Anda di halaman 1dari 9

Resume

Dasar Sistem Tenaga Listrik

Oleh Nama Nim/Bp Prodi Dosen : Vani Oktavianus : 18686/10 : Teknik Elektro Industri D4 : Hastuti, ST. MT

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2013

Pembangkit Listrik dari Sumber Daya Energi Konvensional dan Terbarukan


Tiga komponen utama dari suatu sistem tenaga listrik adalah : 1. Pusat-pusat pembangkit 2. Transmisi 3. Sistem distribusi. Pusat pusat listrik biasa juga disebut sentral listrik atau electric power stations. Pusatpusat listrik adalah tempat dimana energi listrik diproduksi. Energi listrik yang dihasilkan diperoleh dari pengolahan energi primer baik dari energi terbarukan maupun dari energi tidak terbarukan. Pada masa sekarang ini pemanfaatan energi fosil masih mendominasi energi primer dalam pengolahan menjadi energi listrik. Energi fosil merupakan energi yang tidak terbarukan yang berarti tidak dapat diperbaharui dan akan habis bila cadangannya sudah habis. Berbagai energi fosil yang menjadi sumber bahan baker dihasilkan dari bahan baker gas alam, batu bara dan minyak bumi. Jenis pembangkit yang menggunakan energi fosil sebagai sebagai sumber energi primer bekerja berdasarkan siklus thermodinamika berupa konversi energi thermal menjadi energi listrik. Selain tidak terbarukan juga ada energi terbarukan sebagai energi primer diolah menjadi energi listrik seperti energi air, energi matahari dan lain sebagainya. Penegembangan energi terbarukan mulai dikembangkan secara lebih optimal karena melihat sifatnya yang dapat diperbaharui. Ada beberapa pembangkit tenaga listrik di Indonesia dewasa ini, baik yang sudah umum terpasang maupun yang masih dalam studi perencanaan ataupun dalam eksperimen. Oleh karena itu pembangkit secara garis besarnya terbagi atas dua bagian, yaitu : 1. Pembangkit tenaga listrik konvesional, yaitu pembangkit tenaga listrik yang hasil dayanya dikomersilkan, terdiri dari : o Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) o Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) o Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) o Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) o Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi

o Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) 2. Pembangkit tenaga listrik non konvesional atau energi terbarukan, yaitu pembangkit tenaga listrik yang digunakan hasil dayanya dikomersilkan, terdiri dari : o Pembangkit Listrik Tenaga Matahari o Pembangkit Listrik Tenaga Pasang Surut o Pembangkit Listrik Tenaga Angin o Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) o Pembangkit Listrik Tenaga Gas Bio Pemakain nama dari suatu jenis pembangkit diperoleh dari jenis energi penggeraknya sebagai contoh PLTU energi penggerak turbinnya adalah uap. Energi fosil dengan jenis sumber bahan bakar gas alam, batu bara, dan minyak bumi sudah umum dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. PLTG, PLTU, PLTGU, dan PLTD adalah jenis-jenis pembangkit yang saat ini mendominasi sistem ketenagalistrikan di Indonesia. Jenis-jenis pembangkit ini bekerja berdasarkan siklus thermodinamika berupa konversi energi thermal menjadi energi listrik.

Beberapa Contoh Pembahasan tentang pembangkit listrik energi terbarukan : o Pembangkit Listrik Tenaga Matahari Parabolik

Parabolik digunakan di fasilitas listrik tenaga surya terbesar di dunia yang terletak di Gurun Mojave di Kramer Junction, California. Fasilitas ini telah beroperasi sejak tahun 1980 dan menyumbang sebagian besar listrik yang dihasilkan oleh sektor tenaga listrik surya saat ini. Sebuah kolektor parabola memiliki reflektor parabola berbentuk panjang yang memfokuskan sinar matahari pada pipa receiver yang terletak pada fokus parabola. Kolektor akan mengarah miring ke arah matahari mengikuti gerakan matahari dari timur ke barat di sepanjang hari untuk memastikan bahwa matahari secara terus-menerus terfokus pada receiver. Karena bentuk parabolanya, perangkat ini bisa terfokus ke matahari hingga mencapai 30 sampai 100 kali

