Anda di halaman 1dari 18

DISKUSI TOPIK I Mengenali Avian Influenza/Swine Influenza dan penanganan yang tepat

Kenneth Karina Maharani P. M. Faisal Adam Swastya Dwi Putra Biyan Maulana Davrina Rianda

FKUI- RSUP Persahabatan April 2013 I. Pendahuluan


1

Kejadian infeksi human influenza A (H5N1) di Asia tenggara merupakan suatu wabah besar penyebab terjadinya avian influenza, walaupun epidemi avian influenza pada tahun 2004 dan 2005 jarang sebagai penyebab penyakit di manusia. Jumlah kasus terbanyak adalah di Vietnam, dan kematian manusia pertama dilaporkan di Indonesia. Jumlah infeksi yang terjadi di manusia belum dapat ditentukan dan studi seroprevalensi sangat dibutuhkan untuk mendapatkan data tersebut. Distribusi dari infeksi avian influenza ini semakin meluas ke seluruh dunia dengan data yang didapatkan baru-baru ini telah menjadi wabah di Kazakstan, Mongolia, dan Rusia mengindikasikan populasi manusia yang lebih besar sedang dalam risiko saat ini. II. Epidemiologi1 Virus avian influenza pertama kali ditemukan di negara Itali pada tahun 1878, saat itu virus ini menyebabkan epidemi penyakit yang disebut Fowl Plague pada ternak ayam dan memiliki angka kematian mencapai 100%. Pada tahun 1983-1984 di Amerika Serikat, terdapat kematian sekitar 17 juta ternak ayam yang mengakibatkan kerugian mencapai 70 juta dollar Amerika Serikat. Virus avian influenza pada awalnya hanya menyerang kelompok unggas, namun pada tahun 1997 ditemukan terdapatnya wabah flu burung yang disebabkan oleh virus avian influenza H5N1 yang patogen dan penularannya terjadi dari unggas ke manusia. Virus H5N1 lebih patogen dari subtipe lainnya sehingga disebut Highly Pathogenic H5N1 Avian Influenza (HPAI). Laporan pertama di negara Hongkong menunjukkan virus tersebut menyebabkan kematian sebanyak 6 penderita dari 18 buah kasus. Virus tersebut saat ini sudah terbukti juga dapat menginfeksi kucing, harimau, babi, dan macan tutul. Pada bulan Februari tahun 2003, terdapat subtipe dari virus avian influenza yaitu subtipe H7N7 yang mulai menyerang negara-negara di Eropa terutama Belanda dan mengakibatkan kematian sebanyak satu orang dari 89 penderita. Negara-negara di Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Laos mulai terserang wabah flu burung yang diakibatkan oleh virus H5N1 pada akhir tahun 2003 sampai awal tahun 2004. Usaha-usaha untuk menghentikan penularan juga sudah dilakukan seperti memusnahkan paling sedikit 100 juta ternak ayam. Wabah ini juga sudah mengakibatkan 24 penderita meninggal dari 35 orang yang terinfeksi. Selanjutnya wabah ini mulai menyebar ke negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Tingkat kewaspadaan di Indonesia akan wabah ini mulai meningkat baik di masyarakat maupun di institusi kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan lainnya sejak wabah ini mengakibatkan kematian seorang ayah dan kedua anaknya pada bulan Juli 2005. Sejak tahun 2003, penyebaran HPAI-H5N1 semakin meluas ke beberapa negara dan angka kematian yang tinggi. Dari hasil kajian secara genomik, terdapat beberapa jenis subtipe avian influenza namun dalam 6 tahun terakhir hanya subtipe H5, H7, dan H9 yang terbukti mampu menyebar dari unggas ke manusia. Diantara tahun 2003-2004 juga telah diidentifikasi 2 jenis genotipe baru dari HPAI yang menyebabkan wabah Kamboja, Vietnam, Laos, Thailand, Korea, Japan, China, Malaysia. Virus HPAI-H5N1 ini kemudian diisolasi dari beberapa korban yang meninggal di Vietnam dan didapatkan bahwa virus tersebut resisten terhadap Amantadine dan Rimantadine. Laporan terakhir oleh WHO pada Agustus 2006, menunjukkan terdapatnya 241 kasus yang 141 penderitanya meninggal dunia. Tabel 1. Kasus infeksi Highly Pathogenic H5N1 Avian Influenza (HPAI) yang dilaporkan WHO sampai bulan Agustus 20061 Negara 2003 kasus mati Azerbaijan 0 0 Cambodia 0 0 China 1 1 Djibouti 0 0 Egypt 0 0 Indonesia 0 0 Iraq 0 0 Thailand 0 0 Turkey 0 0 Vietnam 3 3 Total 4 4 2004 kasus mati 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17 12 0 0 29 20 46 32 2005 kasus mati 0 0 4 4 8 5 0 0 0 0 17 11 0 0 5 2 0 0 61 19 95 41 2006 kasus mati 8 5 2 2 12 8 1 0 14 6 43 35 2 2 2 2 12 4 96 64 Total kasus mati 8 5 6 6 21 14 1 0 14 6 60 46 2 2 24 16 12 4 93 42 241 141

