen namun belum tersedia di apotek. Jika
permintaan konsumen akan produk tersebut banyak, maka ini dapat dijadikan
satu data dalam merencanakan barang di apotek. Perencanaan harus dilakukan
dengan baik untuk mencegah kekosongan ataupun penumpukan barang sehingga
perputaran barang tidak mengalami hambatan.

2.2.2 Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan perencanaan melalui


pembelian. Tujuan pengadaan yaitu mendapatkan perbekalan apotek dengan harga
yang layak, mutu yang baik, pengiriman barang terjamin dan tepat waktu. Kegiatan
pengadaan di Apotek Kimia Farma 380 dikelompokkan menjadi :

i. Pengadaan Rutin
Pengadaan barang di Apotek Kimia Farma 380 dilakukan dengan sistem
Forecasting. Sistem Forecasting yaitu membaca penjualan item selama 90 hari
sebelumnya, sistem menarik data dan hasilnya disebut sistem forecasting, sistem
ini diolah dikantor pusat bagian pengadaan, hasil data yang didapat akan di share
kebagian pengadaan di setiap head office. Lalu dikembalikan ke masing-masing
farmasi manejer untuk dapat diedit apabila terdapat perubahan jumlah pengadaan,
kemudian diserahkan kembali ke bagian pengadaan lalu bagian pengadaan
membuat surat pesanan, surat pesanan akan dikirim ke PBF yang di tunjuk lalu
PBF mengirimkan pesanan ke Apotek kemudian apotek menerima pesanan. Surat
pesanan dikirimkan ke PBF melalui email. Unit Bussines Manager Bandung,
kemudian akan membuat rekap BPBA dari semua Apotek Pelayanan, dan
menuangkannya ke dalam Surat Pesanan (SP). Surat pesanan inilah yang akan
diteruskan ke Pedagang Besar Farmasi (PBF) teripilih. Terdapat 2 jenis Surat
Pesanan (SP) terdiri dari Surat Pesanan umum (OTC, alkes, dan BMHP) dan Surat
Pesanan khusus (Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Obat-Obat Tertentu).
Semua Surat Pesanan ditandatangani oleh apoteker. Semua obat atau barang yang
diperlukan dapat dipesan melalui BPBA, kecuali untuk pemesanan obat-obat
narkotika, psikotropika, prekursor dan OOT.
ii. Pengadaan Khusus
Pengadaan khusus merupakan pengadaan untuk obat-obat golongan narkotika,
psikotropika, dan prekursor. Dalam penelitian untuk golongan tersebut harus
memiliki SP (Surat Pesanan) sendiri yang memuat tanda tangan Apoteker
Penanggung Jawab (APJ). Pemesanan obat golongan narkotika menggunakan SP
khusus formulir 1 yang harus ditandatangani oleh APJ dengan mencantumkan
nama, nomor SIA, dan stempel apotek. Untuk 1 surat pesanan hanya berlaku
untuk 1 jenis obat narkotika saja. Pembelian obat golongan narkotika hanya boleh
melalui distributor tunggal yang ditunjuk oleh pemerintah. Surat Pesanan
narkotika dibuat paling sedikit 4 (empat) rangkap.
Untuk pembelian obat golongan psikotropika dilakukan dengan cara yang sama
dengan pemesanan obat-obat narkotika, tetapi menggunakan surat pesanan khusus
psikotropika sebanyak 2 (dua) rangkap. Satu SP boleh memuat beberapa jenis
pesanan psikotropika dengan satu PBF yang sama. Contoh Surat Pesanan
Psikotropika dapat dilihat pada Lampiran 5. Sama halnya dengan pemesanan
narkotika dan psikotropika, pemesanan obat mengandung prekursor farmasi juga
menggunakan SP khusus.

iii. Pengadaan Cito


Pengadaan cito merupakan pemesanan barang yang diajukan langsung ke PBF
dengan menghubungi PBF melalui telepon, kemudian membuat SP barang
langsung ke PBF yang bersangkutan yang ditandatangani oleh APJ. Karena
barang tersebut sangat dibutuhkan pasien atau sedang ditunggu oleh pasien.

iv. Pengadaan Mendesak


Pengadaan mendesak dilakukan apabila barang yang diminta tidak ada dalam
persediaan serta untuk menghindari penolakan obat/resep. Pembelian barang dapat
dilakukan ke apotek lain yang terdekat sesuai dengan jumlah sediaan farmasi yang
dibutuhkan dan diadakan sesuai kebutuhan.

v. Konsinyasi
Konsinyasi merupakan suatu bentuk kerjasama antara Apotek Kimia Farma 380
dengan suatu perusahaan atau distributor yang ingin menitipkan produk yang
sedang dipromosikan di apotek. Barang-barang yang merupakan barang
konsinyasi umumnya merupakan obat-obatan, suplemen kesehatan atau alat
kesehatan yang baru beredar di pasaran. Distributor obat yang akan menitipkan
barangnya, datang ke apotek dan menawarkan diri untuk diperkenankan
menkosinyasikan barangnya. Setelah persetujuan barang yang akan
dikonsinyasikan diberikan disertai dengan faktur daftar barang. Obat
dikonsinyasikan dalam jangka waktu tertentu, di mana bila setelah jangka waktu
tertentu belum terjual habis maka produk akan ditarik kembali dan apotek
membayarkan sejumlah barang yang laku terjual saja.