intensitas normal (rasio konsentrasi) pada pipa receiver yang terletak di sepanjang garis pusat dari lengkungan, mencapai suhu operasi lebih dari 750 F. "Bidang surya" memiliki baris paralel kolektor panas surya parabola yang selaras pada sumbu horisontal utara-selatan. Cairan pemindah panas dipanaskan ketika bersirkulasi melalui pipa receiver dan menuju ke serangkaian "penukar panas" di lokasi pusat. Di sini, cairan bersirkulasi melalui pipa sehingga dapat mentransfer panas ke air untuk menghasilkan tekanan tinggi, uap super panas. Uap ini kemudian dialirkan ke turbin uap konvensional dan generator untuk menghasilkan listrik. Ketika cairan panas melewati penukar panas, ia menjadi dingin, dan kemudian diresirkulasi melalui bidang surya untuk dipanaskan lagi. Pembangkit ini biasanya dirancang untuk beroperasi sepenuhnya menggunakan energi matahari saja, mengingat energi surya yang cukup memadai. Namun, semua pembangkit parabola dapat menggunakan energi dari pembakaran bahan bakar fosil untuk melengkapi output energi surya selama periode dimana matahari bersinar redup, seperti pada saat hari berawan. Piring Surya Sebuah sistem piring/mesin surya menggunakan kolektor surya yang bisa melacak arah matahari, sehingga mereka selalu mengarah lurus ke matahari dan memusatkan energi surya pada titik fokus piring. Rasio konsentrasi Sebuah piring surya jauh lebih tinggi dari parabolik surya, biasanya lebih dari 2.000, dengan suhu fluida mencapai 1380 F. Sistem piring/mesin surya mengkonversi panas menjadi tenaga mekanik dengan mengkompresi fluida ketika cuaca dingin, dan dengan memanaskan cairan yang terkompresi tadi, cairan akan bergerak. Menara Tenaga Surya

Sebuah menara tenaga surya, atau receiver pusat, menghasilkan listrik dari sinar matahari dengan memfokuskan energi surya yang terkonsentrasi pada menara penukar panas (penerima). Sistem ini menggunakan ratusan hingga ribu cermin matahari yang disebut heliostats untuk mencerminkan dan mengkonsentrasikan energi matahari ke sebuah menara receiver pusat. Energi yang terkonsentrasi dapat mencapai 1.500 kali energi yang datang dari matahari. Menara pembangkit listrik harus besar agar menguntungkan secara ekonomis. Teknik ini adalah

teknologi yang menjanjikan untuk pembangkit listrik skala besar. Menara surya berada dalam tahap awal pengembangan dibandingkan dengan teknologi parabola.

o Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Pola Pengelolaan Sampah sampai saat ini masih menganut paradigma lama dimana sampah masih dianggap sebagai sesuatu yang tak berguna, tak bernilai ekonomis dan sangat menjijikkan. Masyarakat sebagai sumber sampah tak pernah menyadari bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah yang dihasilkan menjadi tanggung jawab dirinya sendiri. Apabila sampah sampah yang luar biasa ini mulai menjadi masalah bagi manusia, barulah manusia menyadari ketidak perduliannya selama ini terhadap sampah dan mulai menimbulkan kepanikan dan menghantui di mana mana tanpa tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia, karena setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Sehari setiap warga kota menghasilkan rata-rata 900 gram sampah, dengan komposisi, 70% sampah organik dan 30% sampah anorganik. Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Sampah yang dihasilkan oleh (manusia) pengguna barang, dengan kata lain adalah sampah-sampah yang di buang ke tempat sampah walaupun masih jauh lebih kecil dibandingkan sampah-sampah yang dihasilkan dari proses pertambangan dan industri, tetapi merupakan sampah yang selalu menjadi bahan pemikiran bagi manusia. Penanggulangan sampah Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian dalam menanggulangi sampah misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R (WALHI, 2004) yaitu:

Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.

Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.

Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.

Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.

Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama. Pengolahan sampah Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat, di buang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur. Seharusnya sebelum sampah dibuang dilakukan pengelompokkan sampah berdasarkan jenis dan wujudnya sehingga mudah untuk didaurulang dan/atau dimanfaatkan (sampah basah, sampah kering yang dipilahpilah lagi menjadi botol gelas dan plastik, kaleng aluminium, dan kertas). Untuk tiap bahan disediakan bak sampah tersendiri, ada bak sampah plastik, bak gelas, bak logam, dan bak untuk kertas. Pemilahan sampah itu dimulai dari tingkat RT(Rumah tangga), pasar dan aparteme. Bila kesulitan dalam memilih sampah tersebut minimal sampah dipisahkan antara sampah basah (mudah membusuk) dan sampah kering (plastik,kaleng dan lain-lain).