III. Patogenesis2,3 III.1. Karakteristik Virus Avian Influenza Virus Influenza merupakan virus yang memiliki single-stranded RNA dan memiliki selubung. Virus ini termasuk ke dalam famili orthomyxoviridae dan diklasifikasikan menjadi tipe A, B atau C berdasarkan perbedaan antigen yang terdapat didalam inti dan protein matriks mereka.
3

Virus avian influenza termasuk ke dalam tipe A. Penentu utama dari virus influenza tipe A adalah hemaglutinin dan neuraminidase dari glikoprotein transmembran, yang dapat menginduksi suatu respon imun bila dikenali oleh sistem imun saat terjadi infeksi. Berdasarkan sifat antigenik dari glikoprotein ini virus influenza A dibagi menjadi 16 tipe H (H1-16) dan 9 tipe N (N1-9).

Gambar 1. Avian Influenza Viral2

Hanya beberapa Virus Flu tipe A yang umumnya saat ini menyerang manusia, yaitu H1N1, H1N2, dan H3N2, H5N1. Sedangkan beberapa sub-tipe umumnya terdapat pada hewan, sebagai contoh H7N7 dan H3N8 yang menyebabkan penyakit flu pada kuda.

Gambar 2. Subtipe Viral dalam Host yang berbeda2 Suatu studi yang mengisolasi virus avian influenza A (H5N1) dari seorang pasien pada tahun 1997 mendapatkan bahwa faktor virulensi dari virus ini adalah hemaglutinin yang udah terbelah dan teraktivasi oleh protease sel, hal ini akan menyebabkan substitusi spesifik dari protein dasar polimerase (Glu627Lys) yang akan meningkatkan dan mempercepat proses replikasi dan substitusi pada protein nonstruktural (Asp92Glu) yang akan menyebabkan resistensi dari interferon dan TNF a.
4

