Anda di halaman 1dari 42

ASKEP PASIEN DENGAN MASALAH PSIKOSOSIAL: NAPZA DAN BUNUH DIRI

Disusun Oleh : Eko Kurniawan Esti Andarini ( 2120101816 ) ( 2120101817 )

Febry Kurnia Artha ( 2120101819 ) Fina Fatmawati (2120101820)

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO 2011 / 2012

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH PSIKOSOSIAL : NAPZA

A. Pengertian Penyalahgunaan Zat Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat adalah peningkatan terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).

jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi

B. Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna NAPZA. Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba. Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman- temannya.

Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi. Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan. Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi

ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya. C. Jenis-Jenis NAPZA NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu: 1. Narkotika Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran,menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis

maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999). Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah: 1) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka. 2) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya. Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut: a. Depresan b. Stimulan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri. = membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan merasa badan lebih segar. c. Halusinogen =dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah perasaan serta pikiran. 3) Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain. 2. Psikotropika Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif

melalui

pengaruh

selektif

pada

susunan

saraf

pusat

yang menyebabkan

perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama. 3. Zat Adiktif Lainnya Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahanbahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.

D. Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal dan faktor internal. 1. Faktor Internal a. Faktor Kepribadian Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, emosinya dengan secara wajar, ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan mudah cemas, pasif, agresif, dan

cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan cara melarikan diri. b. Inteligensia Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya. c. Usia Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.

d. Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama. e. Pemecahan Masalah Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada. 2. Faktor Eksternal a. Keluarga Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe 1) 2) keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu: Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan narkoba. Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak). 3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik.

Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara. 4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya 5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal. 6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu. b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara temanteman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat lebih banyak dalam delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut memiliki dampak yang berarti kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan, yang kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan psikologis. Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah teman sebaya (78,1%). Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh teman kelompoknya sehingga remaja menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini relevan dengan studi yang dilakukan oleh Hawari (1990) yang memperlihatkan bahwa teman kelompok yang menyebabkan remaja memakai NAPZA mulai dari tahap coba-coba sampai ketagihan.

c. Faktor Kesempatan Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melaporkan bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk di Sekolah Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari satu faktor tertentu.

E. Tanda dan Gejala Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda. Tabel 1. Tanda dan Gejala Intoksikasi Opiat * eforia * * cadel Ganja * eforia * bicara* kering SedatifHipnotik * Alkohol amfetamine

* mata merah * selalu jalanuntuk perubahan*

matapengendalian * bicara cadel terdorong diri berkurang* mulut* sempoyongan * jalansempoyongan bergerak

mengantuk merah

* konstipasi *

banyak* mengantuk persepsi dan * nafsug tidur * kesadaran *

berkeringat

* penurunanbicara kesadaran tertawa * makan

penurunan* gemetar * depresi * paranoid

memperpanjan kemampuan * cemas menilai hilang

meningkat persepsi

* gangguan

Tabel 2. Tanda dan Gejala Putus Zat Opiat * nyeri hidung berair * perasaan panas dingin * diare * gelisah * tidak bisa tidur Ganja * jarang SedatifHipnotik * cemas * * * gemetar persepsi daya ingat tidur Alkohol * cemas * * * * muntah * tidak bisa tidur amfetamine * cemas * depresi * * energi kebutuhan muka* kelelahan mudahberkurang tangantidur meningkat mual

* mata danditemukan

tangan* depresi perubahanmerah gangguanmarah

* tidak bisagemetar

F. Dampak Penyalahgunaan NAPZA

Martono

(2006)

menjelaskan

bahwa

penyalahgunaan

NAPZA

mempunyai dampak yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta masyarakat, bangsa, dan negara. Bagi diri sendiri : Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena hperdarahan terhentinya pernapasan dan otak, kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan

kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum. Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis: 1) Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin, 2) Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan 3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis. Bagi keluarga : Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan. Bagi pendidikan atau sekolah : NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan

kejahatan dan perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian. Bagi masyarakat, bangsa, terciptanya dan Negara : Penyalahgunaan narkoba NAPZA dengan

mengakibatkan

hubungan

pengedar

korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.

G. Penanggulangan Masalah NAPZA Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai pemulihan (rehabilitasi). 1) Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan: a) Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA b) Deteksi dini perubahan perilaku c) Menolak tegas untuk mencoba (Say no to drugs) atau Katakan tidak pada narkoba 2) Pengobatan

Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu: a) Detoksifikasi tanpa subsitusi Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri. b) Detoksifikasi dengan substitusi Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut. 3) Rehabilitasi Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).

