Anda di halaman 1dari 13

BAB III IKTERIK DALAM KEHAMILAN

Onset ikterik selama kehamilan jarang dijumpai namun merupakan suatu masalah klinis penting sehingga mengetahui penyebab dan penatalaksanaan yang tepat memberikan implikasi mendalam bagi kesejahteraan ibu dan janin. Kehamilan normal disertai dengan beberapa perubahan fisiologis fungsi hepatobiliar dan pemahaman perubahan tes biokimia fungsi hepar tertentu dapat memprediksi abnormalitasnya selama kehamilan.(Lunzer M.R, 1999, Joshi Deepak et al, 2010)

A. Fisiologi hepar selama kehamilan normal 1. Perubahan anatomi dan fisiologi Hepar tidak mengalami perubahan ukuran dan berat secara bermakna selama kehamilan, sehingga bila dijumpai pembesaran hepar selama hamil dapat menjadi bukti presumtif terjadinya penyakit hepar. Perubahan histologi minor dari biopsi hepar wanita hamil antara lain ukuran dan bentuk hepatosit, adanya vakuol lemak serta infiltrasi limfosit pada traktus portal. Abnormalitas tersebut biasanya ringan dan tidak spesifik. Aliran darah hepatik tidak berubah selama hamil meskipun terdapat peningkatan volume darah, curah jantung dan isi sekuncup. Akibatnya, proporsi curah jantung menuju hepar menurun dari 35% pada wanita tidak hamil menjadi 29% pada kehamilan lanjut. Penurunan ini dapat menyebabkan gangguan klirens hepatik berbagai zat selama kehamilan lanjut. (Lunzer M.R, 1999)

2. Perubahan biokimia Kehamilan dihubungkan dengan perubahan bermakna dalam metabolisme dan konsentrasi protein serum. Penurunan serum protein total selama kehamilan umumnya disebabkan penurunan konsentrasi albumin serum. Hipoalbuminemia ini umumnya disebabkan hemodilusi sekunder terhadap peningkatan volume plasma. Faktor menurunnya sintesis mungkin juga berperan. Serum gamma globulin juga menurun. Konsentrasi trigliserida dan

kolesterol mengalami peningkatan bermakna selama kehamilan. Peningkatan kolesterol serum dapat mencapai dua kali lipat di atas normal dan hiperkolesterolemia tidak dapat digunakan sebagai marker kolestasis selama hamil. Serum alkali phospatase meningkat perlahan pada awal kehamilan dan meningkat tajam pada trimester akhir. Peningkatan konsentrasi dua kali lipat dari normal hampir selalu dijumpai saat aterm. Peningkatan ini mungkin pelepasan oleh plasenta dan isoenzim tulang. Perlu kehati-hatian menggunakan serum alkali phospatase sebagai marker penyakit hepatobilier selama kehamilan. Sebaliknya, gamma glutamil transferase tidak meningkat selama hamil. Aktivitas serum amino transferase tidak dipengaruhi oleh kehamilan dan peningkatan enzim ini dapat menjadi indikator terpercaya kerusakan hepatoselular. (Lunzer M.R, 1999)

B. Penyakit hepar spesifik pada kehamilan 1. Hiperemesis gravidarum a. Definisi Mual muntah selama kehamilan yang cukup berat sehingga

menyebabkan penurunan berat badan minimal 5%, dehidrasi, hipokalemia dan asidosis atau alkalosis metabolik.(Schutt A. Vivian, 2007)

b. Insiden Insiden yang dilaporkan berkisar 0,3 2 % atau 1 dalam 100 kehamilan. Hiperemesis gravidarum merupakan indikasi perawatan paling sering pada kehamilan awal. (Schutt A. Vivian, 2007)

c. Patogenesa Patogenesa hiperemesis gravidarum belum diketahui secara jelas tetapi diperkirakan multifaktorial. Salah satunya adalah keterlibatan human chorionik gonadotropin (hCG). Hipotesa ini didasari oleh 1) hCG merupakan stimulator poten sekresi gastrointestinal, 2) hCG menyerupai TSH sehingga