2.2.3 Penerimaan

Setiap barang yang datang ke apotek Kimia Farma 380 Bandung diterima oleh
Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian untuk diperiksa kesesuaian barang yang tertera
pada faktur. Pengecekan dilakukan terhadap jenis barang, jumlah barang, tanggal
kadaluarsa obat, serta kondisi fisik barang. Jika barang yang datang sesuai dengan
yang tertera pada faktur maka petugas apotek akan membubuhkan stampel Kimia
Farma disertai paraf dan nomor urut penerimaan faktur. Tetapi jika barang yang
diterima tidak sesuai pesanan atau terdapat kerusakan fisik maka bagian pembelian
akan membuat nota pengembalian barang dan mengembalikan barang tersebut ke
distributor yang bersangkutan untuk kemudian ditukar dengan barang yang sesuai.

2.2.4 Penyimpanan
Obat yang telah diterima disimpan pada rak obat dan dicatat tanggal barang masuk,
nomor faktur pembelian, jumlah barang yang masuk, sisa barang, serta paraf petugas
pada kartu stok. Untuk barang swalayan dan OTC terlebih dahulu diberi label harga
kemudian barang disimpan di counter swalayan dan OTC. Jika rak obat-obat serta
counter swalayan dan OTC penuh maka sisa barang disimpan di gudang.
Penyimpanan barang di Apotek Kimia Farma berdasarkan:

i. Golongan Obat Ethical


Obat ethical disimpan di rak dalam dekat tempat penerimaan resep. Penyimpanan
dilakukan berdasarkan bentuk sediaan, kelas terapi, stabilitas obat, dan disusun
secara alfabetis.
Penyimpanan berdasarkan bentuk sediaan obat terdiri dari :
a. Tablet dan kapsul
b. Sirup, emulsi, dan suspensi
c. Tetes mata dan salep mata
d. Tetes telinga dan tetes hidung
e. Salep, krim, lotion, gel
f. Ovula dan suppositoria
g. Injeksi dan infus

Penyimpanan berdasarkan kelas terapi terdiri dari :


a. Antibiotik, antivirus dan antifungi
b. Kardiovaskular
c. Endokrin
d. Antihistamin
e. Susunan Saraf Pusat (SSP)
f. Sistem Pencernaan
g. Muskoletal, saluran kemih dan pil KB
h. Hormon
i. Vitamin
Golongan obat termolabil disimpan pada lemari pendingin terutama untuk obat-obat
yang harus disimpan di bawah suhu kamar, seperti suppositoria, ovula, vaksin,
insulin dan lain-lain. Obat generik disimpan secara alfabetis pada rak yang terpisah
dengan obat non generik, dan obat-obat produk Kimia Farma disimpan terpisah
dengan produk lain.

ii. Golongan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas


Obat bebas dan obat bebas terbatas disimpan di area swalayan dan tersusun rapi pada
gondola yang sudah disediakan. Penyimpanan dilakukan berdasarkan jenisnya, yaitu
meidicine dan non medicine. Kelas terapi obat-obat bebas atau obat bebas terbatas
jenis medicine antara lain :
a. Obat penurun panas
b. Obat batuk dan flu (antitusif, dekongestan, ekspektoran)
c. Obat saluran cerna/stomach care (antidiare dan obat maag)
d. Suplemen makanan dan vitamin
e. Obat tradisional
f. Obat topikal (antijamur, antinyeri)
g. Tetes mata dan tetes telinga.
Sedangkan kelas terapi obat bebas atau bebas terbatas jenis non medicine antara lain :
a. Bahan Medis Habis Pakai/BMHP (first aid)
b. Alat kesehatan
c. Personal care
d. Baby care

iii. Golongan Obat Narkotika dan Psikotropika


Golongan obat narkotika dan psikotropika disimpan tersendiri di lemari khusus
dengan dua pintu yang terkunci masing-masing dengan kunci yang berbeda
(double lock), dan disimpan di area yang tidak dapat dilihat langsung dan dilalui
oleh umum untuk menjaga keamanannya.

2.2.5 Pemusnahan

i. Pemusnahan Obat Kadaluwarsa/Rusak.


Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung
narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan
psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian lain yang memiliki STRTTK. Pemusnahan dibuktikan dengan
berita acara pemusnahan.
ii. Pemusnahan Resep
Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar dan dicatat
dalam berita acara pemusnahan resep kemudian dilaporkan kepad Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.

2.2.6 Pengendalian

Pengendalian barang bertujuan untuk memantau pengadaan barang, sehingga


memudahkan dalam pengadaannya. Pengendalian barang di Apotek Kimia Farma
380 Bandung melalui :

i. Kartu Stock
Jumlah barang yang masuk dan keluar setiap harinya dicatat di kartu stock dengan
menulis tanggal, nomor dokumen, nomor bacth, barang yang masuk dan keluar
disertai paraf yang menulis. Blanko kartu stok Kimia Farma 380 dapat dilihat
pada Lampiran 7.
ii. Stock Opname
Stock Opname adalah pengecekan terhadap barang yang biasa dilakukan setiap 3
bulan sekali, Stock opname fisik barang dilakukan di Apotek Kimia Farma 380
setiap tiga bulan sekali. Stok fisik yang dihitung adalah sisa fisik barang pada saat
berakhirnya periode stock opname. Tujuan dari stock opname adalah :
a. Pengecekan tanggal kadaluwarsa (expire date).
b. Mencocokkan jumlah stok fisik dan stok pada komputer untuk mengetahui
adanya kehilangan barang.
c. Data ini berguna untuk evaluasi apotek, mengetahui modal dalam bentuk
barang, dan melihat barang-barang yang kurang laku atau tidak laku.