H. Pengkajian 1. Kaji situasi kondisi penggunaan zat * Kapan zat digunakan * Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah * Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara 2. Kaji risiko yang berkaitan dengan penggunaan zat * Berbagi peralatan suntik * Perilaku seks yang tidak nyaman * Menyetir sambil mabuk * Riwayat over dosis * Riwayat serangan (kejang) selama putus zat 3. Kaji pola penggunaan * Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan malam) * Penggunaan selama seminggu * Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV) * Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah berjalan melalui rumah bandar) * Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (mantan pacar, teman pakai) * Adanya pikiran-pikiran tertentu (Ah, sekali nggak bakal ngerusak atau Saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make) * Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan) * Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur atau stres yang berkepanjangan) 4. Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila tidak menggunakan.

I. Diagnosa Keperawatan

Koping individu tidak efektif : belum mampu mengatasi keinginan menggunakan zat

J. Tindakan Keperawatan Strategi Pertemuan 1- Klien: 1) mendiskusikan dampak penggunaan NAPZA bagi kesehatan, cara meningkatkan motivasi berhenti, dan cara mengontrol keinginan. 2) melatih cara meningkatkan motivasi dan cara mengontrol keinginan. 3) membuat jadwal latihan Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat untuk membantu klien mengatasi craving/nagih (keinginan untuk enggunakan kembali NAPZA) adalah sebagai berikut: 1) identifikasi rasa ketagihan yang muncul, 2) ingat diri sendiri, rasa nagih normal muncul saat kita berhenti, 3) ingatlah rasa nagih seperti kucing lapar, semakin lapar, semakin diberi makan semakin sering muncul, 4) cari seseorang yang dapat mengalihkan dari rasa nagih, 5) coba menyibukkan diri saat rasa nagih datang, 6) tundalah penggunaan sampai beberapa saat,bicaralah pada seseorang yang dapat mendukung, 7) lakukan sesuatu yang dapat membuat rileks dan nyaman, kunjungi teman-teman yang tidak menggunakan narkoba, tontonlah video, ke bioskop atau dengar musik yang dapat membuat rileks, 8) dukunglah usaha anda untuk berhenti sekalipun sering berakhir dengan menggunakan lagi, 9) bicara pada teman-teman yang berhasil berhenti, dan

10) bicaralah pada teman-teman tentang bagaimana mereka menikmati hidup atau rilekslah untuk dapat banyak ide.

Menurut Keliat dkk. (2006), tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga adalah sebagai berikut: 1) Keluarga dapat mengenal masalah ketidakmampuan anggota keluarganya

berhenti menggunakan NAPZA 2) Keluarga dapat meningkatkan motivasi klien untuk berhenti 3) Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien NAPZA 4) Keluarga dapat mengidentifikasi kondisi pasien yang perlu dirujuk Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada keluarga anatara lain: 1) Diskusikan tentang masalah yang dialami keluarga dalam merawat klien 2) Diskusikan bersama keluarga tentang penyalahgunaan/ketergantungan zat (tanda, gejala, penyebab, akibat) dan tahapan penyembuhan klien (pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi). 3) Diskusikan tentang kondisi klien yang perlu segera dirujuk seperti: intoksikasi berat, misalnya penurunan kesadaran, jalan sempoyongan, gangguan penglihatan (persepsi), kehilangan pengendalian diri, curiga yang berlebihan, melakukan kekerasan sampai menyerang orang lain. Kondisi lain dari klien yang perlu mendapat perhatian keluarga adalah gejala putus zat seperti nyeri (sakau), mual sampai muntah, diare, tidak dapat tidur, gelisah, tangan gemetar, cemas yang berlebihan, depresi (murung yang berkepanjangan). 4) Diskusikan dan latih keluarga merawat klien NAPZA dengan cara: menganjurkan keluarga meningkatkan motivasi klien untuk berhenti atau menghindari sikap-sikap

yang dapat mendorong klien untuk memakai NAPZA lagi (misalnya menuduh klien sembarangan atau terus menerus mencurigai klien memakai lagi); mengajarkan keluarga mengenal ciri-ciri klien memakai NAPZA lagi (misalnya memaksa minta uang, ketahuan berbohong, ada tanda dan gejala intoksikasi); ajarkan keluarga untuk membantu klien menghindar atau mengalihkan perhatian dari keinginan untuk memakai NAPZA lagi; anjurkan keluarga memberikan pujian bila klien dapat berhenti walaupun 1 hari, 1 minggu atau 1 bulan; dan anjurkan keluarga mengawasi klien minum obat.

