Anda di halaman 1dari 6

n Everything

Juli 21, 2010


Adakah Pengetahuan A Priori?
Filed under: Tentang Filsafat Oni Suryaman @ 7:19 am Tags: filsafat, filsafat ilmu

Rate This

Masalah pengetahuan a priori adalah salah satu tema besar dalam epistemologi. Tema ini pertama kali diusung oleh Immanuel Kant di dalam The Introduction to the Critique of Pure Reason. Di sana ia mengenalkan kerangka konseptual melalui tiga distingsi. Distingsi tersebut adalah (1) distingsi epistemik antara pengetahuan a priori dan pengetahuan empiris, (2) distingsi metafisis antara proposisi niscaya dan kontingen, dan (3) distingsi semantik antara pernyataan analitik dan sintetik. Dalam kerangka itu Kant mengajukan empat pertanyaan:[1] 1. 2. 3. 4. Apakah pengetahuan a priori itu? Adakah pengetahuan a priori? Apakah hubungan antara yang a priori dan yang niscaya? Adakah pengetahuan sintetik a priori?

Kant menyatakan bahwa pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung dari pengalaman. Kant tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai konsep pengetahuan a priori ini melainkan langsung menunjukkan bahwa ada pengetahuan yang memenuhi kondisi ini di dalam analisisnya. Kant menawarkan dua kriteria analisis, yaitu keniscayaan dan universalitas, yang ia klaim tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebagai contoh ia

mengemukakan pernyataan matematis yang adalah niscaya, dan kita tahu bahwa pernyataan matematis seperti itu ada, maka pengetahuan a priori ada.[2] Untuk menjelaskan hubungan antara keniscayaan dan pengetahuan a priori, Kant mengemukakan tesis berikut:[3] 1. Semua pengetahuan tentang pernyataan niscaya adalah a priori 2. Semua pernyataan yang diketahui secara a priori adalah niscaya Pertanyaan keempat tentang adakah pengetahuan a priori dijawab Kant dengan mengemukakan argumen seperti ini:[4] 1. Semua pernyataan analitik adalah a priori 2. Beberapa pernyataan yang diketahui secara a priori adalah sintetik Kant tidak memberikan penjelasan secara lebih mendetil tentang masalah ini. Masalah pengetahuan a priori pada filsuf-filsuf setelah Kant adalah berisi tanggapan tentang pernyataan-pernyataan Kant tersebut di atas. Benecerraf misalnya mempertanyakan argumen Kant yang mengatakan bahwa ada pengetahuan a priori. Benecerraf mengatakan bahwa seseorang bisa mengetahui suatu pernyataan jika dan hanya jika ia berkaitan secara kasual dengan entitas yang diacu melalui kondisi-kondisi kebenaran yang dipenuhinya; sementara itu kondisi kebenaran dari pernyataan matematika ditentukan oleh acuan kepada entitas abstrak.[5] Bealer menunjukkan dalam sejarah filsafat bahwa kecenderungan Kant yang menyamakan pernyataan yang niscaya, a priori, dan analitik telah dipertanyakan oleh banyak filsuf terutama pada paruh pertama abad kedua puluh.[6] Kritik tersebut adalah: 1. Tidak semua pernyataan yang niscaya adalah analitik. Pernyataan seperti saya ber ada di sini adalah sebuah pernyataan analitik, namun ia kontingen karena hanya benar pada waktu tertentu. 2. Tidak semua pengetahuan a priori adalah analitik. Definisi saintifik misalnya adalah sebuah pernyataan analitik, namun ia tidak diketahui secara a priori. 3. Tidak semua kebenaran yang niscaya diketahui secara a priori. Esensialisme sains menunjukkan bahwa kebenaran yang niscaya seperti air = H20 adalah pengetahuan yang diperoleh secara empiris, bukan a priori.[7] Quine juga melakukan serangan terhadap konsepsi Kant mengenai distingsi penyataan analitik dan sintetik. Lewat tulisannya Two Dogma of Empiricism Quine menunjukkan bahwa pernyataan analitik ditentukan kebenarannya dari kandungan maknanya saja dan pernyataan sintetik ditentukan kebenarannya oleh kandungan empirisnya adalah sebuah dogma. Pernyataan analitik ditentukan kebenarannya misalnya dengan memberikan sinonim. Quine mempertanyakan legitimasi sinonim untuk menentukan kebenaran pernyataan analitik tersebut. Quine mengatakan bahwa dua pernyataan dapat dikatakan sinonim apabila di dalam ia dapat saling menggantikan di dalam berbagai konteks tanpa mengalami perbedaan makna. Syarat ini hanya bisa dipenuhi oleh pernyataan yang merupakan pernyataan logis. Pernyataan analitik yang merupakan definisi gagal memenuhi kriteria ini. Ia juga mempertanyakan bahwa pernyataan analitik adalah sebuah keniscayaan. Sejarah sains telah menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan analitik yang dianggap benar (misalnya pernyataan Ptolemaik