iii. Uji Petik


Pada dasarnya kegiatan uji petik hampir sama dengan kegiatan stock opname,
perbedaannya hanya dalam interval waktu. Pengerjaan uji petik dilakukan setiap
hari, dengan tujuan untuk memantau barang dan mencocokkan jumlah stok fisik
barang dengan stok yang ada pada komputer. Contoh formulir uji petik dapat
dilihat di Lampiran 8.

2.2.7 Pencatatan dan Pelaporan

Kegiatan pencatatan dan pelaporan di Apotek Kimia Farma 380 Bandung meliputi
pencatatan stok barang, pencatatan defekta, pencatatan permintaan dan penerimaan
barang, pencatatan rekap resep dan barang kosong, laporan keuangan, laporan obat
narkotika dan psikotropika, dan laporan stock opname.

2.2.8 Pengelolaan Obat Narkotika dan Psikotropika

Pengelolaan obat narkotika dan psikotropika diatur secara khusus dalam PerBPOM
Nomor 4 Tahun 2018 dan Permenkes Nomor 3 Tahun 2015, mulai dari pengadaan,
penyimpanan, hingga pemusnahan obat, untuk menghindari terjadinya
penyalahgunaan obat tersebut.

Pelaksanaan pengelolaan obat narkotika dan psikotropika di Apotek Kimia Farma


380 Bandung meliputi :
i. Pemesanan
Pemesanan narkotika dan psikotropika dilakukan secara tertulis sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Kemudian surat pesanan yang sudah ditanda tangani
oleh Apoteker Penanggung Jawab (APJ) dikirim ke AP3 (Apotek Pusat
Pengadaan dan Penyaluran). Pemesanan dilakukan ke PBF Kimia Farma selaku
distributor tunggal dengan membuat surat pesanan khusus narkotika dan
psikotropika sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap.

ii. Penerimaan
Penerimaan narkotika dan psikotropika dari PBF harus berdasarkan faktur
pembelian yang sah dan diterima oleh Apoteker Penanggung Jawab (APJ).
Apabila Apoteker Penanggung Jawab berhalangan hadir maka proses
penerimaan dapat dilakukan oleh Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian yang
ditunjuk oleh APJ dilengkapi dengan surat pendelegasian wewenang. Pada
proses penerimaan dilakukan pemeriksaan yang meliputi jenis, jumlah narkotika
yang dipesan, kekuatan sediaan, dan tanggal kadaluwarsa.

iii. Penyimpanan
Golongan obat narkotika dan psikotropika disimpan tersendiri di lemari khusus
dengan dua pintu yang terkunci masing-masing dengan kunci yang berbeda
(double lock), lemari terbuat dari bahan yang kuat, dan disimpan di area yang
tidak dilalui oleh umum untuk menjaga keamanannya. Anak kunci lemari khusus
dikuasai oleh Apoteker Penanggung Jawab atau pegawai lain yang ditunjuk
dan/atau diberi wewenang.

iv. Pelayanan
Apotek Kimia Farma 380 Bandung hanya melayani narkotika dan psikotropika
dengan resep asli atau copy resep yang dibuat oleh Apotek Kimia Farma 380
sendiri, dan diserahkan langsung oleh Apoteker. Contoh copy resep dapat dilihat
di Lampiran 9.

v. Pelaporan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesi No. 3 Tahun 2015
Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor yaitu untuk pelaporan penggunaan obat golongan
narkotika dilakukan setiap bulan. Untuk pelaporan penggunaan obat golongan
narkotika dan psikotropika menggunakan sistem online dengan SIPNAP (Sistem
Informasi Penggunaan Narkotika dan Psikotropika) yang dikelola oleh Dinas
Kesehatan Kota Bandung. Apotek Kimia Farma 380 membuat laporan
penggunaan obat golongan narkotika setiap bulan sebelum tanggal 10. Contoh
yang paling sedikit terdiri atas:
1) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan obat narkotika, psikotropika,
dan/atau prekursor farmasi.
2) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
3) Jumlah yang diterima.
4) Jumlah yang diserahkan.
Kemudian dilaporkan kepada kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepala balai setempat.

vi. Pemusnahan
Prosedur pemusnahan narkotika dilakukan sebagai berikut :
1. Apoteker Penanggung Jawab membuat dan menandatangani surat
permohonan untuk pemusnahan narkotika yang berisi antara lain jenis dan
jumlah narkotika yang kadaluwarsa/rusak.
2. Surat permohonan yang telah ditandatangani oleh APJ dikirim ke BPOM
Jawa Barat yang kemudian akan menetapkan waktu dan tempat pemusnahan.
3. Kemudian dibentuk panitia pemusnahan yang terdiri dari Apoteker
Penanggung Jawab, petugas BPOM, dan Kepala Dinas Kesehatan Kota
Bandung.
4. Bila pemusnahan telah dilaksanakan, maka dibuat berita acara pemusnahan.
2.3 Pelayanan Farmasi Klinik

Berdasarkan Permenkes Nomor 73 Tahun 2016, Pelayanan farmasi klinik di Apotek


merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi :

2.3.1 Pengkajian dan Pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian resep merupakan proses yang sangat penting untuk
dilakukan agar dapat mengurangi terjadinya medication error yang berakibat
fatal bagi pasien. Kegiatan pengkajian resep meliputi pengkajian aspek
administrasi, kesesuaian farmaseutik dan pertimbangan klinis. Aspek
administrasi meliputi :
a. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf dokter
b. Nama pasien, umur, jenis kelamin, berat badan
c. Tanggal penulisan resep, nama obat, jumlah dan kekuatan obat.