Sejak studi tersebut diketahui bahwa virus ini dapat selalu berubah dengan mengubah sifat antigenisitasnya dan gen sehingga dapat menginfeksi unggas lebih luas dan mampu untuk menginfeksi manusia. Virus avian influenza ini dapat selalu berubah. Perubahan ini dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu antigenik drift dan antigenik shift. Cara Berubah pertama ialah antigenik drift, dimana virus berubah sedikit demi sedikit secara terus menerus dalam waktu yang lama. Proses Drift antigenik menghasilkan virus strain baru yang tidak dapat dikenali oleh antibodi virus yang lama. Perubahan ini terjadi secara terus menerus. Hal ini yang menyebabkan seseorang dapat terserang flu beberapa kali. Cara perubahan lain ialah dengan cara antigenik shift, yaitu perubahan yang secara tiba-tiba pada Virus influenza A, dan menghasilkan Virus yang baru yang dapat menginfeksi manusia. Perubahan terjadi pada protein permukaan virus yaitu hemmaglutinin dan Neuroamidase sehingga akan teridentifikasi oleh manusia. Bila strain baru ini masuk menginfeksi manusia, dan manusia tidak mempunyai kekebalan atau perlindungan dari strain yang baru, dan virus dapat menyebar dari satu manusia ke manusia lain, maka dapat terjadi suatu wabah besar yang dinamakan pandemi. Virus dapat mengenali reseptor dan menempel pada reseptor tersebut dengan menggunakan glikoprotein permukaan yaitu hemaglutinin dan neuraminidase tersebut dengan mengenali suatu asam sialat yang berikatan dengan galaktosa yang membentuk sialiloligosakarida pada permukaan sel. Dan bila telah mengenali reseptor, virion akan masuk membentuk suatu endosom dengan mekanisme clathrin-dependent and independent. Virus akan menghindari dari degradasi dengan melakukan fusi dengan endolisomal membran, proses ini dimediasi oleh transport proton melalui saluran matriks 2 virus (M2) saat pH di endosom sekitar 5. Sehingga akan membentuk suatu kompleks antara matrix 1 dan HA glikoprotein yang bersifat lipofilik yang selanjutnya akan mudah untuk fusi dengan lisosom. Selanjutnya segmen RNA akan terlepas ke dalam sel inang.di sini akan terjadi transkripsi dan replikasi virus. Proses ini akan memproduksi virus dalam jumlah yang lebih banyak. Proses pembentukan kapsul virus berasal dari membran sel. III.2. Respon Imun Tubuh Pada pasien yang terinfeksi dapat ditemukan kadar TNF a, interferon dan interleukin 2 meningkat pada darahnya. Selain itu pada pemeriksaan tahun 2003, peningkatan kemokin chemokines interferon-inducible protein 10, monocyte chemoattractant protein 1, and monokine yang diinduksi oleh interferon ditemukan pada pasien dengan onset penyakit 3-8
5

hari. Sekarang ini ditemukan bahwa kadar plasma dari mediator inflamasi IL-6, IL-8 IL-1 dan monocyte chemoattractant protein 1 ditemukan lebih tinggi pada pasien yang telah meninggal dibandingkan dengan yang masih hidup serta kadar dari interferon yang mencapai 3 kali lipat.

Gambar 3. Respon imun tubuh terhadap infeksi2 IV. Histopatologi2,3 Analisis pasien postmortem ditemukan keadaan paru yang rusak dan dengan perubahan hipstopatologi berupa kerusakan alveolus yang difus. Perubahan tersebut mencakup pengisian dari alveolus dengan eksudat fibrin dan sel darah, pembentukan membran hialin, kongesti pembuluh darah, infiltrasi limfosit ke jaringan interstisial dan proliferasi dari fibroblas. Biopsi sumsum tulang menunjukkan adanya histiosit yang reaktif denan hemofagositosis dan deplesi imfoid serta terdapat limfosit atipikal yang didapatkan di limpa dan jarngan limfoid pada autopsi. Nekrosis hati dan nekrosis tubular ditemukan pula pada beberapa kasus.

V. Transmisi4 Sebagian besar kasus infeksi HPAI disebabkan oleh penularan dari unggas ke manusia. Penularannya dapat melalui berbagai cara seperti kontak langsung dengan unggas yang sakit, udara yang tercemar virus avian influenza, dan kontak dengan kotoran atau air liur unggas yang sakit. Selain itu penularan dapat juga melalui alat-alat peternakan yang terkontaminasi dengan virus flu burung. Pada kasus di negara Hongkong pada tahun 1997 yang mengakibatkan 6 kematian dari 18 kasus terbukti adanya kontak langsung penderita dengan unggas yang terinfeksi. Selain itu menurut penelitian, tidak ada risiko yang ditimbulkan
6

