Anda di halaman 1dari 3

Anamnesis Seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke poli penyakit mata RSUD salatiga dengan keluhan mata kiri

terasa lebih kabur dan sangat sulit untuk melihat. Keluhan ini muncul setelah kecelakaan motor 10 tahun yang lalu. Keluhan memburuk sejak 1 bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan mata kanannya menjadi juling akhir-akhir ini. Pasien menggunakan kaca mata minus -3.00 pada lensa kaca mata kanan dan kiri sejak tujuh bulan yang lalu. Akan tetapi sebelumnya juga menggunakan kaca mata dengan ukuran lebih kecil. Awal penggunaan kaca mata diawali dari adanya keluhan pandangan kabur jika melihat jauh dan membaik dengan penggunaan kaca mata.

Problem 1. Apakah penyebab pandangan kabur pada mata kiri pasien? Apakah di poli dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis pasien? 2. Bagaimana terapi yang tepat untuk kondisi pasien? Apakah di poli klinik diberikan edukasi dalam pencegahan strabismus yang lebih parah? Analisis kritis 1. Berdasarkan anamnesis, pasien mengalami trauma tumpul pada waktu 10 tahun yang lalu dimana disebut dengan kontusio yaitu trauma tumpul yang biasanya menyebabkan kelainan vaskuler dan kelainan jaringan robekan. Trauma tumpul pada mata dapat mengakibatkan beberapa kelainan mata. Tergantung bagian mata yang mengalami kerusakan. Berdasarkan pemeriksaan visus, mata kiri 1/60 dan tidak dapat dikoreksi. Berdasarkan inspeksi, pergerakan kedua mata pasien tidak sama dengan mata kiri lebih mengarah ke lateral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan .. menunjukkan adanya strabismus kearah temporal. Didukung dengan reflek pupil yang berkurang, kondisi ini dimungkinkan trauma tumpul trsebut mngakibatkan kelainan pada nervus optikus sehingga terjadi penurunan pandangan. Rangsang cahaya yang diterima sel batang dan kerucut dari mata yang disinari diteruskan melalui N II (saraf aferen), khiasma optikus, traktus optikus, kecorpus genikulatum lateralis, disini saraf pupilomotor memisahkan diri menuju brachium colicus superior, ke mid brain, komisura posterior didaerah pretektalis, kemudian mengadakan semidekusasi (sebagian menyeberang ke sisi yang lain) dan keduanya menuju ke nucleus Edinger Westphal dikedua sisi. Dari sini keluar saraf eferen (saraf parasimpatis) yang memasuki N III ke ganglion siliaris, serat saraf post ganglioner melalui nn. Siliaris brevis mengurus sfingter pupil di kedua mata. Karena itulah penyinaran pada satu mata menyebabkan reaksi cahaya pupil yang langsung pada mata yang disinari dan tidak langsung pada pupil yang tidak disinari. Daerah yang paling sensitif terhadap cahaya dari

retina adalah fovea sentralis. Pada pemeriksaan didapatkan reaksi pupil yang langsung mata kiri (-), mata kana (+) reaksi pupil yang tidak langsung mata kiri (-) mata kanan (+) dimana hal ini menandakan kerusakan pada N III (saraf eferen) mata kiri. Otot-otot penggerak mata dipersyarafi oleh N III, N IV, NVI. N III merupakan salah satu saraf yang mempersarafi otot-otot penggerak mata (yaitu mengurus semua mm. rekti (M.rektus superior, m.rektus medialis, m.rektus lateralis, m.obliqus inferior, m. sfingter pupil, mm.siliaris) terkecuali m rektus lateralis, ditambah m. obliqus inferior. Gangguan parese atau paralisis pada otot luar mata disebut ophtalmoplegia dan menimbulkan kedudukan bola mata (strabismus paralitikus). Jika terjadi kelainan atau kerusakan pada N III, mata otot yang dipersarafi nervus tersebut akan lemah sehingga terjadi ketidakseimbangan otot yang tidak dipersarafi oleh N.III seperti pada m rektus lateralis yang dipersarafi N VI dan m. obliqus superior yang dipersarafi oleh N IV. M. rektus lateralis berfungsi sebagai gerak primer abduksi dan m. obliqus superior berfungsi sebagai gerak primer intorsi. Oleh sebab itulah bola mata berdeviasi kearah temporal dan sedikit kearah bawah dan intorsi (berputar kearah nasal). Kedudukan bola mata yang normal adalah lurus (ortoforia). Adanya kelainan kedudukan bola mata dapat diperiksa dengan cover and uncover test, tes Hirschberg, tes Krimsky, tes Maddox cross, tes Maddox wing. Untuk memberikan data yang obyektif apakah N II juga mengalami kelainan dapat dilakukan pemeriksaan ophtalmoscope atau funduscope dimana dapat dengan tegas melihat kerusakannya. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan funduscope. 2. Bila kelumpuhan ini terjadi pada seseorang yang berumur 6 tahun atau lebih dimana pola sensoris retina telah terbentuk, maka strabismusnya disertai diplopia (penglihatan ganda) maka terapinya yaitu menghindari diplopia. Ada beberapa terapi dalam menghilangkan diplopia yaitu dengan melakukan terapi oklusif (eye patch) dengan melaukan penutupan mata yang sehat kurang lebih 2-4 jam sehari. Terapi ini jangan dilakukan terlalu lama karena dapat menimbulkan ambliopia (mata malas) pada mata yang sehat. Cara lain yaitu dengan penggunaan lensa prisma. Jika setelah penobatan kurang lebih 6 bulan tetap lumpuh, dilakukan opersi reseksi dari otot-otot yang lumpuh disertai reseksi dari otot lawannya supaya tidak terjadi atrofi dari otot-otot yang lumpuh. Hasil dari operasi ini sering mengecewakan tetapi perbaikan kosmetis mungkin dapat memuaskan. Pada kasus ini pasien tidak diberikan edukasi terapi oklusif, dalam pemeriksaan juga tidak dicoba menggunakan lensa prisma. Pada pasien ini hanya diberikan lensa sferis minus untuk mata kanannya yang miop dan lensa plano untuk mata kirinya. 3. Kesimpulan

Pada pasien ini dimungkinkan telah terjadi parese atau paralisis N III akibat trauma yang ditunjukkan dengan pandangan kabur dan diplopia, pupil midriasis, dan reflek cahaya yang lemah, serta adanya strabismus mata kiri dengan deviasi kea rah temporal temporal dan sedikit kearah bawah dan intorsi (berputar kearah nasal).

Anda mungkin juga menyukai