Pemerintah sendiri menyediakan mobil-mobil pengumpul sampah yang sudah terpilah sesuai dengan pengelompokkannya. Pemerintah bertanggung jawab mengorganisasi pengumpulan sampah itu untuk diserahkan ke pabrik pendaur ulang. Sisa sampahnya bisa diolah dengan cara penumpukan (dibiarkan membusuk), pengkomposan (dibuat pupuk), pembakaran. Dari ketiga cara pengelolaan sampah basah yang biasa dilakukan dibutuhkan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang cukup luas. Selain itu efek yang kurang baikpun sering terjadi seperti pencemaran lingkungan, sumber bibit penyakit ataupun terjadinya longsor. Konsep Pengolahan Sampah menjadi Energi (Waste to Energy) atau PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga sampah) secara ringkas (TRIBUN, 2007) adalah sebagai berikut : 1. Pemilahan sampah Sampah dipilah untuk memanfaatkan sampah yang masih dapat di daur ulang. Sisa sampah dimasukkan kedalam tungku Insinerator untuk dibakar. 2. Pembakaran sampah Pembakaran sampah menggunakan teknologi pembakaran yang memungkinkan berjalan efektif dan aman bagi lingkungan. Suhu pembakaran dipertahankan dalam derajat pembakaran yang tinggi (di atas 1300C). Asap yang keluar dari pembakaran juga dikendalikan untuk dapat sesuai dengan standar baku mutu emisi gas buang. 3. Pemanfaatan panas Hasil pembakaran sampah akan menghasilkan panas yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan boiler. Uap panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin dan selanjutnya menggerakkan generator listrik. 4. Pemanfaatan abu sisa pembakaran Sisa dari proses pembakaran sampah adalah abu. Volume dan berat abu yang dihasilkan diperkirakan hanya kurang 5% dari berat atau volume sampah semula sebelum di bakar. Abu ini akan dimanfaatkan untuk menjadi bahan baku batako atau bahan bangunan lainnya setelah

diproses dan memiliki kualitas sesuai dengan bahan bangunan. Dikota-kota besar di Eropah, Amerika, Jepang, Belanda dll waste energy sudah dilakukan sejak berpuluh tahun lalu, dan hasilnya diakui lebih dapat menyelesaikan masalah sampah. Pencemaran dari PLTSa yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat sebenarnya sudah dapat diantisipasi oleh negara yang telah menggunakan PLTSa terlebih dahulu. Pencemaran- pencemaran tersebut seperti :

Dioxin

Dioxin adalah senyawa organik berbahaya yang merupakan hasil sampingan dari sintesa kimia pada proses pembakaran zat organik yang bercampur dengan bahan yang mengandung unsur halogen pada temperatur tinggi, misalnya plastic pada sampah, dapat menghasilkan dioksin pada temperatur yang relatif rendah seperti pembakaran di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) (Shocib, Rosita, 2005). PLTSa sudah dilengkapi dengan sistem pengolahan emisi dan efluen, sehingga polutan yang dikeluarkan berada di bawah baku mutu yang berlaku di Indonesia, dan tidak mencemari lingkungan.

Residu

Hasil dari pembakaran sampah yang lainnya adalah berupa residu atau abu bawah (bottom ash) dan abu terbang (fly ash) yang termasuk limbah B3, namun hasil-hasil studi dan pengujian untuk pemanfaatan abu PLTSa sudah banyak dilakukan di negara-negara lain. Di Singapura saat ini digunakan untuk membuat pulau, dan pada tahun 2029 Singapura akan memiliki sebuah pulau baru seluas 350 Ha (Pasek, Ari Darmawan, 2007). PLTSa akan memanfaatkan abu tersebut sebagai bahan baku batako atau bahan bangunan.

Bau

Setiap sampah yang belum mengalami proses akan mengeluarkan bau yang tidak sedap baik saat pengangkutan maupun penumpukkan dan akan mengganggu kenyamanan bagi masyarakat umum. Untuk menghindari bau yang berasal dari sampah akan dibuat jalan tersendiri

ke lokasi PLTSa melalui jalan Tol, di sekeliling bagunan PLTSa akan ditanami pohon sehingga membentuk greenbelt (sabuk hijau) seluas 7 hektar.

Anda mungkin juga menyukai