Pengkajian kesesuaian farmaseutik meliputi :


a. Kesesuaian bentuk sediaan
b. Stabilitas obat
c. Inkompatibilitas
d. Cara pemberian
e. Jumlah dan aturan pakai
Pengkajian pertimbangan klinis meliputi :
a. Ketepatan indikasi dan dosis obat
b. Aturan, cara pakai dan lama penggunaan obat
c. Duplikasi dan/atau polifarmasi
d. Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, ESO, manifestasi klinis lain)
e. Kontraindikasi
f. Interaksi obat

2.3.2 Dispensing
Dispensing adalah kegiatan yang terdiri dari penyiapan obat hingga proses
penyerahan obat. Setelah melakukan pengkajian resep, maka dilakukan hal
sebagai berikut :
i. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep :
a. Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep.
b. Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat.
ii. Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
iii. Memberikan etiket yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. Warna putih untuk obat dalam/oral.
b. Warna biru untuk obat luar dan suntik.
c. Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau
emulsi. Contoh etiket dapat dilihat di Lampiran 10.
iv. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah dengan obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang
salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut :
a. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan
serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
resep), biasanya disebut dengan double checking.
b. Memanggil nama.
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
d. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait
dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus
dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-
lain.
e. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat sehingga kemungkinan
emosinya sedang tidak stabil, dan memastikan bahwa pasien sudah paham.
f. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarga
pasien.
g. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan di paraf oleh Apoteker
(apabila diperlukan).
h. Menyimpan resep pada tempatnya.
i. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.
j. Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan
obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

2.3.3 Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker
dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi
dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat
kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi meliputi
dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metode pemberian,
farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan
penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas,
ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain.
Kegiatan pelayanan informasi obat di apotek meliputi :
a. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
b. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/pemberdayaan masyarakat
(penyuluhan).
c. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi.
e. Melakukan penelitian penggunaan obat.
f. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
g. Melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu
penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan informasi obat adalah :
i. Topik pernyataan.
ii. Tanggal dan waktu pelayanan informasi obat diberikan.
iii. Metode pelayanan informasi obat (lisan, tertulis, lewat telepon).
iv. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti
riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium).
v. Uraian pertanyaan.
vi. Jawaban pertanyaan.
vii. Referensi.
viii. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, via telepon) dan data Apoteker
yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

2.3.4 Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga
untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan
sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan
masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker
menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai
rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien/keluarga pasien sudah
memahami obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu
diberi konseling :
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui)
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya TB, DM,
AIDS, epilepsi)
c. Pasien yang menggunakan obat dengan intruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off)
d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin)
e. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih
dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan
satu jenis obat
f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah
Adapun tahapan konseling yaitu :
i. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien.
ii. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui three prime
questions, yaitu :
a. Apa yang disampaikan oleh dokter tentang obat Anda?
b. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat Anda?
c. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah
Anda menerima terapi obat tersebut?
iii. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
iv. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat
v. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker kemudian mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda
tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan
dalam konseling.

2.3.5 Pelayanan Obat Tanpa Resep Dokter


Pelayanan obat tanpa resep dokter atau yang biasa disebut UPDS (Usaha
Pengobatan Diri Sendiri) merupakan permintaan obat langsung dari pasien.
obat- obat yang dapat diberikan tanpa resep dokter meliputi obat bebas, obat
bebas terbatas, obat keras yang masuk ke dalam daftar DOWA (Daftar Obat
Wajib Apotek), obat tradisional, kosmetik, dan alat kesehatan.

Metode pelayanan UPDS adalah dengan WWHAM (Who, What, How long,
Action, Medicine) yaitu siapa yang sakit, apa penyakitnya, sudah berapa lama,
apa saja tindakan yang sudah dilakukan, obat apa saja yang telah dikonsumsi.
Apotek KF 380 telah melakukan pemberian informasi yang baik dan dapat
memastikan bahwa pasien dengan permintaan obat UPDS sudah terbiasa dan
mengetahui cara pemakaian obat tersebut. Jika pasien baru pertama kali
menggunakannya, maka apoteker berkewajiban memberikan penjelasan
mengenai obat tersebut, baik cara pakai maupun dosis penggunaan, serta
verifikasi akhir terhadap pemahaman pasien.

