Anda di halaman 1dari 17

Skenario Seorang laki-laki berusia 38 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sulit menelan, demam, banyak air liur,

leher kiri membengkak. Pada pemeriksaan suhu 37,5 oC, N 85x/menit, RR 100x/menit. Pemeriksaan uvula terdorong ke sisi sehat, tonsil edema, bengkak.

Pendahuluan Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring. Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.1

Anamnesis Keluhan pada faring yang paling umum adalah sakit tenggorokan, ada secret di tenggorok, perasaan ada benjolan, rasa penuh dan bengkak dan kesulitan menelan (disfagia). Sakit tenggorokan2 1. Frekuensi?

2. Lamanya tiap serangan? 3. Apakah sakit tenggorokan disertai demam, secret, ekspektorasi, kesulitan menelan, kesulitan bernapas, perubahan suara atau batuk 4. Lokasi dan lamanya pembengkakan eksterna 5. Apakah ada nyeri alih misalnya nyeri telinga? Jika ada sisi yang mana? 6. Pengobatan apa yang diberikan sebelumnya? 7. Apakah pasien perokok? Berapa banyak? Secret di tenggorok2 1. 2. 3. 4. 5. Lamanya secret? Apakah secret mukoid, purulent atau bercampur daeah Apakah banyak atau sedikit Apakah secret dibatukkan atau diludahkan Apakah bertambah buruk saat bangun pagi

Kesulitan menelan (disfagia)2 1. 2. 3. 4. Lamanya (minggu, bulan, atau tahun) Apakah semakin sulit menelan Apakah disertai atau tanpa nyeri pada saat menelan termasuk juga nyeri ulu hati Bagaimana dengan makanan biasa? Apakah sumbatan bertambah bila menelan cairan atau makanan padat? 5. Dimana kira-kira letak sumbatan? (minta pasien melnunjukkan letaknya) 6. Adakah regurgitasi? Apakah berbau? 7. Apakah berat badan pasien menurun? Jika benar, berapa banyak? Gejala-gejala nasofaring dapat berupa hidung berair atau sumbatan pernapasan hidung. Muara eustachius dapat tersumbat mengakibatkan hilangnya pendengaran. Pada setiap orang dewasa dengan cairan telinga tengah unilateral harus dilakukan pemeriksaan nasofaring yang teliti untuk mencari neoplasma. Pemeriksaan Fisik Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan bibir, mukosa rongga mulut, lidah, dan gerakan lidah. Dengan menekan bagian tengah lidah memakai spatula lidah maka bagian-bagian rongga mulut lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan melihat keadaan dinding belakang faring serta kelenjar limfanya, uvula, arkus faring serta gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi, dan gigi geligi. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa

tumor, kista, dan lain-lain. Apakah ada rasa nyeri di sendi temporo mandibula ketika membuka mulut. Pada kasus Abses Peritonsil, kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkk, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.
3

Gambar 5. Pemeriksaan faring

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer. Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternative pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic.4

Gambar 1. Intraoral ultrasonografi Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan lokasi abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer.
3

Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi computer.4
ABSES

Gambar 2. Tomografi Komputer Abses Peritonsil Pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos dalam mengevaluasi abses peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi dapat membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil.

Differential diagnosis 1. Abses submandibula : Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.5 Ruang submaksila selanjutnya di bagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila oleh otot digastrikus anterior. Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. Etiologi Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain, kuman penyebab bisa aerob dan anaerob. Sebelum ditemukan antibiotika, penyebab tersering infeksi leher dalam adalah faring dan tonsil, tetapi sekarang adalah infeksi gigi. Infeksi gigi merupakan penyebab yang terbanyak kejadian angina Ludovici (52,2%), diikuti oleh infeksi submandibula (48,3%), dan parafaring. Kuman aerob yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Neisseria sp, Klebsiella sp, Haemophillus sp. Pada kasus

yang berasal dari infeksi gigi, sering ditemukan kuman anaerob Bacteroides melaninogenesis, Eubacterium Peptostreptococcus dan yang jarang adalah kuman Fusobacterium. Patofisiologi : Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya. Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu limfatik, melalui celah antara ruang leher dalam dan trauma tembus.