Strategi Pertemuan dengan Pasien dan Keluarga Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA No. Kemampuan Pasien dan Keluarga A 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 Tanggal/Bulan

Pasien Sp 1 Membina hubungan saling percaya Mendiskusikan dampak NAPZA Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi Mendiskusikan cara mengontrol

keinginan latihan cara meningkatkan motivasi Latihan cara mengontrol keinginan Membuat jadwal aktivitas Sp 2 Mendiskusikan cara menyelesaikan masalah Mendiskusikan cara hidup sehat Latihan cara menyelesaikan masalah Latihan cara hidup sehat Mendiskusikan tentang obat

B 1 2 3 4 5 6 1 2

Keluarga Sp 1 Mendiskusikan masalah yang dialami Mendiskusikan tentang NAPZA Mendiskusikan tahapan penyembuhan Mendiskusikan cara merawat Mendiskusikan kondisi yang perlu dirujuk Latihan cara merawat Sp 2 Mendiskusikan cara motivasi Mendiskusikan

meningkatkan dalam

pengawasan

minum obat (Sumber: Keliat dkk. 2006)

K. Evaluasi Evaluasi yang diharapkan dari klien adalah sebagai berikut: 1. Klien mengetahui dampak NAPZA 2. Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti menggunakan NAPZA 3. Klien mampu mengontrol kemampuan keinginan menggunakan NAPZA kembali 4. Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif 5. Klien dapat menerapkan cara hidup yang sehat 6. Klien mematuhi program pengobatan Evaluasi yang diharapkan dari keluarga adalah sebagai berikut: 1. Keluarga mengetahui masalah yang dialami klien 2. Keluarga mengetahui tentang NAPZA

3. Keluarga mengetahui tahapan proses penyembuhan klien 4. Keluarga berpartisipasi dalam merawat klien 5. Keluarga memberikan motivasi pada klien untuk sembuh

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH PSIKOSOSIAL : BUNUH DIRI

1. Pengertian Beberapa ahli psikiatri mengemukakan pengertian tentang bunuh diri antara lain : a. Bunuh diri adalah segala sesuatu perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang tau akan akibatnya yang mungkin pada waktu yang singkat (W.F. Maramis, 1992) b. Bunuh diri adalah tindakan agresif terhadap diri sendiri untuk mengakhiri kehidupan (Budi Anna Keliat, 1993) c. Bunuh diri adalah suatu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.( Jenny., dkk. (2010). Bunuh diri mikro (microsuicide ) : kematian akibat perilaku bunuh diri misalnya bunuh diri pelan pelan atau terdapat pada orang orang yang dengan sengaja tidak mau berobat meskipun menderita sakit, mogok makan, diet berlebih, dsb. Bunuh diri terselubung (masked suicide) : orang yang sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian dengan cara terselubung, misalnya : mendatangi tempat kerusuhan sehingga

terbunuh,

olahraga

yang

berbahaya,

overdosis

pada

pasien

ketergantungan zat dan sebagainya. Menurut David A. Tomb(2003, hal. 85) mengemukakan pasien yang berpotensi bunuh diri yaitu: 1. Pasien pernah mencoba bunuh diri 2. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa ancaman. Misalkan pasien berkata saya tidak akan bertemu lagi dengan kalian. 3. Secara objektif terlihat mood depresif atau kecemasan 4. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (misalnya pekerjaan, harga diri, pasangan hidup) 5. Perubahan sikap yang mendadak : mudah marah, sedih atau menarik diiri 6. Perubahan perilaku yang tidak terduga, menyampaikan pesan-pesan, membagikan barang-barang miliknya. Menurut WHO membagi bunuh diri menjadi 4 kategori sosial, yaitu : 1. Bunuh diri egoistik terjadi pada orang yang kurang kuat integrasinya dalam suatu kelompok sosial. Misalnya orang yang hidup sendiri lebih rentan untuk bunuh diri daripada yang hidup ditengah keluarga 2. Bunuh diri altruistik terjadi pada orang orang yang mempunyai integritas berlebih terhadap kelompoknya, contoh : tentara korea dalam peperangan dan pelaku bom bunuh diri

3. Bunuh diri anomik terjadi pada orang orang yang tinggal di masyarakat yang tidak mempunyai aturan dan norma dalam kehidupan sosial. 4. Bunuh diri fatalistik terjadi pada individu yang hidup di masyarakat yang terlalu ketat peraturannya. Dalam hal ini individu dipandang sebagai bagoan dimasyarakat dari sudut integritasi atau disintegrasi yang akan membentuk dasar dari sistem kekuatan, nilai nilai, keyakinan, dan moral dari budaya tersebut. (Sumber : Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa,2006) 2. Pernyataan yang Salah tentang Bunuh Diri (MITOS) Banyak pernyataan yang salah tentang bunuh diri yang harus diketahui perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan tingkah laku bunuh diri antara lain : No 1 Mitos Fakta

Orang yang bicara mengenai bunuh Kebanyakan orang yang bunuh diri diri, tidak akan melakukannya telah member peringatan yang pasti dari keinginannya.