2.3.6 Pelayanan Swalayan Farmasi

Apotek Kimia Farma 380 bandung memiliki swalayan yang melakukan


penjualan barang-barang perbekalan farmasi dan non-farmasi, seperti alat
kesehatan, alat laboratorium, alat kontrasepsi, pelengkapan bayi, susu,
kosmetika perawatan wajah, kulit, obat-obat bebas berbentuk tablet, kapsul,
cair, multivitamin, produk herbal atau jamu, madu, makanan minuman ringan,
sabun, shampo, dan lain-lain. Barang-barang tersebut diatur sedemikian rupa
sehingga konsumen dapat memilih barang yang dibutuhkan dengan leluasa.
Pembayaran dilakukan di kasir disertai dua struk, yaitu satu untuk pembeli dan
satu lagi untuk arsip.
BAB III
TUGAS KHUSUS
PERBEDAAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI 3 NEGARA ( JEPANG,
KOREA SELATAN DAN JORDAN ) DENGAN INDONESIA

3.1 Tinjauan Pustaka

Pharmaceutical Care adalah pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien.


Meliputi semua aktifitas apoteker yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah
terapi pasien terkait dengan obat. Praktek kefarmasian ini memerlukan interaksi
langsung apoteker dengan pasien, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, peran apoteker dalam asuhan kefarmasian di awal proses terapi adalah
menilai kebutuhan pasien (Nordin, Hassali, & Sarriff, 2017).

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian


oleh Apoteker. Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional,
berlokasi di daerah yang mudah dikenali oleh masyarakat dan terdapat papan
petunjuk yang tertulis kata “apotek”. Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat
untuk memperoleh obat termasuk informasi obat dan konseling. Apotek harus
memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, tempat untuk mendisplai informasi
bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi, ruangan/tempat khusus
untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari
untuk menyimpan catatan medikasi pasien; ruang peracikan obat dan tempat
pencucian alat (Supardi, 2019).

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA) meliputi dua kegiatan yaitu yang
bersifat manajerial berupa standar pengelolaan sediaan farmasi dan standar
pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan sediaan farmasi (obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika) merupakan suatu urutan kegiatan dimulai dari
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, dan
pencatatan/ pelaporan. Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan oleh apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi
dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping yang meliputi pengkajian dan
pelayanan resep, pelayanan informasi obat (PIO), home care, pemantauan terapi obat
(PTO), monitoring efek samping obat (MESO), dan konseling termasuk untuk
swamedikasi dan pencatatan obat yang digunakan pada PMR (patien medication
record) (Supardi, 2019).

Standar pelayanan kefarmasian merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai


pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
Standar pelayanan kefarmasian yang dilakukan di apotek termuat dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016. Apoteker yang
melakukan praktik kefarmasian di apotek selayaknya berpedoman kepada permenkes
tersebut. Didalam standar pelayanan kefarmasian di apotek tersebut termuat
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam melayani pasien.
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian
oleh Apoteker (Permenkes No. 9 Tahun 2017). Apotek dipimpin oleh seorang
Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang melayani pasien atau masyarakat sesuai
dengan wewenang yang dimilikinya. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker
(Permenkes No. 73 Tahun 2016). Apoteker yang mengelola Apotek memiliki 2
macam tanggung jawab yaitu tanggung jawab dalam kegiatan manajerial serta
kegiatan pelayanan klinis. Kegiatan Apoteker dalam mengelola manajemen Apotek
dapat berupa penentuan lokasi, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pemusnahanobat/alkes, dan lain sebagainya termasuk pengelolaan keuangan.
Sedangkan kegiatan Apoteker dalam pelayanan klinis adalah kegiatan Compounding
dan dispensing, pemberian konseling, homecare, hngga pemantauan efek samping
obat.

3.2 Pembahasan

3.2.1. Pelayanan Kefarmasian di Jepang


Negara Jepang adalah salah satu negara yang memiliki perkembangan kemajuan
yang sangat pesat. Tentunya juga dalam bidang kesehatan dan obat-obatan. Pastinya
sebagai salah satu negara yang maju dengan kecanggihan teknologinya, Jepang
memiliki rumah sakit dan apotek-apotek yang berstandar internasional dengan
pelayanan yang memuaskan. Pelayanan kefarmasian di Jepang juga sudah mulai
beranjak menuju patien-oriented. Pasien diberi konseling pada saat masuk dan pada
saat di rumah sakit. Karena keterbatasan jumlah apoteker dan juga pertimbangan
uang jasa pelayanan kefarmasian, konseling dan sekaligus pemantauan terapi pasien
dilakukan sekali seminggu untuk tiap pasien. Jika pasien dirawat selama 3 minggu,
dia akan mendapat 3 kali konseling. Namun, ada juga yang mendapat pemantauan
setiap hari, terutama pada pasien-pasien yang mendapatkan antibiotik khusus seperti
anti fungi. Mereka akan memantau dari hasil pemeriksaan lab pasien, dan jika
diperlukan mendatangi pasien untuk menanyakan efek-efek samping yang mungkin
dialami pasien. Dalam hal pelayanan informasi obat, farmasis menyiapkan data
base lengkap mengenai obat-obat yang dipakai di rumah sakit (sekitar 2000 item
yang dipilih), sehingga dokter dengan mudah dapat memperoleh informasi yang
diperlukan dengan mengklik di komputernya masing-masing jika misalnya akan
menulis resep. Jika diperlukan, mereka akan menanyakan pada apoteker (Yamada &
Nabeshima, 2014).
Apotek di Jepang memiliki fasilitas yang baik. Apotek ini memiliki ruangan yang
kira-kira sama dengan ruangan yang ada di Indonesia. Ruangannya terdiri dari
Counter Self Medication, Counter Kasir, dan ruangan peracikan obat.
A) Counter Self Medication
Terdiri dari beberapa rak yang berisi produk-produk yang dijual dengan sistem
swalayan dan etalase yang berisi produk dengan sistem nonswalayan. Produk
yang dijual berbahasa Jepang. Produk yang tersedia seperti kebutuhan
bayi (susu, pampers, dot, bedak, dll ), aneka jenis salep dan krim, koyok,
beberapa jenis obat tablet seperti aspirin dan lain sebagainya. Kondisinya
sepertinya mirip dengan apotek-apotek di Indonesia yang memiliki counter
swalayan seperti Kimia Farma.
B) Counter Self Medication
Ada meja konsultasi dengan seorang farmasis / apoteker yang siap memberikan
pelayanannya.
C) Counter kasir
Berupa space tempat kegiatan penerimaan resep, pembayaran dan penyerahan
obat dilakukan oleh petugas apotek. Proses pembayaran dilakukan ketika obat
akan diberikan ke pasien.
D) Di belakang counter kasir terdapat ruangan peracikan yang dibatasi oleh kaca
transparan. Pasien bisa melihat secara langsung kegiatan yang terjadi di dalam
ruangan peracikan. Ada sekitar 5 orang apoteker yang sedang bertugas dengan
mengenakan jas kerja (seperti jas laboratorium yang bewarna putih ) dengan
mengenakan masker.