Manifestasi klinik : Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.

Penatalaksanaan : Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi local untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses. Pasien di rawat inap sampai 1-2 hari gejalan dan tanda infeksi reda.

2. Abses retrofaring : Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius dan telinga tengah. Pada usia 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi. Etiologi : Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring dan trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan, atau tindakan medis seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi.

Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas juga dapat menyebabkan terjadinya abses retrofaring. Manifestasi klinik : Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring, dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara, sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya Riwayat batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah demam, sukar dan nyeri menelan, rasa sakit di leher ( neck pain ), keterbatasan gerak leher dispnea.6 Penatalaksanaan : Terapi abses retrofaring adalah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai terapi medikamentosa diberikan antiboituka dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral, selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopo langsung dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia local atau anastesia umum. Pasien di rawar inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

3. Abses Parafaring Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara: 1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarung pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarung suntik yang telah

terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (M. Konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris

2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring 3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, submandibula Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT scan. Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endiflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia. Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadpa kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intraoral. Insisi dari luar dilakukan 2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior M. Sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depam M. Sternokleidomastoideus (cara Mosher). Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus M. Konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

Working Diagnosis Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan penatalaksanaan. Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus. Palatum mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke arah kontra lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya. Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer. Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic. Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan lokasi abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi komputer. pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos dalam mengevaluasi tonsil.7 abses peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan

ultrasonografi dapat membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis

Etiologi Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob. Beberapa penelitian dengan mengisolasi bakteri menunjukkan Streptococcus viridians merupakan penyebab terbanyak

infeksi abses peritonsil, diikuti oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Bakteri anaerob dan Streptococcus gram positif telah diidentifikasi sebagai agen etiologi umum.4,8 Table 1. Common organism abscess8 Aerobic bacteria Group A streptococcus Staphylococcus aureus Haemophilus influenza associated with peritonsillar Anaerobic bacteria Fusobacterium Peptostreptococcus Pigmented Prevotella

Epidemiologi Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis pada abses akut orang merupakan untuk Di

predisposisi berkembangnya

peritonsiler.

Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000
Gambar 9. Uvula terdorong ke sisi kontralateral.4

kasus setiap tahun. Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).9

Patofisiologi Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang

umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.9 Patologi Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior. Pada stadium permulaan (Stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.7

Manifestasi klinik Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa pembengkakan awal hampir selalu berlokasi pada daerah palatum mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis.

10

Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40C), lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid. Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti mengulum kentang panas (hot potatos voice) karena penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut. Hot potato voice merupakan suatu penebalan pada suara. Table 2. Common symptoms and physical finding in patients with peritonsillar abscess Symptoms Physical findings Fever Erythematous, swollen soft Malaise palate Severe sore throat with uvula deviation to (worse on one side) contralateral Dysphagia side and enlarged tonsil Otalgia (ipsilateral) Trismus Drooling Muffled voice (hot potato voice) Rancid or fetor breath Cervical lymphadenitis

Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena.2,8 Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan

11

terdorongnya uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.2 Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.2,4,8

Penatalaksanaan Terapi : Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, obat simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesia (local), dengan menyuntikkan xylocain atau novocain 1% di ganglion sfenopalatinum. Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dan konkha media. Ganglion sfenopalatinum mempunyai cabang nervus palatina anterior, media dan posterior yang mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di atas tonsil. Daerah yang paling tepat untuk insisi mendapat inervasi dari cabang palatinum nervus trigeminus yang melewati ganglion sfenopalatinum. Medikamentosa : Pasien yang dehidrasi diberi cairan intravena. Antibiotika sebaiknya diberikan sesuai dengan hasil kultur dan diberikan secara iv karena efektivitasnya lebih baik daripada peroral. Pilihan terbaik adalah Cephalexin atau golongan cephalosporin (dengan atau tanpa metronidazole). Alternative terapi lainnya adalah penisilin 600.000 1.200.000 unit, Cefuroxime atau cefpodoxime (dengan atau tanpa metrondazole), Clindamicin 2-3 x 500 mg/hari atau ampisilin 3-4 x 250 500 mg/hari, amoxilin dengan asam clavulanate 3 x 500 mg/hari. Metronidazole 3-4 x 250 500 mg/hari. Pengobatan antibiotika diberikan 7 10 hari Analgetik antipiretik