menginduksi kondisi hipertiroid yang dihubungkan dengan muntah yang berat, 3) mual dan muntah lebih berat bila kadar hCG lebih tinggi misal pada hamil mola dan hamil kembar. Penyebab lain antara lain peningkatan hormon estrogen/progesteron, infeksi Helicobacter pylori dan konsumsi tinggi makronutrien (karbohidrat, lemak dan protein) serta faktor psikologis. Abnormalitas enzim hepar menunjukkan adanya gambaran iskemik atau cedera hepatoselular. Hal ini dijumpai pada hiperemesis gravidarum yang berat, ketonuria berat dan hipertiroidisme. (Schutt A. Vivian, 2007)

d. Gejala klinis Gejala klinisnya antara lain mual, muntah, penurunan berat badan, dehidrasi dan gangguan asam basa. Abnormalitas enzim hepar ditemukan pada kira-kira 67% pasien hiperemesis gravidarum. (Schutt A. Vivian, 2007)

e. Diagnosa Diagnosis hiperemesis gravidarum didasarkan pada gejala klinis serta tidak ditemukan kelainan lain yang bisa menjelaskan temuan tersebut. Usia gestasi merupakan pedoman diagnosa paling baik karena hiperemesis gravidarum adalah satu-satunya penyakit hepar pada trimester pertama kehamilan. (Schutt A. Vivian, 2007)

f. Penatalaksanaan Penatalaksanaannya tergantung pada beratnya gejala. Ibu harus selalu dianjurkan makan dalam porsi kecil tapi sering dengan kandungan tinggi karbohidrat rendah lemak. Antiemetik yang sering digunakan antara lain golongan phenotiazin dan metoklopramid. Bila mual dan muntah tidak berespon dengan diet dan antiemetik mungkin diperlukan hidrasi intravena. Dianjurkan untuk menjaga lambung tetap kosong selama 24 jam pertama. Suplemen multivitamin sebaiknya ditambahkan kedalam cairan intravena sementara pasien dipuasakan. (Schutt A. Vivian, 2007)

2. Kolestasis intrahepatik dalam kehamilan a. Definisi Kolestasis intrahepatik dalam kehamilan (ICP) adalah pruritus dengan peningkatan serum asam empedu paling sering muncul selama kehamilan lanjut dan hampir seluruhnya mengalami resolusi spontan setelah lahirnya janin. (Schutt A. Vivian, 2007, Joshi Deepak et al, 2010)

b. Insiden Insiden ICP bervariasi tergantung pada faktor genetik, geografi dan lingkungan. Pada populasi risiko rendah seperti Amerika utara dan Eropa selatan, insidennya 1-2 per 1000 wanita hamil. Sedangkan pada populasi risiko tinggi seperti Bolivia dan Skandinavia, insidennya 10 kali lipat. ICP menempati urutan kedua setelah hepatitis sebagai penyebab ikterik dalam kehamilan (Lammert Frank et al, 2002, Schutt A. Vivian, 2007)

c. Patogenesa Penyakit ini dihubungkan dengan peningkatan estrogen dan

progesteron serum yang terjadi selama kehamilan. Estradiol bekerja pada membran basolateral hepatosit dengan menurunkan permeabilitas membran. Sehingga menghambat uptake empedu. Penurunan aktivitas pompa Na/K ATPase menyebabkan penurunan gradien natrium yang penting untuk uptake empedu dependen natrium.,. Kemungkinan yang juga relevan terhadap patogenesis ICP adalah perbedaan dalam metabolisme asam empedu pada wanita-wanita dengan kondisi tersebut. Khususnya, wanita-wanita dengan ICP mensintesis metabolit progesteron sulfat lebih banyak yang menghasilkan saturasi pada sistem transpor hepatik. Faktor etiologi lain yang berpotensi diantaranya termasuk peningkatan pada permeabilitas intestinal terhadap bakteri endotoksin, yang

meningkatkan sirkulasi metabolit kolestatik enterohepatik dari garam empedu dan hormon seks, dislipidemia dan konsentrasi selenium yang rendah.