apabila mengkonsumsi daging unggas yang telah dimasak dengan baik dan matang. WHO menyarankan untuk memasak daging sampai matang seluruhnya sehingga seluruh bagian daging mencapai suhu internal 70oC. Pada suhu ini, virus avian influenza akan terinaktivasi. Selain itu juga sudah dilakukan penelitian-penelitian untuk mengetahui risiko terinfeksi H5N1 pada peternak unggas, risiko terinfeksi H5N1 pada tenaga kesehatan yang menangani avian influenza A, dan risiko penularan H5N1 pada hewan lainnya dengan cara memberikan daging unggas pada beberapa hewan seperti kucing, harimau, babi, danmacan tutul. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa hewan yang memakan daging tersebut mengalalmi kelainan paru berupa pneumonia, severe diffuse alveolar damage yang mengakibatkan kematian. Transmisi dari manusia ke manusia sangat jarang ditemukan namun ada 2 kemungkinan yang dapat menghasilkan subtipe baru dari H5N1 dan menyebabkan penularan dari manusia ke manusia: 1. Virus yang menginfeksi tersebut bermutasi dan beradaptasi untuk mengenali linkage RNA pada manusia. Virus tersebut mendapatkan gen dari virus influenza manusia sehingga dapat bereplikasi secara efektif di dalam sel manusia 2. Virus avian influenza dan human influenza bersama-sama menginfeksi manusia sehingga terjadi rekombinasi genetik dan menghasilkan strain virus baru yang sangat virulen bagi manusia. Walaupun belum diketahui secara pasti dimana fase penularan antara manusia dan manusia, pencegahan transmisi antara manusia dan manusia perlu mendapatkan perhatian serius karena terdapatnya laporan adanya korban yang terinfeksi setelah menangani pasien yang terinfeksi H5N1. Suatu penelitian menunjukkan bahwa mutasi dari H5N1 kemungkinan menyebabkan varian virus H5N1 baru yang dapat mengenali reseptor spesifik yang ada pada sel manusia ( natural human 2-6 glycan) dan bila hal ini terjadi akan sangat mudah penularan antara manusia dan manusia. VI. Gejala Klinis5,6,7
Jika Avian Inflluenza (AI) mengenai unggas, maka gejala klinis yang dapat tampak berupa: Balung dan pial membengkak dengan warna kebiruan Perdarahan merata pada kaki berupa bintik merah (petekhie) atau tampak seperti kaki kerokan Adanya sekresi hidung dan mata 7

Keluarnya cairan eksudat jernih hingga kental dari rongga mulut Telapak kaki tampak bengkak dan berbintik merah Diare berat Haus berlebihan Kerabang telur lembek Angka mortalitas tinggi mendekati 100% (kematian dalam waktu 2 hari, maksimal 1 minggu)

Gambar 3. Manifestasi Klinis pada Unggas5 Sementara itu, jika mengenai manusia, AI dapat menampakkan gejala klinis dengan spektrum ringan, infeksi subklinik, dan atipikal seperti ensefalopati dan gastroenteritis. Umumnya, sebelum menderita penyakit, pasien merupakan anak-anak dan dewasa yang sehat. Masa inkubasi biasanya berlangsung dalam 2-8 hari. ejala awal yang muncul adalah demam tinggi dengan suhu mencapai 38 o C dan sakit menyerupai influenza dengan gejala saluran napas bawah. Terkadang, dapat pula muncul gejala saluran napas atas. Pasien dengan virus avian influenza A (H7) lebih sering mengalami konjungtivitis dibandingkan dengan avian influenza A (H5N1). Selain itu, pada masa-masa awal, dapat pula ditemukan diare, muntah, nyeri perut, nyeri pleuritis, dan perdarahan hidung dan gusi. Diare cair tanpa darah atau tanpa tanda inflamasi yang menyertai gejala resipiratorik lebih sering ditemukan dibandingkan pada kasus 8

influenza biasa. Ensefalopati dan diare tanpa gejala respiratorik dapat juga ditemui pada AI, meski kasusnya sangat jarang. Tabel 2. Manifestasi Klinis pada Pasien dengan Avian Influenza A (H5N1) 6