12

paracetamol 3-4 x 250 -500 mg/hari , dan diobati kumur antiseptic. Penggunaan steroid masih controversial. Studi yang dilakukan Ozbeck dengan memberikan dexamethasone IV single dose dan antibiotika parenteral memberikan hasil yang baik dimana waktu dirawat di rumah sakit lebih singkat dan nyeri tenggorokan, demam serta trismus lebih cepat mereda dibandingkan dengan pemberian antibiotika parenteral.10 Drainase : Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan tehnik aspirasi jarum atau dengan tehnik insisi dan drainase. Kesulitan dapat timbul dalam memastikan apakah hubungan dengan selulitis akut atau pembentukan abses yang sebenarnya telah terjadi. Jika ragu-ragu , jarum ukuran 17 dapat dimasukkan (setelah aplikasi dengan anestesi semprot) ke dalam tida lokasi yang tampaknya paling mungkin untuk menghasilkan aspirasi pus. Jika pus ditemukan secara kebetulan, metode ini mungkin cukup untuk drainase dengan diikuti antibiotic.Jika jumlah pus banyak ditemukan dan tidak cukup didrainase dengan metode ini ,insisi yang lebih jauh dan drainase dapat dilakukan. Jika tidak ditemukan pus, tampaknya ini masih berhubungan dengan selulitis dibandingkan abses. Mereka yang menolak tehnik ini berpatokan pada kenyataan bahwa 30% dari abses terdapat pada sisi inferior dari fossa tonsilaris dan tidak dapat dicapai dengan menggunakan tehnik jarum. Tehnik insisi dan drainase membutuhkan anestesi local. Pertama faring disemprot dengan anestesi local , kemudian 2 cc xylocain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan. Pisau tonsil nomor 12 atau nomor 11 dengan plester untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fossa tonsilaris. Hemostat tumpul diamsukkan melalui insisi ini dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsila sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat pembedahan drainase untuk abses peritonsil mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fossa nasalis. Hal nin kadang kadang mengurangi nyeri dan trismus. Anak-anak yang lebih muda membutuhkan anestesi umum. Menganjurkan tonsilektomi segera ( tonsilektomi quinsy ) merasa bahwa ini merupakan prasedur yang aman yang membantu drainase sempurna dari abses jika tonsil diangkat. Hal ini mengurangi kebutuhan tonsilektomi terencana yang dilakukan enam minggu kemudian , dimana

13

saat itu sering terdapat jaringan parut dan fibrosis dan kapsul tonsilaris kurang mudah dikenali.11 Tonsilektomi Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang kontroversial sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil adalah karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya kekambuhan.2,4,8 Sementara insisi dan drainase abses merupakan tindakan yang paling banyak diterima sebagai terapi utama untuk abses peritonsil, beberapa bentuk tonsilektomi kadang-kadang dilakukan. Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi:8 1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera /bersamaan dengan drainase abses. 2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase. 3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase. Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah rekurensi abses peritonsil. Pada masa lalu, orang berpendapat operasi harus dilakukan 2-3 minggu setelah infeksi akut berkurang. Tetapi setelah 2-3 minggu, menimbulkan bekas luka yang terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan menimbulkan perdarahan serta sisa tonsil.4,8 Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil, dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang sama dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy). Beberapa keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:2 1. 2. 3. 4. 5. Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit. Memberikan drainase pus yang lengkap. Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang timbul. Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit) Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak enak mengalami prosedur yang lain (insisi dan drainase)

Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:2 1. Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi. 2. Dapat terjadi trombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis. Indikasi tonsilektomi segera, yaitu :2

14

1. Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus atau abses yang berlokasi di kutub bawah. 2. Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring, dengan resiko meluas ke daerah leher dalam. 3. Penderita dengan DM (Diabetes Melitus) yang memerlukan toleransi terhadap terapi berbagai antibiotika. 4. Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat, karena abses akan sangat mudah meluas ke daerah leher dalam. Pada umumnya insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12 minggu kemudian adalah prosedur terapi abses peritonsil. Pasien harus dilakukan operasi 2-3 hari setelah infeksi terkontrol jika ukuran luka pada abses yang pecah spontan kurang dari 2,5 cm. Namun, bila ukuran luka pada abses yang pecah spontan lebih dari 2,5 cm maka tindakan operasi harus dilakukan segera dengan tetap memperhatikan kondisi umum dan komplikasi sistemik pada pasien.

Komplikasi 1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia. 2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.7

Pencegahan Karena abses peritonsil cenderung untuk berulang ulang, maka setelah serangan pertama kali sesudah dua atau tiga minggu dilakukan tonsilektomi. Jika operasi ditunda, maka kemungkinan perlengketan jaringan tonsil itu sendiri dengan jaringan sekitarnya akan semakin ketat sehingga tonsilektomi akan semakin sukar dilakukan.

Jika abses berada di belakang tonsil plika anterior sehingga drainage secara yang biasa (melalui fossa supratonsilais) tidak berhasil, dapat dilakukan dengan melakukan tonsil (Tonsilektomi) segera dengan diikuti oleh pemberian antibiotika yang tinggi (mencegah septikemia). Tindakan ini juga dilakukan bilamana keadaan abses pecah kedalam ruang parafaring sudah mengancam. Kalau terjadi abses pada ruang parafaring akan terjadi komplikasi yang serius.
15

Prognosis Abses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi., maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.

Kesimpulan Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Abses peritonsiler terbentuk dia area antara tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarnya meliputi musculus masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi melalui pembuluh darah karotis. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua specimen harus diperiksa untuk kultur sensitifitas terhadap antibiotika. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam, riwayat abses peritonsilaris sebelumnya, riwayat faringitis eksudatifa yang berulang. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk mencegah kekambuhan. Pada individu dengan abses peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka enam minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.

16

Daftar Pustaka 1. Adrianto, Petrus. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Dalam: Adrianto, Petrus. Buku ajar penyakit telinga, hidung, dan tenggorok. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2003.h.296-302. 2. Adam GL, Boeis LR, higler PA. buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:EGC, 2003; 13-6, 176-89 3. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke06. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011.h.4-5. 4. Buku ajar ilmu kesehatan: Telinga, hidung, tenggorok, kepala leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar HN. Edisi ke-5. Jakarta : FKUI, 2004; 1-8, 185-9 5. Huang T, chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection: analysis of 18 cases. Head and neck. Ock, 2004.h.860-4 6. Di unduh dari Kahn Joseph H. Retropharyngeal abscess http:/emedicine.medscape.com/article/764421-overview pada 25 Maret 2013 7. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011.h.226-30. 8. Novialdi JP. Diagnosis dan penatalaksanaan abses peritonsil. Jakarta:EGC, 2002; hal 74-9 9. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL, Boeis LR, Hilger PA, ed. Buku ajar penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2003.h.333-40. 10. Badran KH, Karkos PD. Aspiration of Peritonsillar Abscess in Severe Trismus. Journal of Laryngol & Otol 2006.h.120:492-94. 11. Di unduh dari Gossellin B.J. Peritonsillar Abscess http://http://www.emedicine.com/ pada 24 maret 2013

17

Anda mungkin juga menyukai