Baru-baru

ini,

peneliti

memfokuskan

pada

mutasi

yang

telah

digambarkan dalam gen transpor hepatobilier bertanggungjawab terhadap bentuk tertentu dari kolestasis genetik. Akhirnya, patogenesis dari ICP dapat merupakan kombinasi hormonal, genetik dan faktor inflamasi yang mengganggu fungsi sekretori. Schutt A. Vivian, 2007

d. Gejala klinis ICP biasanya muncul pada kehamilan trimester ketiga., pada minggu ke-30. Keluhan yang paling sering ditemukan adalah gatal-gatal sedang hingga berat tanpa disertai kemerahan pada kulit. Diperkirakan 80% hanya menderita pruritus saja sementara 20% lagi mengalami pruritus dan ikterus. Pruritus dimulai dari tangan dan telapak kaki, dan cenderung untuk meluas kearah proksimal secara asenden. Schutt A. Vivian, 2007

e. Diagnosa Pada permulaan, stadium ringan (sebelum hiperbilirubinemia), temuan biokimia dari ICP sulit untuk ditentukan. Sebagai contoh, gambaran kholestasis yang khas (meningkatnya alkalin fosfatase serum dan gamma glutamil transferase (kadar GGT) seringkali sulit dideteksi karena adanya peran plasenta terhadap alkalin fosfatase total dalam serum dan penurunan pengeluaran GGT oleh hepar selama kehamilan. Sehingga, hanya sekitar 30% kasus ICP dilaporkan dengan peningkatan kadar GGT. Schutt VA, 2007 Aktivitas ALT (SGPT) dan AST (SGOT) serum bervariasi. Pada sebagian pasien, kadar ALT (SGPT) dan AST (SGOT) normal atau sedikit meningkat. Namun, pada keadaan tertentu, bisa sangat meningkat sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan hepatitis virus akut dan penyebab lainnya. Semakin jelasnya peningkatan kadar ALT dan AST serum dapat disebabkan peningkatan permeabilitas membran hepatosit yang tidak dapat dijelaskan. Nilai diagnostik yang lebih baik dari enzim hepar adalah kadar asam empedu serum. Kadarnya meningkat bersama dengan peningkatan

asam chenodeoxycholic dan asam cholic 10-100 kali lebih tinggi dari kadar pada wanita hamil normal. Schutt VA, 2007 Walaupun tidak direkomendasikan, biopsi hepar seringkali

menunjukkan parenkim hati yang normal, atau sedikit pembesaran dari saluran empedu. Baru-baru ini, pengukuran Glutathione-S-transferase

serum, marker untuk integritas hepatoseluler, telah digunakan untuk membedakan ICP dari kondisi yang tidak berkaitan dengan kelainan hepar yaitu pruritus gravidarum ringan. Schutt VA, 2007

f. Penatalaksanaan Penatalaksanaan ICP harus ditekankan pada pengurangan gejala pada ibu dan menyiapkan penatalaksanaan obstetri yang memadai untuk mencegah fetal distress. Pruritus ringan bisa diatasi dengan antipruritus topikal. Walaupun antihistamin jarang efektif, pemberian hydroxyzine pada malam hari, dapat mengurangi gatal. Kolestiramine dan obat-obat untuk menurunkan kolesterol dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua meski, kurang diminati karena keterbatasan efikasinya dan kemungkinan efek samping seperti konstipasi dan defisiensi vitamin K (dua kondisi yang dapat dipicu pada wanita hamil). Schutt VA, 2007 Ursodeoxycholic acid (UDCA) dilaporkan penting pada terapi ICP. Zat ini dipertimbangkan pemberiannya pada wanita dengan pruritus sedang hingga berat, yang telah gagal terhadap pengobatan sebelumnya dan bagi mereka dengan riwayat komplikasi sehubungan dengan ICP pada kehamilan sebelumnya. UDCA dapat mengurangi pruritus dan kondisi biokimia dari kolestasis, khususnya pada pasien-pasien dengan ICP berat. Efek sinergi bisa dihasilkan dari kombinasi UDCAdan 5 adenosyl-L-menthionine. Kombinasi tersebut juga dilaporkan memperbaiki luaran klinis dengan menurunkan angka persalinan prematur, dan lahir mati. Schutt VA, 2007 Jika ICP berat dan tidak respon terhadap penatalaksanaan diatas, terminasi kehamilan merupakan satu-satunya cara untuk memperbaiki kondisi klinis. Persalinan biasnya ditunda hingga usia kehamilan 37-38