Orang denga kecendrungan bunuh diri Mayoritas dari mereka ambivalen (suicide people) berkeinginan mutlak (mendua, untuk mati antara keinginan untuk bunuh diri tetapi takut mati) Orang dengan kecendrungan bunuh diri seringkali memberikan banyak indikasi.

Bunuuh diri terjadi tanpa peringatan

Perbaikan setelah suatu krisis berarti Banyak bunuh diri terjadi dalam resiko bunuh diri telah berakhir periode perbaikan saat pasien telah mempunyai energi dan kembali ke pikiran putus asa untuk melakukan

tindakan destruktif 5 Tidak semua bunuh diri dapat dicegah Sebagian besar bunuh diri dapat dicegah 6 Sekali seseorang cenderung bunuh Pikiran bunuh diri tidak permanen dan diri, maka dia selalu cenderung bunuh untuk beberapa orang tidak akan diri 7 Hanya orang miskin yang bunuh diri melakukannya kembali Bunuh diri dapat terjadi pada semua orang tergantung pada keadaan social, lingkungan, ekonomi dan kesehatan jiwa 8 Bunuh diri selalu terjadi pada pasien Pasien gangguan jiwa mempunyai gangguan jiwa resiko lebih tinggi untuk bunuh diri dapat juga terjadi pada orang yang sehat fisik dan jiwanya bertanya tentang bunuh diri tidak akan memacu bunuh diri 9 Menanyakan tentang pikiran bunuh Bila tidak menanyakan pikiran bunuh diri dapat memicu orang untuk bunuh diri, tidak akan dapat mengidentifikasi diri orang yang beresiko tinggi bunuh diri.

(Sumber : Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa,2006) 3. Faktor Penyebab terjadinya Bunuh diri a. Etiologi bunuh diri yang digolongkan berdasarkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan. Angka bunuh diri meningkat dengan bertambahnya umur, kurvanya merupakan garis lurus yang mendaki. Pada wanita, kurva ini naik sampai umur 60 tahun kemudian

turun lagi. Anak-anak dibawah umur 15 tahun jarang sekali melakukan bunuh diri. Jadi angka bunuh diri berbanding lurus dengan peningkatan umur, tetapi beberapa penulis menemukan angka yang meningkat pada usia muda yaitu antara usia 15-30 tahun. Penyebab bunuh diri pada anak : pelarian dan penganiayaan atau pemerkosaan, situasi keluarga yang kacau, perasaan tidak disayang atau selalu dikritik, gagal sekolah, takut atau dihina disekolah, kehilangan orang yang dicintai, dihukum oranglain. Penyebab bunuh diri pada remaja : hunungan interpersonal yang tidak bermakna, sulit mempertahankan hubungan interpersonal, pelarian dan penganiayaan fisik atau pemerkosaan, perasaan tidak dimengerti orang lain, kehilangan orang yang dicintai, keadaan fisik, masalah dengan orangtua, masalah seksual, depresi. Penyebab bunuh diri pada dewasa awal : self ideal yang terlalu tinggi, cemas akan tugas akademik yang banyak, kegagalan akademi yang berarti kehilangan penghargaan dan kasih sayang orangtua, kompetisi untuk sukses. Penyebab bunuh diri pada lanjut usia : perubahan status dari mandiri ketergantungan, penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi, perasan tidak berarti dimasyarakat, kesepian dan isolasi sosial, kehilanganganda (seperti pekerjaan kesehatan pasangan ), sumber hidup berkurang. b. Faktor determinan Kebudayaan Kebudayaan mempengaruhi niat dan tekad seseorang individu untuk mempengaruhi hidupnya dan merupakan faktor penting yang mempengaruhi hal bunuh diri disamping kedudukan sosial ekonomi dan situasi eksterm yang merugikan