dan Aristotelean) direvisi oleh kenyataan empiris pada masa berikutnya, dan dengan demikian ia tidak niscaya.[8] BonJour memberikan dua argumen untuk membenarkan pendapatnya bahwa justifikasi a priori ada. Yang pertama adalah dengan menggunakan contoh, dan yang kedua adalah argumen dialektis. Contoh yang bisa digunakan adalah (i) proposisi matematika dan (ii) proposisi logika. Misalnya pernyataan 2 + 5 = 7, atau pernyataan jika p maka q benar dan p benar, maka pernyataan q pasti benar. Keberatan muncul atas pembuktian dengan contoh seperti ini. Keberatannya adalah kita mengetahui kebenaran seperti pada pernyataan di atas setelah diafirmasi oleh pengalaman empiris. Umumnya keberatan ini dinyatakan dengan memberikan contoh pernyataan yang mengandung imajinasi seperti kuda pegasus atau dewadewi Yunani. Beberapa contoh pengetahuan a priori yang dikategorikan imaginasi dan ilusi pada dasarnya adalah pengalaman empiris. Misalnya kepercayaan akan pegasus, pada dasarnya adalah pengetahuan akan adanya kuda dan sayap, dan pernyataan tentang dewa pada dasarnya adalah pengetahuan tentang manusia dan kemampuan-kemampuan yang berada di luar kemampuan manusia, namun gejalanya dapat diamati secara empiris. BonJour menjawab ini dengan mengajukan argumen dialektis. Argumen dialektis mengatakan bahwa kepercayaan seperti itu hanya mungkin ada bila ada proposisi kondisional yang memungkinkan konjungsi antara pengalaman empiris yang dipakai sebagai dasar dan imajinasi yang muncul sebagai konsekuensi, dan proposisi kondisional tersebut adalah a priori. Argumen dialektis yang kedua mengatakan bahwa argumen yang mengatakan bahwa tidak ada justifikasi a priori pada dasarnya juga adalah sebuah alasan yang a priori pada dirinya sendiri.[9] BonJour juga menunjukkan dua posisi yang mengatakan bahwa tidak adanya justifikasi a priori, dan memberikan argumen mengapa keduanya tidak mungkin. Pertama, empirisisme moderat yang mengatakan bahwa alasan a priori ada, namun ia hanyalah sekedar konvensi di dalam bahasa atau konsep, atau sekedar masalah definisi, ketimbang sebuah ilham yang menunjukkan realitas. Versi standar dari posisi ini adalah mengatakan bahwa semua pernyataan a priori pada dasarnya adalah analitik, dan semua pernyataan analitik tidaklah memerlukan alasan a priori (tentunya). Menurut BonJour, argumen ini tidak tepat, karena mereduksi alasan a priori menjadi pernyataan analitik. Dengan demikian, posisi empirisisme moderat bukan hanya gagal meruntuhkan adanya alasan a priori, namun ia sendiri memahami posisi rasionalis secara tidak tepat.[10] Kedua, empirisisme radikal, seperti yang diajukan Quine, yang mengatakan dengan tegas bahwa justifikasi a priori tidak ada. Di dalam Two Dogma of Empiricism Quine menunjukkan bahwa sebuah pernyataan analitik tidak dapat mempertahankan kebenarannya dengan berdiri pada dirinya sendiri. Sebuah pernyataan analitik saintifik bisa mempertahankan kebenarannya melalui kebenaran pernyataan-pernyataan lain, yang terjalin dalam jaring-jaring keyakinan (web of belief).[11] Quine berpendapat bahwa untuk mempertahankan atau menggugurkan jaring keyakinan, selalu di dalamnya terdapat alasan dari pengalaman. Bagi BonJour, alasan yang seperti ini adalah alasan a priori.[12] Devitt di pihak lain menunjukkan bahwa justifikasi a priori tidak ada. Ia menawarkan pendekatan yang ia sebuah alternatif naturalistik. Justifikasi haruslah dilihat secara lebih menyeluruh (holistik). Untuk itu ia memakai tesis Duhem-Quine, yang mengatakan bahwa pengetahuan dijustifikasi secara holistik melalui jaringan keyakinan (web of belief). Contoh yang sering dipakai oleh Quine adalah perumpamaan tentang perahu oleh Otto Neurath. Digambarkan bahwa jaringan keyakinan itu mirip seperti kita yang sedang memperbaiki