Pelayanan kefarmasian di Jepang yaitu terhadap pasien langsung ditangani oleh


apoteker. Di Jepang tidak ada tenaga teknisi atau asisten apoteker sehingga segala
proses dispensing obat dilakukan oleh apoteker. Kalaupun ada tenaga selain apoteker
atau non apoteker, terbatas hanya satu orang tenaga kasir.

Proses pelayanannya sebagai berikut :

• Penerimaan resep oleh apoteker.


• Mengisi formulir yang berisi tentang data-data pasien yang terkait dengan
obat seperti riwayat alergi dan sebagainya. Informasi yang diberikan dalam
bahasa Jepang. Informasi yang ada pada etiket tersebut juga sama dengan di
Indonesia. Bedanya pada etiket obat di Jepang juga dicantumkan gambar.
• Proses penyiapan obat di dalam ruang peracikan obat.
• Penyerahan obat ke pasien. Obat diserahkan dalam etiket yang sama seperti
di Indonesia. Bedanya etiket terbuat dari kertas sedangkan di Indonesia.
• Apoteker memberikan informasi tentang nama obat, khasiat dan aturan pakai
sambil memperlihatkan obat tersebut pada pasien.
• Proses pembayaran.

Hal baru yang mungkin belum ada di Indonesia adalah ketika pasien menerima obat,
mereka juga diberikan satu lembar kertas yang berisi tentang informasi obat yang
akan digunakan oleh pasien. Informasi tersebut dimuat dalam kolom-kolom yang
berisi nama obat, gambar obat ( bewarna ), khasiat dari obat ( efek ), aturan
pemakaian, interaksi obat dengan obat/ bahan lain serta kolom yang digunakan untuk
memuat catatan khusus dari apoteker. Lembaran ini berupa hasil print out komputer
yang sudah terprogram.

Dari jumlah apoteker di Jepang, jumlah apoteker di Jepang 250 ribuan orang lebih
tinggi daripada Indonesia yang hanya berjumlah 30 ribuan orang pada tahun yang
sama. Di negara tersebut, seluruh apotek berisi apoteker. Tidak seperti di Indonesia
yang ada istilah asisten apoteker. Jadi, di Jepang pasien benar – benar dilayani oleh
seorang apoteker. Selain perbedaan jumlah, apoteker Jepang juga meminta
pasiennya untuk menuliskan data diri dan riwayat pengobatan pasien sebelum si
pasien dapat mendapatkan obatnya, entah itu obat bebas atau beresep (Yamada &
Nabeshima, 2014).
3.2.2. Pelayanan Kefarmasian di Korea Selatan
Negara Korea Selatan adalah salah satu negara yang memiliki perkembangan
kemajuan yang sangat pesat. Tentunya juga dalam bidang kesehatan dan obat-obatan.
Sebenarnya, tidak jauh berbeda dengan Jepang. Pelayanan kefarmasian dilakukan
terhadap pasien langsung ditangani oleh apoteker. Apotek banyak bertebaran di
Korea, mulai di pinggir jalan, mall dan rumah sakit. Hasil tingkat pelayanan
kefarmasian bervariasi antar wilayah atau institusi di Korea Selatan. Konsep
pelayanan kefarmasian tidak cukup didefinisikan, dan cenderung terbatas pada
beberapa bagian konseling pengobatan. Melalui layanan perawatan kefarmasian,
dokter ingin memperoleh informasi obat yang komprehensif dari dan untuk berbagi
tanggung jawab klinis dengan apoteker. Dokter meminta apoteker memberikan
informasi obat yang penting dan dipilih dengan cermat kepada pasien mereka dengan
cara yang berpusat pada pasien. Kesimpulan model layanan perawatan kefarmasian
yang sukses harus memungkinkan pertukaran informasi yang efisien di antara para
profesional kesehatan untuk membangun kepercayaan antar-profesional dan untuk
memberikan kesinambungan perawatan baik dari segi waktu dan pengaturan.
Sebagai prasyarat dari sistem tersebut, diperlukan untuk mengembangkan bukti
klinis dan sistem penghargaan yang sesuai untuk layanan perawatan kefarmasian
(Lee et al., 2016).