Jenis kelamin Angka bunuh diri pada wanita lebih besar daripada pria, disemua negara dan disepanjang masa.Perbandingan tertinggi didapatkan di Rhode Island dan New York yaitu 3:1, angka perbandingan terendah didapati di Austria 1,3 : 1 Status sosial Di Inggris, Amerika, Denmark dan Italia, angka bunuh diri tertinggi terdapat status sosial tinggi, misalnya dokter, dokter gigi dan ahli hukum. Menurut Hendersom, 1 dari 50 dokter di Inggris melakukan bunuh diri dengan overdosis, pada umumnya mereka berumur kurang dari 50 tahun dan banyak yang menderita ketergantungan obat dan alkohol. Status perkawinan Frekuensi bunuh diri lebih kecil pada mereka yang sudah menikah, terutama mereka yang sudah punya anak, dibandingkan dengan mereka yang belum berkeluarga, janda atau yang cerai. Gangguan jiwa Di bagian psikiatri Dr.soetomo Surabaya dalam periode 1965-1968 ditemukan kasus bunuh diri terbagi dalam 6 ancaman bunuh diri, dan 32 percobaan bunuh diri. 4. Rentang respon berhubungan dengan bunuh diri Rentang sehat sakit dapat dipakai untuk mengabarkan respon adaptif sampai respon maladaptif pada bunuh diri. Rentang respon peningkatan diri (self

enchancemen) merupakan rentang respon paling adaptif, sedangkan bunuh diri (suicide) sebagai respon yang maladaptif. Rentang respon perlindungan diri yang adaptif yaitu: Self enhancement (pengembangan diri) : menyayangi kehidupan diri, berusaha selalu meningkatkan kualitas diri. Growth promoting risk taking : berani mengambil risiko untuk meningkatkan perkembangan diri. Sedangkan rentang respon maladaptif meliputi : Indirect self-destruktif behavior ; perilaku merusak diri tidak langsung, aktivitas yang dapat mengancam kesejahtraan fisik dan berpotensi mengakibatkan kematian, individu tidak menyadari atau menyangkal bahaya aktivitas tersebut Self-injury ; mencederai diri, tak bermaksud bunuh diri tetapi prilakunya dapat mengancam diri Suicide atau bunuh diri ; perilaku yang disengaja menimbulkan kematian diri, individu sadar bahkan menginginkan kematian. d. Mekanisme koping Mekanisme koping adalah segala sesuatu yang diarahkan untuk menanggulangi stress. Usaha ini dapat berorientasi pada tugas dan meliputi usaha pemecahan masalah langsung. e. Penatalaksanaan

Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau dikamar pertolongan darurat di RS, dibagian penyakit dalam atau bagian bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka atau keadaan keracunan, kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis. Penentuan perawatan tidak tergantung pada faktor sosial tetapi berhubungan erat dengan kriteria yang mencerminkan besarnya kemungkinan bunuh diri. Bila keadaan keracunan atau terluka sudah dapat diatasi maka dapat dilakukan evaluasi psikiatri. Tidak adanya hubungan beratnyagangguan badaniah dengan gangguan psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan terapi elektro konvulsi, obat obat terutama anti depresan dan psikoterapi.

5. Asuhan keperawatan pasien dengan resiko perilaku bunuh diri 1. PENGKAJIAN Pengkajian bunuh diri termasuk aplikasi observasi melekat dan keterampilan mendengar untuk mendeteksi tanda spesifik dan rencana yang spesifik. Pengkajian juga mencakup apakah individu telah membuat rencana bunuh diri tersebut. Orang yang siap bunuh diri adalah orang yang telah mempunyai rencana spesifik dan mempunyai alat untuk melakukan bunuh diri. Langkah awal, membina hubungan selama wawancara yang sifatnya tidak menghakimi pasien. Apabila pasien tidak menceritakan sendiri keinginannya, selidiki adanya ide-ide bunuh diri melalui pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik, misal, Apakah Mas merasakan sedih?.

Apakah Mas pernah memikirkan untuk mengakhiri hidup?. Bagaimana caranya?. Mengajukan pertanyaan mengenai bunuh diri tidak akan mencetuskan terjadinya peristiwa itu. Hal utama yang perlu dikaji adalah tanda atau gejala yang dapat menentukan tingkat resiko dari tingkah laku bunuh diri. Ditekankan pada perilaku, faktor prediposisi, stressor presipitasi, penilaian stressor dan mekanisme koping. Perilaku Perilaku ketidakpatuhan Individu sadar alasan tidak patuh, merupakan tindakan yang merugikan diri sendiri. Telah diperkirakan bahwa sebagian dari pasien tidak patuh terhadap rencana pengobatan kesehatan mereka. Perilaku yang berkaitan dengan ketidakpatuhan terhadap pengobatan ditunjukkan dengan meremehkan keseriusan terhadap masalah, adanya penyakit kronik yang ditandai dengan periode asimtomatik, mencari muzizat penyakitnya, sering berganti petugas kesehatan dann rasa bersalah yang mengganggu asuhan keperawatan. Perilaku mencederai diri Istilah lainnya self abuse, self-directed aggression, self-ham, self-inflicted injury, self mutilation. Mencederai diri adalah suatu tindakan membahayakan diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja, tanpa bantuan orang lain. Bentuk mencederai diri termasuk memotong atau membakar kulit, membenturkan kepala, mengkorek-korek luka dan menggigit jari. Perilaku ini sering ditunjukkan pada klien retardasi mental, psikotik dan gangguan kepribadian. Perilaku bunuh diri