perahu yang sedang mengapung. Kita hanya bisa memperbaiki satu bagian saja; tidak mungkin merombak seluruh perahu secara bersamaan karena kita akan tenggelam. Di saat kita merombah satu bagian, kita harus mengasumsikan bahwa bagian yang lain bekerja dengan sempurna. Begitu pula dengan pernyataan logis dan matematis yang umumnya kita terima secara a priori (secara strategis atau pragmatis, bukan prinsip), namun ini tidak berarti ia tidak bisa direvisi di hadapan realitas empiris. Dengan demikian pernyataan analitis dan logis tidak perlu dijelaskan sebagai pengetahuan a priori.[13] Dengan itu Devitt mengatakan bahwa keberadaan metode empiris sudah cukup jelas, penjelasan tentang alasan a priori-lah yang harus dipertanyakan. Dengan demikian justifikasi hanya bisa jatuh pada dua pilihan, bahwa ia bisa dijustifikasi secara empiris, atau ia tidak bisa dijustifikasi sama sekali. Contohnya adalah pernyataan analitis: Semua bujangan tidak menikah. Pernyataan tersebut bernilai benar jika proposisi semua bujungan tidak menikah bisa dijustifikasi. Dari mana justifikasi itu datang? Jawaban yang mengatakan bahwa ia bisa dijustifikasi karena kebenaran logis tidaklah memuaskan karena tidak ada cara untuk menjustifikasi kebenaran logis.[14] Bealer menempuh jalan dengan mencoba menjelaskan intuisi sebagai bukti yang valid bagi adanya pengetahuan a priori. Intuisi menurut Bealer bisa dikatakan sebagai data dari pikiran, seperti halnya untuk data empiris yang merupakan data dari pengalaman. Intuisi dalam hal ini juga harus dilihat dari nampaknya, bukan kepercayaannya. Seorang misalnya bisa percaya dengan sesuatu karena sebuah otoritas. Misalnya seorang anak sekolah percaya akan sebuah proposisi matematika karena diajarkan demikian oleh gurunya meskipun ia tidak paham sama sekali mengenai proposisi tersebut; ini bukan intuisi. Intuisi menghendaki adanya kerja pikiran yang tidak dipengaruhi dari luar. Intuisi mungkin bisa dicari kecendurungannya dalam dunia fisik. Sebuah gedung miring cenderung untuk runtuh misalnya. Seperti halnya kecenderungan dalam dunia fisik, intuisi adalah sebuah kecenderungan dalam dunia mental.[15] Argumen paling kuat yang diajukan Bealer adalah yang ia namakan argumen norma epistemik. Namun sebelumnya kita harus berhati-hati, karena pengajuan bukti tidak serta merta menunjukkan bahwa bukti tersebut valid dan dapat mendukung kebenaran. Misalnya penggunaan tabel dan diagram astrologi tidak serta merta menunjukkan bahwa astrologi adalah sebuah kebenaran. Di pihak lain, bukti yang terlalu ketat juga tidak membantu. Misalnya visualisme yang mengatakan bahwa bukti yang dapat diterima adalah bukti yang dapat diamati secara visual. Dengan demikian visualisme telah mengabaikan bukti secara auditorial, misalnya. Ada tiga kriteria yang diajukan Bealer untuk menerima bukti kebenaran: konsistensi, koroborasi, dan konfirmasi. Intuisi memenuhi kriteria tersebut sebagai berikut:[16] 1. Intuisi seseorang dalam kasus konkrit umumnya konsisten satu sama lain. Hal yang sama berlaku pada pengamatan empiris di mana pengamatan satu orang umumnya konsisten dengan orang lain. 2. Meskipun orang yang berbeda memiliki intuisi yang berbeda, ada koroborasi dari intuisi-intuisi logis elementer, matematis, konseptual dan modal.[17] 3. Tidak seperti pengetahuan seperti astrologi, intuisi umumnya jarang terbantah, jika ia dapat dikonfirmasi oleh pengalaman. Alasan utamanya adalah bahwa intuisi logis, matematis, konseptual dan modal umumnya tidak tergantung pada pengamatan empiris.

