Anda di halaman 1dari 6

PERDA NO 8 TAHUN 2005

TENTANG PELARANGAN PELACURAN


KOTA TANGGERANG
( KEBIJAKAN PUBLIK & GOVERNENCE )

MANAGEMEN ILMU PEMERINTAHAN

HERMAN RANTE
2012 040 080

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013

A.

Pendahuluan

Dalam kepustakaan bisnis, manajemen senantiasa dipahami sebagai sektor dan proses. Secara sector manajemen dikenal menajemen keuangan, produksi, pemasaran, dan pengembangan sumber daya manusia. Sedang manajemen dari segi proses dipahami sebagai perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian Manajemen kebijakan publik sebagai proses terdiri dari tiga dimensi pokok, yaitu perumusan, implementasi, dan pengendalian. Bagian terakhir bersifat khusus dan sedikit berbeda karena lazimnya pada proses kebijakan yang ada hanyalah monitoring kebijakan dan evaluasi kebijakan. Pencapaian kebijakan akan paripurna jika dikendalikan, termasuk bagaimana kebijakn dimonitor, dievaluasi, diberikan ganjaran, dan hukuman, dan apabilah diperlukan dilakukan revisi kebijakan. Model kebijakan yang paling klasik dikembangkan oleh David Easton. proses interaksi antara makluk hidup dan lingkungannya, yang Easton akhirnya menganalogikan dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relative stabil. Kebijakan publik dengan model sistem mengendalikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistim politik. ADA BEBERAPA BENTUK KEBIJAKAN PUBLIK Bentuk kebijakan publik a. UUD Tahun 1945 b. Tap MPR c. UU / Peraturan Pemerintah Pengganti UU

d. Peraturan pemerintah e. Peraturan Presiden f. Perda Propinsi g. Perda Kabupaten/Kota

Produk-produk tersebut merupakan bentuk pertama dari kebijakan public yaitu peraturan perundangan yang terkodifikasi secara formal dan legal, dan merupakan kebijakan publik yang bersifat makro. Produk kebijakan publik tidak dapat diperkarakan, apalagi diperkarakan dipengadilan, apalagi oleh individu atau korporat, karena kebijakan publik bersifat umum untuk seluruh warga Negara, baik warga Negara individu maupun organisasi. Ada dua penjelasan mengapa kebijakan publik tidak dapat diperkarakan. a. Pertama, jika kebijakan publik dapat serta merta diperkaran oleh setiap warga Negara, maka Negara akan lumpuh sewaktu-waktu b. Kedua pemerintahan akan stagnan, pejabat pemerintah pun tidak akan berani untuk bekerja Namun jika pun kebijakan publik dapat diperkarakan namun ada dua syarat penting a. Pertama harus diperkarakan secara bersama-sama oleh para anggota publik yang dirugikan. (class action ) b. Karena kejadian hukumnya adalah warga Negara melawan Negara. Namun demikian, kebijakan publik dapat diperkarakan dipengadilan khususnya pengadilan tindak pidana korupsi jika proses perumusan kebijakan tercemari tindak pidana korupsi sehingga memberikan manfaat khusus kepada pihak-pihak tertentu yang tidak sewajarnya mendapatkan. Disini saya mengambil judul Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di kota Tanggerang Sebagai tugas dari mata kuliah Kebijakan Publik dan Governance . Pengertian Peraturan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah(Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Pengertian pelacuran dalam Perda ini dijelaskan di dalam Pasal 1 angka 4 Perda Kota Tangerang 8/2005 yaitu hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, baik di tempat berupa Hotel, Restoran, tempat hiburan atau lokasi pelacuran ataupun tempat-tempat lain di Daerah (Kota Tangerang) dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa. Pelacur adalah setiap orang baik ataupun wanita yang menjual diri kepada umum untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan hubungan seksual adalah hubungan perkelaminan antara dua jenis kelamin yang berbeda atau dua jenis kelamin yang sama Pelaku dari muncul perda ini adalah perintah kota Tanggerang dengan persetujuan DPRD Kota Tanggerang., Sebelum menjadi perda, ada tahapan yang dilaksanakan untuk mencapai terbentuknya suatu perda. Walikota membentuk tim perumus sesuai SK. Yang dikeluarkan oleh Walikota, Tim bekerja mengumpulkan materi perda dengan memperhatikan landasan-landasan perundang-undagan, menurut ilmu pengetahuan hukum dan sekurang-kurangnya mencakup tiga landasan perundang-undangan yaitu : a. Landasan Filosofis b. Landasan Sosiologi c. Landasan Yuridis. Setelah semua hal itu terpenuhi dan tim telah membuat RAPERDA untuk diajukan ke DPRD guna dibahas dan ditetapkan menjadi sebuah PERDA dan dilanjutkan tahap sosialisasi dan implementasi terhadap PERDA tersebut. Kebijakan tentang terbitnya PERDA No.8 Tahun 2005 ini didasari akan aspek fisologi dan sosiologis yaitu : a. Bahwa pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang berdampak negatif terhadap sendi sendi kehidupan masyarakat; b. Bahwa dalam upaya melestarikan nilai nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap praktek praktek Pelacuran di

Kota Tangerang perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pelarangan Pelacuran c. Banyaknya bermunculan tempat-tempat yang dapat mengundang praktek prostitusi/pelacuran. d. Budaya masyarakt Indonesia secara umum yang tidak dapat menerima adanya praktek-praktek prostitusi/pelacuran. Tujuan di bentuknya PERDA NO. 8 TAHUN2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN
1. mengurangi kemaksiatan yang telah mewabah di wilayah ibukota. 2. Adanya kepastian hukum terhadap para pelaku pelacuran 3. Membatasi pergaulan bebas yang sedang marak dalam masyarakat

Dari beberapa sumber yang saya peroleh, dalam pelaksanaan perda tersebut banyak terjadi hal-hal yang konrtofersial sehubungan dengan pasal-pasal yang terdapat didalamnya, salah satu contoh adanya pertentangan dengan undangundang yang telah ada dimana hirarkinya lebih tinggi dari perda PASAL-PASALKONTROVERSI Pasal.4 Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di daerah . rumusan pasal dengan kalimat sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur adalah multitafsir dan bertentangan dengan prinsip hukum pidana yang harus obyektif Rumusan ketentuan kata mencurigakan menjadi salah satu klausal yang tidak akan dapat memenuhi unsur obyektif suatu kaidah pelarangan/pelanggaran pidana karena kalimat tersebut tidak berdasar, jelas, yang tentu saja akan multitafsir dan berpotensi menimbulkan ketidak pastian hukum.

Anda mungkin juga menyukai