Draft Presentasi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 3

DRAFT PRESENTASI SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA Hal (83-90)

Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menyetujui naskah Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali tujuh kata dibelakang sila ketuhanan yang telah memunculkan kontroversi. Tujuh Kata dibelakang sila Ketuhanan diganti dengan kata Yang Maha Esa dan selengkapnya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Tentang pencoretan Tujuh Kata, Mohammad Hatta mengakui punya andil besar seperti dalam otobiografinya Memoir Mohammad Hatta (1979). Pagi hari menjelang dibukanya rapat PPKI, Hatta mendekati tokoh tokoh Islam agar bersedia mengganti kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya dalam rancangan Piagam Jakarta dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa. Alasannya, demi menjaga persatuan bangsa.

Usulan perubahan tersebut diterima oleh Teuku Hasan, sedangkan Kasman belum siap akan hal tersebut dikarenakan baru menerima undangan pagi itu sehingga menyisakan Ki Bagus untuk mengambil sikap. Teuku Hasan dan Kasman berusaha membujuk Ki Bagus dengan berbagai argument persuasi yang akhirnya Ki Bagus bersedia menerima usul perubahan tersebut. Dengan demikian kubu islam setuju terhadap pencoretan Tujuh Kata tersebut. Pencoretan tersebut menghilangkan pokok pikiran kelima UUD tentang keistimewaan terhadap penduduk beragama islam sehingga Negara kembali pada gagasan Negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Tercegatnya aspirasi politik islam dalam PPKI berlanjut dengan penolakan awal terhadap gagasan pembentukan departemen agama. Awalnya, Latuharhary menolak gagasan tersebut dengan alasan dapat membuat perselisihan antara umat muslim dengan umat Kristen. Pandangan tersebut mendapat persetujuan dari Sembilan belas anggota PPKI Departemen agama baru dibentuk pada Kabinet Sjahrir kedua (Maret 1946) sehingga dapat meredam kekecewaan politik islam dalam rangka meraih dukungan politik mereka terhadap pemerintahan selama masa revolusi kemerdekaan Pencoretan Tujuh Kata itu tidak mengubah semangat dasar Piagam Jakarta. Seperti yang dikatakan oleh Mohammad Hatta :

Pada waktu itu kami dapat menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa (Hatta, 1969 : 28) Seiring dengan adanya ancaman bersama dari luar dan keterbukaan peluang bagi para pemimpin islam untuk menduduki peran penting dalam kekuasaan. Maka, obsesi terhadap politik identitas pun menurun digantikan oleh solidaritas kewarganegaraan serta kejernihan visi untuk bisa berbagi konsepsi politik bersama. Hal ini terlihat dari penerimaan pemimpin muslim terhadap Konstitusi RIS 1950 dan UUDS 1950 yang mengandung konspesi kebebasan beragama yang sangat egaliter dan inklusif. Dalam periode pemerintahan tahun 1950-1955, partai-partai islam memainkan peran penting sehingga suara kekecewaan atas pencoretan tujuh kata mereda dan digantikan oleh pandangan yang lebih positif terhadap pancasila. Hal tersebut, tercermin dari pidato Muhammad Natsir didepan Pakistan Institute of World Affairs pada 1952 yang membela pancasila selaras dengan prinsip islam dengan menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Menurutnya, lima sila itu akan menjadi dasar etika, moral, dan spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid. Dalam situasi yang lebih jernih, tanpa perasaan terancam, tokoh islam juga memiliki kelapangan hati untuk mengutamakan perdamaian, bersedia menerima konstruksi komunitas politik egaliter yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban bagi setiap warga Negara tanpa memandang latar agama dan golongan. Ketika persidangan Dewan Konstituante yang dihasilkan dalam Pemilu pertama 1955, aspirasi politik identitas bangkit kembali. Ini dikarenakan pada pemilu 1955 tidak menghasilkan kemenangan bagi salah satu kelompok aliran besar dalam masyarakat Indonesia. Baik golongan kebangsaan maupun golongan islam tidak mampu mencapai syarat minimal 2/3 dari total suara di Dewan Konstituante untuk bisa mengubah atau menetapkan Konstitusi Perbedaan pandangan dalam relasi agama dan Negara terjadi baik di sidang DPR maupun di Dewan Konstituante. Status tujuh kata dari Piagam Jakarta kembali dipermasalahkan ooleh golongan islam dan golongan kebangsaan.. Setiap golongan terjadi friksi internalnya masing-masing, namun sejauh menyangkut persoalan dasar negara terjadi konsolidasi internal yang menciptakan pengkubuan antara lain Pendukung Pancasila melawan Pendukung Islam, meski sesungguhnya masih ada 1 kubu lagi yaitu Pendukung Sosial-Ekonomi tapi semua kubu tersebut sesungguhnya memiliki kesamaan pandangan dan mencapai persetujuan dalam hal-hal substantive

Pada masa pelantikannya (10 November 1956 18 Februari 1959) Dewan konstituante telah melakukan banyak kesepakatan bahkan menyangkiut soal dasar Negara. Komisi 1 yang membahas hal ini secara substantif telah mencapai kerangka kesekapatan bahwa Dasar Negara konstitusi harus memenuhi hal sebagai berikut : 1. Sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia 2. Dijiwai semangat Revolusi 17 Agustus 1945 3. Musyawarah hendaknya menjadi dasar dalam segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan 4. Terjaminnya kebebasan beragama dan beribadat 5. Berisikan jaminan-jaminan sendi-sendi perikemanusiaan, kebangsaan yang luas dan keadilan sosial Setiap kubu dapat menerima setiap sila pancasila kecuali tujuh kata dibalik sila ketuhanan yang kembali dipersoalkan oleh kubu islam. Akan tetapi, ketika butir-butir kesepakatan harus diberi nama, masing masing kubu bersikukuh akan pendapatnya seperti kubu islam menyodorkan kata islam sebagai dasar Negara sedangkan kubu pancasila menyodorkan kata pancasila sebagai dasar Negara. Kubu islam menuntut agar tujuh kata dicantumkan kembali dalam Pembukaan UUD 1945. Alhasil, dalam bangkitnya gelora politik identitas, nama dan identitas kelompok itu jauh lebih penting ketimbang substansi.

Anda mungkin juga menyukai