Ada beberapa keberatan yang diajukan atas alasan di atas. Misalnya ada beberapa intuisi matematis yang bertentangan dengan teori yang terbukti secara deduktif. Namun hal ini tidak serta merta menggugurkan bukti yang diajukan secara intuitif. Masalah ini dapat dicari analoginya pada pengamatan empiris, misalnya pada ukuran matahari dan bulan yang kurang lebih sama jika diamati secara mata telanjang. Secara empiris kita bisa mengatakan bahwa ukuran matahari sama dengan bulan, yang tentu saja salah. Namun ini tidak berarti kita menolak pengamatan empiris.[18] Kesimpulan Beberapa alasan baik yang menerima atau yang menolak adanya pengetahuan a priori telah ditunjukkan di atas. Strategi yang ditempuh biasanya adalah menggunakan strategi negatif[19], yaitu mengemukakan contoh yang menjelaskan mengapa alasan yang dikemukakan oleh lawannya tidak memadai. Alasan yang dikemukakan secara positif umumnya dianggap belum cukup memadai, karena masih dapat diserang oleh lawannya. Namun ada satu hal yang menarik untuk dicermati: baik kubu yang mendukung adanya pengetahuan a priori atau menolaknya umumnya menggunakan landasan berpikir yang bersifat a priori.[20] Mungkin ini adalah sebuah petunjuk bahwa pengetahuan a priori memang ada.

Daftar Pustaka
__________, 2006. The Philosophy of Science, An Encyclopedia. New York: Routledge. Bealer, George. The A Priori. Dalam Greco, John dan Sosa, Ernest (ed.) The Blackwell Guide to Epistemology. Massachusetts: Blackwell Publishing. 1999. BonJour, Laurence. Is There A Priori Knowledge? Dalam Steup, Matthias dan Sosa, Ernest (ed.) Contemporary Debates in Epistemology. Massachusetts: Blackwell Publishing. 2005. Casullo, Albert. A Priori Knowledge. Dalam Moser, Paul K. (ed.) The Oxford Handbook of Epistemology. Oxford: Oxford University Press. 2002. Devitt, Michael. There is No A Priori. Dalam Steup, Matthias dan Sosa, Ernest (ed.) Contemporary Debates in Epistemology. Massachusetts: Blackwell Publishing. 2005.

[1] Casullo (2002), h.94 [2] Ibid., h.95 [3] Ibid., h.96 [4] Ibid., h.96 [5] Ibid., h.97

[6] Bealer (1999), h.243 [7] Ibid., h.244 [8] The Philosophy of Science, An Encyclopedia (2006), h.660-662 [9] BonJour (2005), h.101-103 [10] Ibid., h.104 [11] The Philosophy of Science, An Encyclopedia (2006), h.660-662 [12] Ibid., h.105 [13] Devitt (2005), h.106-107 [14] Ibid., h.107-108 [15] Bealer (1999), h.247-248 [16] Ibid., h.249 [17] intensional [18] Ibid., h.249 [19] Casullo (2002), h.131-132 [20] Ibid., h.132

Anda mungkin juga menyukai