Dalam pelayanan kefarmasian pada saat ini telah banyak dikembangkan berbagai
teknologi yang bertujuan untuk mempercepat palayanan. Terdapat berbagai
jenis automatic dispensing mechine (ADM) untuk berbagai sediaan (oral maupun
injeksi) yang telah tersedia di pasaran pada saat ini. Mesin automatik dispensing
dibeberapa negara telah digunakan untuk membantu dispensing sediaan farmasi baik
pada farmasi komunitas maupun di rumah sakit. Proses dispensing menggunakan
bantuan teknologi untuk mengoptimalkan pelayanan pada beberapa apotek di Korea
Selatan (Swastila, 2017).

Di Korea juga tidak ada tenaga teknisi atau asisten apoteker sehingga segala proses
dispensing obat dilakukan oleh apoteker. Proses pelayanannya sebagai berikut
(Swastila, 2017) :

• Pasien tiba ke apotek, pasien langsung bertemu dengan apotekernya.


• Disana ada mesin untuk menyortir obat, jadi obat yang akan diberikan ke pasien
benar-benar tidak tersentuh tangan dan dibungkus rapi dalam plastik untuk 1x
pakai. Tujuannya agar menjaga kepatuhan pasien ketika mengonsumsi obat.
• Apabila pasien hendak membeli obat, mereka harus memberikan resep kepada
apoteker, bahkan mereka pun tidak diperbolehkan untuk membeli antibiotik
secara bebas.
Gambar 1 . Automatic dispensing machine untuk sediaan oral di apotek
Korea

Gambar 2. Obat dikemas dalam unit dose dispensing untuk pasien


menggunakan teknologi mesin automatic dispensing

Sebenarnya, tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Apotek banyak bertebaran di


Korea, mulai di pinggir jalan, mall dan rumah sakit. Namun, ada sedikit perbedaan
seperti tidak ada tulisan tempat penerimaan resep, kasir dll yang biasa dijumpai di
apotek Indonesia, dan yang melayani pasien semuanya adalah apoteker. Di apotek
yang penulis kunjungi tersebut dari luar tampilannya seperti apotek biasa. Hampir
sama dengan Jepang yang melayani hanya seorang apoteker.

3.2.3. Pelayanan Kefarmasian di Jordan


Di negara Jordan, pelayanan kefarmasiannya hampir sebagian besar lebih fokus pada
layanan berorientasi bisnis daripada berorientasi pasien. Lebih lanjut, dicatat bahwa
hukum setempat tidak ditegakkan secara ketat yang memungkinkan masyarakat
untuk memiliki akses ke semua obat yang tersedia di apotek termasuk obat resep,
kecuali narkotika dan obat penenang utama. Perbedaan dengan Indonesia, pelayanan
kefarmasian di Jordan masih sangat minim fokus, di Jordan sebagian besar masih
mementingkan bisnis bukan fokus terhadap kebutuhan pasien sehingga masih banyak
yang membeli obat resep secara bebas. Dan hukum tidak ditindak secara ketat
(Nordin et al., 2017).

Oleh karena itu, universitas setempat telah meninjau untuk meningkatkan program
sarjana disana agar dapat melakukan lebih banyak layanan berbasis pasien. Konsep
Pharmaceutical Care mengharuskan apoteker untuk fokus pada pasien individu dan
menganggap tingkat tanggung jawab untuk perawatan pasien yang berkaitan dengan
penggunaan obat. Untuk dapat memfokuskan kembali apotek profesi kepada pasien,
perubahan harus dilakukan dalam praktek dan juga pendidikan. Di Amerika Serikat,
fakultas farmasi telah mengadopsi dokter dari farmasi (Pharm D) program untuk
mempersiapkan apoteker memenuhi syarat di bidang Kefarmasian; namun, di luar
Amerika Serikat perubahan ini bervariasi dan lambat. Di Jordan, praktik farmasi
sebagai profesi modern dimulai hanya pada awal dekade ke-4 abad ke-20 dengan
hanya beberapa apoteker yang berpraktik di komunitas apotek (Albsoul-Younes,
Wazaify, & Alkofahi, 2008).

Perubahan dalam pendidikan farmasi telah cepat juga, dengan dua publik dan enam
swasta fakultas farmasi meluluskan sekitar 1000 apoteker per tahun. Ini adalah
jumlah fakultas yang relatif tinggi untuk negara kecil seperti Jordan, terutama ketika
dibandingkan dengan 5 dan 10 fakultas Farmasi di besar negara-negara seperti Arab
Saudi dan Iran. Beberapa masalah diakui sebagai kendala utama yang perlu diatasi
untuk mengembangkan kebaikan layanan praktik farmasi di Jordan. Masalah utama
adalah bahwa program pendidikan tidak mengatasinya secara maksimal. Untuk itu
para pemimpin farmasi di Jordan berpikir bahwa apoteker yang berpraktik harus
memenuhi syarat untuk menjadi kompeten di bidang kefarmasian, metode yang
disukai adalah melalui program pendidikan farmasi berkelanjutan. Metode lain yaitu
seperti program sertifikat, residensi, dan beasiswa (Mukattash et al., 2018).