Selanjutnya, setelah 5 hari dari onset awal penyakit, manifestasi saluran napas bawah akan memberat dan dapat disertai dengan sesak napas (interval kemunculan 1 16 hari). Takipneu dan ronki pada inspirasi juga menjadi temuan setelah fase awal. Produksi sputum bervariasi pada pasien, namun demikian dapat pula ditemui darah pada dahak. Hampir seluruh pasien memiliki tampakan pneumonia, seperti perubahan radiografi yang meliputi infiltrat difus, multifokal, dan patchy, konsolidasi lobular atau segmental dengan air bronchograms. Perubahan radiografis ini dapat ditemui 7 hari setelah onset demam di awal penyakit. Kondolidasi multifokal yang melibatkan minimal 2 zona juga merupakan abnormalitas yang sering ditemui. Jarang ditemukan adanya efusi pleura. Terbatasnya data mikrobiologis juga mengindikasikan bahwa kondisi ini disebabkan oleh virus, biasanya tanpa disertai superinfeksi bakteri pada masa awal hospitalisasi. Tabel 2. (Lanjutan)6

Progresi menuju gagal napas diasosiasikan dengan infiltrat difus, bilateral, dan bersifat ground-glass apperance. Hal inilah yang menjadi manifestasi dari acute respiratory distress syndrome (ARDS) yang dapat terjadi dalam hari ke 4 hingga 13 dari manifestasi awal. Kerusakan multiorgan, seperti disfungsi renal dan cardiac compromise (dilatasi jantung, dan supraventricular tachyarrhytmia) dapat ditemui. Komplikasi lainnya berupa ventilator-associated pneumonia, perdarahan paru, pneumotoraks yang dapat ditemui pada pasien dengan ventilasi mekanik, pansitopenia, Reyes syndrome, dan sindrom sepsis tanpa adanya data bakterimia. Pada tahun 2005, setengah dari pasien yang didiagnosis mengalami AI meninggal dunia. Gejala yang lebih berat diasosiasikan dengan usia lanjut, terlambatnya hospitalisasi, keterlibatan saluran napas bawah, dan limfopenia saat masuk rumah sakit. Namun demikian, karena strain H5N1 berkembang selama 10 tahun, maka manifestasi klinis pada setiap pasien dapat memiliki karakteristik yang berbeda-beda di perjalanan penyakitnya. VII. Diagnosis8,9,10

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium umum

Pemeriksaan darah lengkap. Biasanya pada orang yang terkena AI akan mendapatkan
10

Limfopeni dan trombositopeni (ditemukan hampir pada seluruh kasus) ataupun eningkatan enzim hati (SGOT dan SGPT), selain itu peningkatan urea-N dan kreatinin. Pemeriksaan khusus Rapid test dapat juga ditemukan

Rapid test untuk flu burung prinsipya hampir sama dengan yang rapid test lainnya. terdapat kode C (kontrol) dan kode T (tes) yang sudah dideteksi antibodi virus flu burung yang dapat mendeteksi antigen virus. Hemaglutinasi inhibisi

Alat ini digunakan untuk melihat antobodi terhada Hemaglutinin. Uji ini lebih sensitif dari apda rapid test dan cukup murah, meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama, yaitu 3 hari. AGP (agar Gel Presipitation)

Prinsip Alat ini digunakan adalah melihat reaksi antibodi terhadap Neuraminidase Virus Netralisasi Isolasi Virus PCR

Foto dada Gambaran radiologis abnormal ditemukan 3-17 hari setelah timbul demam (median 7 hari)

Infiltrat difus multifokal atau berbercak Infiltrat interstisial Konsolidasi segmental atau lobar Progresivitas menjadi gagal napas: infiltrat ground-glass, difus, bilateral dan manifestasi ARDS (rentang 4-13 hari)