minggu agar janin lebih matang, namun tidak dapat ditunda jika ibu dan janin menunjukkan tanda-tandai tidak stabil. Kadar asam empedu diperiksa untuk membantu klinisi dalam menetapkan kapan akan dilakukan induksi persalinan. Sebagai contoh, risiko kematian janin diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar asam empedu hingga 40mM. Selain obat-obatan untuk mengatasi pruritus, seluruh pasien dengan ICP harus mendapatkan suplemen vitamin K Schutt VA, 2007

3. Perlemakan hati akut dalam kehamilan (AFLP) a. Definisi Perlemakan hati akut dalam kehamilan (AFLP) didefinisikan sebagai suatu infiltrasi lemak mikrovesikuler sel hepatosit selama pertengahan kedua dari kehamilan (biasanya trimester ketiga), dan merupakan penyebab umum terjadinya gagal hepar pada kehamilan. Joshi D et al, 2010 Perlemakan hati akut dalam kehamilan merupakan suatu kelainan yang jarang ditemukan namun merupakan suatu kondisi yang serius yang terjadi pada trimester ketiga kehamilan.
Lau HH, Chen YY, Huang JP et al, 2010 Schutt VA, 2007

AFLP ditandai dengan gagal

hepar dan mungkin disertai gagal ginjal, DIC, hipoglikemia, dan ensefalopati.

b. Insiden Insiden AFLP diperkirakan 1 dalam 10.000 15.000 kehamilan, namun hal ini kemungkinan disebabkan rendahnya kecurigaan terhadap

kemungkinan AFLP yang lebih sering didagnosa dengan penyakit hati lainnya dengan tampilan menyerupai HELLP dan hipertensi pada kehamilan.
Schutt VA, 2007, Joshi Deepak et al, 2010

Kematian ibu akibat AFLP pernah dilaporkan mencapai lebih dari 70%, sekarang diperkirakan sebesar 18%; kematian neontal diperkirakan berkisar dari 7% hingga 58%. Lau HH, Chen YY, Huang JP et al, 2010

c. Etiologi

Etiologi pasti AFLP belum diketahui. Perkembangan biologi molekuler dewasa ini menyatakan bahwa AFLP mungkin di akibatkan disfungsi

mitokhondria. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa hormon seks wanita mempunyai efek menghancurkan mitokondria sel hati dan efek ini bersamaan
Deepak et al, 2010

dengan

faktor-faktor

lainnya

dapat

berdampak

pada

perkembangan dari AFLP pada beberapa wanita.

Bacq Y, 1998, Schutt VA, 2007, Joshi

Data yang menonjol menunjukkan bahwa setidaknya pada sebagian kasus AFLP terjadi akibat defek metabolisme asam lemak pada ibu dan janin. Lanzer M.C, 1999, Schutt VA, 2007

d. Gejala klinis Onset AFLP terjadi antara usia kehamilan 30 38 minggu. Hanya sedikit laporan tentang AFLP terjadi sebelum atau setelah usia kehamilan tersebut. Manifestasi awalnya tidak spesifik. Gejala paling umum termasuk anoreksia, mual dan muntah (70%), serta nyeri abdomen bagian atas (5080%) kemudian muncul tanda dan gejala gagal hepar akut. Namun, hanya sedikit pasien menunjukkan gejala ikterus. Ukuran hepar biasanya normal atau hanya sedikit membesar namun karena kondisi yang berlanjut, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ukuran hepar yang mengecil. Schutt VA, 2007 Kira-kira 50% pasien menunjukkan gejala preeklampsia. Pasien AFLP dapat pula menunjukkan gejala perdarahan saluran cerna bagian atas (akibat hipertensi portal dan gangguan koagulasi). Gagal ginjal akut, sepsis, pankreatitis, hipoglikemia atau asidosis metabolik. Ensefalopati hepatik biasanya muncul terlambat pada penyakit ini.
Schutt VA, 2007