Kurangnya deskripsi pekerjaan yang tepat dan kesadaran akan peran klinis apoteker
di antara profesional kesehatan diakui oleh sebagian besar masyarakat sebagai
hambatan penting terhadap perkembangan pelayanan farmasi klinis yang
komprehensif di Jordan. Masalah pendapatan apoteker yang rendah di Jordan juga
dibandingkan dengan negara lain disebutkan oleh sebagian besar masyarakat. Baik,
apoteker dan perawatan kesehatan profesional lainnya. Namun di Jordan, selain
terlepas dari rendahnya tingkat kesadaran tentang pelayanan kefarmasian, sebagian
besar menyatakan bahwa apoteker memiliki peran lebih dari sekedar meracik obat.
Ini sangat penting dan menyoroti kebutuhan apoteker untuk terlibat secara aktif
dengan masyarakat umum (Albsoul-Younes et al., 2008).

Secara internasional, farmasi telah bergeser dari profesi berorientasi obat ke profesi
berorientasi pasien, namun hal ini belum diterapkan secara luas di banyak negara
Timur Tengah. Di Jordan, dilaporkan bahwa persepsi dan sikap masyarakat terhadap
apoteker komunitas masih rendah. Sangat penting untuk meningkatkan citra apotek
dan membangun hubungan jangka panjang berdasarkan kepercayaan. Selain itu,
kurangnya kepercayaan pasien yang ditunjukkan pada kemampuan apoteker untuk
memberikan nasihat kesehatan mungkin memiliki pengaruh. Hal ini dikonfirmasi
oleh temuan bahwa peran apoteker saat ini tidak memuaskan, yang mencerminkan
status profesi saat ini di Jordan (Mukattash et al., 2018).

Namun saat ini juga di Jordan, jumlah apotek komunitas berkembang pesat,
demikian pula jumlah apoteker terdaftar. Selain itu, pergi ke apotek tidak
memerlukan janji temu, yang memudahkan pasien untuk mendapatkan konsultasi
dan mengakses berbagai layanan kesehatan. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bahwa sebagian masyarakat menyatakan bahwa apoteker adalah sumber informasi
pilihan mereka tentang obat-obatan (Albsoul-Younes et al., 2008).
DAFTAR PUSTAKA

Albsoul-Younes, A., Wazaify, M., & Alkofahi, A. (2008). Pharmaceutical care


education and practice in jordan in the New Millennium. Jordan Journal of
Pharmaceutical Sciences, 1(1), 83.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi.
Jakarta: Kemenkes RI.

Lee, I. H., Rhie, S. J., Je, N. K., Rhew, K. Y., Ji, E., Oh, J. M., … Yoon, J. H. (2016).
Perceived needs of pharmaceutical care services among healthcare professionals
in South Korea: a qualitative study. International Journal of Clinical Pharmacy,
38(5), 1219–1229. https://doi.org/10.1007/s11096-016-0355-9
Mukattash, T. L., Bazzi, N. H., Nuseir, K. Q., Jarab, A. S., Abu-Farha, R. K., &
Khdour, M. R. (2018). Pharmaceutical care in community pharmacies in Jordan:
A public survey. Pharmacy Practice, 16(2), 1–5.
https://doi.org/10.18549/PharmPract.2018.02.1126
Nordin, N., Hassali, M. A. A., & Sarriff, A. (2017). A global picture of extended
pharmacy services, perceptions, and barriers toward its performance: A
systematic review. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research,
10(11), 417–427. https://doi.org/10.22159/ajpcr.2017.v10i11.19884
Supardi, S. (2019). Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di
Beberapa Kota Indonesia The Implementation of Pharmaceutical Services
Standard in Pharmacies in Several Cities in Indonesia. Jurnal Penelitian Dan
Pengembangan Pelayanan Kesehatan, 3(3), 152–159.
Swastila, S. (2017). Student Exchange Program South Korea 2017 : Pharmaceutical
Care. Department of Pharmacy, Universitas Brawijaya.
Yamada, & Nabeshima. (2014). Pharmacist-managed clinics for patient ed
ucationand counseling in Japan: current status and future perspectives.
LAMPIRAN 1
ALUR PERENCANAAN DAN PENGADAAN BARANG APOTEK

Gambar II.3 Alur penerimaan barang apotek.


LAMPIRAN 2
CONTOH SURAT PESANAN NARKOTIKA

Gambar II.4 Contoh Form Surat Pesanan Narkotika


LAMPIRAN 3
CONTOH SURAT PESANAN PSIKOTROPIKA

Gambar II.5 Contoh Form Surat Pesanan Psikotropika


LAMPIRAN 4
CONTOH SURAT PESANAN OBAT PREKURSOR

Gambar II.6 Contoh Form Surat Pesanan Prekursor


LAMPIRAN 5
BLANKO KARTU STOK

Gambar II.7 Blanko Kartu Stok Barang


LAMPIRAN 6
BLANKO SALINAN RESEP

Gambar II.8 Blanko Salinan Resep


LAMPIRAN 7
ETIKET OBAT

Gambar II.9 Etiket Obat

Anda mungkin juga menyukai