Pemeriksaan postmortem Ditemukan kerusakan multi organ, koagulasi intravaskular diseminata, nekrosis dan atrofi jaringan limfoid. Diagnosis Dini Seseorang dicurigai mengalami infeksi AI jika menunjukkan gejala PSI disertai adanya kontak dengan unggas atau riwayat berada di daerah endemis AI. Untuk deteksi dini kasus AI dapat digunakan alur yang disusun oleh IDAI
11

Gambar 4. Bagan Deteksi Dini Avian Influenza Definisi Kasus AI H5N1 1. Kasus suspek Kasus suspek adalah seseorang yang menderita infeksi saluran respiratorik atas dengan gejala demam (suhu 380 C), batuk dan atau sakit tenggorokan, sesak napas dengan salah satu keadaan di bawah ini dalam 7 hari sebelum timbul gejala klinis:

Kontak erat dengan pasien suspek, probable, atau confirmed seperti merawat, berbicara atau bersentuhan dalam jarak <1 meter. Mengunjungi peternakan yang sedang berjangkit KLB flu burung. Riwayat kontak dengan unggas, bangkai, kotoran unggas, atau produk mentah lainnya di daerah yang satu bulan terakhir telah terjangkit flu burung pada unggas, atau adanya kasus pada manusia yang confirmed.

Bekerja pada suatu laboratorium yang sedang memproses spesimen manusia atau binatang yang dicurigai menderita flu burung dalam satu bulan terakhir.
12

Memakan/mengkonsumsi produk unggas mentah atau kurang dimasak matang di daerah diduga ada infeksi H5N1 pada hewan atau manusia dalam satu bulan sebelumnya.

Kontak erat dengan kasus confirmed H5N1 selain unggas (misal kucing, anjing). Ditemukan leukopeni < 5000 Titer antibodi terhadap H5 dengan uji menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA untuk influenza tipe A tanpa subtipe Foto tohraks: pneumonia yang cepat memburuk pada serial foto

Atau bisa dilihat dari adanya: kematian akibat ARDS yang tidak diketahui penyebabnya dnegan salah satu keadaan di bawah ini:

Leukopeni atau limfositopenia dengan atau tanpa trombositopenia Foto thoraks menggambarkan pneumonia atipikal atau infiltrat di kedua sisi paru yang meluas pada foto

2. Kasus probable Adalah kasus suspek disertai salah satu keadaan:

Infiltrat atau terbukti pneumonia pada foto dada + bukti gagal napas (hipoksemia, takipnea berat) ATAU Bukti pemeriksaan laboratorium terbatas yang mengarah kepada virus influenza A (H5N1), misalnya tes HI yang menggunakan antigen H5N1. Dalam waktu singkat, gejala berlanjut menjadi pneumonia atau gagal napas /meninggal dan terbukti tidak terdapat penyebab yang lain.

3. Kasus konfirmasi Adalah kasus suspek atau kasus probable didukung salah satu hasil pemeriksaan laboratorium di bawah ini:

Isolasi/Biakan virus influenza A/H5N1 positif PCR influenza A H5 positif Peningkatan titer antibodi netralisasi sebesar 4 kali dari spesimen serum konvalesen dibandingkan dengan spesimen serum akut (diambil 7 hari setelah muncul gejala penyakit) dan titer antibodi konvalesen harus 1/80

Titer antibodi mikronetralisasi untuk H5N1 1/80 pada spesimen serum yang diambil pada hari ke 14 atau lebih setelah muncul gejala penyakit, disertai hasil positif uji
13