e. Diagnosa Pasien dengan AFLP biasanya mengalami peningkatan sedang dari aminotransferase serum dengan nilai ALT lebih tinggi dari AST. Alkalin fosfatase serum sedikit meningkat namun dapat meningkat 3-4 kali dari normal. Kadar amonia plasma juga dapat menigkat. Hipoglikemia terjadi

pada 40% kasus. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan anemia normositik, sel darah putih yang sedikit meningkat dan trombositopenia ringan. Disseminated intravasculer coagulopathy biasanya terjadi. Waktu Protrombin (PT) dan Partial Tromboplastin(PTT) memanjang, dan kadar fibrinogen plasma menurun. Kecenderungan terjadinya hipoglikemia, hiperammonemia, dan memanjangnya PT dan PTT dapat membantu membedakan AFLP dari HELLP. Diagnosis AFLP dapat dikonfirmasi melalui biopsi hati tanpa ada kaitannya dengan inflamasi dan nekrosis. Namun demikian biopsi sel hepar tidak dilakukan secara rutin karena tingkat kesulitannya jika dilakukan pada masa kehamilan, dan seringkali berkiatan dengan koagulopati. Schutt VA, 2007 Pemeriksaan ultrasonografi, CT scan dan MRI gelah digunakan sebagai alat pemeriksaan yang tidak invasif untuk mendiagnosis AFLP namun penilaiannya masih terbatas dengan seringnya ditemukan hasil false negatif. Oleh karena itu, pada praktik klinik, diagnosis didasarkan pada hasil pemeriksaan klinik dan laboratorium. Keputusan melahirkan janin tidak

dapat ditunda hanya untuk pemeriksaan radiologi tersebut. Pada keadaan tertentu, diagnosis AFLP sulit dibedakan dari hepatitis virus akut dan pemeriksaan serologi virus diperlukan.Schutt VA, 2007

f. Penatalaksanaan AFLP merupakan suatu kondisi emergensi medis dan obstetrik. Deteksi dan penatalaksanaan segera dapat meningkatkan harapan hidup ibu dan bayi. Kuncinya adalah persalinan cepat. Bila pasien berisiko tinggi mengalami kegagalan multiorgan sebaiknya dirawat di ICU. Transplantasi hepar telah pernah dilakukan pada ibu dengan AFLP tetapi jarang terutama sering pada kondisi perburukan meski janin sudah dilahirkan. Aspek terkini dari penatalaksanaannya adalah identifikasi dan monitoring ketat wanita berisiko tinggi Vivian Schutt, 2007

C. Penyakit hepar bersamaan dengan kehamilan

Dewasa ini, 6 jenis hepatitis virus telah berhasil diidentifikasi, yaitu A, B, C, D, E dan G. Hepatitis virus A tidak menyebabkan kondisi kronis dan transmisi perinatal sangat jarang. Hepatitis B dapat mengalami transmisi perinatal, tetapi imunisasi bayi baru lahir telah menurunkan risiko infeksi neonatal. Hepatitis D tergantung pada adanya infeksi bersamaan hepatitis B. Hepatitis virus C ditularkan secara parenteral dan sering menyebabkan penyakit hepar kronik. Transmisi hepatitis C perinatal umumnya terjadi pada wanita dengan titer HCV-RNA yang tinggi atau mereka yang terinfeksi HIV. (Duff Patrick, 1998, Joshi deepak et al, 2010)