Semua bentuk perilaku bunuh diri baik ancaman, usaha atau perilaku bunuh diri harus ditanggapi secara serius apapun tujuannya. Namun perhatian lebih ditujukan ketika seseorang merencanakan atau mencoba dengan cara yang paling mematikan seperti menembak diri, memotong urat nadi, menabrakkan diri ke kendaraan dan atau terjun dari ketinggian. Cara yang kurang mematikan seperti minum racun serangga dan menggantungkan diri, memberikan waktu untuk mendapatkan pertolongan saat tindakan bunuh diri telah dilakukan. Berdasarkan besar kemungkinan individu melakukan bunuh diri, maka bunuh diri di bagi 3 yaitu : 1. Ancaman bunuh diri (suicide threats) Merupakan peringatan verbal atau non verbal bahwa seseorang tersebut mempertimbangkan bunuh diri. Individu akan mengatakan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi atau mungkin menunjukkan respon non verbal dengan memberikan barang-barang yang dimilikinya. Misalkan dengan mengatakan tolong jaga anakku karena saya akan pergi jauh atau segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya. Perilaku ini harus dipertimbangkan dalam konteks peristiwa kehidupan saat ini. Ancaman menunjukkan ambivalensi tentang kematian. 2. Percobaan bunuh diri (suicide attempts) Klien sudah melakukan percobaan bunuh diri. Semua tindakan yang dilakukan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh individu dan dapat menyebabkan kematian, jika tidak dilakukan pertolongan segera. Pada kondisi ini klien aktif mencoba bunuh diri dengan berbagai cara seperti gantung diri, minum racun, memotong urat nadi atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi. 3. Completed suicide

Terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau terabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan tidak benar-benar mati mungkin akan mati, jika tidak ditemukan pada waktunya. Faktor Prediposisi Beberapa faktor prediposisi perilaku bunuh diri meliputi : a. Diagnosa medis; gangguan jiwa Diagnosa medis gangguan jiwa yang beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan afektif, penyalahgunaan zat dan schizophrenia. Lebih dari 90% orang dewasa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri mengalami gangguan jiwa. b. Sifat kepribadian Sifat kepribadian yang meningkatkan resiko bunuh diri yaitu suka bermusuhan, impulsif, kepribadian anti sosial dan depresif. c. Lingkungan psikososial Individu yang mengalami kehilangan dengan proses berduka yang berkepanjangan akibat perpisahan dan bercerai, kehilangan barang dan kehilangan dukungan sosial merupakan faktor penting yang mempengaruhi individu untuk melakukan tindakan bunuh diri. d. Riwayat keluarga Keluarga yang pernah melakukan bunuh diri dan konflik yang terjadi dalam keluarga merupakan faktor penting untuk melakukan bunuh diri. e. Riwayat keluarga

Menurunnya neurotransmitter serotonin, opiate dan dopamine dapt menimbulkan perilaku destruktif-diri. Stressor Pencetus Bunuh diri dapat terjadi karena stres yang berlebihan yang dialami individu. Faktor pencetus seringkali berupa peristiwa kehidupan yang memalukan seperti masalah hubungan interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan, ancaman penahanan dan dapat juga pengaruh media yang menampilkan peristiwa bunuh diri. Sumber Koping Perlu dikaji adakah dukungan masyarakat terhadap klien dalam mengatasi masalah individu dalam memecahkan masalah seringkali membutuhkan bantuan orang lain.