serologi lain, misal titer HI sel darah merah kuda 1/160 atau western blot spesifik H5 positif. VIII. Tatalaksana Tatalaksananya menggunakan pengobatan antivirus influenza yang khusus dapat digunakan pada avian influenza. Antivirus yang ada dan digunakan pada influenza A, hanya neuramidase inhibitor yaitu oseltamivir, dan zanamivir yang efektif untuk influenza B. kesemua jenis obat tersebut efektif digunakan saat beberapa jam setelah munculnya gejala dan telah ditetapkan secara luas untuk penggunaan kurang dari 48 jam setelah onset gejala. Obat pilihan untuk virus H5N1 adalah neuramidase inhibitor, oseltamivir atau biasa dikenal dengan Tamiflu. Neuramidase inhibitor bekerja dengan meniru sialic acid virus, yaitu substrat natural dari neuramidase. Setiap virus influenza membawa dua jenis glikoprotein pada permukaannya, yaitu hemagglutin dan neuramidase, yang juga merupakan antigen yang menentukan jenis strain virus. Variasi pada molekul ini dari waktu kewaktu memungkinkan virus untuk menghindari respon imun manusia dan karenanya memerlukan perumusan vaksin baru tiap tahun. Hemaggluutinin adalah reseptor sialic acid yang berfungsi sebagai ikatan molekul dan memediasi masuknya virus ke dalam sel target. Neuramidase berfungsi sebagai pemotong residu selular-reseptor sialic acid, yang dimana merupakan tempat terikatnya partikel baru terbentuk. Pemotongan tersebut melepaskan virus sehingga dapat menginvasi sel lain.

Gambar 5. Cara Kerja Antiviral Avian Influenza


14

Beberapa studi menyebutkan bahwa penggunaan neuramidase inhibitor saat masih 36-48 jam setelah onset gejala.efek sampingnya bersifat jarang yaitu sekitar 4,1%. Efek samping yang biasa terjadi umumnya pada saluran gastrointestinal. Selain obat tersebut obat golongan adamantanes (amantadine dan rimantadine) dapat juga digunakan, tetapi obat ini tidak direkomendasikan karena mudah sekali terjadi resistensi. Obat ini juga terkait dengan toksisitas yang lebih berat dibandingkan neuramidase inhibitor. Golongan adamante bekerja dengan menghambat uncoating virus didalam sel. Rekomendasi dari World Heath Organization untuk tatalaksana avian influenza adalah: Pasien yang dicurigai H5N1 perlu diberikan neuramidase inhibitor, selama menunggu hasil lab Drug of choice adalah oseltamivir (Tamiflu), dengan obat pilihan kedua adalah zanamivir Dosis oseltamivir dapat ditingkatkan pada kasus yang parah dan masa pengobatan diperlama Tatalaksana menggunakan oseltamivir tetap menguntungkan untuk infeksi yang telah terjadi pada 8 hari atau lebih sebelum pemberian obat Pada kasus yang parah tatalaksana ventilator suportif dan intensive care perlu dilakukan.

IX. Prevensi Prevensi membutuhkan guide yang lengkap dan jelas yang melingkupi suatu wiilayah berdasarkan data hasil penelitian yang baku. Penyebaran avian influenza di Indonesia tersebar pada daerah daerah tertentu. Secara umum daerah dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: Daerah tertular diagnosis Daerah terancam tertular Daerah bebas : Daerah yang tidak pernah tertular atau ada batasan yang membuat tidak mungkin tertular langsung Prinsip dasar pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan avian influenza menurut pemerintah adalah: Mencegah kontak antara hewan peka dan virus avian influenza Menghentikan produksi virus avian influenza oleh unggas tertular
15

: Daerah yang positif avian influenza melalui berbagai metode : Daerah yang tidak ada kasus, tetapi berbatasan dengan daerah

Meningkatkan resistensi dengan vaksin Menghilangkan sumber penularan virus Peningkatan kesadaran masyarakat Peningkatan biosekuriti o Biosekuriti adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan kontak/penularan dengan peternakan tertular atau penyebab penyakit o Tindakan biosekuriti: Pengawasan lalulintas ternak, isolasi peternakan tertular, dan lokasi tempat menampung unggas tertular Mensucihamakan pakan, limbah, peralatan, kendaraan, dan berbagai tempat atau bangunan yang kemungkinan tertular Disinfektan yang digunakan adalah: asam perasetat, hidroksiperoksida, sediaan amonium kuartener, formaldehyde, iodine, fenol, atau natrium/kalium hipoklorid