1. Hepatitis A Hepatitis A ditularkan secara faecal-oral dan sembuh sendiri tanpa menyebabkan infeksi kronik. Hiegine dan sanitasi yang jelek, kontak seksual dan personal yang erat memudahkan transmisi. Sejumlah pasien dengan hepatitis A datang tanpa keluhan atau dengan malaise, anoreksia, mual dan muntah dan nyeri perut kuadran kanan atas. Temuan karakteristik hepatitis A akut adalah ikterik, nyeri tekan hepar, urine kehitaman dan feses(Piercy C.N, 1997, Duff
Patrick, 1998, Motte Anne et al, 2009)

Tes diagnostik yang paling berguna adalah identifikasi antibodi IgM, yang dapat dideteksi 25-30 hari setelah paparan dan dapat menetap dalam 6 bulan dalam serum. Selain itu SGOT, SGPT dan bilirubin juga meningkat sedang. Hepatitis fulminan, koagulopati dan ensefalopati mengenai kurang dari 0,5 % pasien. Secara umum, kecuali ibunya sakit berat, tidak ada dampak serius terhadap janin. Pasien yang mengidap hepatitis A sebaiknya membatasi aktivitas, nutrisi yang cukup dan menghindari obat hepatotoksik dan sebaiknya diberikan vaksin hepatitis A inaktif. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi akut sebaiknya diberikan imunoglobulin untuk menurunkan risiko transmisi horizontal setelah lahir. (Piercy C.N, 1997, Duff Patrick, 1998)

2. Hepatitis B Hepatitis B disebabkan virus blood-borne dan risiko infeksi perinatal dari ibu asimptomatik cukup tinggi. Pada banyak negara-negara berkembang,

dilakuan pemeriksaan skrining terhadap virus hepatitis B (HBV) secara rutin. Pemberian vaksin HBV dilakukan pada masa kehamilan jika diperlukan.
deepak et al, 2010) Joshi

Wanita yang tidak sirosis namun positif-HBV mempunyai risiko untuk menularkannya kepada janin. Transmisi secara vertikal merupakan cara yang paling sering terjadi, dalam penularan HBV di daerah endemik, dan pada sebagian besar infeksi HBV di dunia.. Model persalinan tidak mempengaruhi risiko transmisi, dengan jumlah rata-rata yang sama dengan persalinan normal pervaginam dan seksio sesarea. Transmisi dapat dikurangi dengan pemberian imunoglobulin hepatitis B pada neonatus dalam 12 jam persalinan. Vaksin HBV harus diberikan dengan tiga dosis yang diberikan pada bayi pada enam bulan pertama. Penggunaan Lamivudin dan obat-obat antivirus selama trimester ketiga untuk mengurangi simpanan virus HBV, dan selanjutnya mengurangi risiko transmisi ke janin, menjadi perdebatan. Penggunaan monoterapi lamivudin dapat memicu mutasi virus, selanjutnya mempengaruhi penerimaan pasien terhadap resistensi virus baik dengan lamivudin dan obat antivirus jangka panjang lainnya. Lamivudin, yang telah dikelompokkan oleh US Food and Drug Administration (FDA) sebagai obat kategori C pada kehamilan, dan telah digunakan selama kehamilan tanpa risiko mendasa baik pada ibu maupun janin. Entecvir, analog nukleosid yang lebih poten dengan resistensi virus jangka panjang lebih baik dari lamivudin, digolongkan kategori B.

3. Hepatitis D Epidemiologi hepatitis D pada dasarnya identik dengan hepatitis B. Hepatitis D akut ada dua bentuk yaitu koinfeksi dan superinfeksi. Koinfeksi menunjukkan kejadian bersamaan infeksi hepatitis B dan D. Superinfeksi terjadi bila hepatitis D akut timbul pada pasien hepatitis B kronik. Pasien hepatitis D akut sebaiknya diberikan terapi suportif. Pasien infeksi kronik harus dimonitor periodik terhadap perburukan fungsi hepar dan koagulopati. Hingga saat ini belum ada antivirus spesifik atau imunoterapi baik