Mekanisme Koping Mekanisme koping yang berhubungan dengan perilaku merusak diri tak langsung adalah denial, rasionalisasi, intelektualisasi dan regresi. Seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri adalah indiviidu telah gagal menggunakan mekanisme pertahanan diri sehingga bunuh diri sebagai jalan keluar menyelesaikan masalah hidupnya. Intensitas Bunuh diri Intensitas bunuh diri yang dikemukakan oleh Bailey dan Dreyer (1997, dikutip oleh shivers, 1998,hal 475). Mengkaji intensitas bunuh diri yang disebut

SIRS (Suicidal Intertion Rating Scale). , intensitas bunuh diri dengan skor 0-4 dijelaskan pada table (Suicidal Intertion Rating Scale). Skor 0 1 2 Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri 3 Mengancam bunuh diri, misalnya : Tinggalkan saya sendiri atau saya 4 bunuh diri. Aktif mencoba bunuh diri Pengkajian tingkat resiko Bunuh Diri Perilaku atau Intensitas Resiko Gejala Cemas Depresi IsolasiMenarik diri Rendah Rendah Ringan Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi atau panic Berat tidak Tidak berdaya,putus diri, diri protes sendiri baik pda pada Intensitas Tidak ada ide bunuh diri yang lalu atau sekarang Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam bunuh diri

NO 1 2 3

Perasaan depresi Perasaan yang tidak diri menarik menarik diri

samar, berdaya, putus asa, asa, menarik

Fungsi sehari-hari

Umumnya baik Baik pada beberapa Tidak pada aktivitas semua aktivitas

semua aktivitas

Sumber

Beberapa

Sedikit

Kurang

Strategi koping

Umumnya konstruktif Beberapa

Sebagian konstruktif

Sebagian destruktif

besar

Orang dekat

Sedikit atau hanya Tidak ada satu

Pelayanan lalu

Tidak,

sikap Ya,

umumnya Bersikap terhadap pertolongan

negative

psikiatri yang positif

memuaskan

9 10

Pola Hidup Pemakai alcohol/obat

Stabil Tidak sering

Sedang Sering

Tidak stabil Terus menerus

11

Percobaan bunuh sebelumnya

Tidak atau yang Dari tidak sampai Dari tidak sampai diri tidak fatal dengan agak fatal Tidak ada Sedikit cara yang berbagai cara yag fatal Jelas atau ada

12

Disorientasi dan disorganisasi

13

Bermusuhan

Tidak sedikit

atau Beberapa

Jelas atau ada

14

Rencana Bunuh diri

Samar, kadang- Sering kadang pikiran, ada rencana tidak aide

dipikirkan, ad untuk

ada kadang-kadang merencanakan

Sumber : Hatton , Valente , Rink (1977), dikutip oleh Shiver (1986;472)

Dari ketiga pengkajian diatas perawat mengidentifikasikan klien yang termasuk kedaruratan adalah klien dengan skor tinggi, tingkat lain juga mempunyai risiko. Skor nol dan intensitas rendah tidak mempunyai risiko bunuh diri saat ini. 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa NANDA yang berhubungan dengan Respon Proteksi Diri Maladaptif adalah Risiko Bunuh diri

3. PERENCANAAN Tujuan yang diharapkan pasien tidak akan membahayakan diri sendiri secara fisik. Rencana asuhan keperawatan untuk individu dengan perilaku bunuh diri difokuskan pada melindungi pasien dari perilakunya yang dapat membahayakan diri dan mengganti klien mengganti koping yang destruktif dengan koping yang konstruktif. Rencana keperawatan juga mencakup penyuluhan tentang penyakit.

4. TINDAKAN KEPERAWATAN 1. Tindakan keperawatan untuk pasien a. Tujuan: Pasien tetap aman dan selamat b. Tindakan: Melindungi pasien

Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka dapat kita lakukan : 1. Menemani pasien terus- menerus sampai dia dapat dipindahkan ketewmpat yang aman 2. Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas tali pinggang) 3. Mendapatkan orang yang dapat segera membawa pasien ke rumah sakit untuk pengkajian lebih lanjut dan kemungkinan dirawat 4. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika pasien mendapatkan obat 5. Dengan lembut menjelaskan pada pasien bahwa saudara akan melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri. 2. Tindakan keperawatan untuk keluarga a) Tujuan: Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba bunun diri b) Tindakan: 1. Menganjurkan keluarga untuknikut mengawasi pasien serta jangan perna meniggalkan pasien sendirian 2. Menganjurka keluarga untuk membantu pasien menjauhi barangbarang berbahaya disekitar pasien

3. Mendiskusikan dengan keluarga orang yang dapat membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin 4. Menjelaskan kepada keluarga pengertian pasien minum obat secara teratur Isyarat Bunuh Diri 1. Tindakan keperawatan untuk pasien isyarat bunuh diri a) Tujuan: 1. Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya 2. Pasien dapat mengungkapkan perasannya 3. Pasien dapat miningkatkan harga dirinya 4. Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik b) Tindakan Keperawatan 1. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan meminta bantuan dari keluarga atau tema. 2. Memingkatkan harga diri pasien, dengan cara : Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasannya. Memberikan pujian bila pasien dapay mengatakan perasan yang positif Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting

Merencanakan aktivitas yang dapat dilakukan pasien 3. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara: Mendiskusikan masalahnya Mendiskusikan dengan pasien efektivitas masing- masing cara menyelesaikan masalah Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik 2. Tindakan Keperawatan untuk keluarga a) Tujuan: keluarga mampu merawat pasien dengan resiko bunuh diri. b) Tindakan keperawatan: 1. Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh dir Menayakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang pernah muncul pada pasien Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umumnya muncul pada pasien beresiko bunuh diri. 2. Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila pasien memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri. dengan pasien cara menyelesaikan

Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasian, antara lain : Memberikan tempat yang aman. Menenmpatkan pasien ditempat yang diawasi , jangan biarkan pasien mengunci diri di kamarnya atau jangan meninggalkan pasien dirumah Menjauhkan barang-barang yang bisa digunakan unyuk bunuh diri. Seperti: tsli, bahan bakar minyak, api, pisau atau benda tajam lainnya. Selalu mengadakan pengawasan dan peningkatan

pengawasan apabila tanda dan gejala bunuh diri meninggkat. Jangan pernah melonggarkan pengawasan, walaupun pasien tidak menunjukan tanda dan gejala untuk bunuh diri 3. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila pasien melakukan percobaan bunuh diri, antara lain: Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas mendapatkan bantuan medis. 4. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi pasien

Memberikan informasi tentang nomor telepon darurat tenaga kesehatan Menganjurkan keluarga untuk mengantar pasien berobat/ kontrol secara teratur untuk mengatasi masalah bunuh diri Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien minum obat sesuai prinsip lima benar yaitu benar obat, benar orangnya, benar dosisnya, benar cara penggunakannya, dan benar waktu pengguaannya.

STRATEGI PERTEMUAN PADA PASIEN RESIKO BUNUH DIRI NO Kemampuan Kompetensi Kemampuan Merawat Pasien 1. Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan pasien 2. Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan pasien

(SP1) 3. Melakukan kontrak Treatment 4. Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri 1. Mengidentifikasi Hal-hal positif yang dimiliki pasien (SP2) 2. Membantu pasien untuk berpikir positif terhadap diri sendiri 3. Mendorong pasien untuk menghargai diri sendiri sebagai individu yang berharga 1. Mengidentifikasi pola koping yang biasa diterapkan pasien (SP3) 2. Menilai pola koping yang biasa dilakukan 3. Mengidentifikasi pola koping yang kontstruktif 4. Mendorong pasien memilih pola koping yang kontstruktif 5. Menganjurkan pasien menerapkan pola koping yang kontstruktif dalam kegiatan harian Kemampuan Merawat Keluarga 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat (SP1) pasien 2. Menjelaskan pengertian, tanda, dan gejala resiko bunuh diri, dan jenis perilaku bunuh diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya 3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan (SP 2) resiko bunuh diri 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien resiko bunuh diri 1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk

(SP3)

minum obat 2. Menjalaskan follow up pasien dan rujukan

5. EVALUASI Di bawah ini tanda- tanda keberhasilan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dan keluarganya, berdasarkan perilaku bunuh diri yang ditampilkan. 1. Untuk pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaaan bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan pasien yang tetap aman dan selamat 2. Untuk keluarga pasien yang memberikkan ancaman atau melakukan percobaan bunuh diri keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga berperan serta dalam melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba bunuh diri 3. Untuk pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan: a.Pasien mampu mengungkapkan perasaan b.Pasien mampu meningkatkan harga diri c.Pasien mampu menggunkapkan cara penyelesaian masalah yangbaik 4. Untuk keluarga pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan resiko bunuh diri. Untuk itu diharapkan :

a. Keluarga mampu menyebutkan kembali tanda dan gejala bunuh diri b. Keluarga mampu memperagakan kembali cara-cara melindungi anggota keluarga yang beresiko bunuh diri c. Keluarga mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia dalam merawat anggota keluarga yang beresiko bunuh diri

Daftar Pustaka Jenny., dkk. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press. Sujono & Teguh. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta: Graha Ilmu.

Dalami , ermawati, S.Kp., dkk. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Jiwa. Jakarta : Trans Info Media. Hawari, D. (1990). Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif). Jakarta: FK-UI , (2003). Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif). Jakarta: FK-UI

Anda mungkin juga menyukai