Hal tersebut diatas dilakukan melalui 9 tindakan yaitu:

Vaksinasi o Vaksin yang digunakan adalah berupa homolog dengan strain lapangan yang di nonaktifkan o Target vaksin adalah secara masal dilakukan pada seluruh unggas sehat yang berada di daerah tertular atau terancam

Depopulasi di daerah tertular o Pemusnahan selektif dan disposal Pengendalian lalu lintas o Pengaturan penuh terhadap keluar masuk unggas hidup, telur, produksi unggas, dan limbah peternakan

Surveillans dan penelusuran o Kegiatan penelusuran untuk menentukan sumber infeksi dan menahan secara efektif penyebaran penyakit

Pengisian kandang kembali o Pengisian unggas kembali setidaknya 1 bulan setelah dilakukan pengosongan kandang dan setelah semua tindakan dekontaminasi dan disposal telah dilaksanakan sesuai prosedur
16

Pemusnahan menyeluruh di daerah tertular baru o Pemusnahan menyeluruh pada daerah tertular baru pada unggas yang sakit dan sehat, dan juga pada unggas yang berada dala radius 1 km dari peternakan tertular.

Peningkatan kesadaran masyarakat o Tindakan sosialisasi kepada masyarakat dan peternak agar memperoleh informasi secara benar mengenai seluruh informasi virus avian influenza

Monitoring dan evaluasi

Pada poin biosekuriti, terdapat standar operasional untuk pegawai atau dokter yang bekerja di peternakan unggas, yaitu: Menggunakan sarung tangan, masker hidung, baju kandang, sepatu boot, tutup kepala, serta mencuci tangan setelah bekerja Para pengunjung harus menggunakan pakaian pelindung sesuai dengan standar dan tidak berkunjung dari peternakan tertular ke peternakan yang aman Berdasarkan bukti ilmiah dari Departemen Kesehatan RI dan Departemen Peternakan RI tanggal 5 februari 2004, menyatakan bahwa virus avian influenza tipe H5N1 tidakd apat ditularkan dari unggas ke manusia melalui makanan. Meskipun begitu cara pemasakan yang baik juga penting untuk mencegah penularan.

Daftar Pustaka 1. WHO. 2006: Cumulative Number of Confirmed Human Cases of Avian Influenza A/ (H5N1) ndex.htm. 2. Beigel JH, Farrar J, Hayden GF. Avian Influenza A (H5N1) infections in humans. N Engl J Med 2005;353:1374-85. 3. Kamps BS, Hoffman C, Preiser W. Influenza Report. German: Flying Publisher; 2006. Pg.49-73. 4. Kumala W. Avian Influenza: Profil dan Penularannya pada Manusia. Universa Medicina. Jakarta; Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti: 2005. Hal. 184-9. 5. Utomo BN. Mengenal penyakit flu burung. Palangka Raya: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian; 2004. h. 7-8.
17

Reported

to

WHO,

28

Agustus

2006.

Available

from

http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/country/cases_table_2006_08_23/en/i

6. Beigel JH, Farrar J, Hayden GF. Avian Influenza A (H5N1) infections in humans. N Engl J Med 2005;353:1374-85. 7. Kamps BS, Hoffman C, Preiser W. Influenza Report. German: Flying Publisher; 2006. Pg.49-73.
8. International Child Health [Internet]. Flu Burung: Diagnosis. [diunduh pada Kamis,

11 April 2013]. Available on: http://www.ichrc.org/4111-flu-burung-diagnosis 9. Tamher. Flu Burung: Aspek Klinis dan Epidemiologis. Jakarta: Salemba Medika; 2008. p.44-6. 10. Yuliarti. Menyingkap Rahasia Flu Burung. Yogyakarta: Andi Publishing. 2006. p.235.

18

Anda mungkin juga menyukai