untuk infeksi akut maupun kronik. Transmisi perinatal sudah pernah dilaporkan. Untungnya, transmisi ini jarang karena imunoprofilaksis bagi hepatitis B juga hampir sama efektifnya terhadap hepatitis D. (Piercy C.N, 1997, Duff Patrick, 1998) 4. Hepatitis C Faktor risiko penting untuk hepatitis C adalah penyalahgunaan obat intravena, transfusi dan hubungan seksual. Infeksi hepatitis C dapat menyebabkan penyakit hepar kronik. Kira-kira 75 % pasien dengan hepatitis C bersifat asimptomatik. Pada populasi obstetrik umum, prevalensi hepatitis C berkisar 1-3 %. Frekuensi transmisi perinatal bervariasi tingginya mulai dari 10 hingga 44 %. Tingkat transmisi lebih tinggi terjadi bila infeksi bersamaan dengan HIV. Imunisasi pasif dengan imunoglobulin sebaiknya diberikan bila terjadi paparan perkutan dengan orang terinfeksi hepatitis C. Mamfaat imunoprofilaksis bagi neonatus belum terbukti secara klinis. (Duff Patrick, 1998, Gonzalez F, 2006)

5. Hepatitis E Hepatitis virus E adalah virus RNA tak berkapsul. Hepatitis tipe ini dapat muncul dalam bentuk ikterik dan aniketrik. Virus ini ditularkan secara fekal-oral, dan epidemiologinya sama dengan hepatitis A. Pasien dengan hepatitis A sebaiknya ditatalaksana seperti hepatitis A. Dalam sebuah penelitian dilaporkan dijumpai 8 kasus hepatitis E pada trimester III. Enam bayinya terbukti menderita hepatitis E secara klinis atau serologis. Dua bayi menderita hipotermia dan hipoglikemia dan meninggal dalam 24 jam setelah lahir. Sehubungan dengan hal tersebut, bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami infeksi akut sebaiknya di awasi ketat.(Duff Patrick, 1998, Kumar A et al, 2004)

D. Penyakit hepar kronik selama kehamilan 1. Hipertensi portal dan sirosis hepatis Wanita dengan sirosis hepatis sering mengalami amenorea dan infertilitas. Dewasa ini wanita dengan sirosis telah dilaporkan berhasil hamil. Beberapa pasien menunjukkan penurunan fungsi hepar selama hamil dan tampak terjadi peningkatan risiko perdarahan variseal terutama selama persalinan. Sirosis

pada ibu diketahui berdampak buruk terhadap janin. Insiden abortus, stillbirth, prematuritas dan mortalitas jelas meningkat. Selain itu, hiperbilirubinemia maternal juga menyebabkan kernikterus pada janin.Lunzer M.R, 1999 2. Hepatitis kronik persisten Hepatitis persisten kronik secara umum ditandai dengan peningkatan ringan AST, sedikit tanda klinis penyakit hepar dan prognosisnya baik. Tidak ada pengobatan spesifik. Umumnya disebabkan hepatitis B atau non-A, non-B. Pasien hepatitis kronik dapat mengalami ovulasi dan fertilitas normal.
1999 Lunzer M.R,

3. Sindrom Budd-Chiary Trombosis vena hepar selama kehamilan dapat diakibatkan keadaan hiperkoagulabilitas. Kondisi ini kemungkinan karena tingginya konsentrasi estrogen selama kehamilan. Sindrom ini dapat terjadi kapan saja dalam kehamilan. Gejalanya berupa nyeri perut bagian atas diikuti distensi dan asites. Gejala lain yang jarang berupa demam, muntah dan ikterik. Penggunaan USG doppler dapat membantu diagnosa

4. Batu empedu Kholelitiasis dan kholesistitis tidak jarang dijumpai dalam kehamilan. Hal yang mengejutkan adalah adanya kecenderungan batu bahwa kehamilan Kehamilan

meningkatkan

kemungkinan

terbentuknya

empedu.

dihubungkan dengan meningkatnya konsentrasi kolesterol empedu dan menurunkan pengosongan empedu. Keduanya memberikan kontribusi

pembentukan batu empedu. Pasien dengan batu empedu simptomatik selama kehamilan dapat ditatalaksana secara konservatif, tindakan operasi dapat ditunda sampai post partum. Lunzer M.R, 1999

Anda mungkin juga menyukai